Pusat perbelanjaan yang mereka datangi lumayan ramai dengan pengunjung. Mungkin karena hari ini bertepatan dengan tanggal gajian sebagian besar karyawan swasta.
Nabil menemani Karin berbelanja, mulai dari baju, tas, sepatu, hingga kosmetik. Nabil mengerti dan memahami apa yang dirasakan Karin. Dia baru saja menerima gaji pertama, jadi wajar jika dia ingin menikmatinya.Nabil jadi ingat Kayla.Dulu, waktu baru menerima gaji pertama, Kayla juga seperti Karin. Membeli apa saja yang diinginkannya saat itu. Tanpa berpikir apakah barang-barang tersebut diperlukan atau tidak.Nabil merasa dadanya sesak. Mengingat Kayla sama dengan mengungkit semua kenangan dan hari-hari indah yang sudah mereka lalui bersama."Bang Nabil, kita makan dimana?" Karin datang menghampiri Nabil yang duduk menunggu."Terserah kamu," jawab Nabil pasrah."Kesana aja, yuk!" Karin menunjuk sebuah resto cepat saji dan menarik tangan Nabil.Nabil mBeberapa hari terakhir Radit kembali pada rutinitasnya, menjemput Kayla ke rumahnya lalu berangkat bersama ke kantor. Sebenarnya jarak dari rumah Radit ke kantor lebih dekat, tapi menjadikannya sangat jauh karena harus menjemput Kayla dulu yang tinggal di pinggir kota sana.Demi apa coba, kalau bukan demi cinta.Radit memencet bel rumah Kayla berkali-kali.Kayla yang sedang mandi terpaksa membilas busa sabun dari tubuhnya, mengeringkan tubuhnya secepat kilat. Bel yang terus berbunyi dengan tidak sabar, membuatnya panik. Secepat mungkin Kayla mengenakan pakaiannya, dan keluar dari kamar mandi.Setengah berlari Kayla membukakan pintu depan. Sesosok lelaki bertubuh tinggi berdiri di hadapannya kini. Kayla tak menyangka kalau Radit akan menjemputnya sepagi ini."Kenapa belum siap, yang?" tanya Radit pada Kayla yang berdiri bengong."Iya, bentar ya!""Buruan! Nanti kita kejebak macet."Ketegasan dalam suara Radit membuat Kayla bergerak cepat. Dia berlari ke kamar, bersiap-siap, lalu berdan
"Eh, silahkan minum dulu," dokter Sandra mempersilahkan pada Kayla yang membengong.Dengan gerakan pelan, Kayla mulai menyesap secangkir cappuccino hangat yang disajikan untuknya. Sedangkan dokter Sandra sendiri menikmati segelas teh manis."Ayo, Kay, dimakan rotinya," kata dokter Sandra lagi pada Kayla yang terlihat kaku. Perempuan berkulit putih dan bermata sipit itu lalu menyapukan Nutella, selai perpaduan hazelnut dan coklat ke atas selembar roti tawar.Kayla mengikuti apa yang dilakukan dokter Sandra. Dalam hati dia berpikir, darimana dokter Sandra tahu tentang makanan dan minuman kesukaannya?"Oh iya, kamu pacarnya Radit ya?" tanya dokter Sandra pada Kayla sambil mengunyah rotinya."Iya," jawab Kayla singkat. Nih orang nggak peka. Seharusnya Sandra sudah tahu itu, karena tadi Radit menciumnya dengan mesra. Apakah itu masih belum mencukupi untuk dijadikan bukti?"Kalo boleh tahu, sudah berapa lama?" tanya dokter Sandra lagi, mencoba menggali keterangan dari Kayla.Kayla bingung h
"Oh iya, Kay, saya butuh bantuan kamu nih."Kayla mengangkat wajah. Sisa-sisa air mata membayang samar di wajah mulusnya."Bantuan apa, San?" "Saya ada kuisioner. Tolong kamu isi ya!""Kuisioner untuk apa?""Untuk bahan penelitian sih sebenarnya. Selain mahasiswa, saya juga butuh sudut pandang dari kalangan umum. Saya rasa kamu bisa mewakilinya. Ayo!"Walaupun masih belum mengerti, tapi Kayla mengikuti langkah kecil dokter Sandra yang berjalan duluan. Dokter Sandra membuka pintu sebuah kamar atau mungkin lebih tepatnya sebuah ruangan. Karena disana ada meja, seperangkat personal komputer dan printer beserta sebuah rak berukuran besar yang penuh oleh buku-buku yang tersusun rapi. Sebuah kotak P3K yang menempel di dinding ikut menjadi pengisi ruangan itu.Ini ruangan kerja saya," dokter Sandra berkata sebelum Kayla bertanya.Dokter Sandra mengambil sebuah map berwarna coklat dari tumpukan buku di rak, lalu memberikannya pada Kayla. "Tolong isi ya, Kay! Kamu harus jawab sejujur mungkin
Radit berpikir keras bagaimana caranya agar Kayla bisa meminum obat-obat itu. Selagi Kayla masih belum bisa menerima kenyataan tentu saja dia tidak akan mau. Boro-boro minum obat, Radit menyinggung sedikit saja tentang bipolar, Kayla pasti murka. Jadi tidak ada cara lain kecuali dengan membohonginya.Radit membuka satu per satu obat-obat itu dari bungkusnya lalu memasukkannya ke dalam botol kaca bekas vitamin C yang dulu sering dikonsumsinya. Untung dia belum membuang botol-botol itu, jadi tidak perlu pusing lagi mencari wadah tempat menyimpan obat-obat itu. Dengan begini Kayla tidak akan tahu mereknya, dan tidak akan bisa menemukannya di situs pencarian apa pun.Radit tersenyum puas saat obat-obat itu sudah berpindah tempat. Sekarang saatnya menyusun strategi yang cerdas agar memuluskan langkah menjalankan misinya.Setelah menemukan ide cemerlang, akhirnya Radit baru bisa benar-benar beristirahat.***"Yang, aku punya sesuatu buat kamu," ucap Radit begitu keesokan pagi menjemput Kayl
Karin sama sekali merasa tidak puas dengan jawaban Nabil. Akhirnya ia kembali ke kantor. Dia akan menemui Radit dan meminta keterangan. Bosnya itu berhutang banyak penjelasan padanya.Suasana kantor sudah sepi saat Karin kembali. Sebagian besar karyawan sudah pulang.Karin menerobos masuk ke ruangan Radit tanpa mengetuk pintu atau pun kata permisi."Lho, Rin, kenapa balik lagi?" tegur Radit yang sedang mengemasi perlatan kerjanya dan bersiap-siap untuk pulang."Maaf, Pak, boleh saya minta waktunya sebentar? Ada yang mau saya omongin.""Ada apa, Rin? Kayaknya serius," Radit yang tadi sudah berdiri kembali duduk di kursinya."Ini tentang Kayla," ucap Karin dengan suara tercekat di kerongkongan."Ada apa dengan Kayla?" tanggap Radit antusias begitu Karin menyebut nama calon istrinya."Apa benar kalo Kayla itu mantan istri Nabil?" tanya Karin menahan gejolak di dadanya.Wajah Radit berubah serius. "Kamu tahu darimana?" dia balik bertanya."Dari file data karyawan.""Jadi kamu baru tahu se
Pagi-pagi sekali Karin sudah bangun. Hari ini ia akan berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Laporan assessment karyawan sudah menunggu untuk diselesaikan. Seperti permintaan Radit, laporan itu harus ada di mejanya sebelum jam makan siang. Karin tidak ingin mengecewakan bosnya itu. Dia harus selalu menampilkan kinerja yang sempurna di mata Radit."Kenapa nggak dihabisin susunya, nak?" tanya Bunda pada Karin yang nampak terburu-buru dan menyisakan lebih dari setengah gelas susu vanilanya yang masih hangat."Aku takut telat, Bun, ada yang harus aku selesain pagi ini," jawab Karin setelah menyeka sisa-sisa cairan yang menempel di sekitar mulutnya dengan tissue."Ya udah, hati-hati ya," pesan Bunda sebelum Karin berangkat.Karin mengangguk, lalu bergegas keluar. Baru saja dia akan mengambil motor, sebuah mobil putih berhenti tepat di depan rumahnya. "Bang Nabil," gumam Karin pelan. Dengan langkah cepat dia membuka pintu pagar dan menghampiri Nabil.Nabil membuka kaca mobil, "Ayo R
Sore itu, seperti janjinya, Nabil kembali menjemput Karin di kantornya. Sangat berat bagi Nabil menginjakkan kaki di tempat itu. Dia takut akan melihat Kayla lagi, dan perasaannya yang mulai tertata akan kembali hancur berantakan.Karin sudah menunggu di pos security saat Nabil sampai. Sehingga Nabil tidak perlu lagi menunggu lama dan memberi peluang pada waktu untuk mempertemukannya dengan Kayla."Bang, aku boleh curhat nggak?" ujar Karin setelah masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Nabil.Duh, apalagi yang akan dibicarakan Karin?Nabil tidak mau jika mereka akan membahas Kayla seperti tadi pagi. Karin tidak tahu betapa susahnya Nabil mengenyahkan Kayla dari hati dan pikirannya."Boleh kan, Bang?" Karin mengulang pertanyaannya."Iya, Rin, boleh. Kamu mau cerita apa?""Tentang kerjaan, Bang. Dan ini ada hubungannya sama Kayla juga. Bang Nabil nggak keberatan kan?"Nabil menahan nafas. Ternyata pikirannya tidak salah. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa yang akan dikata
Setelah menimbang-nimbang dan melalui pemikiran yang panjang, akhirnya malam ini Nabil membulatkan tekad mendatangi rumah sakit tempat dokter Andri, spesialis andrologi itu praktek.Sebenarnya kartu nama itu didapat Nabil tadi siang, saat ada sosialisasi mengenai kesehatan pria dewasa di kantornya.Dari info yang tertera di kartu nama itu, jadwal praktik dokter tersebut hanya tiga kali seminggu, dan durasinya pun singkat, yaitu dari jam enam sore sampai jam sembilan malam.Tanpa membuang waktu lagi, Nabil segera berangkat. Dan disinilah dia berada sekarang. Di ruang tunggu di sebuah rumah sakit. Hanya ada beberapa orang pasien berada di tempat yang sama dengan Nabil. Dan itu pun perempuan. Nabil berpikir, mungkinkah dia satu-satunya yang menderita penyakit menyedihkan ini yang membuatnya merasa paling kerdil diatas bumi?"Bapak Nabil el haqq!""...""BAPAK NABIL EL HAQQ!"Suara perawat yang memanggil untuk kedua kalinya membuyarkan lamunan Nabil."Iya, sus, saya!" Nabil beranjak, mas
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat