Liana melihat sepatu hitam mengkilap terkesan mahal berada dibawah pandangnya membuatnya mendongak, pandangan mereka saling bertemu.
Kakinya ingin melangkah mundur namun terasa berat, dirinya membeku di tempat sambil menatap sorot tajam dan dingin itu. Jantung Liana seperti dipaksa berpacu, seolah dapat meledak kapan saja menghadapi tatapan dingin dari pria di depannya tersebut. Wangi musk khas David yang tak pernah berubah kembali tercium dan terpancar dari tubuh David yang begitu dekat. Terkesan hangat, maskulin, sedikit manis sekali lagi menerobos indra penciuman Liana menambahkan efek debaran dalam jantungnya yang seolah memaksa akalnya untuk mengenang hal yang sama. Pria di depannya ini sungguh adalah kekasih yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Tidak disangka akan kembali bertemu dengan cara seperti ini. Meski sekeras apapun dia berusaha menghindar. Aroma khas parfurm ditubuhnya itu tentu saja tidak terlupakan juga tidak sedikitpun berubah. David mencondongkan tubunya kearah Liana. Wajahnya mendekat ketelinga gadis itu. "Masih sama.. Tidak berubah." Bisiknya di telinga Liana membuat wajahnya merah padam dengan mata terbuka lebar. Liana semakin membeku. Namun dipecahkan oleh suara pintu lift yang terbuka. Ting. David menarik diri dan berbalik berjalan masuk ke dalam lift. "Mau sampai kapan berdiri di situ?" David mengernyit kearah Liana dengan pandangan yang tetap dingin. Jarinya menekan penahan pintu lift agar tetap terbuka. Menunggu gadis tersebut masuk. "Masuk!" Suaranya sedikit ditinggikan. "A-ah.. Ma-maaf.." Liana yang linglung karena apa yang varu saja terjadi pun segera sadar dan bergegas masuk. Dia berdiri dipaling ujung menjaga jarak sangat jauh sedangkan David berdiri di dekat tombol lift menekan nomor 23. Suasana kembali hening. Menyadari jarak yang diciptakan Liana terlihat dari pantulan kaca di depannya menampilkan gadis di ujung sudut itu sedang menunduk memainkan jemarinya menjepit satu sama lain membuat David mendengus kesal. 'Sebegitunya tidak ingin dekat denganku kah?' Batin David dengan kesal. "Ekhm.." David berdeham memecah keheningan. Liana mendongak menatap pria itu yang berdeham tanpa menoleh kearahnya. "Sudah sampai." David dengan tenang, singkat, padat dan jelas tanpa menengok kebelakang lalu melangkahkan kaki keluar. Liana menatap layar berisikan pemberitahuan lantai 23 bahwa mereka telah sampai pada tujuan. Liana hanya mengangguk polos meski dalam hatinya masih ada perasaan resah gelisah. Dia bergegas mengikuti dari belakang kali ini pandangannya lurus kedepan menatap sosok pria mengagumkan di depannya yang begitu ia kenali sekaligus asing, takut kejadian barusan yang sama terulang kembali. Ruang CEO berada di ujung koridor menambqh kesan introvert, dingin serta misterius. Letaknya sangat cocok dengan kepribadian David yang tenang, pendiam dan penuhmisteri. Sepanjang langkah kaki mereka, mata Liana menatap menjelajahi dinding koridor tersebut dengan kagum dan takjub seraya sinar mulai menerangi koridor tersebut secara bertahap. Dinding berwarna setengah putih pada bagian atasnya dan emas di bagian bawahnya dengan rak kaca berisikan piagam dan beberapa penghargaan serta foto - foto David dan para karyawannya dalam berbagai acara yang mungkin adalah acara amal atau penerimaan penghargaan. Ada juga ulang tahun perusahaan dari waktu ke waktu terpajang diseling dengan lampu - lampu berukuran sedang bertema seperti lampion yang mahal dan dikuir dengan indah yang memancarkan sinar keemasan menempel di setiap beberapa jarak dari dinding - dinding tersebut menambahkan kesan elegan disekitarnya. Langkah demi langkah membuat lampu berbentuk bulat di langit- langit atas menyala seiring dengan suara langkah mereka membuat suasana lebih mewah dan mengagumkan seolah nenyambut kedatangan CEO mereka secara hormat. Liana kembali memfokuskan pandangan kedepan. Sosok David berhenti di depan pintu ganda. Pintu agak tinggi dan besar yang terkesan kokoh dan kuat dengan sandi kartu akses pribadi. Klik. Pintu yang didorong oleh tangan yang tegas jari yang ramoing nan indah memikat itu terbuka, design interior ruangan tersebut tak kalah memikat. Liana memandangi ruangan bernuansa hitam putih yang cocok dengan vibes David dengan tatanan benda - benda yang tertata rapih dan terlihat pas, salah satu sisi adalah kaca besar yang dapat menunjukkan satu kota Lincoln. Sungguh indah dan menakjubkan. "Lihat apa? Masuklah!" Suara nan tenang namun dingin tersebut memerintah dengan mrmbawa wibawa memecah penjelajahan Liana pada ruang di depannya. Liana pun masuk ke dalam dengan perasaan tegang. David duduk di belakang meja kerjanya. Sosoknya yang mengesankan bak dewa yang sedang duduk di singgasananya sebagai si pemengang tahta tertinggi sedang mengetuk - ngetukkan jarinya di mejanya. Salah satu tangannya memegang IPadnya, dan matanya menatap lurus dingin dan tajam kearah Liana. Membuat Liana seolah hanya seperti manusia biasa yang penuh dosa menunggu hukuman. Dia pun berhenti pada jarak yang lumayan jauh dengan kepala tertunduk. Jemarinya yang lentik dan cantik dimainkan tanda gerogi. David mengamati ekspresi gadis di depannya tersebut kemudian mendengus kesal. Lalu setelahnya pandangannya kembali dingin. "Nona Edsel..." Panggil David dengan dingin. Mata tajamnya seolah mengunci satu target tak pernah lepas dari objek tersebut. Deg Seolah sesuatu menghantam hati Liana. 'Nona Edsel?' Batinnya, hatinya seolah diremas dan dadanya ntah mengapa agak sesak. David mengernyit sebab tak mendapat respon dari gadis yang ia panggil. Kesabarannya seolah mulai terkikis. Dia berdiri dari duduknya menghasilkan suara roda tergesek lantai pada sisi bawah kursi mewah dan mahalnya, kemudian berjalan memutari meja menuju kearah gadis yang sedari tadi diam tak bergeming seolah tak punya kuping. Tanpa sadar pria itu menjulang tinggi di hadapannya, menutup gadis itu dengan bayangannya. "......."Liana's PoVHari ini aku sangat senang sekali.Setelah mencari kerja di berbagai tempat setelah kepulanganku ke kota kelahiranku ini, akhirnya aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang menjanjikan. Namun hari ini...Sungguh.. Sungguh sangat diluar dugaanku. Aku bertemu kembali dengan seorang Devan. Dia adalah kekasih yang aku tinggalkan dua tahun lalu dengan alasanku tersendiri.Ceritanya begitu panjang untuk diceritakan, mungkin panjangnya seperti struk belanja selama satu tahun lebih.Anehnya, hari ini aku baru mengetahui nama asli dan nama lengkap serta nama keluarganya. Itu, David Evans Hubert. Dan dia merupakan seorang CEO perusahaan besar raja bisnis di kota kami, Perusahaan Hubert tempatku diterima bekerja saat ini. Jadi rumor yang dulu aku dengar itu memang benar adanya.Dan lagi...Setelah menghilang selama dua tahun dan berusaha menghindar darinya. Aku tidak menyangka bahwa kami pada akhirnya akan dipertemukan lagi.Tapi... Mengapa harus dengan cara seperti ini
Liana's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kata - katanya membuatku mengerutkan dahi, sontak akupun mengangkat kepalaku dan mata kami saling bertemu pandang. Ada tatapan begitu rumit dari matanya, terasa seperti dibalik aura dingin dan suram itu jugq terselip kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Ntahlah, apa memang seperti itu atau mungkin hanya sekedar perasaanku belaka. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Kata demi kata ia lontarkan ntah kenapa seperti memberiku beban, setiap kata terasa sangat tajam seolah belati tajam melayang menusuk hati. Aku sungguh antara fokus tak fokus mendengarkannya. Karena memiliki perasaan aneh tiap kali dia bicara. Aku masih menatapnya dengan heran berusaha menerka - nerka maksudnya. Namun juga takut dan ragu dengan terkaanku sendiri. Sambil menerka nerka dalam hati, hal tersebut tanpa sadar membuat
David's PoV Hari ini cukup sibuk. Setumpuk dokumen yang terasa sangat menjengkelkan setiap kali aku melihat mereka seolah tidak ada habisnya dan tidak memberiku jeda untuk beristirahat sedikitpun. Terkadang beberapa orang juga masuk silih berganti meminta revisi atau ACC dariku. Aku memijat pelipisku agak sedikit penat. Tetapi sebenarnya kesibukan ini cukup membantuku melupakan sesuatu yang sangat ingin aku lupakan. Sesuatu yang selalu membuatku frustasi. Aku mencoba kembali fokus memeriksa setiap dokumen kerja sama dan dokumen lainnya dengan seksama, juga beberapa dokumen dan surat - surat yang juga menunggu untuk direvisi. Saat sedang asik dengan duniaku, tiba - tiba saja Wilson datang. Tentu saja, apalagi kalau bukan membawa setumpuk kertas untuk kulihat. Namun kali ini dia membawa sesuatu yang menarik perhatian serta pendengaranku. Seolah merangsang ingatan lama kembali memenuhi pikiranku. Ya.. Pikiran yang telah lama ingin akh lupakan dan kubur dalam - dalam tentang ha
David's PoVSaat dia membalikkan badan untuk menyapaku matanya yang terbuka lebar mungkin terkejut melihatku, ekspresi itu membuatku berdegup kencang ntah mengapa. Namun. Aku masih menatapnya dengan dingin dan agak kesal. Aku mencoba menerka - nerka isi hatinya, namun tak bisa. Kedua mata kami saling bertemu pandang, ku tatap lekat mata indahnya yang merupakan perpaduan coklat keemasan. Mata elegan yang meneduhkan itu, mata yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali menatapnya. Dia sedikit banyaknya telah berubah, kamu sungguh menjadi lebih dewasa dengan bentuk tubuh yang semakin indah. Sial! Liana, jika seperti ini pasti akan ada banyak pria yang jatuh cinta padamu. Bagaimanapun juga, aku... Aku.. Aku sedikit frustasi memikirkan kemungkinan - kemungkinan tersebut. Terbesit rasa sakit dan sedih serta kemarahan dalam saat aku menatapnya, juga ada kecemasan serta rasa lainnya yang tak dapat ku mengerti. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Lalu liana buru - buru meme
David's PoV Kali ini tak sedikitpun terbesit dalam benakku tentang sebuah niatan untuk melepaskanmu. Yang ada akan ku pastikan kamu selalu dalam genggamanku. Liana... Sungguh jangan harap kamu bisa melarikan diri lagi kali ini. Aku akan meminta semua pertanggung jawaban atas rasa sakitku. Mataku masih asik memandanginya yang tentu saja sedang melamun, aku pun berdeham dan membuatnya sedikit tersentak dan tersadar. Kepala gadis itu menengadah keatas dan pandangannya bertemu dengan tatapanku yang sedari tadi menatapnya dengan dingin dengan berbagai pikiran dalam benakku. Dan ntahlah, apa dia sadar atau tidak bahwa setiap kata yang ku lontarkan untuknya merupakan sebuah 'sindiran'. Aku tak mempedulikan orang disekitar, fokusku hanya tertuju padanya. Tak peduli pemikiran orang ketiga diantara kami itu. "Nona Liana, nanti akan ada orang yang antar untuk mengarahkan dan memberitahu letak ruang kerja—" Mendengar Harry bicara seperti itu, aku memotongnya tak memberi kesempatan untu
David's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kataku remeh dan sinis. Mendengar hal tersebut dia mendongak mengerutkan dahi, mata kami saling bertemu pandang. Namun begitu menatap mata indah gadis tersebut aku merasa ada kesedihan dihatiku juga kerinduan yang mendalam. Liana.. Aku benar - benar tak bisa membencimu sepenuhnya. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Aku buru - buru mengubah diri ke mode dingin dan serius lagi. Dapatku lihat ada tatapan bingung dan rumit di wajah gadis manis tersebut, ntah mengerti atau tidak maksud perkataanku. Namun tatapannya juga sedikit kosong. Apa dia melamun? "Ekhmm.." tanganku mengepal menutupi mulut gaya khas orang berdeham. "Ah?!.." dia menggelengkan kepala seperti seseorang yang berusaha mengumpulkan kembali fokus dan nyawanya. Aku mengubah ekspresiku menjadi santai. Sekali lagi berdeham. "Ek
Liana's PoV Hari ini sungguh sangat melelahkan. Ntah mengapa aku juga sedikit kesal. Sekujur tubuhku jadi sakit dan kaku, kakiku bahkan terasa lemas. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak terduga membuatku sangat lelah. Seolah dihantam sesuatu yang berat secara bertubi - tubi. Sungguh menguras tenaga dan emosiku. Ingin sekali segera ku hamburkan diri ke kasur. Aku sungguh tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Hari seperti ini akhirnya datang juga. Aku bingung harus apa dan bagaimana kedepannya. Akhirnya akupun berhasil keluar dari gedung tinggi di belakangku ini meskin agak gemetar sambil menghela nafas lega dan berusaha menenangkan diri. Ku raih ponsel yang ada di saku blazerku, lalu aku mengetik sesuatu mengirimkan pesan kepada seseorang yang selalu menjadi yang pertama tahu tentang semua keadaanku. Tempatku bersandar dikala tak satupun dapat seperti itu. 'Aku sudah selesai interview, dan langsung diterima. Besok mulai bekerja.
David duduk di Ruang kerjanya asik dengan dunianya, sebagai seorang CEO dia sangat sibuk. Tatapan dinginnya tersebut sungguh menusuk sampai - sampai jika tumpukan dokumen di depannya tersebut dapat berbicara mereka sudah pasti akan bergosip seperti persoalan sikap David seperti halnya para staff dan karyawannya. Meski demikian, dengan sikap dan sifat David yang seperti itu dirinya memiliki asisten pribadi kepercayaannya yang kesetiaan serta kesabarannya dalam bekerja dibawah tekanan David tersebut tidak perlu diuji dan diragukan lagi. Ya, dia adalah Wilson Hamilton. Suara ketukan pintu membuyarkan dunia serta keseriusan David. "Masuk" nadanya terdengar tenang namun tersirat kedinginan. Seketika pintu itu terbuka dan menampakkan sosok Wilson dengan setumpuk berkas dalam dekapannya. "Tuan David.. Maaf mengganggu.. Ini adalah ber—" belum selesai bicara Wilson sudah dipotong dengan dingin. "Tidak perlu minta maaf. Sejak kapan kamu tidak menggangguku?" David mendengus kesal
Liana's PoV Hari ini sungguh sangat melelahkan. Ntah mengapa aku juga sedikit kesal. Sekujur tubuhku jadi sakit dan kaku, kakiku bahkan terasa lemas. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak terduga membuatku sangat lelah. Seolah dihantam sesuatu yang berat secara bertubi - tubi. Sungguh menguras tenaga dan emosiku. Ingin sekali segera ku hamburkan diri ke kasur. Aku sungguh tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Hari seperti ini akhirnya datang juga. Aku bingung harus apa dan bagaimana kedepannya. Akhirnya akupun berhasil keluar dari gedung tinggi di belakangku ini meskin agak gemetar sambil menghela nafas lega dan berusaha menenangkan diri. Ku raih ponsel yang ada di saku blazerku, lalu aku mengetik sesuatu mengirimkan pesan kepada seseorang yang selalu menjadi yang pertama tahu tentang semua keadaanku. Tempatku bersandar dikala tak satupun dapat seperti itu. 'Aku sudah selesai interview, dan langsung diterima. Besok mulai bekerja.
David's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kataku remeh dan sinis. Mendengar hal tersebut dia mendongak mengerutkan dahi, mata kami saling bertemu pandang. Namun begitu menatap mata indah gadis tersebut aku merasa ada kesedihan dihatiku juga kerinduan yang mendalam. Liana.. Aku benar - benar tak bisa membencimu sepenuhnya. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Aku buru - buru mengubah diri ke mode dingin dan serius lagi. Dapatku lihat ada tatapan bingung dan rumit di wajah gadis manis tersebut, ntah mengerti atau tidak maksud perkataanku. Namun tatapannya juga sedikit kosong. Apa dia melamun? "Ekhmm.." tanganku mengepal menutupi mulut gaya khas orang berdeham. "Ah?!.." dia menggelengkan kepala seperti seseorang yang berusaha mengumpulkan kembali fokus dan nyawanya. Aku mengubah ekspresiku menjadi santai. Sekali lagi berdeham. "Ek
David's PoV Kali ini tak sedikitpun terbesit dalam benakku tentang sebuah niatan untuk melepaskanmu. Yang ada akan ku pastikan kamu selalu dalam genggamanku. Liana... Sungguh jangan harap kamu bisa melarikan diri lagi kali ini. Aku akan meminta semua pertanggung jawaban atas rasa sakitku. Mataku masih asik memandanginya yang tentu saja sedang melamun, aku pun berdeham dan membuatnya sedikit tersentak dan tersadar. Kepala gadis itu menengadah keatas dan pandangannya bertemu dengan tatapanku yang sedari tadi menatapnya dengan dingin dengan berbagai pikiran dalam benakku. Dan ntahlah, apa dia sadar atau tidak bahwa setiap kata yang ku lontarkan untuknya merupakan sebuah 'sindiran'. Aku tak mempedulikan orang disekitar, fokusku hanya tertuju padanya. Tak peduli pemikiran orang ketiga diantara kami itu. "Nona Liana, nanti akan ada orang yang antar untuk mengarahkan dan memberitahu letak ruang kerja—" Mendengar Harry bicara seperti itu, aku memotongnya tak memberi kesempatan untu
David's PoVSaat dia membalikkan badan untuk menyapaku matanya yang terbuka lebar mungkin terkejut melihatku, ekspresi itu membuatku berdegup kencang ntah mengapa. Namun. Aku masih menatapnya dengan dingin dan agak kesal. Aku mencoba menerka - nerka isi hatinya, namun tak bisa. Kedua mata kami saling bertemu pandang, ku tatap lekat mata indahnya yang merupakan perpaduan coklat keemasan. Mata elegan yang meneduhkan itu, mata yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali menatapnya. Dia sedikit banyaknya telah berubah, kamu sungguh menjadi lebih dewasa dengan bentuk tubuh yang semakin indah. Sial! Liana, jika seperti ini pasti akan ada banyak pria yang jatuh cinta padamu. Bagaimanapun juga, aku... Aku.. Aku sedikit frustasi memikirkan kemungkinan - kemungkinan tersebut. Terbesit rasa sakit dan sedih serta kemarahan dalam saat aku menatapnya, juga ada kecemasan serta rasa lainnya yang tak dapat ku mengerti. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Lalu liana buru - buru meme
David's PoV Hari ini cukup sibuk. Setumpuk dokumen yang terasa sangat menjengkelkan setiap kali aku melihat mereka seolah tidak ada habisnya dan tidak memberiku jeda untuk beristirahat sedikitpun. Terkadang beberapa orang juga masuk silih berganti meminta revisi atau ACC dariku. Aku memijat pelipisku agak sedikit penat. Tetapi sebenarnya kesibukan ini cukup membantuku melupakan sesuatu yang sangat ingin aku lupakan. Sesuatu yang selalu membuatku frustasi. Aku mencoba kembali fokus memeriksa setiap dokumen kerja sama dan dokumen lainnya dengan seksama, juga beberapa dokumen dan surat - surat yang juga menunggu untuk direvisi. Saat sedang asik dengan duniaku, tiba - tiba saja Wilson datang. Tentu saja, apalagi kalau bukan membawa setumpuk kertas untuk kulihat. Namun kali ini dia membawa sesuatu yang menarik perhatian serta pendengaranku. Seolah merangsang ingatan lama kembali memenuhi pikiranku. Ya.. Pikiran yang telah lama ingin akh lupakan dan kubur dalam - dalam tentang ha
Liana's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kata - katanya membuatku mengerutkan dahi, sontak akupun mengangkat kepalaku dan mata kami saling bertemu pandang. Ada tatapan begitu rumit dari matanya, terasa seperti dibalik aura dingin dan suram itu jugq terselip kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Ntahlah, apa memang seperti itu atau mungkin hanya sekedar perasaanku belaka. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Kata demi kata ia lontarkan ntah kenapa seperti memberiku beban, setiap kata terasa sangat tajam seolah belati tajam melayang menusuk hati. Aku sungguh antara fokus tak fokus mendengarkannya. Karena memiliki perasaan aneh tiap kali dia bicara. Aku masih menatapnya dengan heran berusaha menerka - nerka maksudnya. Namun juga takut dan ragu dengan terkaanku sendiri. Sambil menerka nerka dalam hati, hal tersebut tanpa sadar membuat
Liana's PoVHari ini aku sangat senang sekali.Setelah mencari kerja di berbagai tempat setelah kepulanganku ke kota kelahiranku ini, akhirnya aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang menjanjikan. Namun hari ini...Sungguh.. Sungguh sangat diluar dugaanku. Aku bertemu kembali dengan seorang Devan. Dia adalah kekasih yang aku tinggalkan dua tahun lalu dengan alasanku tersendiri.Ceritanya begitu panjang untuk diceritakan, mungkin panjangnya seperti struk belanja selama satu tahun lebih.Anehnya, hari ini aku baru mengetahui nama asli dan nama lengkap serta nama keluarganya. Itu, David Evans Hubert. Dan dia merupakan seorang CEO perusahaan besar raja bisnis di kota kami, Perusahaan Hubert tempatku diterima bekerja saat ini. Jadi rumor yang dulu aku dengar itu memang benar adanya.Dan lagi...Setelah menghilang selama dua tahun dan berusaha menghindar darinya. Aku tidak menyangka bahwa kami pada akhirnya akan dipertemukan lagi.Tapi... Mengapa harus dengan cara seperti ini
Liana melihat sepatu hitam mengkilap terkesan mahal berada dibawah pandangnya membuatnya mendongak, pandangan mereka saling bertemu. Kakinya ingin melangkah mundur namun terasa berat, dirinya membeku di tempat sambil menatap sorot tajam dan dingin itu. Jantung Liana seperti dipaksa berpacu, seolah dapat meledak kapan saja menghadapi tatapan dingin dari pria di depannya tersebut. Wangi musk khas David yang tak pernah berubah kembali tercium dan terpancar dari tubuh David yang begitu dekat.Terkesan hangat, maskulin, sedikit manis sekali lagi menerobos indra penciuman Liana menambahkan efek debaran dalam jantungnya yang seolah memaksa akalnya untuk mengenang hal yang sama.Pria di depannya ini sungguh adalah kekasih yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Tidak disangka akan kembali bertemu dengan cara seperti ini. Meski sekeras apapun dia berusaha menghindar.Aroma khas parfurm ditubuhnya itu tentu saja tidak terlupakan juga tidak sedikitpun berubah.David mencondongkan tubunya kearah Li
"Liana..." Matanya tak percaya dengan apa yang dia lihat, firasatnya setelah mendengar nama keluarga 'Edsel' dari mulut Asisten Pribadinya tersebut. Kini dibenarkan langsung oleh kenyataan di depan matanya. Ya, gadis itu adalah Liana Edsel. Seorang gadis cantik yang menjadi kekasihnya dua tahun yang lalu.Mereka menjalin kasih selama satu tahun, sebelum gadis itu tiba - tiba menghilang tanpa jejak atau sepatah katapun.Pergi tanpa memberikan penjelasan mengapa dan menggantungkan hati dan cintanya yang bahkan frustasi mencari - cari keberadaannya namun hasilnya nihil. Keluarga dan teman dekatnya juga bahkan bungkam soal keberadaannya membuatnya semakin frustasi dan putus asa untuk mencari. Berusaha tetap tenang dan ingin melupakan setelah dua tahun tak kunjung menemukan. Namun kini.. Takdir macam apa ini?Kembalinya sosok yang ia kenal, dan ternyata gadis yang dia cari selama dua tahun belakangan ini, hari ini gadis itu datang sendiri kehadapannya. Ditengah dirinya yang ingin