"Halo, Red."
Suara Gregory yang rendah dan terdengar mengancam, membuat kedua kaki Lily gemetar. Dalam benaknya, berkelebat peristiwa beberapa malam lalu ketika pria itu memp*rkosanya di ruangan ini. Mata birunya tampak panik dan jelalatan mencari jalan keluar dari ruangan terkunci ini. Mungkin dia bisa berteriak dan memberi peringatan pada Mike yang masih di luar.Mengambil nafas dalam, Lily mendorong dirinya dan berusaha lari menuju pintu. Sudah diduga, kaki-kaki kecilnya tidak mampu mengimbangi langkah Gregory yang panjang dan lebar. Dengan mudah, pria itu menarik pinggangnya dan memaksa wanita itu untuk menempel ke dinding. Ia bisa merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh lelaki itu yang saat ini menekannya dari belakang.Suara yang keluar dari mulut lelaki itu terasa sangat berat dan mengalirkan udara panas di telinganya."Mau kemana kamu, Red? Mau kabur lagi, hmmh...?"Kedua tangan Lily menekan ke arah dinding dan ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Lelaki itu benar-benar menempel padanya seperti cicak.Menahan tangisnya, wanita itu berusaha mengeluarkan nada tegas dalam suaranya."Lepaskan aku, Greg!"Kekehan rendah terdengar dari arah belakang Lily, membuat bulu kuduknya meremang di lehernya."Kalau tidak, kamu mau melakukan apa? Memukulku?"Mengepalkan kedua tangannya, wanita itu berusaha memberontak dengan sangat sia-sia. Ia bisa merasakan tangan besar pria itu mulai mengusap perutnya dan perlahan menuju d*danya. Gelombang rasa takut yang kuat dirasakan wanita itu ketika telapak tangan lelaki itu yang panas mencengkeram asetnya penuh n*fsu."Ugh!"Mata Lily mulai berlinang air mata. Ia tahu pria itu akan mengulangi perbuatannya lagi. Putus asa, ia berusaha memegang kedua pergelangan Gregory. Dirinya harus mempertahankan sisa harga dirinya yang sebenarnya hanya tinggal serpihan saja di mata lelaki itu."Gregory. Please, jangan lakukan ini. Aku mohon."Bukannya berhenti, tangan pria itu malah terasa semakin kuat memberikan r*masan gemas di asetnya dan membuatnya menjerit kecil karena kaget. Tubuhnya makin gemetar saat salah satu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan menyentuh area pribadinya. Mata Lily menutup erat ketika merasakan jari-jari kuat yang panjang mulai membuka resliting celana panjangnya dengan paksa. Air mata wanita itu akhirnya menetes ke pipi saat merasakan hawa panas menyerang bagian sensitifnya dan membuatnya merintih perih."Rory... Please... Jangan-"Tekanan jari-jari lelaki itu yang panjang semakin kuat di area bawah tubuhnya. Semakin cepat gerakannya, Lily bisa merasakan d*sah nafas Gregory yang makin memberat di belakangnya. Kepala pria itu terbenam di lehernya dan mulutnya yang panas terasa menciumi dan mengigiti kulit telinganya. Bulu-bulu kasar di wajah lelaki itu terasa menggesek kulit pipinya yang halus."Lily... Lily... Hhh... Hhh..."Pria itu mend*sah rendah dan suaranya terdengar sangat serak. Pinggulnya mulai maju-mundur mengikuti gerakan tangannya yang makin gencar di bawah. Lelaki itu dapat merasakan otot-otot wanita di pelukannya perlahan menegang dan mulai menghisap kencang jari-jarinya di dalam.Tidak bisa ditahannya, pekikan kecil keluar dari mulut Lily ketika ia merasakan pelepasan yang kuat karena perbuatan pria di belakangnya. Tubuhnya gemetar dan ia mengalami sensasi luar biasa yang membuatnya berkeringat dan lemas. Hampir saja ia merosot ke bawah jika tidak ditahan tangan Gregory di pinggangnya.Ketika lelaki itu membalikkan tubuhnya, Lily sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan lagi. Kepalanya terasa pusing saat merasakan pengalaman er*tis untuk yang kedua kalinya. Ia juga hanya dapat menatap mata biru Gregory tanpa daya, saat pria itu perlahan menyatukan tubuh mereka. Rasa panas dan penuh terasa memenuhi dirinya ketika lelaki itu mulai bergerak konstan."Egh... Ro- Rory..."Tubuh Lily benar-benar lemas seperti jelly. Ia hanya pasrah saja ketika Gregory mengangkat badannya lebih tinggi untuk menyender ke tembok. Ia juga hanya bisa mencengkeram bahu lelaki itu yang kuat, saat dirinya dipaksa menerima hujaman demi hujaman dari pria itu dan menjerit untuk kedua kalinya. Ciuman demi ciuman panas diberikan lelaki itu pada mulutnya yang terbuka.Kesadarannya makin menipis saat ia merasakan pria itu menggendongnya dan membaringkannya ke sesuatu yang empuk. Tapi hentakan demi hentakan itu masih belum berhenti dan kali ini, Lily sudah tidak tahan lagi. Wanita itu akhirnya menjerit sekuatnya sebelum akhirnya kegelapan melingkupinya.Ia pingsan.***Saat terbangun, hal pertama yang dirasakan Lily adalah otot-otot tubuhnya yang terasa melemas dan rileks. Sinar matahari dari jendela, membuat matanya memicing dan ia mengusap kelopak matanya malas. Sebuah kesadaran yang datang, membuat wanita itu tiba-tiba saja duduk dan menatap ke sekelilingnya. Nafasnya berat dan degup jantungnya menguat. Ternyata, ia berada di kamarnya sendiri.Rasa lega yang sempat dirasakannya memudar, saat ia menunduk dan melihat kondisinya yang polos tanpa pakaian. Tampak sedikit memar dan bercak kemerahan di beberapa tempat, membuat Lily sadar kalau ia tidak bermimpi. Pria itu benar-benar mengulangi perbuatan b*jatnya lagi.Menggigit bibirnya kuat, wajah wanita itu memanas dan ia dapat merasakan air menggenang di kelopak matanya. Perutnya terasa mual dan memaksanya berlari ke toilet. Sampai di sana, ia memuntahkan air dari tenggorokannya beberapa kali. Bersender lemas di kloset, kedua kaki Lily menekuk dan ia membenamkan kepalanya dalam-dalam. Tidak lama, terlihat guncangan di kedua bahunya yang mungil. Ia menangis.Wanita itu menangisi nasibnya yang buruk. Ia menangisi dirinya yang telah mencintai pria yang salah. Pria yang telah menyakitinya hingga ia memutuskan pergi, dan kembali menyakitinya saat mereka bertemu lagi.Semakin memeluk kedua kakinya, kepala Lily terbenam makin dalam. Hati wanita itu telah hancur di dalam. Benih-benih cinta yang telah dipupuknya selama belasan tahun, kini mulai layu dan perlahan mati. Ia sudah tidak memiiki apapun untuk dapat memupuk perasaannya. Ia tidak punya kekuatan lagi.Beberapa jam setelahnya, ia memarkirkan kendaraannya di area lapang yang luas. Menarik nafasnya berat, Lily meraih tas kantornya dan merogoh ke dalam. Terlihat amplop putih bersih di tangannya. Kepalanya menoleh memandang bangunan megah di depannya dan kembali ia menghela nafasnya. Hatinya terasa sangat sakit ketika ia akhirnya tahu akan menyerah. Ia telah menyerah untuk pria itu. Matanya yang biru memerah dan ia akhirnya menyimpan kembali benda itu ke dalam tasnya.Keputusannya sudah bulat, dan seharusnya ia lakukan setengah tahun lalu. Selama ini, ia hanya membohongi dirinya. Ia sendiri yang telah menyakiti dirinya dengan mencoba bertahan di tempat ini. Lelaki itu tidak akan pernah memaafkannya. Sampai kapan pun, ia akan tetap disakiti oleh pria itu. Dari dulu hingga sekarang, dirinya tidak akan pernah menempati tempat apapun di hati Gregory Ashley.Peristiwa belasan tahun lalu seharusnya telah membuka matanya. Ia boleh saja mengatakan apapun sampai mulutnya berbusa, tapi pria itu tidak akan pernah mendengarnya. Ia hanya akan mendengar hal yang mau didengar, dan melakukan hal yang diinginkannya tanpa mempedulikan orang lain. Sama seperti dalam pekerjaannya. Pria itu hanya akan memilih tim yang dapat mendukungnya untuk menang dan menendang mereka yang dianggap tidak berguna. Dan Lily sadar, ia sama sekali tidak berguna dalam hidup lelaki itu.Menguatkan dirinya, ia keluar dari mobil dan melangkah mantap memasuki gedungnya. Baru saja wanita itu meletakkan tas kantornya ke meja, tiba-tiba saja Mike keluar dari ruangannya. Tampak tampangnya pucat."Alex! Oh, syukurlah kau sudah datang!""Mike? Ada apa?"Tidak menjawab, pria gempal itu malah menariknya untuk masuk ke ruangan. Di dalam, ternyata sudah ada beberapa orang yang mengelilingi sebuah meja besar di sana. Mereka semua terlihat pucat dan sepertinya tidak tidur semalaman. Entah jam berapa pria itu meminta timnya untuk datang ke kantor. Mike tampak panik saat menoleh padanya."Amber keracunan makanan tadi malam dan belum menyelesaikan design-nya. Spesifikasi dan meterial pun belum selesai dipilihnya, sedangkan tadi bos tiba-tiba saja meminta masternya selesai besok pagi. Kami tidak punya waktu lagi. Aku tahu kau sedang memegang project lain tapi aku minta kau membantuku, Walton. Hanya kau di sini yang memahami interior dibanding lainnya."Alis Lily sedikit naik saat mendengar pria itu akhirnya mengucapkan namanya dengan benar. Melihat situasi di depannya, tadinya ia ingin menolak. Ia juga memiliki deadline yang ketat untuk project-nya sendiri tapi saat melihat tampang-tampang penuh harapan sedang memandangnya, rasa kasihan wanita itu membesar."Baiklah. Aku akan sedikit membantu, tapi hanya untuk interior-nya saja. Aku juga ada project yang harus segera diselesaikan.""Kapan deadline-nya?""Dua hari lagi. Tapi kau tahu-""Masih ada waktu. Aku akan membantumu nanti."Memberikan senyum kecut, Lily sangat tahu kalau itu hanyalah janji omong kosong. Pria gempal itu sangat jarang mau dimintai bantuan, kecuali untuk project-project besar yang juga menghasilkan cuan besar. Dan pekerjaan skala kecil yang sedang ditanganinya, tidak akan pernah mau dipegangnya.Tidak diberikan waktu untuk berfikir, pria itu menyuruhnya untuk duduk dan dalam beberapa jam ke depan, wajah Lily pun terbenam dalam pekerjaannya. Wanita itu telah melupakan sama sekali misinya tadi pagi. Yang ada di hadapannya hanyalah kertas kerja dan contoh-contoh material yang harus dipilihnya segera.Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam saat akhirnya ia menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya penat dan kepalanya mulai pusing karena terforsir seharian ini. Ia sebenarnya ingin pulang, tapi takut jika menyetir dalam keadaan capek seperti ini. Memandang ke sekelilingnya, tampak pemandangan familiar tubuh-tubuh yang tergeletak tidak karuan. Wajah-wajah mereka semua tampak lelah, dan sama sekali tidak peduli dimana mereka tidur. Yang penting bisa meluruskan tubuh dan terlelap dengan cepat.Meregangkan tubuhnya, Lily berdiri dari duduknya dan hampir jatuh kembali. Sadar dirinya tidak punya tenaga lagi, wanita itu keluar dari ruangan dan berusaha mencari sisa sofa yang masih bisa dipakainya untuk beristirahat. Waktu deadline yang saling berdekatan antar project, membuat sebagian besar dari tim di konsultan ini harus lembur di saat yang bersamaan. Tidak ada yang peduli satu dengan lainnya, terutama bila kaitannya dengan tempat mereka tidur di kantor ini.Kantor konsultan ini sebenarnya memberikan jatah bagi karyawannya yang lembur untuk menginap di hotel, tapi tidak ada yang pernah mengambilnya. Jarak antara hotel dan kantor sebenarnya tidak jauh, namun mereka semua terlalu malas dan menganggap perjalanan itu membuang banyak waktu.Menghempaskan dirinya di satu-satunya sofa tunggal yang tersisa, Lily menggelung tubuhnya dengan mantel tipis dan tidak butuh waktu lama, dengkuran halus terdengar dari hidungnya. Ia telah terlelap.Di dalam kabut yang samar-samar, wanita itu merasakan tubuhnya melayang dan bergoyang-goyang lembut. Tekanan dan hawa panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat wanita itu akhirnya membuka matanya yang masih terasa berat. Telinganya mendengar d*sahan dan erangan seseorang. Badannya pun terasa lengket dan berkeringat tapi ia hanya bisa menatap sayu orang di depannya.Dalam pandangannya yang kabur, ia melihat sosok seseorang yang sedang menciuminya dan mend*sahkan namanya beberapa kali. Kilasan warna biru dari mata orang di depannya, membuat Lily mengangkat tangan dan mengusapkannya ke kepala orang tersebut. Ia dapat merasakan rambutnya yang halus dan ikal di jari-jarinya. Bibirnya tersenyum lembut, saat menyadari siapa orang yang sedang bergerak di atasnya."Rory...""Rory..."Pelukan lelaki di atasnya mengerat dan gerakannya semakin cepat. Tangan-tangan pria itu yang mengusap tubuhnya terasa tidak sabar dan penuh dengan kelaparan. Lily merasakan seluruh wajahnya diciumi dengan rakus dan saat akhirnya merasakan kelembutan di mulutnya, wanita itu memeluk pria yang menindihnya dan mereka pun bergerak bersamaan. Keduanya saling memberikan kenikmatan melalui mulut masing-masing yang saling melahap dengan suara cecapan nyaring.Gelombang demi gelombang eforia dirasakan oleh wanita yang berada dalam ambang kesadaran itu. Ia menggigit bahu pria di pelukannya dan memberikan cakaran di punggungnya. Tubuh keduanya bergetar bersamaan dan pelukan mereka semakin mengencang satu sama lain. Suara lenguhan terdengar di telinga wanita itu dan terasa ciuman penuh kelembutan di dahinya yang berkeringat. Lily masih sempat mendengar seseorang berbisik padanya sebelum ketidaksadaran menghampirinya lagi."Liliana Walton... Kamu... ku... Aku... mu... Tu... aku..."Saat m
"Bagaimana keadaanmu?"Kepala mungil Lily mengangguk dan bibirnya tersenyum lembut."Lebih baik, dok. Terima kasih."Merapihkan selimut pasien, perawat wanita itu mengangguk pada sang dokter."Ada lagi, dokter Hills?""Tidak ada, Martha. Terima kasih. Kamu boleh pergi."Menatap kepergian perawat itu, kepala Lily menoleh pada sang dokter dan tersenyum."Saya tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan Anda di sini, dok. Bersama Martha."Menarik kursi ke arah tempat tidur, dokter yang telah berambut putih itu akhirnya duduk. "Sudah saatnya aku pensiun, Lily. Marta-pun sudah setuju. Karena itu, kami memutuskan menghabiskan sisa masa pengabdian kami di kota ini. Lagipula, kota ini jauh lebih tenang dibanding CA yang ramai."Mendengar itu, Lily terkekeh pelan. "Benar juga."Setelah itu, dua orang itu terdiam sejenak. Menatap wajah Lily yang sendu, dokter itu meraih tangan mungil yang masih pucat itu dan mer*masnya lembut."Jujurlah padaku, Lily. Bagaimana sebenarnya perasaanmu sekarang? Kau
"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?"Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya."Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer."Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks. "Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?"Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya.Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter."Tersenyum meminta ma
Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya."Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K."Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang."Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu."Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily.Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak
"Gregory."Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki."Frederick."Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah."Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?""Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent."Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?"Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti."Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory."Kau benar. Dia memang sangat perfectionist.""Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?""Hmm.""Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di san
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur. Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut."Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu.""Muda? Bukannya waktu itu..."Pe
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika =Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya."Alexander."Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa."Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?""Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?""Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?"Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa
Di depan pintu kamar mandi di lantai dua itu, tampak sosok kecil yang sedang berdiri menunggu. Kedua tangannya yang mungil terlihat saling mer*mas gelisah. Menoleh ke kanan-kirinya, ia pun mengetuk gugup."Lory? Masih lama?"Suara teredam terdengar dari dalam. "Sebentar lagi, Lils. Masih belum keluar. Tunggu di situ dulu ya.""Kenapa tidak di kamarku saja, sih? Biar lebih enak.""Tanggung, Lils. Biar ga' bolak-baik. Tinggal satu lagi. nih.""Cepetan ya!""Iya! Iya!"Menghela nafasnya gugup, gadis kecil itu menunduk dan menatap kedua telapak tangannya yang memerah. Sedikit rileks, ia mengusap-usap tangannya sambil melamun. Selama beberapa saat, gadis itu masih asyik membersihkan jari-jarinya yang ternyata ternoda tinta di beberapa tempat. Ia sama sekali tidak sadar ada seseorang yang mendekat dari arah belakangnya."Red?"Tidak menoleh karena panggilan itu, sebuah tangan terulur ke arahnya. Badan mungil itu terlonjak saat telapak besar itu menepuk pelan bahunya."OH!?"Sangat terkejut,
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya