"Bagaimana keadaanmu?"
Kepala mungil Lily mengangguk dan bibirnya tersenyum lembut."Lebih baik, dok. Terima kasih."Merapihkan selimut pasien, perawat wanita itu mengangguk pada sang dokter."Ada lagi, dokter Hills?""Tidak ada, Martha. Terima kasih. Kamu boleh pergi."Menatap kepergian perawat itu, kepala Lily menoleh pada sang dokter dan tersenyum."Saya tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan Anda di sini, dok. Bersama Martha."Menarik kursi ke arah tempat tidur, dokter yang telah berambut putih itu akhirnya duduk."Sudah saatnya aku pensiun, Lily. Marta-pun sudah setuju. Karena itu, kami memutuskan menghabiskan sisa masa pengabdian kami di kota ini. Lagipula, kota ini jauh lebih tenang dibanding CA yang ramai."Mendengar itu, Lily terkekeh pelan. "Benar juga."Setelah itu, dua orang itu terdiam sejenak. Menatap wajah Lily yang sendu, dokter itu meraih tangan mungil yang masih pucat itu dan mer*masnya lembut."Jujurlah padaku, Lily. Bagaimana sebenarnya perasaanmu sekarang? Kau baik-baik saja?"Menunduk menatap tangannya yang sedang digenggam, kepala Lily mendongak. Tatapannya kosong."Saya merasa ingin mati, dok."Makin menekan tangan wanita itu, dr. Hills menatap Lily khawatir. Hal inilah yang sangat dicemaskannya."Kalau kau butuh seorang psikolog, aku dapat merekomendasikan seseorang. Sebaiknya kau mendapatkan bantuan dari seseorang yang lebih profesional, Lily. Untuk membantumu melewati masa-masa terberatmu."Mata biru wanita itu terlihat memerah, tapi kepalanya menggeleng."Saya yakin masih bisa mengatasinya. Ini... Kejadian ini... memang mungkin yang terbaik."Pria tua terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Ayahnya sudah tahu?""Ayahnya?"Mengusap jari Lily yang bercincin, tatapan dokter tua itu melembut."Kau sudah menikah, kan? Suamimu sudah tahu?"Tidak tahu harus menjawab apa, bahu wanita itu terangkat saat menghela nafasnya. "Belum.""Kenapa?""Karena kami tidak merencanakannya. Saya juga tidak yakin dengan reaksinya kalau tahu saya... hamil.""Tapi kau tetap harus mengatakan padanya, Lily. Hal ini cukup sensitif. Tidak baik jika suamimu tahu berita ini dari orang lain. Atau kau mau aku yang menyampaikannya?"Gelengan pelan terlihat dari kepala Lily dan kening wanita itu berkerut."Saya tidak yakin akan ada bedanya, dok."Tangan dr. Hills yang menggenggamnya menguat dan suaranya berubah sedikit tegas."Saranku sebagai seorang profesional, kau tetap harus mengatakannya, Lily. Dengan demikian, kalian bisa mencari bantuan dari seorang konselor untuk melewati masa-masa ini. Seringkali alasan terbesar perceraian adalah karena tidak adanya keterbukaan antar pasangan suami-isteri. Apalagi untuk masalah anak."Mendengar nada yang tidak bisa ditentang dari pria tua ini, kepala Lily akhirnya mengangguk."Baiklah, dok. Saya akan memikirkannya."Puas dengan jawaban itu, sang dokter menepuk tangan ringkih wanita itu. "Baguslah."Kembali keduanya terdiam, sampai Lily buka suara kembali."Dok. Mengenai permintaan saya kemarin, apakah memungkinkan?"Menghela nafasnya dalam, dokter Hills memandang Lily dalam-dalam."Cukup riskan sebenarnya, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Kau juga sudah melewati masa-masa pemulihanmu, tinggal luka-luka fisik dan menunggu jahitanmu mengering. Kau juga mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk terapi di kakimu. Kau yakin akan melakukannya?""Ya. Saya... merasa lebih nyaman berada dekat dengan keluarga, dok.""Aku tidak tahu kalau kau memiliki keluarga di Jerman."Senyuman Lily melembut. "Saya lahir di sana, tapi besar di Amerika.""Kalau begitu, suamimu pun di sana sekarang? Karenanya, dia belum menjenguk?"Mer*mas selimutnya tanpa ketara, wanita itu mengangguk singkat."Pekerjaan Rory menuntutnya untuk banyak berkeliling, dok. Bulan ini saja, dia baru kembali dari Amerika Selatan. Entah dengan bulan-bulan selanjutnya. Tapi, saya sudah mengabarinya.""Baguslah. Karena pria yang tidak bisa bertanggungjawab, tidak akan pernah menjadi suami yang baik. Lebih baik, kau segera tinggalkan dia kalau bertemu orang seperti itu."Kekehan pelan terdengar dari suara Lily yang lembut. Matanya sedikit bersinar."Saya akan mengingatnya, dok. Jadi, mengenai permintaanku tadi. Kapan saya bisa dipindahkan?"***Ketukan pelan terdengar dari arah pintu dan tidak lama, masuklah sosok yang memang telah ditunggunya sejak pagi tadi. Lelaki ini ternyata menepati janjinya kemarin, meski kedatangannya cukup malam."Lily."Meletakkan buket bunga di pangkuan Lily, kepala Gregory menunduk dan memberikan ciuman lama di dahi wanita itu. Salah satu tangannya mengusap rambutnya yang mulai memanjang.Masih mengusap-usap kepala wanita itu, mata pria itu bergerak-gerak saat mengamati helaian rambutnya."Syukurlah warna aslinya sudah muncul. Jangan pernah mencatnya lagi, Red."Cukup terkejut dengan perkataan Gregory yang blak-blakan, kepala Lily menengadah."Aku kira, kamu benci wanita berambut merah."Menarik kursi mendekat ke tempat tidur, pria itu duduk di hadapan Lily. Tampak keningnya berkerut saat mendengar perkataan wanita itu tadi. Ekspresinya terlihat dingin."Siapa yang mengatakannya?"Balas menatap pria di depannya, kepala wanita itu akhirnya menggeleng pelan."Sudahlah. Lagipula, itu sudah lama."Mengamati Lily yang sedang menciumi wangi bunga yang diberikannya, lelaki itu sedikit tertegun. Kedua matanya yang biru mengerjap cepat dan pria itu berdehem pelan."Ehm. Mengenai perkataanku kemarin, kamu menerimanya kan?"Belum mendengar jawaban wanita itu, Gregory meraih salah satu tangan wanita itu yang bebas."Lily? Kamu mau menikahiku, kan?"Mengangkat wajahnya, raut muka wanita itu terlihat lembut. Sangat jauh berbeda dari kemarin."Kamu mencintaiku, Rory?"Panggilan akrab itu membuat Gregory sejenak terdiam. Sepertinya, mood wanita ini telah kembali.Mengambil buket bunga dari pangkuan Lily, Gregory membaringkan wanita itu lembut di tempat tidur. Ia pun duduk di sampingnya dan tubuhnya membungkuk, melingkupi sosok wanita itu yang jauh lebih kecil.Mata biru lelaki itu bergerak ke seluruh wajah Lily dan salah satu tangannya memberikan usapan lembut ke bagian-bagiannya. Ketika mereka saling menatap kembali, jantung wanita itu berdebar kencang. Sadar kalau ini adalah pertama kalinya ia melihat mata pria itu bersinar sangat lembut. Ada yang berbeda."Rory?""Aku menginginkanmu, Red."Tangan besar Gregory mengusap leher Lily dan turun ke tubuh wanita itu. Telapaknya yang hangat berhenti di d*da wanita itu yang tidak mengenakan apapun di balik piyamanya. Tampak cuping hidung lelaki itu membesar dan semburat merah jambu mulai muncul di lehernya. Ia memberikan r*masan lembut di sana."Aku tidak akan pernah menikahimu, kalau aku tidak menginginkanmu. Kalau tidak menginginkanmu, maka aku tidak akan pernah menidurimu. Aku gila karena dirimu, Red. Hanya kamu."Mengerjapkan matanya, Lily mengamati wajah Gregory lebih dalam dan menikmati belaiannya. Hanya saja, ia masih butuh jawaban. Ia butuh kepastian. Kepastian yang akan mempengaruhi keputusannya."Apa kamu mencintaiku, Rory?" Suaranya terdengar berbisik dan sangat lirih.D*sahan keluar dari mulut pria itu saat ia makin intens memainkan aset wanita itu di tangannya. Tidak tahan lagi, pria itu memberikan ciuman panas pada Lily. Ciuman memabukkan yang pertama kali dirasakan wanita itu dalam hidupnya selama 25 tahun.Keduanya terengah saat ciuman itu berakhir. Tangan lelaki itu memegang batang leher Lily dan mer*masnya lembut. Ia menempelkan kedua kening mereka dan menutup matanya erat. Mulutnya yang memerah dan sedikit terbuka, menghembuskan udara panas dari dalamnya."Aku tergila-gila padamu, Red. Aku tergila-gila padamu, Liliana Walton."Merasakan tusukan rasa sakit yang hebat di hatinya, wanita itu pun ikut menutup matanya sangat erat. Ia membukanya lagi ketika merasakan sosok lelaki itu sedikit menjauh. Wajah tampan pria di depannya terlihat telah normal kembali. Sorotnya tampak dingin seperti biasanya. Tapi tangannya yang menggenggam jari-jari Lily, terasa sangat hangat dan lembut."Menikahlah denganku, Alexandra Liliana Walton. Aku berjanji akan selalu menjagamu sebagai isteriku."Apakah cukup? Hanya dengan menginginkan fisikku saja, apakah cukup mempertahankan suatu hubungan pernikahan yang normal dan baik? Aku kira tidak. Bagaimana kalau kau bosan? Bagaimana kalau ada yang jauh lebih cantik dari aku? Terus terang, aku tidak tahu lagi seleramu, Rory.Tidak satu kata pun keluar dari mulut wanita itu saat ia memikirkannya. Karena ia telah mendapat jawaban dari lelaki itu tadi, tahu pada akhirnya memberikan kesimpulan untuk keputusannya sendiri.Tersenyum samar, Lily sudah memutuskan. Suaranya sangat lembut saat menjawab pertanyaan lelaki itu."Berikan aku waktu 3 hari untuk memikirkannya, Rory. Aku butuh waktu untuk mempertimbangkannya."Raut tidak setuju berkelebat di wajah Gregory, tapi pria itu akhirnya hanya mengangguk kaku."Baiklah. Kalau kamu memang membutuhkannya, aku bersedia menunggu. Aku akan datang lagi besok.""Datanglah 3 hari lagi. Aku akan memberikan keputusanku."Mendengar itu, mulut Gregory tampak menipis. Ia tidak pernah bernegosiasi dengan siapa pun tapi untuk wanita ini, dirinya entah mengapa terdorong untuk menurutinya."Dari dulu, kamu memang sangat sulit. Tapi baiklah. Aku akan menghormati keputusanmu."Tanpa diduga, pria itu kembali memberikan ciuman yang panas dan mer*mas gemas aset Lily hingga wanita itu mengeluarkan suara rintihan dalam tautan mulut mereka. Salah satu tangan mungilnya mencengkeram pergelangan Gregory yang benar-benar membuat jantungnya berdegup sangat liar di dalam.Suara kecupan yang nyaring terdengar jelas, saat lelaki itu melepaskan ciumannya. Wajahnya memerah dan nafasnya menderu. Terlihat jelas kalau pria ini memang sangat bern*fsu padanya."Sebagai bahan pertimbanganmu. Karena aku akan memberikan lebih banyak lagi saat kita sudah menikah nanti. Aku akan datang 3 hari lagi untuk menagih jawabanmu, Red."Bangkit berdiri, pria itu pun meninggalkan Lily tanpa mengatakan apapun lagi. Dan itu adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Tepat tiga hari setelah itu, Gregory menerima paket berisi cincin dan juga kartu hitam yang pernah diberikannya dulu. Saat terburu-buru datang ke rumah sakit, bukannya mendapatkan informasi, pria itu malah menghadapi situasi yang membuatnya mengamuk di lorong rumah sakit.Keributan kecil yang terjadi di siang hari itu sempat membuat sedikit kericuhan. Perlu 4 petugas keamanan untuk menenangkan pria yang sedang mencengkeram seragam seorang perawat lelaki di sana. Salah satu petugas yang berperawakan besar berusaha menarik lengan Gregory sekuat tenaga."Tuan! Tolonglah! Ini rumah sakit! Jangan membuat keributan di sini."Menggertakan giginya, mata pria yang sedang naik pitam itu menyapu sekelilingnya. Terlihat belasan pasang mata sedang memandanginya dengan sorot ketakutan. Menatap pria yang hampir dicekiknya ini, Gregory mendorong lelaki itu dengan punggung menabrak kencang meja pendaftaran. Tunggang-langgang, perawat itu langsung berdiri dan lari menjauh dari kerumunan.Merasa keributan sudah berakhir, beberapa petugas keamanan langsung melerai kumpulan manusia yang masih penasaran dan menonton pertunjukkan singkat itu. Petugas pria yang tadi mencekal lengan Gregory pun perlahan melepaskan tangan pria itu dan segera mundur."Tuan. Sebaiknya, Anda ikut dengan saya ke kantor."Menegakkan tubuhnya, Gregory merapihkan jasnya kaku. Matanya menatap tajam yang dapat membuat siapapun gemetar ketakutan."Untuk apa? Bukan saya yang membuat masalah di sini."Mulut petugas itu berubah kaku. Tangan kanannya bersiap mengambil senjata yang ada di pinggangnya."Tuan. Saya meliihat Anda yang hampir mencekik perawat tadi. Siapapun bisa jadi saksi di sini. Lebih baik-""Saya saksinya."Suara tua yang tenang itu membuat kedua pria yang bersitegang itu menoleh. Dari salah satu sudut ruangan, terlihat seorang dokter tua datang mendekati mereka. Ia berhenti di depan Gregory dan mengamatinya."Saya bersaksi melihat perawat tadi mengejek pria ini, officer."Mata tajam Gregory membaca papan nama yang tersemat di jas putih dokter itu. Dokter Edward H. Hills."Dokter Hills. Anda yakin?"Pertanyaan itu membuat dokter itu menoleh pada sang petugas dan mengangguk yakin."Tuan ini hanya menanyakan mengenai salah satu pasien, yang ternyata telah keluar dari rumah sakit tanpa diketahuinya. Pria ini baru saja akan pergi, saat perawat tadi mengatakan sesuatu yang cukup menghina."Masih menatap tidak suka pria berekspresi kaku di depannya, petugas itu terlihat skeptis."Apa yang dikatakannya?""Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer.""Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?"Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya."Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer."Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks. "Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?"Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya.Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter."Tersenyum meminta ma
Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya."Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K."Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang."Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu."Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily.Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak
"Gregory."Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki."Frederick."Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah."Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?""Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent."Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?"Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti."Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory."Kau benar. Dia memang sangat perfectionist.""Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?""Hmm.""Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di san
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur. Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut."Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu.""Muda? Bukannya waktu itu..."Pe
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika =Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya."Alexander."Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa."Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?""Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?""Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?"Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa
Di depan pintu kamar mandi di lantai dua itu, tampak sosok kecil yang sedang berdiri menunggu. Kedua tangannya yang mungil terlihat saling mer*mas gelisah. Menoleh ke kanan-kirinya, ia pun mengetuk gugup."Lory? Masih lama?"Suara teredam terdengar dari dalam. "Sebentar lagi, Lils. Masih belum keluar. Tunggu di situ dulu ya.""Kenapa tidak di kamarku saja, sih? Biar lebih enak.""Tanggung, Lils. Biar ga' bolak-baik. Tinggal satu lagi. nih.""Cepetan ya!""Iya! Iya!"Menghela nafasnya gugup, gadis kecil itu menunduk dan menatap kedua telapak tangannya yang memerah. Sedikit rileks, ia mengusap-usap tangannya sambil melamun. Selama beberapa saat, gadis itu masih asyik membersihkan jari-jarinya yang ternyata ternoda tinta di beberapa tempat. Ia sama sekali tidak sadar ada seseorang yang mendekat dari arah belakangnya."Red?"Tidak menoleh karena panggilan itu, sebuah tangan terulur ke arahnya. Badan mungil itu terlonjak saat telapak besar itu menepuk pelan bahunya."OH!?"Sangat terkejut,
Pesta kecil di rumah keluarga Walton baru selesai hampir pukul 10 malam. Saat ini, pasangan itu berhadapan dengan tamu terakhir yang tampaknya enggan untuk meninggalkan lokasi. Tatapan Rod terlihat mengarah ke tangga melingkar yang berada di depannya.Menepuk bahu temannya, Alex mend*sah pelan."Sudahlah, Rod. Gadis-gadis seusianya memang seperti itu. Apalagi saat ini Lorelai baru kehilangan figur ibu. Biarkan saja dulu dia bersama Lily. Lagipula, di sini ada Liliana kalau memang anakmu butuh teman bicara.""Tapi aku tetap khawatir, Alex. Sudah beberapa hari ini, anak itu kelihatan susah makan. Aku bahkan harus meminta Gregory jauh-jauh datang hari ini hanya untuk membawa makanan kesukaannya dari NY."Tampak pria muda di samping Rod mengulurkan sebuah bungkusan ke arah tuan rumah."Paman Alex. Tolong berikan ini pada Lory. Aku sudah berusaha menemuinya tadi, tapi dia sama sekali tidak mau membuka pintu. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memberikan makanan ini kecuali melalui dirimu."
Suasana kelabu serta berat terasa menggantung dalam rumah yang tadinya penuh tawa dan kegembiraan di dalamnya. Musim gugur yang sebentar lagi akan datang, menimbulkan angin kencang dan menerbangkan dedaunan yang banyak berjatuhan ke halaman rumah yang terlihat kosong itu. Kolam yang tadinya selalu berisi air yang jernih, sekarang tampak kering dan mulai dipenuhi daun-daun yang berguguran di dalamnya. Tidak terlihat sama sekali bekas pesta kecil yang baru diadakan satu setengah bulan lalu di sana.Dalam sebuah ruangan di rumah besar itu, tampak dua pasang mata sedang menatap sosok kecil yang berdiri di tengah ruangan. Terasa hawa canggung dan tidak nyaman di sana.Suara yang sangat lembut mengalun di ruang perpustakaan besar itu. "Liliana... Kau yakin akan pergi?"Kepala Lily mengangguk dan tatapannya tertunduk ke bawah. Posturnya tampak kaku."Lily. Kami sama sekali tidak mau kalau kau pergi dalam keadaan seperti ini. Peristiwa itu sama sekali bukan kesalahanmu, darling. Semua ada di
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya