"Tiga tahun saya berkecimpung di marketing belum ada ide sepayah yang ini."
Telunjuk Gyan terarah ke proposal di atas meja. Hanya membaca satu halaman saja dia bisa tahu ide macam apa yang wanita dengan kepercayaan diri tinggi itu buat.Resta melebarkan mata mendengar ucapan meremehkan yang Gyan lontarkan."Fresh katamu?" Sudut bibir Gyan terangkat. Seringai iblisnya muncul. "Ide seperti itu tidak terpakai di Blue Jagland Kanada. Ide sampah yang sangat ketinggalan jaman."Sontak Resta ternganga. Menatap proposalnya yang Gyan campakkan begitu saja. Dua tangan di sisi tubuhnya refleks mengepal. Hidung runcingnya kembang-kempis menahan geram. Mati-matian dia menahan untuk tidak menerjang pria pongah itu. Seumur-umur tidak ada yang pernah meremehkan ide-idenya. Seandainya bukan atasan sekaligus anak presdir, mungkin Resta sudah mencekik leher pria tampan itu saat ini juga.Sial! Tampan, tapi tak punya adab."Kalau memang Bapak tidak menyetujui ide ini, kenapa Bapak meminta saya datang mengantar proposal itu kembali?" Dengan sisa-sisa kewarasannya, Resta kembali bersuara.Lagi-lagi Gyan menyeringai. "Saya cuma ingin tau usaha kamu untuk memaksa saya menandatangani proposal itu. Bukankah itu sesumbar yang kamu katakan ke temanmu?"Perkataan itu cukup membuat Resta terkesiap. Matanya membelalak dan tubuhnya mendadak merinding seketika. Resta menelan ludah kepayahan. Rasanya dia ingin tenggelam ke dasar bumi sekarang juga.Ba-bagaimana direktur itu bisa tahu kalau..."Kenapa? Buktiin dong perkataanmu itu." Gyan menyeringai menang. Dia sedikit mencondongkan badan. Mata birunya menyipit. "Atau kamu itu memang cuma bisa ngomong besar doang?"Resta gelagapan. Dia tidak bisa menyahut lantang. Posisinya benar-benar seperti di tepi jurang sekarang"Resta Damara. Staf marketing tim B yang katanya punya otak brilian. Tunjukkan kepintaranmu itu di depan direktur killer yang cuma bisa berlindung di bawah ketiak bapaknya doang. Ayo!"Mampus! Resta memejamkan mata sambil memalingkan muka. Tamat riwayatnya sekarang. Dia merutuk dalam hati kebodohan yang sudah dia lakukan. Baru kali ini dia merasa terintimidasi oleh ucapannya sendiri."Kenapa cuma diam?!" sentak Gyan dengan suara meninggi.Resta melonjak kaget. Jantungnya merosot ke dengkul seketika. Sekuat tenaga dia mencoba tenang. Dia sadar betul dirinya salah. Dan sekarang dia tahu alasan direktur keuangan itu memanggilnya kemari."P-Pak, saya minta maaf," ucapnya menunduk. Tidak ada pembelaan. Semua yang Gyan lontarkan memang pernah keluar dari mulutnya yang kadang penuh musibah."Seandainya memaafkan itu semudah membalik telapak tangan," sahut Gyan memutar-mutar kursinya. "Penjara kosong."Resta terperanjat mendengar kata 'penjara' disebut. "Ba-bapak mau memenjarakan saya?" tanyanya terbata. Sungguh dia tidak ada maksud apa pun kecuali hanya menumpahkan kekesalannya sesaat."Bila perlu iya. Tindakanmu sudah bisa masuk dalam pasal perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik.""Tapi, Pak. Saya tidak bermaksud begitu.""Yang kamu katakan sudah melukai harga diri saya!" bentak Gyan, membuat Resta refleks memejamkan mata."Sa-saya minta maaf. Saya mohon Bapak tidak memperpanjang masalah ini. Saya janji akan melakukan apa pun demi mendapat maaf bapak."Taring Resta Damara rontok di depan Gyan Elvaro Jagland. Sikapnya yang terkenal pemberani menguap seketika.Untuk beberapa saat Gyan tampak terdiam memandangi wanita berambut legam itu. Tawaran Resta menarik. Dan sepertinya dia harus memberi sedikit pelajaran kepada wanita itu. Resta harus tahu bahwa Gyan Jagland tidak bisa diremehkan begitu saja."Hm, oke. Buktikan ucapan kamu.""Saya akan buktikan. Saya berjanji akan menaikkan omset penjualan. Saya—""Saya tidak butuh itu," gunting Gyan cepat. Membuat Resta sontak urung melanjutkan kata-katanya. "Mulai besok kamu pindah ke divisi finansial."Untuk kesekian kalinya Resta terbelalak. "P-pindah?""Ya. Pindah.""Tapi kenapa, Pak?""Kamu mau dapat maaf dari saya kan?""Iya. Tapi kenapa harus pindah?""Apa pun alasannya saya tidak wajib memberitahu kamu. Tugasmu cuma membuktikan perkataan awalmu. Bukannya kamu bilang akan melakukan apa pun demi mendapat maaf dari saya?"Wanita itu kembali kehilangan kata-kata. Lagi-lagi ucapannya bak boomerang buat dirinya sendiri.Ya Tuhan, pindah ke divisi finansial? 7x8 dan 8x9 saja hasilnya masih ketuker. Bagaimana caranya dia bisa tahan memelototi deretan angka ghaib dengan nol sepanjang gerbong kereta api?***Mata biru Gyan mencelang, menatap gedung tinggi hotel di hadapannya. Bibirnya merapat, sementara wajahnya sedatar biasanya. Derap langkahnya yang tegas menapaki lantai lobi gedung itu. Dari lobi dia bergerak ke sayap kiri melewati deretan pintu lift dan berakhir memasuki lift paling ujung.Kotak besi itu membawanya menuju lantai 10, di mana kelab malam berada. Kelab yang menyatu dengan hotel. Tidak membutuhkan waktu lama, pria yang masih mengenakan kemeja berbalut vest itu sampai ke tempat tujuan.Lorong lantai sepuluh tidak terlalu ramai, tapi siapa sangka saat dia melewati gate yang dijaga dua orang berbadan besar suasana di balik gate tersebut terlihat begitu riuh.Dengan penerangan seadanya mata biru Gyan menyisir tempat bising itu. Lampu warna-warni menyorot ke sana ke mari, membuat matanya tak nyaman. Belum lagi musiknya yang mengentak dan bau rokok di mana-mana. Gyan menduga cerobong asap di sini kurang memadai untuk menampung perokok aktif yang sembarangan membuang asap.Gyan melangkah lebar-lebar mendekati salah satu table. Mengabaikan tatapan wanita-wanita genit di setiap sudut kelab. Rahangnya mengatup rapat saat matanya menemukan seorang wanita tengah berpelukan mesra dengan seorang pria.Dia berhenti tepat di hadapan wanita itu dengan bola mata yang nyaris keluar dari tempatnya."Kali ini nggak ada kesempatan lagi, May," ucapnya tegas, dan penuh dengan penekanan.Wanita yang berada di pelukan seorang pria itu terkesiap saat menyadari kedatangan Gyan. "Astaga! Sayang! Kok kamu ada di sini?!"Tanpa rasa bersalah wanita itu menyingkir dari pria yang bersamanya, lalu menghampiri Gyan dan langsung mengecup pipi pria itu. Dua lengannya langsung mengalung di leher Gyan. "Kenapa nggak bilang sih kalau mau datang? Aku kan bisa nyambut kamu," katanya dengan nada manja.Gyan melirik pria di belakang punggung wanita itu yang diam-diam menyingkir pergi. "Siapa dia?" tanya Gyan dingin.Wanita yang dipanggil May itu tersenyum. "Bukan siapa-siapa, hanya pria kesepian yang lagi cari hiburan di luar.""Dan kamu penghiburnya?" Alis Gyan terangkat sebelah."Aah, Sayang. Aku juga sama kesepian karena kamu tinggal kerja terus. Aku juga butuh hiburan.""Tapi caramu menghibur diri nggak masuk di aku. Aku capek memberimu kesempatan. Jadi, detik ini juga aku bebaskan kamu melakukan apa pun sesuka hati kamu."Wanita dengan softlens abu itu tampak terkejut. "Maksudnya?""We're over!"Rangkulan pada leher Gyan terlepas. "Nggak bisa gitu dong, Gy!""Apanya yang nggak bisa? Kamu pikir aku suka melihat pacarku bermesraan dengan laki-laki lain? Dan ini bukan pertama kalinya kalau kamu lupa.""Astaga, Gy! Mereka cuma hiburan. Yang aku cinta itu kamu! Kamu juga bisa melakukan hal sama, asal kamu berakhir denganku."Sudut bibir Gyan terangkat. Dia benar-benar tak habis mengerti kenapa masih bisa percaya pada wanita di hadapannya ini."Itu bukan caraku. Sori, jalan kita sudah beda. Entah cinta macam apa yang kamu bicarakan itu." Setelah mengatakan itu Gyan berbalik dan melangkah pergi."Gyan! Kamu nggak bisa seenaknya mutusin aku gitu!" teriak May tak terima. Dengan cepat dia mengejar langkah Gyan. Namun, dia kurang beruntung. Saking cepatnya berjalan wanita itu tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur.Kejadian itu cukup membuat gaduh. Bahkan Gyan yang berada beberapa langkah di depan wanita itu sampai menoleh. Namun seakan tidak peduli, dia pun kembali melangkah.Dengan wajah tertekuk Resta berjalan seraya memeluk boks berisi perlengkapan kerjanya. Hari ini dia resmi menjadi salah satu staf divisi finansial di bawah kepemimpinan Gyan Jagland yang naudzubillah nyebelin itu. Sampai di titik ini Resta sudah berusaha agar dirinya tidak dipindahkan. Mulai dari membujuk Sella, sektretaris Gyan agar mau membantunya bicara ke atasan sampai dia rela menungguin Gyan muncul di lobi. Namun, hasilnya nihil. "Sampai bertemu besok di divisi finansial." Itu ucapan Gyan sebelum Resta mengungkapkan keberatannya untuk ke sekian kali. Lalu pria itu bergegas pergi, tanpa menghiraukan Resta yang pasang muka memelas. Dan pagi ini dengan sangat terpaksa heels lima senti yang dia kenakan mengetuk lantai 12 di mana sarang singa itu berada. Salah seorang staf administrasi menunjukkan kubikel baru untuk Resta dengan wajah riang. Seolah memberi ucapan selamat datang di neraka kepada Resta. "Selamat bergabung. Untuk pekerjaan biasanya akan kamu terima by email," ucap
Kejadian makan siang di gerobak soto ayam membuat Resta berada di ruangan Gyan dengan kepala menunduk. Matanya menatap ujung sepatunya yang sejajar seolah saling menguatkan. Bulir-bulir keringat dingin mulai membanjiri kening Resta. Air conditioner di ruangan ini seperti tidak berfungsi dengan baik. Hawa di sini begitu mencekam. Resta menelan ludah melihat Gyan menatapnya lurus tanpa suara. Mata biru itu menghujamnya begitu dalam. Andai mata itu bisa mengeluarkan tembakan, pasti pelurunya sudah menembus kepala Resta. "Apa kejadian kemarin nggak bisa jadi pelajaran buat kamu, Resta?" tanya Gyan dengan suara dalam dan tegas. "Kalian tidak ada kerjaan lain selain ngomongin atasan yang mungkin saja bisa memecat kalian kapan saja?" "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud bicara nggak sopan sama Bapak. Itu ucapan refleks, Pak," sahut Resta seraya mencoba mengangkat kepala, tapi hanya bertahan sebentar lalu menunduk lagi. Gyan menyandarkan punggung ke kursi sembari menggelengkan kepala. Kalau s
Gyan menghela napas panjang saat lagi-lagi harus ke kelab untuk menjemput orang mabuk. Orang dari kelab menelepon mengatakan May tengah mabuk parah. Sebenarnya Gyan sudah tidak mau direpotkan dengan urusan May lagi. Namun, demi hati nurani dan untuk menghargai waktu dua tahun yang pernah mereka lewati bersama, Gyan menyambangi kelab sialan itu lagi. May tidak sendiri ketika Gyan sampai. Seorang pria tengah menemani minum. Pria yang sama dengan waktu itu. Namun begitu melihat kemunculan Gyan, pria itu langsung pergi setelah sebelumnya mencium samar pelipis May. "Hai, Pacar," sapa May tersenyum. "Mau minum bareng? Udah lama kan kita nggak minum bareng. Pacarku kan direktur Blue Jagland yang sibuknya ngalahin presiden. Hei, Braco! Kamu tau Blue Jagland nggak?" tanya May pada bartender yang sibuk membuat pesanan. Bartender itu hanya tersenyum dan mengabaikan May yang kembali menuang minuman ke gelas. "Gy, sini dong. Kenapa cuma berdiri? Ayo, minum sama aku." May berusaha turun dari st
Hampir saja Resta muntah mendengar ucapan penuh percaya diri bosnya. Naksir pria itu bilang? Perlu pertapa tahunan buat naksir sama pria seperti Gyan. Wanita di dunia ini bakal terkecoh dengan paras malaikat dan mata birunya, tapi kalau sudah tahu aslinya Resta yakin seratus persen siapa pun ogah berdekatan dengan anak presdir itu. Resta berani taruhan. Menanggapi ucapan asal Gyan, Resta memilih memalingkan muka ke layar komputer lagi. Memutuskan tidak ingin berurusan dengan pria itu. Apalagi sekarang masih pagi. Tidak baik untuk kesehatan mental. Tapi... "Ikut ke ruangan saya," ucap Gyan yang sontak membuat Resta mendongak. "Saya, Pak?" "Ya iya. Memang siapa lagi?" delik Gyan dengan mata yang hampir keluar dari rongganya. Bibir Resta manyun seketika. Pagi indah yang dia harapkan buyar. Ini pasti gara-gara gosip pagi yang Joana sebar. Dengan gerakan ogah-ogahan Resta keluar dari rongga antara meja dan kursi. Mengikuti langkah Gyan yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruangannya.
"Nggak bisa gue." "Lah napa?" "Kayaknya ini hari tersinting gue deh, Jo. Lo sih pagi-pagi pake bawa gosip soal si bos. Gue jadi kayak kena tulah sial." Resta berani taruhan Joana di ujung telepon sana pasti sedang mengernyitkan dahi. "Apa hubungannya, Botol Kecap?" pertanyaan ajaib Joana keluar. Dari sini Resta menghela napas panjang. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi banyak pekerjaan yang Gyan limpahkan padanya. Mood pria arogan itu sepertinya sedang kacau gara-gara Pak Jamet yang ternyata ketahuan menyelundupkan dana perusahaan. Resta tidak habis pikir. Sebenarnya Gyan itu detektif atau pimpinan sih? Baru juga dua hari Resta bergabung di divisi ini dia sudah melihat tiga orang kena tumbal makian Gyan. "Gue lagi disandera si bos," sahut Resta asal, sambil membuka sebuah file di layar komputer. "Maksud lo?" "Gue lagi gantiin Sella. Tuh cewek lagi dirawat di RS, keracunan makanan. Dan sekarang gue yang jadi tumbal buat gantiin kerjaan dia. Astaga, kerjaannya seabr
Resta melongo di tempat. Sejujurnya dia tidak ingin menjadi orang udik begini. Akan tetapi keadaan yang memaksa. Belum lagi sepanjang turun dari lantai paling atas gedung semua mata seolah tertuju padanya. Ya, itu memang cuma perasaannya saja. Aslinya yang menjadi pusat perhatian tentu saja orang nomor satu di Blue Jagland. Daniel Jagland dan putranya. Resta hanya kecipratan saja karena mengekori mereka."Ikut mobil papi?" tanya Daniel ketika dia dan rombongannya sampai di teras gedung. Mercedes-Benz series terbaru pria tua itu sudah berdiri anggun dengan supir di sampingnya."Aku sama Resta menyusul saja nanti," sahut Gyan kalem.Daniel tidak memaksa. "Kalau gitu hati-hati bawa mobilnya," pungkasnya sebelum bergerak masuk ke dalam mobil.Sampai sang papi pergi, Gyan masih berdiri di teras. Tepat ketika mobil itu tak terlihat lagi, dia baru beringsut menuju mobilnya yang berada di parkir khusus direksi.Gyan berbalik ketika Resta masih mematung. "Kenapa masih diam?"Wanita itu tersent
Resta melotot ketika Gyan memberikan setumpuk berkas ke hadapannya. Seketika wajah cantiknya bersungut-sungut. Dengan pasrah dia menatap layar ponsel yang berisi pesan dari Reno-pacarnya. Entah sudah berapa kali dia menggagalkan rencana pertemuan mereka. Ini hari ketiga Resta menggantikan Sella dan berharap menjadi hari terakhir. Sumpah demi apa pun lebih nyaman jadi staf biasa daripada menjadi sekretaris bos yang gila kerja seperti Gyan. Dua hari ini dia pulang larut gara-gara mengikuti jam pulang Gyan yang tidak tahu waktu. Beruntung dua hari kemarin Joana juga lembur jadi pulangnya wanita itu bisa nebeng. 'Sekretaris baru boleh pulang kalau bosnya sudah pulang.' Itu yang Gyan ucapkan. Sialnya Gyan tidak pernah pulang kurang dari pukul sepuluh malam. Resta terpaksa menunggui pria itu. Seperti malam ini. Pekerjaannya sudah selesai sekitar tiga puluh menit lalu, tapi pintu ruang direktur keuangan masih tertutup rapat. Dia mencoba peruntungan menghubungi Gyan melalui interkom di me
Akhirnya Resta bisa bernapas lega ketika hari kelima Sella muncul. Sekretaris direktur keuangan itu terlihat segar bugar. Tidak seperti orang habis sakit. Bahkan sekarang rambutnya diombre cokelat terang di bagian ujungnya."Thanks ya, Res. Lo udah mau handle kerjaan gue," ujar Sella ketika Resta menanyakan keadaannya. "Gimana? Enak kan jadi sekretaris?"Resta tidak langsung menjawab. Ujung matanya malah melirik kanan kiri. Lalu ketika merasa aman dia bersuara sambil mencondongkan tubuh ke dekat Sella."Amit-amit. Kalau jadi sekretaris Pak Bambang mungkin iya enak. Atau jadi sekretaris Pak Daniel sekalian. Tapi kalau bos lo itu... cukup empat hari kemarin aja dan nggak mau-mau lagi."Sella cekikikan melihat muka ekspresif Resta yang totalitas banget unlike seorang Gyan Jagland. Sebenarnya yang Resta rasakan dia juga merasakan. Tapi karena sudah terbiasa sejak tujuh bulan terakhir, Sella fine-fine saja dan mulai bisa mengikuti ritme kerja anak presdir itu."Tapi nggak semua menyebalkan