"Dia mengatakan 'suami macam apa yang membiarkan isterinya keluar rumah sakit begitu saja'. Kalau itu terjadi padaku, tentu saya akan melakukan hal yang sama seperti Tuan ini, officer. Benar seperti itu kan kejadiannya, Tuan?"
Rahang Gregory tampak mengeras tapi kepalanya mengangguk. Ia tidak memandang dua orang di depannya."Kalau tidak percaya, mungkin kau bisa mengeceknya lewat CCTV. Saya tidak berbohong, officer."Menarik nafas dalam, petugas itu akhirnya berdiri lebih rileks."Baiklah kalau begitu. Saya percaya kesaksian Anda, dr. Hills. Dan untuk Anda Tuan, saya cukup prihatin dengan keadaan Anda tapi saya harap, Anda tidak membuat keributan lagi di sini. Ini adalah rumah sakit dan bukan jalanan. Kalau ingin menggunakan kekerasan, maka bukan di sini tempatnya. Anda paham?"Kembali kepala Gregory mengangguk. Tatapan masih tertuju ke lantai ubin di bawahnya.Setelah petugas itu pergi, mata biru pria itu mengerjap cepat. "Saya menghargai bantuan Anda, dokter."Tersenyum meminta maaf, kepala sang dokter mengangguk. Ekspresinya tampak menyesal."Saya minta maaf dengan sikap perawat tadi. Tidak seperti biasanya dia bersikap seperti itu. Anda tidak perlu khawatir, kami akan mengambil tindakan padanya agar hal ini tidak terulang lagi.""Tidak perlu, dokter. Ini salah saya juga. Sekali lagi, saya meghargai bantuan Anda, dr. Hills."Mengangguk singkat, Gregory baru akan berbalik saat dokter itu tiba-tiba saja bertanya lagi."Sebenarnya, siapa pasien yang kau cari? Mungkin saya bisa membantu."Menutup matanya erat, tubuh lelaki itu berputar untuk menghadap dr. Hills lagi."Saya mencari Alexandra Liliana Walton. Seharusnya, saya bertemu dengannya hari ini."Informasi itu membuat kening sang dokter berkerut dalam. "Lily?"Panggilan akrab itu akhirnya membuat Gregory mengangkat pandangannya dan menatap si dokter."Anda mengenal Lily?"Sang dokter terlihat mengamati Gregory dengan tatapan yang lebih intens. Matanya sedikit melebar."Ya. Aku mengenalnya. Tapi, kau ini siapanya Lily?""Saya suaminya."Kening dokter itu berkerut makin dalam. Melihat jam tangannya, ia menatap pria di depannya lagi."Sebaiknya kau ikut denganku, Tuan. Maaf, tapi siapa namamu?""Benedict Ashley.""Baiklah, Tuan Ashley. Mari ikut denganku ke kantor. Lebih baik, kita bicara di tempat yang lebih tenang."Kali ini, Gregory yang mengerutkan alisnya. "Lebih tenang? Memangnya ada apa dengan Lily?"Menghela nafasnya dalam, dr. Hills menatap raut muka Gregory yang terlihat kaku. Ia akhirnya mengerti, kenapa wanita itu tidak mau menceritakan kondisinya pada suaminya. Pria ini sepertinya cukup kasar dan juga temperamental. Ia sebenarnya mulai ragu untuk menjelaskan masalah Lily pada lelaki di depannya ini tapi sebagai seorang suami, ia berhak untuk tahu situasi yang dihadapi isterinya."Ada hal yang perlu aku jelaskan padamu. Aku melakukan ini agar kalian dapat melewati hal ini bersama-sama dan saling menguatkan nantinya."Saat perkataan sang dokter mulai terserap di otak Gregory, kesadaran seolah menghantamnya. Mulut pria itu sedikit terbuka dan refleks, tangan kirinya mencengkeram lengan atas dr. Hills."Saling menguatkan? Apa maksud dokter dengan saling menguatkan? Memangnya ada apa dengan Lily?"Terkejut dengan reaksi pria di depannya, sang dokter lebih kaget saat merasakan jari-jari yang memegang lengan atasanya sedikit gemetar. Hati-hati, ia meletakkan telapak tangannya di bahu pria lebih tinggi itu. Dengan lembut, ia mencoba mer*masnya untuk memberikan keyakinan."Tuan Ashley. Lebih baik kau memang ikut denganku dulu. Ayo."Dalam hatinya dokter tua itu cukup khawatir. Belum mengetahui kondisi isterinya saja, pria ini sudah tampak shock begini. Bagaimana dengan reaksinya kalau tahu apa yang telah terjadi dengan wanita itu dan juga calon anak mereka? Menghela nafasnya, sudut mata pria tua itu melirik ke arah lelaki yang sedang berjalan di sampingnya dan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang.Oh, Tuhan... Semoga saja reaksinya nanti tidak seperti perkiraanku.Dokter itu memang benar. Reaksi Gregory tidak seperti perkiraannya, melainkan lebih buruk.***= Kafe Koffee & Kaffee. Kota BB, Jerman. Masa sekarang ="Pria itu datang lagi?"Menoleh ke salah satu meja yang ada di pojokan, Helen menganggukan kepalanya. Ia kembali mencatat beberapa barang yang akan menjadi daftar belanjanya di hari ini."Yup. Kau lihat sendiri. Dia duduk di tempat yang sama."Selesai dengan daftar belanjanya, wanita itu menerima nampan dari arah dapur. Tampak roti polos yang baru matang mengepulkan asap panas. Ia pun menambahkan segelas kopi hitam dan mengangkatnya."Berikan padaku."Permintaan itu membuat alis Helen terangkat. Ia menatap pelayan wanita yang baru bekerja di cafe ini sekitar 2 bulan yang lalu."Kau yakin?"Menganggukkan kepalanya antusias, wanita itu mengangguk. "Aku yakin. Berikan padaku."Sedikit ragu, Helen menyorongkan nampan itu di atas meja. Memperhatikan rekan kerjanya mengulas lipstik merah ke bibirnya, ia akhirnya menyadari niat asli wanita itu.Melihat Frieda menyimpan lipstik itu di kantong celemeknya dan membuka beberapa kancing baju atasnya, tangan Helen segera menahan nampan yang baru diangkat rekannya. Ia baru teringat kalau gadis yang baru berusia 20 tahun ini adalah anak yang cukup nekat. Ia beberapa kali terlihat merayu tamu-tamu pria hanya untuk mendapatkan tips dari mereka. Tapi untuk tamu yang satu ini, Helen tidak akan mengizinkannya."Tunggu sebentar.""Huh? Kenapa?"Kedua mata Helen memicing menatap pelayan itu. "Kau tidak akan merayunya, kan?"Tatapan wanita itu terlihat bertanya. "Memangnya kenapa? Tidak ada yang melarang, kan?"Menahan lebih kencang nampan itu, suara Helen sedikit merendah. "Frieda. Dia sudah menikah."Barulah kedua bola mata pelayan itu membesar. Lehernya memanjang untuk mengintip incarannya. Melihat sasarannya masih di tempat, wanita itu menatap Helen tajam."Kau bohong. Kau bilang pria itu menyukai bos kita.""Aku bilang menyukai, bukan berarti dia naksir pada miss Law, Frieda. Lagipula, dia datang di waktu-waktu yang random dan seringkali terlihat untuk bertemu dengan beberapa orang yang berbeda. Aku bahkan tidak melihat intensinya untuk mendekati miss Law lagi. Sepertinya dia benar-benar datang ke sini hanya untuk bekerja atau sekedar menikmati sore. Paling utama, aku juga melihat cincin di jari manisnya.""Apa! Kau tidak pernah bilang, Hels!""Aku baru sadar setelah dia jadi reguler, Fried. Tadinya aku juga tidak memperhatikan."Mengigit bibir bawahnya, Frieda tampak berfikir. Ia mengangkat kedua bahunya."Frieda?""Aku tidak peduli dia sudah menikah atau belum, Hels. Yang penting, aku bisa mendapatkan tips darinya."Menahan lengan atas Frieda, wajah Helen mengencang dan terlihat menyeramkan."Khusus untuk yang satu ini, aku tidak akan mengizinkannya, Frieda. Kalau kau sampai melakukannya, aku akan langsung memecatmu. Kau sendiri tahu, miss Law memberikan wewenang itu padaku dan juga Jurgen."Muka pelayan muda itu memucat dan ia meletakkan nampan itu di meja. Ia telah menganggap wanita ini ibunya sendiri, dan tidak menyangka kalau Helen akan tega melakukan itu padanya."Hels? Kau tidak serius, kan?""Aku serius. Aku yakin, pria itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia kenalan bos kita, atau bahkan calon klien-nya. Aku tidak mau membahayakan nama baik miss Lawrence karena tindakan cerobohmu. kau juga butuh pekerjaan ini, kan? Jadi tolong, jangan ganggu pria itu. Kau mengerti?"Tampak raut Frieda kesal, tapi ia akhirnya mengangguk. Ia memang butuh pekerjaan ini."Baiklah. Aku tidak akan menganggunya. Aku hanya memberikan pesanannya dan langsung pergi."Senyum di mulut Helen tampak terkembang. Ia menepuk bahu anak itu penuh sayang."Terima kasih, Fried."Baru saja Frieda berbalik dengan nampan itu, tiba-tiba saja Helen berseru lagi di belakangnya. Masih kesal, gadis itu berbalik dan mukanya terlihat berkerut."Apalagi sih, Hels?"Tangan Helen terulur memegang gelas yang berisi kopi hitam itu dan dahinya berkerut."Kopinya sudah mendingin. Tunggu sebentar, Fried. Aku akan menggantinya dengan kopi baru."Bersender ke meja counter, mata Frieda menyapu ruangan. Suasana kafe mulai terlihat cukup ramai. Hari sabtu biasanya memang selalu lebih ramai dibanding hari minggu, apalagi menjelang sore. Terlihat banyak muda-mudi berpasangan dan menebar kemesraan di muka umum, membuat orang merasa iri.Menghentakkan kakinya ke lantai, dengan kesal gadis itu membuang muka dan pandangannya terhenti pada pria reguler itu. Kepalanya meneleng saat memperhatikan lelaki itu yang ternyata sedang bersama pria lain. Tampak mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius, keduanya tertunduk dalam. Sebuah kertas kerja gambar terbentang di atas meja mereka."Fried? Ini kopinya."Suara Helen dari arah dapur membuat gadis itu menoleh dan menegakkan tubuhnya."Dia seorang arsitek, Hels.""Siapa?""Pria reguler itu."Mengikuti arah tatapan Frieda, kepala Helen mengangguk. Ia menatap kembali gadis muda itu."Sudah kubilang, kan? Kemungkinan besar, dia kenalan miss Lawrence. Jadi jangan menganggunya."Mendengus, Frieda mengangkat nampan itu. "Iya. Iya. Kau tidak perlu mengulangnya lagi."Tertawa kecil, Helen memperhatikan gadis itu yang berusaha melewati kerumunan yang mulai terbentuk. Dalam sekejap, tempat ini mulai dipenuhi oleh pelanggan yang sedikit kesulitan menemukan kursi untuk mereka duduk. Tampaknya beberapa orang akhirnya memutuskan untuk take-away.Baru saja wanita baya itu selesai melayani customer di depannya, bel di atas pintu itu kembali berdenting pelan. Otomatis matanya langsung mengarah ke sana dan kelopaknya tampak melebar."Miss Lawrence!"Bersamaan dengan itu, terdengar suara pecahan cangkir yang memekakkan datang dari arah belakang. Riuh rendah yang tadinya memenuhi ruangan, tiba-tiba saja perlahan jadi sunyi yang disusul geraman seseorang yang terdengar sangat marah."APA YANG KAU LAKUKAN!?"Tampak wanita yang baru datang itu menatap Helen yang membeku di balik meja counter. Melihat raut wanita itu yang pucat, Lily langsung bergegas menuju lokasi. Ia berusaha menghalau sekumpulan orang yang mulai mengelilingi sesuatu yang tidak terlihat jelas dari pandangannya."Permisi. Maaf, permisi."Setelah berhasil menembusnya, tubuh wanita itu langsung membeku.Di depannya, berdiri sosok yang selama ini sangat ingin dihindari dan juga dilupakannya. Tubuh Gregory Ashley menjulang tinggi di hadapan seorang gadis yang terlihat gemetar ketakutan. Pria itu menggenggam gulungan kertas yang telah lecek dengan noda hitam di beberapa sudutnya. Tidak hanya itu, bagian depan kemeja dan celana panjang lelaki itu pun tampak menggelap karena cairan yang sama. Kepulan asap tipis tampak di area-area yang membasahi tubuhnya. Kulit pria itu pasti melepuh di baliknya.Pandangan mata birunya terlihat mematikan saat menatap Frieda yang berdiri di depannya. Kakinya mulai melangkah maju dengan posisi sangat mengancam. Beberapa orang pengunjung tampak mulai khawatir dan salah satu dari mereka ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri."Tuan-""Kau-""Gregory!"Pekikan kecil itu berhasil menghentikan langkah kaki pria yang sedang naik-pitam itu. Tatapan mata birunya yang tadinya bengis perlahan mulai berubah, saat mengenali sosok yang sedang mendekatinya itu. Tubuhnya kaku dan bibirnya yang tipis bergetar, saat sebuah nama lolos dari mulutnya dengan suara lirih."Lily..."Berdiri canggung dalam ruangan sempit itu, mata Lily menyapu sekitarnya dan akhirnya menunjuk kursi yang ada di balik meja kerjanya."Duduklah di sana. Kamu mungkin mengalami luka bakar. Aku akan mengambil kotak P3K."Meninggalkan Gregory yang berdiri mematung, lelaki itu mengamati pemandangan yang ada di sekitarnya. Bukannya duduk di kursi, ia malah memperhatikan benda-benda yang ada di ruangan kerja yang sangat terbatas itu. Di sana hanya ada satu meja kerja, satu kursi dan beberapa lemari berkas. Tempat ini terasa sangat sempit dan cukup menyesakkan. Pria itu mengusapkan jari-jari tangannya di meja yang terbuat dari kayu mengkilat itu sambil melamun, saat terdengar pintu terbuka dan suara Lily yang menegurnya dari belakang."Kamu masih belum buka baju? Buka bajumu, Greg. Aku akan mengoleskan salep ke kulitmu."Menurut, Gregory mulai membuka kancing-kancing kemejanya. Ia membelakangi Lily.Saat kemeja itu akhirnya lolos dari badannya, benak Lily mulai memikirkan hal-hal yang tidak
"Gregory."Menoleh ke sampingnya, Gregory berdiri dari duduknya dan tampak bersalaman erat dengan seorang pria. Keduanya pun saling memberikan pelukan dan tepukan punggung ala lelaki."Frederick."Pria yang baru datang itu tersenyum ramah. "Kau tampak sehat, Greg. Syukurlah."Gregory balas tersenyum, meski samar. "Terima kasih, Fred. Dad?""Papa titip salam. Ada hal yang harus diurusnya dulu di kantor. Urgent."Gregory mengangguk. "Dia masih sibuk? Bukannya kau sudah menggantikannya sejak 2 tahun lalu?"Senyuman kecut muncul di wajah Fred. "Dia tidak akan pernah pensiun, Greg. Meski secara manajemen dia menyerahkan jabatannya, tapi tetap saja ada beberapa detail yang dia masih ingin tangani sendiri. Dia BARU akan berhenti, di saat benar-benar HARUS berhenti."Kekehan kecil yang jarang muncul, tiba-tiba saja terdengar dari mulut Gregory."Kau benar. Dia memang sangat perfectionist.""Mirip denganmu sebenarnya. Kau tidak sadar?""Hmm.""Kau masih tinggal di SD? Bagaimana kantormu di san
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur. Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut."Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu.""Muda? Bukannya waktu itu..."Pe
= Flashback 15 tahun yang lalu. Rumah keluarga Walton. Kota CA, Amerika =Sore itu, keluarga Walton mengadakan acara barbeque yang rutin diadakan tiap akhir bulan. Pasangan itu memang sangat senang menyelenggarakan acara-acara kecil dengan mengundang beberapa tetangga dekat untuk turut meramaikan suasana. Biasanya para pria akan berkumpul sambil memanggang makanan dengan segelas bir di tangan, sedangkan para wanita sibuk bergosip di dapur atau pun mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain di area kolam renang. Seperti bulan-bulan sebelumnya, Alexander Walton mengambil tugas untuk memanggang sosis. Pria itu baru membalikkan sosis-sosisnya di grill saat merasakan tepukan pelan di bahunya."Alexander."Tahu siapa yang menepuknya, Alex hanya menoleh singkat dan menyapa."Hai, Rod. Datang juga kau. Sendirian?""Aku datang bersama Greg. Kau lihat Lory?""Lorelai? Tadi sepertinya sedang bersama Lily kecil. Fred tidak ikut?"Membuka bungkusan lain yang ternyata daging mentah, tanpa basa
Di depan pintu kamar mandi di lantai dua itu, tampak sosok kecil yang sedang berdiri menunggu. Kedua tangannya yang mungil terlihat saling mer*mas gelisah. Menoleh ke kanan-kirinya, ia pun mengetuk gugup."Lory? Masih lama?"Suara teredam terdengar dari dalam. "Sebentar lagi, Lils. Masih belum keluar. Tunggu di situ dulu ya.""Kenapa tidak di kamarku saja, sih? Biar lebih enak.""Tanggung, Lils. Biar ga' bolak-baik. Tinggal satu lagi. nih.""Cepetan ya!""Iya! Iya!"Menghela nafasnya gugup, gadis kecil itu menunduk dan menatap kedua telapak tangannya yang memerah. Sedikit rileks, ia mengusap-usap tangannya sambil melamun. Selama beberapa saat, gadis itu masih asyik membersihkan jari-jarinya yang ternyata ternoda tinta di beberapa tempat. Ia sama sekali tidak sadar ada seseorang yang mendekat dari arah belakangnya."Red?"Tidak menoleh karena panggilan itu, sebuah tangan terulur ke arahnya. Badan mungil itu terlonjak saat telapak besar itu menepuk pelan bahunya."OH!?"Sangat terkejut,
Pesta kecil di rumah keluarga Walton baru selesai hampir pukul 10 malam. Saat ini, pasangan itu berhadapan dengan tamu terakhir yang tampaknya enggan untuk meninggalkan lokasi. Tatapan Rod terlihat mengarah ke tangga melingkar yang berada di depannya.Menepuk bahu temannya, Alex mend*sah pelan."Sudahlah, Rod. Gadis-gadis seusianya memang seperti itu. Apalagi saat ini Lorelai baru kehilangan figur ibu. Biarkan saja dulu dia bersama Lily. Lagipula, di sini ada Liliana kalau memang anakmu butuh teman bicara.""Tapi aku tetap khawatir, Alex. Sudah beberapa hari ini, anak itu kelihatan susah makan. Aku bahkan harus meminta Gregory jauh-jauh datang hari ini hanya untuk membawa makanan kesukaannya dari NY."Tampak pria muda di samping Rod mengulurkan sebuah bungkusan ke arah tuan rumah."Paman Alex. Tolong berikan ini pada Lory. Aku sudah berusaha menemuinya tadi, tapi dia sama sekali tidak mau membuka pintu. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memberikan makanan ini kecuali melalui dirimu."
Suasana kelabu serta berat terasa menggantung dalam rumah yang tadinya penuh tawa dan kegembiraan di dalamnya. Musim gugur yang sebentar lagi akan datang, menimbulkan angin kencang dan menerbangkan dedaunan yang banyak berjatuhan ke halaman rumah yang terlihat kosong itu. Kolam yang tadinya selalu berisi air yang jernih, sekarang tampak kering dan mulai dipenuhi daun-daun yang berguguran di dalamnya. Tidak terlihat sama sekali bekas pesta kecil yang baru diadakan satu setengah bulan lalu di sana.Dalam sebuah ruangan di rumah besar itu, tampak dua pasang mata sedang menatap sosok kecil yang berdiri di tengah ruangan. Terasa hawa canggung dan tidak nyaman di sana.Suara yang sangat lembut mengalun di ruang perpustakaan besar itu. "Liliana... Kau yakin akan pergi?"Kepala Lily mengangguk dan tatapannya tertunduk ke bawah. Posturnya tampak kaku."Lily. Kami sama sekali tidak mau kalau kau pergi dalam keadaan seperti ini. Peristiwa itu sama sekali bukan kesalahanmu, darling. Semua ada di
"Kamu tidak bisa tidur?"Suara rendah yang terdengar dari kegelapan itu sedikit mengejutkan Lily."Tidak. Hanya sedikit gelisah."Wanita itu berbalik membelakangi dan berusaha menata bantal di bawah kepalanya."Kenapa?""Tidak apa-apa, Greg. Kamu tidur saja lagi."Tubuh Lily sebenarnya sangat capek tapi suasana yang gelap seperti ini membuatnya tidak nyaman. Ia ingin meminta lelaki itu tidur dalam keadaan lampu menyala, tapi tidak mungkin. Sebelum tidur tadi, Gregory dengan santainya mengatakan kalau ia terbiasa tidur t*lanjang dan sempat membuatnya bergidik. Untuk menghindari sentuhan tidak perlu, ia juga meletakkan bantal lain sebagai pembatas di tengah tempat tidur.Matanya baru saja akan tertutup, saat ia merasakan kasur bergerak dan tangan memeluknya dari belakang. "Greg!"Mencengkeram lengan Gregory yang sedikit berbulu, Lily berusaha melepaskannya dari tubuhnya."Lepaskan aku, Greg!""Aku tidak mau."Tangan pria itu terasa mulai mengelus tubuhnya dan bergerak memasuki kaos tid
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya