= Salah satu komplek perumahan ramah keluarga kecil. Kota BB, Jerman =
Kota BB adalah satu dari sekian kota kecil di Jerman. Penduduknya tidak banyak namun terkenal dengan bangunannya yang indah dan juga minuman lokalnya. Banyak wisatawan mampir ke kota ini hanya untuk mengambil foto dan mengunjungi museum lokal dengan arsitektur yang sedap dipandang. Minuman birnya penghilang rasa lelah dan membuat ketagihan mereka yang suka nongkrong di waktu senja. Universitas tertuanya pun beberapa kali menelurkan seniman yang terkenal dengan karya sastranya hingga saat ini.Memiliki bisnis di kota ini, sama saja dengan membangun relasi. Banyak dari penduduk kotanya yang cukup mengenal satu dengan lainnya. Meski tidak terlalu akrab, namun pada umumnya mereka tahu profesi satu sama lainnya yang tinggal berdekatan dan dapat menjadi sumber promosi bila dibutuhkan. Profesi lain Lily sebagai interior designer pun meroket karena pemasaran dari mulut ke mulut, yang juga berimbas pada kafe-nya yang semakin lama makin ramai pengunjung.Tiba di lokasi yang ditujunya, Lily menghentikan kendaraannya dan memandang sekitarnya dengan tatapan iri. Meski tidak mau diakuinya, tapi ia pernah bermimpi tinggal di tempat seperti ini. Seluruh rumah yang ada di komplek ini tampak indah dan jelas ada peranan arsitek profesional di baliknya. Selain itu. komplek ini pun terkenal ramah lingkungan dan keluarga kecil. Banyak para pasangan muda mengidamkan untuk tinggal di sini tapi tidak semuanya beruntung, karena untuk tinggal di sini seseorang harus merogoh koceknya dalam.Mengunci pintu mobilnya, wanita itu pun berjalan pelan ke arah salah satu rumah indah di sana. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok seorang anak kecil yang sedang duduk di ayunan.Berdiri sedikit jauh, kedua mata biru Lily mengamati anak itu dan perlahan, ia dapat merasakan wajahnya memanas dan matanya mulai berair. Tepat ketika anak itu mendongak dan tersenyum lebar, wanita itu mengedipkan matanya cepat dan mengulas senyuman di bibirnya."Tante Alex!""Cody!"Merentangkan tangannya selebar mungkin, Lily tertawa renyah ketika tubuh mungil anak itu menubruk dan langsung memeluknya erat-erat. Ia berjongkok dan makin memeluk anak lelaki itu. Matanya menutup dan hidungnya menghirup dalam-dalam aroma anak kecil yang didambakannya.Pelukannya sedikit melonggar saat ia merasakan tubuh anak itu mulai menggeliat-geliat. Seperti biasanya, Cody tidak nyaman kalau dipeluk terlama lama.Terkekeh pelan, Lily menyodorkan kantong cokelat yang ada di tangannya."Oleh-oleh untukmu, champ."Binar senang terlihat di kedua mata anak itu yang kehijauan. "Bolu!"Beranjak berdiri, Lily mengusap kepala Cody yang berambut gelap dan mengulurkan tangannya. Anak itu dengan antusias menerima ulurannya dan bergandengan tangan, keduanya mulai berjalan beriringan."Mama ada di dalam?""Ya. Tadi mengambil lemon."Tahu maksudnya air perasan jeruk, Lily menggenggam lebih erat tangan mungil yang ada di genggamannya. Ia dapat merasakan kelembutan kulit halus anak-anak melalui inderanya. Kembali matanya terasa memanas."Alex!"Seruan dari pintu depan membuat keduanya menatap ke arah yang sama."Mama! Tante bawa bolu!"Melepaskan tangannya, Cody langsung lari memeluk ibunya. Kembali tawa kecil terdengar dari mulut Lily. Wanita itu mendekat dan memberikan ciuman akrab di pipi gembil wanita yang sedang hamil tua itu. Salah satu tangannya di bahu wanita itu dan mer*masnya pelan."Senang bertemu lagi denganmu, Beck. Lama tidak jumpa."Memegang lengan atas Lily, Rebecca memberikan senyuman manis pada temannya."Senang kau sehat-sehat saja, Lexie. Cody merindukanmu."Mendengar itu Lily tersenyum namun menelan ludahnya pahit. Ekspresinya tampak lembut dan salah satu tangannya mengusap lagi kepala Cody yang sedang berada dalam pelukan ibunya."Aku juga rindu padanya.""Mama! Bolu!"Mengacak-acak rambut anaknya, Rebecca tertawa keras."Oke, oke. Ayo kita ke dalam dulu, Lex. Cody bisa sangat rewel kalau tidak dituruti."Mengulurkan kantong cokelat itu, Lily membiarkan ibu dan anak itu untuk berjalan di depannya. Melihat pemandangan keduanya yang saling bergandengan tangan, hati wanita itu terasa sangat perih di dalam. Tanpa diketahui siapa pun, karena alasan inilah ia cenderung menghindari pekerjaan yang berhubungan dengan anak kecil yang sayangnya, tidak bisa ditolaknya kali ini.***= Flashback sekitar 5 tahun yang lalu. Kota SD, Amerika. Kantor Kosultan Ashley & Associates =Setelah peristiwa seminggu yang lalu, hampir tidak pernah Lily bertemu dengan lelaki itu lagi. Pria itu tampak sibuk dengan agenda meeting dengan klien yang dilakukan hampir setiap hari. Koordinasi kerja pun menjadi lebih sering ia lakukan dengan senior arsitek yang ada di project-nya dan membuatnya makin jarang bertatap muka dengan pria yang merupakan owner tempat ini.Makin hari, Lily makin merasakan kelegaan karena tidak harus ketakutan menghadapi pria itu dan paling penting, tidak harus menatap wajahnya dan mengingat lagi peristiwa yang sangat ingin dilupakannya. Sayangnya rasa leganya hanya berlangsung beberapa hari saja dan kembali, wanita itu harus merasakan rasa sakit hati dan juga terhina dari lelaki yang telah menyakitnya.Malam itu, ia baru saja akan mengisi cangkir kopinya saat langkah kakinya menuju pantry terhenti. Sadar mendengar suara-suara pelan dari balik pintu yang tertutup, Lily menatap jam yang melingkari tangannya. Keningnya makin berkerut saat menyadari waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Seharusnya para rekan junior dan anak magang sudah pulang di jam-jam ini, apalagi mereka tidak sedang menangani project yang diburu deadline yang super ketat.Ragu-ragu, tubuh wanita itu bergoyang pelan ke depan dan belakang. Ia tidak mau sampai menangkap basah kelakuan salah satu anggota tim yang mungkin saja berbuat m*sum di dalam, tapi ia juga membutuhkan kafein untuk membuat kedua matanya tetap terbuka. Ia membutuhkan secangkir kopi hitam untuk menjaga konsentrasinya menyusun gambar kerja yang ada dipergunakan 3 hari lagi. Dan seringkali, owner gila itu menanyakan hasilnya sehari sebelum deadline yang ditetapkan. Ia tidak punya waktu lagi.Menghela nafasnya dalam, tangan Lily terulur ke arah pegangan besi untuk mendorongnya saat pintu itu tiba-tiba saja membuka dari arah dalam. Pemandangan yang ada di depannya, membuat wajah wanita itu perlahan memucat dan ia menyesali keputusannya tidak langsung pergi dari sana.Di depannya, berdiri kaku sosok lelaki yang ingin dihindarinya. Sorot mata pria itu tidak berubah, masih sama seperti seminggu yang lalu ketika merenggut harta berharganya. Sama dinginnya, sama tajamnya dan sama tidak berperasaannya. Tubuh wanita itu mulai bergetar pelan."Kamu masih di sini?"Mengingat peristiwa beberapa hari lalu, kaki Lily mulai mundur ketika lelaki itu perlahan maju. Ia merasakan aura mencekam mulai menguar dari tubuh pria tinggi di depannya."A- Aku...""Ashley! Aku belum selesai-"Seruan dari arah belakang pria itu membuat keduanya menoleh serentak. Tampak sosok seorang wanita berambut merah panjang, berjas hitam dan mengenakan rok mini berdiri dengan tatapan marah. Mukanya terlihat memerah, tapi pandangannya tampak bertanya saat ia menatap sosok Lily yang berdiri di depannya."Ash? Siapa ini? Anak magangmu?"Disangka sebagai anak magang, pipi Lily yang pucat perlahan bersemu malu. Sudah cukup sering ia dikira berusia jauh di bawah usia sebenarnya. Selama ini, ia tidak masalah dengan label itu tapi kali ini, kata-kata wanita itu terasa mengena di hatinya.Mencengkeram mug yang sedari tadi dipegangnya dengan kedua tangan, mata biru Lily menelusuri sosok wanita di depannya. Meski tahu kalau warna merah rambut wanita itu palsu, tapi tetap saja cocok dengan wajahnya yang cantik. Tubuhnya tinggi dan berlekuk di tempat-tempat yang seharusnya. Kedua kakinya jenjang dan sepatu hak tinggi yang dikenakannya, semakin membuatnya terlihat seksi dan sangat dewasa sekaligus profesional. Ia tahu wanita ini adalah agen property dengan kantor tepat di sebelah konsultan ini.Menggigit bibir tanpa disadarinya, ia mulai membandingkan dirinya sendiri dengan wanita-wanita lain yang berkeliaran di sekitar pria itu. Ia tampak seperti gadis kecil di hadapan mereka semua dan sosok lelaki itu, bahkan pernah disebut sebagai kakaknya oleh salah satu dari mereka.Dapat membaca dengan tepat ekspresi wanita polos di depannya, senyuman miring terbentuk di bibir pria itu. Melengos, ia berjalan melewati Lily dengan kedua tangan di dalam saku celananya."Ash?"Terburu-buru, wanita cantik tadi berusaha mengikuti langkah kaki lelaki itu yang panjang. Lily masih bisa mendengar suara mereka meski ia tidak membalikkan badannya."Ash? Dia anak magangmu? Kenapa masih di sini?""Apa urusanmu, Jules? Dia tidak ada hubungannya denganmu."Wanita bernama Jules itu terdiam sejenak, sampai terdengar suaranya yang pelan."Dia cantik."Pernyataan itu membuat langkah kaki panjang pria itu terhenti dan refleks, Lily menoleh ke arah mereka. Tidak diduga, tatapan mereka terkunci satu sama lain tanpa disadari Jules yang membelakanginya. Suara berat pria itu lebih rendah dan kekehan penuh hinaan terdengar dari mulutnya yang tipis."Cantik? Ini yang pertama kudengar. Sayangnya, kecantikannya tidak akan pernah menarik minatku. Dia terlalu pendek, dan terlalu pucat untuk menjadi seleraku. Aku yakin, dia juga terasa 'dingin' di tempat tidur."Perkataan tajam lelaki itu terasa seperti bongkahan batu di d*da Lily dan membuatnya berpaling kembali. Ia menunduk dan menatap nanar gelasnya yang kosong. Telinganya masih dapat mendengar suara langkah kedua orang tadi yang semakin menjauh di belakangnya.Selama beberapa saat, wanita itu hanya berdiri mematung dengan perasaan campur aduk. Kembali, rasa rendah diri menyerangnya seperti bertahun-tahun yang lalu. Ia merasa telah berhasil melewati masa-masa pahit itu, tapi ternyata masalahnya belum selesai. Ia tetap merasakan sakit hati ketika mendengar lelaki itu memberikan hinaan pada fisiknya yang tidak seperti wanita lain. Kedua matanya terasa memanas dan mulai berair. Sekuat tenaga, Lily menahan tangisnya. Betapa ia merasa sakit hati saat ini.Berubah pikiran, ia berbalik dan malah berjalan ke mejanya. Sepertinya, ia akan menyelesaikan pekerjaannya di rumah saja. Tidak ada gunanya meneruskan menggambar saat mood-nya sudah hancur begini. Perlahan, ia membereskan peralatannya dan baru memasukkan laptop ke tas kerjanya saat terdengar seruan dari salah satu ruangan senior arsitek. Tampak seorang pria gempal menongolkan mukanya dari sana."Alex? Kau masih di sini?"Mengangguk sambil tersenyum, Lily menutup resliting tasnya. "Baru akan pulang.""Oh? Kalau begitu, tunggu sebentar."Pria gempal tadi terburu-buru masuk ruangannya dan mendorong sebuah gulungan kertas besar padanya."Tolong berikan ini ke Ashley. Aku harus ke toilet sekarang, perutku sakit sekali."Memegang gulungan itu, Lily berusaha untuk protes. "Tapi-""Tolong aku, Watson! Aku sudah tidak tahan lagi!"Tidak menunggu jawaban, pria itu langsung melesat meninggalkannya sendirian dengan gulungan itu."Namaku Walton, bukan Watson..." Gumaman lirih Lily hanya dapat didengar telinganya sendiri.Menggigit bibirnya, mata biru Lily melirik ruangan yang dimaksud dan melihat lampunya masih menyala. Berarti, pria itu ada kemungkinan kembali lagi setelah pergi entah kemana bersama wanita tadi. Merasa ini kesempatannya, wanita itu pun segera melangkah ke ruangan keramat itu dan mulai memasukinya.Lega tidak ada orang di dalam, perlahan Lily mendekati meja besar di depannya dan meletakkan gulungan kertas tadi di atasnya. Ia baru saja akan berbalik saat matanya menangkap papan nama kaca yang bertengger di atasnya. Tidak jadi pergi, wanita itu mengangkat papan nama itu dan membacanya dalam hati.Benedict G. Ashley. Kalau saja aku tahu ini namamu, aku tidak akan pernah melamar ke tempat ini.Mengerjapkan kedua matanya yang panas, ia meletakkan benda yang cukup berat itu kembali ke atas meja. Tubuhnya terlonjak kaget ketika ia mendengar suara pintu yang ditutup pelan dari arah belakangnya.Apa yang telah ditakutkannya terjadi. Pria itu masuk ke ruangan dan terdengar suara kunci dari arah pintu yang tertutup itu. Ketakutan, Lily mundur ke belakang dan menekan meja di belakangnya. Ia tahu berada dalam masalah. Dan masalahnya besar, ketika melihat lelaki itu mengantongi kunci ruangannya ke dalam salah satu saku celana panjangnya. Mulutnya terlihat menyeringai mengerikan."Halo, Red.""Halo, Red."Suara Gregory yang rendah dan terdengar mengancam, membuat kedua kaki Lily gemetar. Dalam benaknya, berkelebat peristiwa beberapa malam lalu ketika pria itu memp*rkosanya di ruangan ini. Mata birunya tampak panik dan jelalatan mencari jalan keluar dari ruangan terkunci ini. Mungkin dia bisa berteriak dan memberi peringatan pada Mike yang masih di luar.Mengambil nafas dalam, Lily mendorong dirinya dan berusaha lari menuju pintu. Sudah diduga, kaki-kaki kecilnya tidak mampu mengimbangi langkah Gregory yang panjang dan lebar. Dengan mudah, pria itu menarik pinggangnya dan memaksa wanita itu untuk menempel ke dinding. Ia bisa merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh lelaki itu yang saat ini menekannya dari belakang.Suara yang keluar dari mulut lelaki itu terasa sangat berat dan mengalirkan udara panas di telinganya."Mau kemana kamu, Red? Mau kabur lagi, hmmh...?"Kedua tangan Lily menekan ke arah dinding dan ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Lelaki itu benar-benar me
"Rory..."Pelukan lelaki di atasnya mengerat dan gerakannya semakin cepat. Tangan-tangan pria itu yang mengusap tubuhnya terasa tidak sabar dan penuh dengan kelaparan. Lily merasakan seluruh wajahnya diciumi dengan rakus dan saat akhirnya merasakan kelembutan di mulutnya, wanita itu memeluk pria yang menindihnya dan mereka pun bergerak bersamaan. Keduanya saling memberikan kenikmatan melalui mulut masing-masing yang saling melahap dengan suara cecapan nyaring.Gelombang demi gelombang eforia dirasakan oleh wanita yang berada dalam ambang kesadaran itu. Ia menggigit bahu pria di pelukannya dan memberikan cakaran di punggungnya. Tubuh keduanya bergetar bersamaan dan pelukan mereka semakin mengencang satu sama lain. Suara lenguhan terdengar di telinga wanita itu dan terasa ciuman penuh kelembutan di dahinya yang berkeringat. Lily masih sempat mendengar seseorang berbisik padanya sebelum ketidaksadaran menghampirinya lagi."Liliana Walton... Kamu... ku... Aku... mu... Tu... aku..."Saat m
"Bagaimana keadaanmu?"Kepala mungil Lily mengangguk dan bibirnya tersenyum lembut."Lebih baik, dok. Terima kasih."Merapihkan selimut pasien, perawat wanita itu mengangguk pada sang dokter."Ada lagi, dokter Hills?""Tidak ada, Martha. Terima kasih. Kamu boleh pergi."Menatap kepergian perawat itu, kepala Lily menoleh pada sang dokter dan tersenyum."Saya tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan Anda di sini, dok. Bersama Martha."Menarik kursi ke arah tempat tidur, dokter yang telah berambut putih itu akhirnya duduk. "Sudah saatnya aku pensiun, Lily. Marta-pun sudah setuju. Karena itu, kami memutuskan menghabiskan sisa masa pengabdian kami di kota ini. Lagipula, kota ini jauh lebih tenang dibanding CA yang ramai."Mendengar itu, Lily terkekeh pelan. "Benar juga."Setelah itu, dua orang itu terdiam sejenak. Menatap wajah Lily yang sendu, dokter itu meraih tangan mungil yang masih pucat itu dan mer*masnya lembut."Jujurlah padaku, Lily. Bagaimana sebenarnya perasaanmu sekarang? Kau
"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?"Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya."Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer."Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks. "Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?"Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya.Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter."Tersenyum meminta ma
Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya."Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K."Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang."Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu."Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily.Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak
"Gregory."Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki."Frederick."Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah."Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?""Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent."Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?"Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti."Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory."Kau benar. Dia memang sangat perfectionist.""Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?""Hmm.""Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di san
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur. Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut."Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu.""Muda? Bukannya waktu itu..."Pe
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika =Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya."Alexander."Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa."Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?""Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?""Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?"Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya