Liana's PoV
"Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kata - katanya membuatku mengerutkan dahi, sontak akupun mengangkat kepalaku dan mata kami saling bertemu pandang. Ada tatapan begitu rumit dari matanya, terasa seperti dibalik aura dingin dan suram itu jugq terselip kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Ntahlah, apa memang seperti itu atau mungkin hanya sekedar perasaanku belaka. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Kata demi kata ia lontarkan ntah kenapa seperti memberiku beban, setiap kata terasa sangat tajam seolah belati tajam melayang menusuk hati. Aku sungguh antara fokus tak fokus mendengarkannya. Karena memiliki perasaan aneh tiap kali dia bicara. Aku masih menatapnya dengan heran berusaha menerka - nerka maksudnya. Namun juga takut dan ragu dengan terkaanku sendiri. Sambil menerka nerka dalam hati, hal tersebut tanpa sadar membuatku menatap kosong kearahnya. Tak kunjung mendapatkan jawaban dariku, dia memberikan sebuah dehaman. "Ekhmm.." Tangannya mengepal menutupi mulut gaya khas orang berdeham. "Ah?!.." Tersadar, menggeleng - gelengkan kepalaku. Aku masih menatapnya dengan bingung, tak paham dengan apa yang barusan ia katakan. Ekspresinya seketika berubah menjadi santai. Sekali lagi dia berdeham. "Ekhm.. Maksudku, dalam dunia kerja jika selalu membuat suatu kesalahan, tidak fokus dan mengacau, lalu berpikir dengan mudahnya hanya dengan selalu meminta maaf dapat menyelesaikan suatu masalah yang kamu buat, itu...." Tatapannya berubah menjadi serius, matanya menyipit sedikit memperhatikanku lekat - lekat dan memberi jeda sebentar sebekum melanjutkan. "Sangat tidak sesuai dengan etika kerja dan sangat tidak profesional. Nona Edsel." David terdengar agak kesal meski nadanya terdengar santai. Aku tertegun, sepertinya kata - kata sebelumnya tidak dimaksudkan seperti itu. Namun aku segera menepis pemikiran seperti itu, mungkin aku hanya berpikir terlalu berlebihan karena dulu pernah meninggalkannya? Lagi pula dia sekarang bahkan memanggil nama keluargaku, bukan namaku. Meskipun ntah mengapa saat dipanggil seperti itu olehnya aku merasa ada sedikit rasa tidak nyaman dan sakit hati. Mungkin saja karena dulu pria di depanku ini terbiasa memanggil namaku dengan lembut dan manis, meski sifat dinginnya tidak pernah berubah. Mungkinkah dia ingin berpura - pura seolah kami tidak saling mengenal? Hmm.. Kalau begitu baguslah. Mulai sekarang hubungan kami hanya sebatas CEO dan Sekretarisnya. Jadi aku harus berusaha mengontrol sikap dan perasaanku. Menyadari kesalahanku, aku menarapnya dengan raut wajah bersalah dan ingin membuka suara. "Kheh, maaf?" Lagi?" Belum sempat suaraku keluar dia menimpali terkekeh sinis dan menatapku dengan pandangan remeh dan mencibir. Mataku melebar dan mulutku sedikit terbuka. "Hebat bukan? Baru sebentar saja bersama karyawan baruku, maksudku sekretaris baruku yang bahkan belum mulai bekerja hari ini. Tapi aku sampai bisa hafal dengan kebiasaannya seolah 'seperti sudah lama saling mengenal' kan?" Dia menekan akhir kalimatnya, menatapku dengan remeh, tatapan dan senyunmnya sungguh begitu sinis seolah ada dendam kesumat di dalamnya. "........" Aku hanya menatapnya dengan perasaan dan ekspresi rumit. Dia menatapku lekat - lekat. "Apa kamu sungguh sebegitunya tidak menyukaiku?" Aku mengerucutkan bibirku menatapnya kesal. Ntah dari mana keberanianku datang untuk bicara seperti itu padanya yang sekarang merupakan atasanku, parahnya dihari pertama bertemu dengannya sebagai karyawan baru. Mungkin karena aku merasa dia pasti sangat tidak nyaman dan kesal bekerja dengan seseorang yang merupakan kekasihnya di masalalu yang menghilang begitu saja dari pandangannya. Seolah setiap kata - kata dan nasihatnya sebenarnya sedari tadi memang sedang menyindirku. Dia sendiri yang menyinggung soal etika kerja dan profesionalisme, namun tingkahnya seolah dia membawa perasaan pribadi dan menaruh dendam lama terhadapku. Menyindir masalalu? Aku agak jengkel mengingatnya, kalau saja dia tau alasanku pergi darinya dua tahun yang lalu. Ck.. Menyebalkan. Memangnya hanya dia yang tidak nyaman. Dia terkesiap lalu seketika ekspresinya berubah. "Maksudmu?" Tanyanya dengan datar namun alisnya menyatu dan dia mengernyit. Seolah tidak suka mendengarnya. "Apanya yang apa maksudku?" Aku membuang pandang dengan raut wajah sedih sekaligus kesal. "Tuan David Evans Hubert yang terhormat.. Kalau memang penilaian awal anda terhadap saya tidak baik dan tidak cukup kompeten, kalau memang tidak menyukai saya sejak awal. Mungkin sebaiknya saya juga mengundurkan diri lebih awal saja sebelum mulai bekerja. Takutnya saya hanya akan 'mengacau' atau bahkan hanya menjadi 'pajangan ruang kerja' dan makan gaji buta saja, bukan?" Aku kembali menatapnya dengan tajam dan sinis, menantang. Memberi penekanan pada kata demi kata. Mendengar perkataanku ekspresinya seketika menjadi gelap. Matanya menatapku lekat lekat sangat dingin seolah ingin menelanku hidup - hidup. Seolah bak bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sepertinya aku benar - benar sudah gila berurusan dengannya kali ini. Hal itu sesaat membuatku membeku. Namun saat dia melangkah maju dan kembali mendekat ke arahku, membawa aura dingin dan kelam. Setiap langkahnya penuh penekanan dan membawa wibawa. Sontak membuatku mundur seraya langkah demi langkahnya yang berusaha mengikis kembali jarak diantara kami.David's PoV Hari ini cukup sibuk. Setumpuk dokumen yang terasa sangat menjengkelkan setiap kali aku melihat mereka seolah tidak ada habisnya dan tidak memberiku jeda untuk beristirahat sedikitpun. Terkadang beberapa orang juga masuk silih berganti meminta revisi atau ACC dariku. Aku memijat pelipisku agak sedikit penat. Tetapi sebenarnya kesibukan ini cukup membantuku melupakan sesuatu yang sangat ingin aku lupakan. Sesuatu yang selalu membuatku frustasi. Aku mencoba kembali fokus memeriksa setiap dokumen kerja sama dan dokumen lainnya dengan seksama, juga beberapa dokumen dan surat - surat yang juga menunggu untuk direvisi. Saat sedang asik dengan duniaku, tiba - tiba saja Wilson datang. Tentu saja, apalagi kalau bukan membawa setumpuk kertas untuk kulihat. Namun kali ini dia membawa sesuatu yang menarik perhatian serta pendengaranku. Seolah merangsang ingatan lama kembali memenuhi pikiranku. Ya.. Pikiran yang telah lama ingin akh lupakan dan kubur dalam - dalam tentang ha
David's PoVSaat dia membalikkan badan untuk menyapaku matanya yang terbuka lebar mungkin terkejut melihatku, ekspresi itu membuatku berdegup kencang ntah mengapa. Namun. Aku masih menatapnya dengan dingin dan agak kesal. Aku mencoba menerka - nerka isi hatinya, namun tak bisa. Kedua mata kami saling bertemu pandang, ku tatap lekat mata indahnya yang merupakan perpaduan coklat keemasan. Mata elegan yang meneduhkan itu, mata yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali menatapnya. Dia sedikit banyaknya telah berubah, kamu sungguh menjadi lebih dewasa dengan bentuk tubuh yang semakin indah. Sial! Liana, jika seperti ini pasti akan ada banyak pria yang jatuh cinta padamu. Bagaimanapun juga, aku... Aku.. Aku sedikit frustasi memikirkan kemungkinan - kemungkinan tersebut. Terbesit rasa sakit dan sedih serta kemarahan dalam saat aku menatapnya, juga ada kecemasan serta rasa lainnya yang tak dapat ku mengerti. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Lalu liana buru - buru meme
David's PoV Kali ini tak sedikitpun terbesit dalam benakku tentang sebuah niatan untuk melepaskanmu. Yang ada akan ku pastikan kamu selalu dalam genggamanku. Liana... Sungguh jangan harap kamu bisa melarikan diri lagi kali ini. Aku akan meminta semua pertanggung jawaban atas rasa sakitku. Mataku masih asik memandanginya yang tentu saja sedang melamun, aku pun berdeham dan membuatnya sedikit tersentak dan tersadar. Kepala gadis itu menengadah keatas dan pandangannya bertemu dengan tatapanku yang sedari tadi menatapnya dengan dingin dengan berbagai pikiran dalam benakku. Dan ntahlah, apa dia sadar atau tidak bahwa setiap kata yang ku lontarkan untuknya merupakan sebuah 'sindiran'. Aku tak mempedulikan orang disekitar, fokusku hanya tertuju padanya. Tak peduli pemikiran orang ketiga diantara kami itu. "Nona Liana, nanti akan ada orang yang antar untuk mengarahkan dan memberitahu letak ruang kerja—" Mendengar Harry bicara seperti itu, aku memotongnya tak memberi kesempatan untu
David's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kataku remeh dan sinis. Mendengar hal tersebut dia mendongak mengerutkan dahi, mata kami saling bertemu pandang. Namun begitu menatap mata indah gadis tersebut aku merasa ada kesedihan dihatiku juga kerinduan yang mendalam. Liana.. Aku benar - benar tak bisa membencimu sepenuhnya. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Aku buru - buru mengubah diri ke mode dingin dan serius lagi. Dapatku lihat ada tatapan bingung dan rumit di wajah gadis manis tersebut, ntah mengerti atau tidak maksud perkataanku. Namun tatapannya juga sedikit kosong. Apa dia melamun? "Ekhmm.." tanganku mengepal menutupi mulut gaya khas orang berdeham. "Ah?!.." dia menggelengkan kepala seperti seseorang yang berusaha mengumpulkan kembali fokus dan nyawanya. Aku mengubah ekspresiku menjadi santai. Sekali lagi berdeham. "Ek
Liana's PoV Hari ini sungguh sangat melelahkan. Ntah mengapa aku juga sedikit kesal. Sekujur tubuhku jadi sakit dan kaku, kakiku bahkan terasa lemas. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak terduga membuatku sangat lelah. Seolah dihantam sesuatu yang berat secara bertubi - tubi. Sungguh menguras tenaga dan emosiku. Ingin sekali segera ku hamburkan diri ke kasur. Aku sungguh tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Hari seperti ini akhirnya datang juga. Aku bingung harus apa dan bagaimana kedepannya. Akhirnya akupun berhasil keluar dari gedung tinggi di belakangku ini meskin agak gemetar sambil menghela nafas lega dan berusaha menenangkan diri. Ku raih ponsel yang ada di saku blazerku, lalu aku mengetik sesuatu mengirimkan pesan kepada seseorang yang selalu menjadi yang pertama tahu tentang semua keadaanku. Tempatku bersandar dikala tak satupun dapat seperti itu. 'Aku sudah selesai interview, dan langsung diterima. Besok mulai bekerja.
David duduk di Ruang kerjanya asik dengan dunianya, sebagai seorang CEO dia sangat sibuk. Tatapan dinginnya tersebut sungguh menusuk sampai - sampai jika tumpukan dokumen di depannya tersebut dapat berbicara mereka sudah pasti akan bergosip seperti persoalan sikap David seperti halnya para staff dan karyawannya. Meski demikian, dengan sikap dan sifat David yang seperti itu dirinya memiliki asisten pribadi kepercayaannya yang kesetiaan serta kesabarannya dalam bekerja dibawah tekanan David tersebut tidak perlu diuji dan diragukan lagi. Ya, dia adalah Wilson Hamilton. Suara ketukan pintu membuyarkan dunia serta keseriusan David. "Masuk" nadanya terdengar tenang namun tersirat kedinginan. Seketika pintu itu terbuka dan menampakkan sosok Wilson dengan setumpuk berkas dalam dekapannya. "Tuan David.. Maaf mengganggu.. Ini adalah ber—" belum selesai bicara Wilson sudah dipotong dengan dingin. "Tidak perlu minta maaf. Sejak kapan kamu tidak menggangguku?" David mendengus kesal
"Liana..." Matanya tak percaya dengan apa yang dia lihat, firasatnya setelah mendengar nama keluarga 'Edsel' dari mulut Asisten Pribadinya tersebut. Kini dibenarkan langsung oleh kenyataan di depan matanya. Ya, gadis itu adalah Liana Edsel. Seorang gadis cantik yang menjadi kekasihnya dua tahun yang lalu.Mereka menjalin kasih selama satu tahun, sebelum gadis itu tiba - tiba menghilang tanpa jejak atau sepatah katapun.Pergi tanpa memberikan penjelasan mengapa dan menggantungkan hati dan cintanya yang bahkan frustasi mencari - cari keberadaannya namun hasilnya nihil. Keluarga dan teman dekatnya juga bahkan bungkam soal keberadaannya membuatnya semakin frustasi dan putus asa untuk mencari. Berusaha tetap tenang dan ingin melupakan setelah dua tahun tak kunjung menemukan. Namun kini.. Takdir macam apa ini?Kembalinya sosok yang ia kenal, dan ternyata gadis yang dia cari selama dua tahun belakangan ini, hari ini gadis itu datang sendiri kehadapannya. Ditengah dirinya yang ingin
Liana melihat sepatu hitam mengkilap terkesan mahal berada dibawah pandangnya membuatnya mendongak, pandangan mereka saling bertemu. Kakinya ingin melangkah mundur namun terasa berat, dirinya membeku di tempat sambil menatap sorot tajam dan dingin itu. Jantung Liana seperti dipaksa berpacu, seolah dapat meledak kapan saja menghadapi tatapan dingin dari pria di depannya tersebut. Wangi musk khas David yang tak pernah berubah kembali tercium dan terpancar dari tubuh David yang begitu dekat.Terkesan hangat, maskulin, sedikit manis sekali lagi menerobos indra penciuman Liana menambahkan efek debaran dalam jantungnya yang seolah memaksa akalnya untuk mengenang hal yang sama.Pria di depannya ini sungguh adalah kekasih yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Tidak disangka akan kembali bertemu dengan cara seperti ini. Meski sekeras apapun dia berusaha menghindar.Aroma khas parfurm ditubuhnya itu tentu saja tidak terlupakan juga tidak sedikitpun berubah.David mencondongkan tubunya kearah Li
Liana's PoV Hari ini sungguh sangat melelahkan. Ntah mengapa aku juga sedikit kesal. Sekujur tubuhku jadi sakit dan kaku, kakiku bahkan terasa lemas. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak terduga membuatku sangat lelah. Seolah dihantam sesuatu yang berat secara bertubi - tubi. Sungguh menguras tenaga dan emosiku. Ingin sekali segera ku hamburkan diri ke kasur. Aku sungguh tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi. Hari seperti ini akhirnya datang juga. Aku bingung harus apa dan bagaimana kedepannya. Akhirnya akupun berhasil keluar dari gedung tinggi di belakangku ini meskin agak gemetar sambil menghela nafas lega dan berusaha menenangkan diri. Ku raih ponsel yang ada di saku blazerku, lalu aku mengetik sesuatu mengirimkan pesan kepada seseorang yang selalu menjadi yang pertama tahu tentang semua keadaanku. Tempatku bersandar dikala tak satupun dapat seperti itu. 'Aku sudah selesai interview, dan langsung diterima. Besok mulai bekerja.
David's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kataku remeh dan sinis. Mendengar hal tersebut dia mendongak mengerutkan dahi, mata kami saling bertemu pandang. Namun begitu menatap mata indah gadis tersebut aku merasa ada kesedihan dihatiku juga kerinduan yang mendalam. Liana.. Aku benar - benar tak bisa membencimu sepenuhnya. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Aku buru - buru mengubah diri ke mode dingin dan serius lagi. Dapatku lihat ada tatapan bingung dan rumit di wajah gadis manis tersebut, ntah mengerti atau tidak maksud perkataanku. Namun tatapannya juga sedikit kosong. Apa dia melamun? "Ekhmm.." tanganku mengepal menutupi mulut gaya khas orang berdeham. "Ah?!.." dia menggelengkan kepala seperti seseorang yang berusaha mengumpulkan kembali fokus dan nyawanya. Aku mengubah ekspresiku menjadi santai. Sekali lagi berdeham. "Ek
David's PoV Kali ini tak sedikitpun terbesit dalam benakku tentang sebuah niatan untuk melepaskanmu. Yang ada akan ku pastikan kamu selalu dalam genggamanku. Liana... Sungguh jangan harap kamu bisa melarikan diri lagi kali ini. Aku akan meminta semua pertanggung jawaban atas rasa sakitku. Mataku masih asik memandanginya yang tentu saja sedang melamun, aku pun berdeham dan membuatnya sedikit tersentak dan tersadar. Kepala gadis itu menengadah keatas dan pandangannya bertemu dengan tatapanku yang sedari tadi menatapnya dengan dingin dengan berbagai pikiran dalam benakku. Dan ntahlah, apa dia sadar atau tidak bahwa setiap kata yang ku lontarkan untuknya merupakan sebuah 'sindiran'. Aku tak mempedulikan orang disekitar, fokusku hanya tertuju padanya. Tak peduli pemikiran orang ketiga diantara kami itu. "Nona Liana, nanti akan ada orang yang antar untuk mengarahkan dan memberitahu letak ruang kerja—" Mendengar Harry bicara seperti itu, aku memotongnya tak memberi kesempatan untu
David's PoVSaat dia membalikkan badan untuk menyapaku matanya yang terbuka lebar mungkin terkejut melihatku, ekspresi itu membuatku berdegup kencang ntah mengapa. Namun. Aku masih menatapnya dengan dingin dan agak kesal. Aku mencoba menerka - nerka isi hatinya, namun tak bisa. Kedua mata kami saling bertemu pandang, ku tatap lekat mata indahnya yang merupakan perpaduan coklat keemasan. Mata elegan yang meneduhkan itu, mata yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali menatapnya. Dia sedikit banyaknya telah berubah, kamu sungguh menjadi lebih dewasa dengan bentuk tubuh yang semakin indah. Sial! Liana, jika seperti ini pasti akan ada banyak pria yang jatuh cinta padamu. Bagaimanapun juga, aku... Aku.. Aku sedikit frustasi memikirkan kemungkinan - kemungkinan tersebut. Terbesit rasa sakit dan sedih serta kemarahan dalam saat aku menatapnya, juga ada kecemasan serta rasa lainnya yang tak dapat ku mengerti. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Lalu liana buru - buru meme
David's PoV Hari ini cukup sibuk. Setumpuk dokumen yang terasa sangat menjengkelkan setiap kali aku melihat mereka seolah tidak ada habisnya dan tidak memberiku jeda untuk beristirahat sedikitpun. Terkadang beberapa orang juga masuk silih berganti meminta revisi atau ACC dariku. Aku memijat pelipisku agak sedikit penat. Tetapi sebenarnya kesibukan ini cukup membantuku melupakan sesuatu yang sangat ingin aku lupakan. Sesuatu yang selalu membuatku frustasi. Aku mencoba kembali fokus memeriksa setiap dokumen kerja sama dan dokumen lainnya dengan seksama, juga beberapa dokumen dan surat - surat yang juga menunggu untuk direvisi. Saat sedang asik dengan duniaku, tiba - tiba saja Wilson datang. Tentu saja, apalagi kalau bukan membawa setumpuk kertas untuk kulihat. Namun kali ini dia membawa sesuatu yang menarik perhatian serta pendengaranku. Seolah merangsang ingatan lama kembali memenuhi pikiranku. Ya.. Pikiran yang telah lama ingin akh lupakan dan kubur dalam - dalam tentang ha
Liana's PoV "Kamu memang sudah terbiasa seperti itu?" Kata - katanya membuatku mengerutkan dahi, sontak akupun mengangkat kepalaku dan mata kami saling bertemu pandang. Ada tatapan begitu rumit dari matanya, terasa seperti dibalik aura dingin dan suram itu jugq terselip kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Ntahlah, apa memang seperti itu atau mungkin hanya sekedar perasaanku belaka. "Terbiasa membuat kesalahan, mengulanginya dan dengan mudahnya mengucapkan kata maaf seolah hanya dengan kata maaf saja semua masalah akan selesai, begitu?" Kata demi kata ia lontarkan ntah kenapa seperti memberiku beban, setiap kata terasa sangat tajam seolah belati tajam melayang menusuk hati. Aku sungguh antara fokus tak fokus mendengarkannya. Karena memiliki perasaan aneh tiap kali dia bicara. Aku masih menatapnya dengan heran berusaha menerka - nerka maksudnya. Namun juga takut dan ragu dengan terkaanku sendiri. Sambil menerka nerka dalam hati, hal tersebut tanpa sadar membuat
Liana's PoVHari ini aku sangat senang sekali.Setelah mencari kerja di berbagai tempat setelah kepulanganku ke kota kelahiranku ini, akhirnya aku diterima di perusahaan besar dengan gaji yang menjanjikan. Namun hari ini...Sungguh.. Sungguh sangat diluar dugaanku. Aku bertemu kembali dengan seorang Devan. Dia adalah kekasih yang aku tinggalkan dua tahun lalu dengan alasanku tersendiri.Ceritanya begitu panjang untuk diceritakan, mungkin panjangnya seperti struk belanja selama satu tahun lebih.Anehnya, hari ini aku baru mengetahui nama asli dan nama lengkap serta nama keluarganya. Itu, David Evans Hubert. Dan dia merupakan seorang CEO perusahaan besar raja bisnis di kota kami, Perusahaan Hubert tempatku diterima bekerja saat ini. Jadi rumor yang dulu aku dengar itu memang benar adanya.Dan lagi...Setelah menghilang selama dua tahun dan berusaha menghindar darinya. Aku tidak menyangka bahwa kami pada akhirnya akan dipertemukan lagi.Tapi... Mengapa harus dengan cara seperti ini
Liana melihat sepatu hitam mengkilap terkesan mahal berada dibawah pandangnya membuatnya mendongak, pandangan mereka saling bertemu. Kakinya ingin melangkah mundur namun terasa berat, dirinya membeku di tempat sambil menatap sorot tajam dan dingin itu. Jantung Liana seperti dipaksa berpacu, seolah dapat meledak kapan saja menghadapi tatapan dingin dari pria di depannya tersebut. Wangi musk khas David yang tak pernah berubah kembali tercium dan terpancar dari tubuh David yang begitu dekat.Terkesan hangat, maskulin, sedikit manis sekali lagi menerobos indra penciuman Liana menambahkan efek debaran dalam jantungnya yang seolah memaksa akalnya untuk mengenang hal yang sama.Pria di depannya ini sungguh adalah kekasih yang ia tinggalkan dua tahun lalu. Tidak disangka akan kembali bertemu dengan cara seperti ini. Meski sekeras apapun dia berusaha menghindar.Aroma khas parfurm ditubuhnya itu tentu saja tidak terlupakan juga tidak sedikitpun berubah.David mencondongkan tubunya kearah Li
"Liana..." Matanya tak percaya dengan apa yang dia lihat, firasatnya setelah mendengar nama keluarga 'Edsel' dari mulut Asisten Pribadinya tersebut. Kini dibenarkan langsung oleh kenyataan di depan matanya. Ya, gadis itu adalah Liana Edsel. Seorang gadis cantik yang menjadi kekasihnya dua tahun yang lalu.Mereka menjalin kasih selama satu tahun, sebelum gadis itu tiba - tiba menghilang tanpa jejak atau sepatah katapun.Pergi tanpa memberikan penjelasan mengapa dan menggantungkan hati dan cintanya yang bahkan frustasi mencari - cari keberadaannya namun hasilnya nihil. Keluarga dan teman dekatnya juga bahkan bungkam soal keberadaannya membuatnya semakin frustasi dan putus asa untuk mencari. Berusaha tetap tenang dan ingin melupakan setelah dua tahun tak kunjung menemukan. Namun kini.. Takdir macam apa ini?Kembalinya sosok yang ia kenal, dan ternyata gadis yang dia cari selama dua tahun belakangan ini, hari ini gadis itu datang sendiri kehadapannya. Ditengah dirinya yang ingin