"Rory..."
Pelukan lelaki di atasnya mengerat dan gerakannya semakin cepat. Tangan-tangan pria itu yang mengusap tubuhnya terasa tidak sabar dan penuh dengan kelaparan. Lily merasakan seluruh wajahnya diciumi dengan rakus dan saat akhirnya merasakan kelembutan di mulutnya, wanita itu memeluk pria yang menindihnya dan mereka pun bergerak bersamaan. Keduanya saling memberikan kenikmatan melalui mulut masing-masing yang saling melahap dengan suara cecapan nyaring.Gelombang demi gelombang eforia dirasakan oleh wanita yang berada dalam ambang kesadaran itu. Ia menggigit bahu pria di pelukannya dan memberikan cakaran di punggungnya. Tubuh keduanya bergetar bersamaan dan pelukan mereka semakin mengencang satu sama lain. Suara lenguhan terdengar di telinga wanita itu dan terasa ciuman penuh kelembutan di dahinya yang berkeringat. Lily masih sempat mendengar seseorang berbisik padanya sebelum ketidaksadaran menghampirinya lagi."Liliana Walton... Kamu... ku... Aku... mu... Tu... aku..."Saat membuka mata, wanita itu terbangun di tempat tidurnya sendiri. Sendirian. Sama sekali tidak ingat bagaimana dan kapan ia pulang ke apartemennya sendiri. Memandang sekelilingnya, Lily merasa tubuhnya bersih seperti telah mandi. Tidak ada pula jejak-jejak merah seperti sebelumnya, membuatnya ragu apakah yang ia alami tadi malam kenyataan atau hanya mimpi.Sambil terduduk, Lily makin menempelkan selimut ke d*danya dan mengusap lengannya sendiri. Wanita itu kebingungan. Bingung dan hatinya kembali tidak karuan. Perasaannya pada lelaki itu ternyata belum hilang sepenuhnya. Di saat ingin melepaskannya, bayang-bayangnya malah kembali lagi. Parahnya, sosok pria itu malah menghantuinya dalam mimpi-mimpinya yang er*tis.Cukup yakin kalau bayangan tadi malam itu hanya mimpi, Lily membuka selimut dan menjejakkan kakinya ke lantai karpet di bawahnya. Baru saja akan berdiri, sesuatu di atas nakas membuat kulit wajahnya memucat dengan sangat cepat. Gemetar, tangan wanita itu mengambil kertas kecil di sana dan membacanya.Telepon aku.Matanya nanar saat ia melihat sebuah kartu berwarna hitam ikut tergeletak di sana. Meraihnya, tangan Lily semakin gemetar saat tahu fungsi benda yang sedang digenggamnya. Penuh kemarahan, ia merobek kertas kecil itu dan melemparkan kartu hitam tadi ke lantai. Seluruh kulitnya memerah dan tubuhnya bergetar penuh rasa marah, juga malu. Ia merasa seperti 'wanita malam' yang telah dibayar untuk jasa layanannya. Hal yang dilakukan lelaki ini jauh lebih menyakitkan daripada ia diberikan tamparan atau makian langsung.Memeluk dirinya sendiri, wanita itu menghambur ke kamar mandi dan membanting pintunya kencang.Hari itu adalah hari terakhir Lily mendengar kabar dari Gregory. Setelah malam panas itu, pria itu langsung pergi ke Amerika Selatan untuk melakukan tender dengan salah satu perusahaan di sana. Rencananya untuk resign buyar berantakan saat ketidakhadiran lelaki itu membuat banyak pekerjaan menumpuk, dan ia pun tidak tega untuk keluar dengan pemberitahuan mendadak. Timnya masih sangat membutuhkannya.Selama hampir 1 bulan, tidak pernah sekali pun lelaki itu menghubunginya hingga kecelakaan fatal itu terjadi. Kecelakaan yang membuat perasaannya pada pria itu benar-benar berakhir.Siang itu di rumah sakit, Lily duduk di tempat tidur rumah sakit sambil memandangi jendela. Kedua mata birunya yang biasanya jernih dan hidup, kali ini terlihat mati. Tatapannya entah mengarah kemana dan ia hanya menatap pemandangan pepohonan dari jendela segi empat dengan ekspresi kosong. Ketukan pelan yang berasal dari arah pintu pun tidak mampu membuatnya berpaling. Ia akhirnya menoleh, saat terdengar suara familiar di belakangnya. Suara dari seseorang yang kini sangat dibencinya."Lily..."Menatap sosok yang berdiri di depannya, Lily merasakan hampa. Ia tidak merasakan apapun. Bahkan benci yang berbulan-bulan dirasakannya pun menghilang. Kehadiran lelaki ini yang dulu mampu memberikan getar dan letupan kegembiraan, kini tidak ada lagi. Pandangan wanita itu naik dan bersitatap dengan mata biru yang mirip dengan miliknya sendiri. Benaknya bertanya-tanya, apa yang ia lihat dari pria di depannya ini?Sejak dirinya kecil hingga remaja, Lily telah mengenal sosok Gregory. Selama itu pula, ia tahu kalau pria itu kasar dan bermasalah. Beberapa kali lelaki itu terlibat perkelahian, membuatnya harus pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Ia juga pernah masuk ke satu geng motor dan mentato tubuhnya.Kelakuannya sedikit membaik saat masuk kuliah dan menemukan minat di bidang arsitektur. Otaknya yang encer, membuatnya tidak masalah menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan meraih predikat terbaik di universitas. Pria itu juga melanjutkan pendidikannya dan tergabung dengan salah satu konsultan arsitektur terbesar, sebelum akhirnya mendirikan miliknya sendiri.Gregory mungkin bisa membersihkan nama baiknya. Ia juga dapat meniti karirnya dan bahkan memudarkan tato yang pernah menghiasi lengannya. Tapi satu hal yang tidak akan pernah hilang dari dirinya, dan itu predikat playboy-nya. Pria itu sepertinya masih tetap berkencan dengan mereka yang penasaran dengan sosoknya yang bad boy, dan hampir semua wanita itu pergi dengan berlinang air mata.Di mata Lily, Gregory Harrington adalah pria yang tidak akan pernah puas dengan satu wanita.Barulah saat tergabung dengan Ashley & Associates, Lily mengetahui nama lengkap Gregory dan sadar kalau pria itu ternyata sama sekali tidak memiliki hubungan dengan keluarga Harrington. Dulu, ia mungkin bisa saja mengorek informasi dari mereka, tapi kini silaturahmi itu telah lama terputus. Renggangnya hubungan dirinya dengan orangtuanya sejak belasan tahun lalu pun, salah satunya adalah karena ulah pria itu.Lelaki itu benar-benar telah menghancurkan hidupnya.Sama sekali tidak ada untungnya mencintai pria ini sekian lama. Cintanya hanya memberinya rasa sakit lagi dan lagi. Ia seperti seorang masokis yang senang menyiksa diri. Hati Lily serasa teriris sembilu. Tadinya ia mengira dengan mencoba akrab, pria ini akan mau membuka hati. Tapi ternyata semuanya sia-sia saja.Masih menatap Gregory, Lily menunggu datangnya air mata yang biasanya muncul saat memandang wajah lelaki itu. Ia menunggu dan menunggu, tapi ternyata cairan itu tidak pernah muncul di kelopaknya. Kepalanya berpaling lagi ke arah jendela. Mulutnya membisu.Mengamati sosok wanita di depannya, pria itu terlihat menelan ludah. Baru sadar dengan buket yang sedang dipegangnya, lelaki itu berjalan mendekat dan meletakkannya di meja nakas. Ragu, ia menatap Lily."Lily-""Kenapa datang ke sini?"Suara wanita itu samar. Terdengar sayup-sayup di ruangan itu dan membuat Gregory merasa dirinya telah salah mendengar. Keningnya sedikit berkerut."Lily?""Kenapa kau datang ke sini, Greg?"Kepala Lily akhirnya menoleh dan menatap mata Gregory. Jakun lelaki itu terlihat naik-turun tidak teratur saat ia menelan ludahnya. Pria itu tampak gugup. Sungguh pemandangan yang sangat langka."Lily. Aku bisa menjelaskan-""Menjelaskan apa?"Wanita itu terdengar seperti berbisik. Sama sekali tidak ada nada kemarahan dalam suaranya."Lily. Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi jaringan di sana sangat parah. Sulit sekali untuk-""Greg. Aku tidak pernah memintamu menjelaskan. Apapun yang kau lakukan di sana dan dengan siapa pun, itu bukan urusanku. Aku hanya bertanya, untuk apa kau datang ke sini?"Keheningan menyesakkan terjadi di ruangan itu. Dua orang itu hanya saling menatap dalam diam, sampai akhirnya suara rendah lelaki itu kembali terdengar."Aku tahu kamu marah karena aku pergi tiba-tiba. Aku berniat kembali secepat mungkin Red, tapi-""Aku tidak marah. Kenapa kau menyangka kalau aku marah?"Kening Gregory semakin berkerut. Ada yang tidak wajar dari reaksi wanita itu."Lily? Kamu baik-baik saja, kan? Ada yang terjadi selama aku meninggalkanmu?"Dengusan lembut terdengar dari hidung Lily dan wanita itu berpaling lagi ke jendela. Tatapannya tampak menerawang, memandang ke arah luar."Lily?"Menghela nafasnya, wanita itu menatap Gregory kembali. Mata birunya tampak bergerak-gerak pelan."Ada hal yang ingin kutanyakan padamu sebenarnya. Apa kau mau menjawabnya?"Menegakkan tubuhnya, Gregory mengangguk kaku. Pria itu menyimpan kedua tangan di saku celananya. Posturnya tampak percaya diri dan terasa dominan dalam ruangan kecil itu."Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya."Jeda sejenak sebelum suara lembut wanita itu mengalun lagi. "Kenapa kau melakukannya, Greg?"Dahi pria itu yang mulus lagi-lagi berkerut. "Melakukan? Melakukan apa, maksudmu?""Memp*rkosaku."Tubuh pria itu tegak berdiri seperti papan. Kedua tangannya yang tadi di saku perlahan mulai dikeluarkan."Tidak hanya sekali, Greg. Tapi berkali-kali. Aku hanya penasaran, kenapa kau melakukannya?"Masih terdiamnya pria itu, membuat Lily mengulum senyum penuh ironi. Ia kembali memalingkan wajah, sama sekali tidak tahan melihat ekspresi lelaki itu yang selalu datar dan dingin saat memandangnya."Sudahlah. Tidak usah kau-""Karena aku menginginkanmu."Jawaban itu membuat Lily menatap Gregory kembali. "Kau menginginkanku?""Aku menginginkan dirimu. Sejak dulu."Pengakuan itu sempat membuat hati Lily mekar, namun ia segera tersadar. Ingatan beberapa minggu lalu, harus menampar dirinya dengan kenyataan yang pahit."Bagaimana rasanya?" Pertanyaan wanita itu terdengar seperti gumaman."Rasanya?""Apa 'sedingin' seperti yang kau bilang dulu? Karena aku wanita yang pendek dan pucat, maka rasaku pun tidak akan seenak mereka yang bertubuh tinggi dan s*ntal? Seperti wanita be-rok mini waktu itu?"Perkataan sangat tajam itu membuat wajah pria di depannya semakin kaku dan perlahan memucat. Cuping hidungnya yang sempit tampak melebar saat lelaki itu menghembuskan nafasnya berat."Kata-kata itu tidak berarti, Red. Saat itu-""Sudah kubilang, tidak usah menjelaskan apapun."Bahu lebar lelaki di depannya tampak terangkat naik saat ia menghela nafasnya dalam. Kedua tangannya mengepal dan tatapannya berubah tajam."Tapi aku HARUS menjelaskannya padamu. Aku tidak mau kamu salah paham padaku, Red. Seperti dulu.""Aku yakin tidak akan salah paham mengenai dirimu, Gregory. Sekarang aku tanya, apa hubungan kita?"Urat-urat di sepanjang lengan pria itu tampak menonjol ketika tangannya semakin mengepal kuat."Kau tidak bisa menjawabnya, kan? Jujur saja pada dirimu sendiri, Greg. Kau menginginkanku, karena kau penasaran. Setelah mendapatkanku, apa ada yang berubah di antara kita? Tidak ada."Entah dorongan dari mana, tapi Lily benar-benar ingin menuntaskan kekesalannya. Wanita itu sudah tidak mau lagi menyaring kata-katanya dan tidak peduli, bila perkataannya dapat menyakiti pria itu dengan sengaja atau pun tidak. Ia hanya ingin melampiaskan kemarahan terpendamnya selama ini."Aku bukan kekasihmu. Aku bahkan bukan wanitamu. Aku hanyalah penghangat di ranjangmu. Kau gunakan saat kau ingin, dan buang saat kau sudah bosan.""Red. Hentikan. Kata-katamu mulai membuatku marah.""Tidak. Aku tidak mau berhenti, Greg! Kali ini, aku tidak mau berhenti dan kau yang harus mendengarkan!"Nada wanita itu yang meninggi, membuat lelaki itu terdiam."Kau bilang kau telah meninggalkanku tadi? Tidak. Kau TIDAK pernah meninggalkanku Gregory, karena kau memang tidak PERNAH bersamaku."Kaki jenjang lelaki itu tampak mendekat dan lengannya terulur ke arah wanita itu. Mencoba meraihnya."Liliana. Please. Dengarkan aku dulu. Kamu masih shock saat ini."Pertama kalinya Lily mendengar kelembutan dalam suara Gregory yang biasanya kasar dan dingin. Sayang, pijar di hati wanita itu telah padam di dalam."Aku bilang, kali ini kau yang harus mendengarkan dan kuharap, kau benar-benar mendengarkannya karena aku tidak akan mengulanginya lagi Gregory Ashley!"Suara tegas Lily yang dingin dan kaku membuat langkah pria itu terhenti. Kepalanya akhirnya mengangguk. Tangannya kembali berada dalam saku."Baiklah. Aku akan mendengarkan."Sikap Gregory yang terlihat santai dan biasa-biasa saja, mulai menimbulkan percikan kemarahan di hati Lily. Ia benar-benar membenci lelaki ini, yang tampak tidak bersalah telah merebut harta berharganya. Harta yang telah dijaganya selama 25 tahun untuk pria yang akan menjadi suaminya kelak. Tidak akan pernah ia memaafkan pria ini. Tidak akan, sampai lelaki ini berlutut di hadapannya!Berusaha menenangkan diri, kedua tangan mungil Lily mengepal. Ia memalingkan kepala dan menatap ke arah dinding kosong di depannya. Setelah beberapa saat, wanita itu merasakan dirinya lebih tenang."Kau belum menjawab tadi. Kenapa kau datang ke sini?"Suara pelan di meja nakas, membuat Lily menoleh. Wanita itu tertegun melihat kotak beledu hitam di sana."Apa ini?""Aku datang ke sini karena ingin menikahimu, Red."Masih menatap nanar kotak itu, Lily bertanya pelan. "Kenapa?"Belum mendengar suara Gregory, Lily mendongak dan pria itu ternyata sedang memandang ke arah lain."Greg? Kenapa kau ingin menikahiku?"Kepala pria itu berpaling dan menatapnya lagi. "Karena kamu telah menjadi milikku."Bukannya kegembiraan yang dirasakan Lily, melainkan rasa terhina. Wanita itu menundukkan kepalanya."Kau merasa bertanggungjawab."Tarikan nafas kasar terdengar dari hidung Gregory. Pria itu tampak kesal. Dengan kasar, lelaki itu menyambar kotak beledu tadi dan langsung memakaikan cincin berbulirkan berlian itu di jari manis Lily. Tampak pria itu telah mengenakan cincin polos yang mirip di jari manisnya sendiri.Menimang jari-jari Lily di tangannya, senyuman sangat samar terlihat di sudut mulut Gregory."Ternyata ukurannya pas."Belum dapat berkata-kata, mata Lily mengerjap pelan dan menatap cincin indah di jarinya. Bentuk cincin itu sederhana dan cenderung polos, tapi satu batu berwarna biru di tengah membuatnya terlihat istimewa. Keterkejutannya belum berhenti saat Gregory tiba-tiba saja menunduk dan memberikan kecupan di dahinya.Telapak pria itu yang lebar dan hangat terasa menepuk serta memberikan r*masan lembut di bahunya."Jangan mengatakan apapun dulu. Saat ini, kamu masih shock karena kecelakaan kemarin dan aku tidak mau membuatmu makin tertekan. Aku akan datang lagi besok."Sosok lelaki di depannya yang masih belum beranjak, membuat Lily menengadah. Raut pria itu terlihat ragu-ragu saat tangan kirinya mengusap lembut pipi wanita itu yang pucat. Kepalanya menunduk dan lelaki itu memberikan ciuman dalam pada bibirnya. Aliran nafas Gregory terasa panas dan terdengar terengah, saat akhirnya melepas ciumannya. Jempolnya mengusap bibir bawah wanita itu yang memerah.Dahi Lily kembali menerima ciuman sayang dari pria di depannya."Aku akan datang lagi besok. Istirahatlah yang cukup malam ini, Liliana." Tidak menunggu jawaban Lily, pria itu pun akhirnya pergi meninggalkan wanita itu sendirian.Mengusap-usap cincin di jarinya, sebutir air terlihat jatuh dan mengalir lembut di permukaannya yang licin. Kedua mata Lily menutup dan perlahan, ia melepaskan cincin itu dari jarinya."Kamu tidak perlu bertanggungjawab padaku, Greg. Karena tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan.""Bagaimana keadaanmu?"Kepala mungil Lily mengangguk dan bibirnya tersenyum lembut."Lebih baik, dok. Terima kasih."Merapihkan selimut pasien, perawat wanita itu mengangguk pada sang dokter."Ada lagi, dokter Hills?""Tidak ada, Martha. Terima kasih. Kamu boleh pergi."Menatap kepergian perawat itu, kepala Lily menoleh pada sang dokter dan tersenyum."Saya tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan Anda di sini, dok. Bersama Martha."Menarik kursi ke arah tempat tidur, dokter yang telah berambut putih itu akhirnya duduk. "Sudah saatnya aku pensiun, Lily. Marta-pun sudah setuju. Karena itu, kami memutuskan menghabiskan sisa masa pengabdian kami di kota ini. Lagipula, kota ini jauh lebih tenang dibanding CA yang ramai."Mendengar itu, Lily terkekeh pelan. "Benar juga."Setelah itu, dua orang itu terdiam sejenak. Menatap wajah Lily yang sendu, dokter itu meraih tangan mungil yang masih pucat itu dan mer*masnya lembut."Jujurlah padaku, Lily. Bagaimana sebenarnya perasaanmu sekarang? Kau
"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?"Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya."Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer."Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks. "Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?"Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya.Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter."Tersenyum meminta ma
Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya."Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K."Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang."Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu."Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily.Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak
"Gregory."Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki."Frederick."Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah."Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?""Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent."Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?"Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti."Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory."Kau benar. Dia memang sangat perfectionist.""Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?""Hmm.""Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di san
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur. Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut."Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu.""Muda? Bukannya waktu itu..."Pe
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika =Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya."Alexander."Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa."Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?""Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?""Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?"Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa
Di depan pintu kamar mandi di lantai dua itu, tampak sosok kecil yang sedang berdiri menunggu. Kedua tangannya yang mungil terlihat saling mer*mas gelisah. Menoleh ke kanan-kirinya, ia pun mengetuk gugup."Lory? Masih lama?"Suara teredam terdengar dari dalam. "Sebentar lagi, Lils. Masih belum keluar. Tunggu di situ dulu ya.""Kenapa tidak di kamarku saja, sih? Biar lebih enak.""Tanggung, Lils. Biar ga' bolak-baik. Tinggal satu lagi. nih.""Cepetan ya!""Iya! Iya!"Menghela nafasnya gugup, gadis kecil itu menunduk dan menatap kedua telapak tangannya yang memerah. Sedikit rileks, ia mengusap-usap tangannya sambil melamun. Selama beberapa saat, gadis itu masih asyik membersihkan jari-jarinya yang ternyata ternoda tinta di beberapa tempat. Ia sama sekali tidak sadar ada seseorang yang mendekat dari arah belakangnya."Red?"Tidak menoleh karena panggilan itu, sebuah tangan terulur ke arahnya. Badan mungil itu terlonjak saat telapak besar itu menepuk pelan bahunya."OH!?"Sangat terkejut,
Pesta kecil di rumah keluarga Walton baru selesai hampir pukul 10 malam. Saat ini, pasangan itu berhadapan dengan tamu terakhir yang tampaknya enggan untuk meninggalkan lokasi. Tatapan Rod terlihat mengarah ke tangga melingkar yang berada di depannya.Menepuk bahu temannya, Alex mend*sah pelan."Sudahlah, Rod. Gadis-gadis seusianya memang seperti itu. Apalagi saat ini Lorelai baru kehilangan figur ibu. Biarkan saja dulu dia bersama Lily. Lagipula, di sini ada Liliana kalau memang anakmu butuh teman bicara.""Tapi aku tetap khawatir, Alex. Sudah beberapa hari ini, anak itu kelihatan susah makan. Aku bahkan harus meminta Gregory jauh-jauh datang hari ini hanya untuk membawa makanan kesukaannya dari NY."Tampak pria muda di samping Rod mengulurkan sebuah bungkusan ke arah tuan rumah."Paman Alex. Tolong berikan ini pada Lory. Aku sudah berusaha menemuinya tadi, tapi dia sama sekali tidak mau membuka pintu. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memberikan makanan ini kecuali melalui dirimu."
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya