Gyan melirik tajam saat seseorang dengan kencang mengempaskan diri tepat di belakang kursinya. Matanya menyipit ketika kemudian sebuah suara dengan nada kesal terdengar.
"Sumpah ya, gue udah mikirin ide setengah mampus buat promosi malah proposal ditolak mentah-mentah. Nggak dilirik sama sekali lagi."Itu suara wanita yang barusan duduk tepat di belakang meja Gyan. Gyan tidak bisa melihatnya secara langsung karena posisinya memunggungi si pemilik suara."Proposalnya kurang menarik?" tanya wanita lain, lawan bicara wanita tukang ngomel tadi."Kalau nggak menarik ngapain diajuin. Ini sudah terhitung dua kali proposal gue kena tolak. Direktur Keuangan baru kita beneran medit. Dulu kayaknya Pak Bambang nggak gini deh."Telinga Gyan langsung tegak. Dia bergerak sedikit, memperbaiki posisi duduk. Pembahasan dua wanita itu terdengar menarik. Bukan bermaksud menguping, tapi obrolan mereka terdengar jelas dari posisinya duduk."Mungkin bagi dia ide lo nggak berpotensi menarik konsumen."Diam-diam Gyan tersenyum mendengar si wanita kedua berpendapat."Enak aja!" Wanita pertama langsung membantah. "Ide gue selama ini berlian semua ya. Dan Pak Bambang dulu nggak pernah kecewa menggelontorkan dana perusahaan buat promosi yang tim marketing B buat."Gyan melengkungkan bibir seraya menaikkan alis. Dengan santai tangannya kembali berkutat dengan garpu dan piring."Emang pada dasarnya aja itu direktur baru pelitnya nggak ketulungan. Ya kali budget segitu aja nggak di-acc. Nggak bakal bikin bangkrut Blue Jagland juga kan? Bahkan dua tahun belakangan marketing ngajuin budget lebih dari itu. Eh, si sok paling hebat itu malah minta dipangkas lagi."Kepala Gyan meneleng mendengar lagi-lagi wanita pertama ngatai si direktur."Jangan kencang-kencang. Nanti ada yang denger terus tembus ke telinga orang keuangan. Urusannya berabe," ujar wanita kedua pelan. "Lo udah denger kan gosip yang beredar?""Apaan?" Suara wanita pertama terdengar tidak tertarik."Katanya direktur keuangan kita anak pertama presdir yang terkenal killer dan dingin di Blue Jagland Kanada. Lo mending nggak usah berurusan sama petinggi kalau masih mau kerja di sini."Gyan mengangguk-angguk, lantas meraih gelas. Baru saja bibirnya menyentuh pinggiran gelas, dia dikejutkan suara cempreng wanita pertama lagi."Huh, gayanya killer tapi masih berlindung di ketiak bapaknya. Buat jadi orang killer gue juga bisa kalau ada backingan."Dengan kasar Gyan mengembuskan napas, tidak jadi meneguk minumannya."By the way lo udah pernah liat dia belum?""Nggak tertarik liat. Apa sih menariknya anak yang aslinya manja tapi sok killer di depan para bawahannya?"Kali ini Gyan menarik napas panjang, dan tidak berniat melanjutkan makan. Selera makannya raib seketika."Jangan sekata-kata. Gue jadi pengin tahu reaksi lo kalau liat atau ketemu direktur baru itu.""Kalau gue ketemu dia gue bakal protes habis-habisan soal proposal gue yang dia tolak. Kalau perlu gue suruh dia tanda tangan langsung."Wanita kedua tertawa geli mendengar kesongongan wanita pertama.Sementara itu, Gyan yang masih diam-diam di belakang kursi mereka melempar tisu ke atas piring setelah mengelap mulutnya. Dia tak bernafsu lagi melanjutkan makan dan memilih berdiri, meninggalkan meja.***"Sella, tolong suruh orang marketing bawa kembali proposal mereka ke meja saya," pinta Gyan sambil lalu saat melewati meja sekretaris."Baik, Pak." Wanita yang bernama Sella pun menelepon orang marketing. Namun, baru saja mengangkat gagang telepon, Gyan yang akan menekan handle pintu berbalik, membuat Sella mendongak lagi."Pastikan yang bawa proposal itu ke depan saya adalah orang yang bikin proposal tersebut. Kalau nggak salah dari tim B," ujar Gyan sebelum benar-benar menekan handle pintu dan masuk ke ruangannya."I-iya, Pak."Tidak lama setelah panggilan Sella berakhir, salah satu staf marketing datang. Sella mendongak dan melihat Resta nongol di depan. Dia agak sedikit terperanjat melihat wanita itu."Resta, jadi lo yang bikin proposal?" tanya Sella tampak kaget. Resta masuk ke perusahaan ini berbarengan dengan Sella. Tapi Sella lebih beruntung karena bisa lolos seleksi sekretaris. Sementara Resta harus puas hanya menjadi staf marketing.Resta mengangguk sambil mendekati meja Sella. Dia memeluk sebuah dokumen. "Jadi, kenapa proposal diminta lagi?" tanya Resta kepo. Dan yang mengherankan dia sendiri yang disuruh langsung membawa ke depan direktur keuangan."Gue nggak tau, Res. Mungkin Pak Gyan berubah pikiran," ucap Sella sambil tersenyum penuh arti, yang mau tak mau membuat Resta ngeri sendiri."Ini nggak buat bantai gue, kan?"Sella meringis. Ekspresinya bikin Resta bisa menebak kemungkinan buruk yang akan dia hadapi. Menurut Joana—teman sesama staf marketing—direktur baru keuangan itu killer dan berhati dingin. Apa mungkin dia akan selamat setelah masuk kandangnya?"Pak Gyan itu kayak gimana sih? Denger-denger dia—" Resta menghentikan pertanyaannya saat Sella tiba-tiba mengibaskan tangan."Udah nggak usah dipikirin. Mending lo temui Pak Gyan sekarang keburu dia ngamuk. Gue yakin lo bisa hadapi dia. Lo kan terkenal pemberani." Sella berdiri, mendorong bahu Resta menuju pintu ruangan. Terakhir dia menepuk pundak Resta. "Semangat, ya," ucapnya sebelum balik ke mejanya lagi.Ucapan semangat Sella malah bikin nyali Resta menciut. Namun sebelum mengetuk pintu dia menguatkan hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bukankah ini waktunya membeberkan semua kreativitasnya—yang sempat dilepeh—di depan direktur keuangan itu? Resta jelas tidak suka diremehkan. Selama ini ide-ide promo yang dia lontarkan selalu menarik, dan perusahaan menerima dengan baik.Resta mengangkat tangan, brakelet yang dia pakai terlihat ketika tangannya mengetuk pintu. Anyway, dia juga penasaran rupa direktur keuangan yang tega menolak proposalnya. Benarkah seperti yang dihebohkan orang-orang di perusahaan ini?Suara dalam seseorang yang menyuruhnya masuk terdengar. Dia lantas mendorong knop pintu setelah sebelumnya menarik napas panjang. Dan begitu masuk ke ruangan itu dia tertegun di tempat. Mata bulatnya refleks mengedar takjub melihat interior luar biasa ruangan itu.Ruangan direktur saja bisa sebesar dan semewah ini, lalu bagaimana ruangan milik pucuk pimpinan tertinggi ya?Tidak ada meja kerja kecil dan satu kursi putar seperti yang ada di kubikelnya. Saat Resta masuk dia malah menemukan sebuah ruangan dominasi warna putih dengan satu set sofa abu-abu yang bagian bawahnya terhampar karpet senada dengan warna sofa. Dinding di sisi kiri terdapat lukisan abstrak besar yang Resta tidak tahu maknanya. Melirik sedikit ke depan ada rak partisi yang—"Kamu di sini bukan untuk mengagumi ruang kerja saya."Resta terkejut bukan main saat seseorang tiba-tiba muncul di depannya. Tatapannya yang tadi sempat berkeliling ruangan berpusat pada satu sosok menjulang dengan iris mata yang menarik.Untuk beberapa saat Resta terbengong menyaksikan manusia berwujud malaikat itu di depan matanya. Tunggu, mungkin dia bidadara dari surga yang datang untuk menyuburkan bumi?Pria di depannya mengerutkan kening, lalu menjentikkan jari ke depan muka Resta hingga wanita itu tersadar.Resta gelagapan sendiri. Kesadarannya yang sempat terbang kini kembali lagi. "Se-selamat siang, Pak. Saya dari marketing un—""Mana proposal itu?" tebas Gyan langsung. Mata birunya diam-diam memperhatikan wajah wanita yang sudah berani menjelekkannya di kantin perusahaan."Hm, ternyata biasa saja. Tapi mulutnya benar-benar tidak bisa dikendalikan," ujarnya membatin."Ini, Pak." Wanita dengan kucir rambut ekor kuda itu menyerahkan proposalnya dengan sopan. "Kalau ada hal yang ingin Bapak tanyakan, silakan."Gyan membawa proposal itu ke mejanya, dan mulai membuka isinya. Sesekali dia melirik Resta yang masih berdiri dengan kepala menunduk. Daripada proposal itu, Gyan lebih tertarik melihat wajah Resta yang sudah mirip tikus kejepit itu. Mulut besar wanita itu ke mana?Dia melempar proposal itu ke meja, membuat Resta terperanjat. Mata bulat wanita itu langsung melirik proposalnya yang teronggok seperti barang tak berguna."Tolong jelaskan ke saya apa menariknya ide di dalam proposal itu hingga saya perlu menandatanganinya?" tanya Gyan retorik. Dia dengan jelas melihat wajah gugup Resta yang masih bertahan berdiri."Ide yang saya buat belum pernah dipakai perusahaan mana pun untuk promosi, Pak. Ide saya fresh dan mudah menarik perhatian," jawab Resta lantang. Meski sempat terintimidasi akhirnya dia bisa kembali mendapatkan rasa percaya dirinya."Fresh?" Gyan menarik salah satu sudut bibir. Terlihat meremehkan. "Kamu tahu alasan kemarin proposal itu bisa balik lagi ke marketing?""Anda bahkan belum melihat isinya kemarin.""Siapa bilang?"Tatapan mereka bertemu. Sejenak Gyan bisa melihat mata bulat itu bersinar terang. Dari sana pria itu bisa menebak selain bermulut besar, wanita itu sepertinya pantang menyerah. Gyan ingin tahu seberapa hebat wanita itu bisa berjuang._______Hay, Om Daniel lovers. Om Daniel udah punya anak gede loh. Gyan Jagland yang bakal mewarisi Blue Jagland. Jangan lupa simpan di library dan tulis ulasan di sampul depan ya."Tiga tahun saya berkecimpung di marketing belum ada ide sepayah yang ini."Telunjuk Gyan terarah ke proposal di atas meja. Hanya membaca satu halaman saja dia bisa tahu ide macam apa yang wanita dengan kepercayaan diri tinggi itu buat. Resta melebarkan mata mendengar ucapan meremehkan yang Gyan lontarkan. "Fresh katamu?" Sudut bibir Gyan terangkat. Seringai iblisnya muncul. "Ide seperti itu tidak terpakai di Blue Jagland Kanada. Ide sampah yang sangat ketinggalan jaman." Sontak Resta ternganga. Menatap proposalnya yang Gyan campakkan begitu saja. Dua tangan di sisi tubuhnya refleks mengepal. Hidung runcingnya kembang-kempis menahan geram. Mati-matian dia menahan untuk tidak menerjang pria pongah itu. Seumur-umur tidak ada yang pernah meremehkan ide-idenya. Seandainya bukan atasan sekaligus anak presdir, mungkin Resta sudah mencekik leher pria tampan itu saat ini juga. Sial! Tampan, tapi tak punya adab. "Kalau memang Bapak tidak menyetujui ide ini, kenapa Bapak meminta saya data
Dengan wajah tertekuk Resta berjalan seraya memeluk boks berisi perlengkapan kerjanya. Hari ini dia resmi menjadi salah satu staf divisi finansial di bawah kepemimpinan Gyan Jagland yang naudzubillah nyebelin itu. Sampai di titik ini Resta sudah berusaha agar dirinya tidak dipindahkan. Mulai dari membujuk Sella, sektretaris Gyan agar mau membantunya bicara ke atasan sampai dia rela menungguin Gyan muncul di lobi. Namun, hasilnya nihil. "Sampai bertemu besok di divisi finansial." Itu ucapan Gyan sebelum Resta mengungkapkan keberatannya untuk ke sekian kali. Lalu pria itu bergegas pergi, tanpa menghiraukan Resta yang pasang muka memelas. Dan pagi ini dengan sangat terpaksa heels lima senti yang dia kenakan mengetuk lantai 12 di mana sarang singa itu berada. Salah seorang staf administrasi menunjukkan kubikel baru untuk Resta dengan wajah riang. Seolah memberi ucapan selamat datang di neraka kepada Resta. "Selamat bergabung. Untuk pekerjaan biasanya akan kamu terima by email," ucap
Kejadian makan siang di gerobak soto ayam membuat Resta berada di ruangan Gyan dengan kepala menunduk. Matanya menatap ujung sepatunya yang sejajar seolah saling menguatkan. Bulir-bulir keringat dingin mulai membanjiri kening Resta. Air conditioner di ruangan ini seperti tidak berfungsi dengan baik. Hawa di sini begitu mencekam. Resta menelan ludah melihat Gyan menatapnya lurus tanpa suara. Mata biru itu menghujamnya begitu dalam. Andai mata itu bisa mengeluarkan tembakan, pasti pelurunya sudah menembus kepala Resta. "Apa kejadian kemarin nggak bisa jadi pelajaran buat kamu, Resta?" tanya Gyan dengan suara dalam dan tegas. "Kalian tidak ada kerjaan lain selain ngomongin atasan yang mungkin saja bisa memecat kalian kapan saja?" "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud bicara nggak sopan sama Bapak. Itu ucapan refleks, Pak," sahut Resta seraya mencoba mengangkat kepala, tapi hanya bertahan sebentar lalu menunduk lagi. Gyan menyandarkan punggung ke kursi sembari menggelengkan kepala. Kalau s
Gyan menghela napas panjang saat lagi-lagi harus ke kelab untuk menjemput orang mabuk. Orang dari kelab menelepon mengatakan May tengah mabuk parah. Sebenarnya Gyan sudah tidak mau direpotkan dengan urusan May lagi. Namun, demi hati nurani dan untuk menghargai waktu dua tahun yang pernah mereka lewati bersama, Gyan menyambangi kelab sialan itu lagi. May tidak sendiri ketika Gyan sampai. Seorang pria tengah menemani minum. Pria yang sama dengan waktu itu. Namun begitu melihat kemunculan Gyan, pria itu langsung pergi setelah sebelumnya mencium samar pelipis May. "Hai, Pacar," sapa May tersenyum. "Mau minum bareng? Udah lama kan kita nggak minum bareng. Pacarku kan direktur Blue Jagland yang sibuknya ngalahin presiden. Hei, Braco! Kamu tau Blue Jagland nggak?" tanya May pada bartender yang sibuk membuat pesanan. Bartender itu hanya tersenyum dan mengabaikan May yang kembali menuang minuman ke gelas. "Gy, sini dong. Kenapa cuma berdiri? Ayo, minum sama aku." May berusaha turun dari st
Hampir saja Resta muntah mendengar ucapan penuh percaya diri bosnya. Naksir pria itu bilang? Perlu pertapa tahunan buat naksir sama pria seperti Gyan. Wanita di dunia ini bakal terkecoh dengan paras malaikat dan mata birunya, tapi kalau sudah tahu aslinya Resta yakin seratus persen siapa pun ogah berdekatan dengan anak presdir itu. Resta berani taruhan. Menanggapi ucapan asal Gyan, Resta memilih memalingkan muka ke layar komputer lagi. Memutuskan tidak ingin berurusan dengan pria itu. Apalagi sekarang masih pagi. Tidak baik untuk kesehatan mental. Tapi... "Ikut ke ruangan saya," ucap Gyan yang sontak membuat Resta mendongak. "Saya, Pak?" "Ya iya. Memang siapa lagi?" delik Gyan dengan mata yang hampir keluar dari rongganya. Bibir Resta manyun seketika. Pagi indah yang dia harapkan buyar. Ini pasti gara-gara gosip pagi yang Joana sebar. Dengan gerakan ogah-ogahan Resta keluar dari rongga antara meja dan kursi. Mengikuti langkah Gyan yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangannya.
"Nggak bisa gue." "Lah napa?" "Kayaknya ini hari tersinting gue deh, Jo. Lo sih pagi-pagi pake bawa gosip soal si bos. Gue jadi kayak kena tulah sial." Resta berani taruhan Joana di ujung telepon sana pasti sedang mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya, Botol Kecap?" pertanyaan ajaib Joana keluar. Dari sini Resta menghela napas panjang. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi banyak pekerjaan yang Gyan limpahkan padanya. Mood pria arogan itu sepertinya sedang kacau gara-gara Pak Jamet yang ternyata ketahuan menyelundupkan dana perusahaan. Resta tidak habis pikir. Sebenarnya Gyan itu detektif atau pimpinan sih? Baru juga dua hari Resta bergabung di divisi ini dia sudah melihat tiga orang kena tumbal makian Gyan. "Gue lagi disandera si bos," sahut Resta asal, sambil membuka sebuah file di layar komputer. "Maksud lo?" "Gue lagi gantiin Sella. Tuh cewek lagi dirawat di RS, keracunan makanan. Dan sekarang gue yang jadi tumbal buat gantiin kerjaan dia. Astaga, kerjaannya seabr
Resta melongo di tempat. Sejujurnya dia tidak ingin menjadi orang udik begini. Akan tetapi keadaan yang memaksa. Belum lagi sepanjang turun dari lantai paling atas gedung semua mata seolah tertuju padanya. Ya, itu memang cuma perasaannya saja. Aslinya yang menjadi pusat perhatian tentu saja orang nomor satu di Blue Jagland. Daniel Jagland dan putranya. Resta hanya kecipratan saja karena mengekori mereka."Ikut mobil papi?" tanya Daniel ketika dia dan rombongannya sampai di teras gedung. Mercedes-Benz series terbaru pria tua itu sudah berdiri anggun dengan supir di sampingnya."Aku sama Resta menyusul saja nanti," sahut Gyan kalem.Daniel tidak memaksa. "Kalau gitu hati-hati bawa mobilnya," pungkasnya sebelum bergerak masuk ke dalam mobil.Sampai sang papi pergi, Gyan masih berdiri di teras. Tepat ketika mobil itu tak terlihat lagi, dia baru beringsut menuju mobilnya yang berada di parkir khusus direksi.Gyan berbalik ketika Resta masih mematung. "Kenapa masih diam?"Wanita itu tersent
Resta melotot ketika Gyan memberikan setumpuk berkas ke hadapannya. Seketika wajah cantiknya bersungut-sungut. Dengan pasrah dia menatap layar ponsel yang berisi pesan dari Reno-pacarnya. Entah sudah berapa kali dia menggagalkan rencana pertemuan mereka. Ini hari ketiga Resta menggantikan Sella dan berharap menjadi hari terakhir. Sumpah demi apa pun lebih nyaman jadi staf biasa daripada menjadi sekretaris bos yang gila kerja seperti Gyan. Dua hari ini dia pulang larut gara-gara mengikuti jam pulang Gyan yang tidak tahu waktu. Beruntung dua hari kemarin Joana juga lembur jadi pulangnya wanita itu bisa nebeng. 'Sekretaris baru boleh pulang kalau bosnya sudah pulang.' Itu yang Gyan ucapkan. Sialnya Gyan tidak pernah pulang kurang dari pukul sepuluh malam. Resta terpaksa menunggui pria itu. Seperti malam ini. Pekerjaannya sudah selesai sekitar tiga puluh menit lalu, tapi pintu ruang direktur keuangan masih tertutup rapat. Dia mencoba peruntungan menghubungi Gyan melalui interkom di me