Aze bangun lebih pagi hari ini. Dia berjalan keluar dari kamar mandi saat melihat dua bungkusan kertas teronggok di sudut ruangan. Itu hasil perburuan belanja semalam. Dua pakaian yang memikat hatinya itu menari-nari menggoda Aze untuk mencoba masuk ke dalamnya. Dan Aze tergoda sampai tidak bisa tidur lagi.
Aze melihat Eve keluar dari kamarnya sendiri dengan gerakan hati-hati seakan takut membangunkan orang di dalam kamarnya. Aze memicingkan matanya dan berpikir keras, siapa yang tidur di kamar Eve, mungkinkah itu Dexter?
Aze membuka kamar Eve perlahan, memasukkan kepalanya dan sebagian tubuhnya. Dia bisa melihat dengan jelas pria yang bertelanjang dada itu tidur lelap di ranjang Eve. Matanya mengerjap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dexter!
“Apa-apaan ini!” maki Aze dengan suara lirih. Tidak mungkin dia membangunkan Dexter yang tengah tertidur itu, mau ditaruh mana mukanya nanti?! Aze yang mengusir Dexter dari kamarnya, tidak bisa memarahi Dexter k
Evita berjalan masuk ke kamar Aze. Teriakan Aze baru saja dimulai, teriakan yang ditujukan untuk Eve.“Nggak mau ke dokter, Eve!”“Booking jadwal dokter ini nggak mudah, Aze,” sahut Eve yang masih berdiri tanpa bermaksud mendekat ke Aze. Entah kenapa Aze mulai rewel lagi, padahal beberapa hari ini sudah terlihat tenang. Dia sudah mulai makan di meja makan dan teriakannya makin jarang, meskipun sikap bermusuhan dengan Dexter masih tetap terlihat.“Emangnya kenapa?!” sahut Aze. Aze memang kadang sangat menjengkelkan membuat Eve menarik napas panjang tanpa ingin mendekatinya. Aze sedang duduk di pinggir ranjangnya.“Butuh waktu seminggu untuk mendapatkan jadwal hari ini, Aze,” sahut Eve dengan sabar.Permintaan khusus dari Eve untuk jadwal itu juga menjadi alasan mengapa butuh waktu lama untuk memesannya. Eve memesan jadwal untuk 2 jam supaya tidak ada pasien yang menunggu sekitar 30 menit sebelumnya dan
Dexter bisa mendengar teriakan Aze dari kamar kerja Eve, tidak terlalu jelas, tetapi itu pasti suara Aze. Kamar kerja Eve tidak terlalu besar diisi dengan sofa beserta mejanya, sebuah laptop dan printer di atas meja kerja yang berukuran lebih tinggi dengan kursinya, bagian bawahnya dilapisi karpet tebal berisi spon yang nyaman. Nyaman, hanya nyaman yang dirasakannya saat berada di sana.Tetapi malam ini kenyamanannya sedikit terganggu. Dia tidak bisa menahan keinginannya untuk keluar dari kamar. Eve pasti kesulitan menenangkan Aze karena teriakan itu terus terdengar.Pintu yang sedikit terbuka itu membuat Dexter bisa mendengar semuanya lebih jelas. Eve tidak mau mengajaknya karena tidak ingin Aze berteriak padanya. Mungkin Eve tidak bermaksud demikian, tetapi Dexter merasa Eve telah membelanya.Tidak ingin mendengar lebih lanjut, Dexter kembali ke kamar Eve. Sudah cukup dia mendengar saat ini. Harga dirinya tidak terbanting seperti biasanya.Dexter meliha
Berada di antara dua orang yang sedang perang dingin membuat Eve merasa jengah juga. Tetapi apa boleh buat, ini salah satu kewajibannya juga. Dan ini ternyata membuatnya makin lelah.“Aku tidak akan menyetir kalau dia masih duduk di sini,” kata Dexter. Ucapan itu sepertinya ditujukan pada Eve karena Dexter enggan berbicara dengan Aze. Tangannya menggenggam setir dengan erat, menahan emosi.Eve sebenarnya terkejut dengan sikap pria itu hari ini. Duduk tegak di kursi pengemudi dan mengajukan protes tentang siapa yang duduk di sampingnya. Sangat tidak biasa.“Aku pusing kalau duduk di belakang,” sahut Aze. Ini juga ditujukan pada Eve. Ya ampun, mereka tidak saling berbicara!“Kamu beneran nggak mau pindah?” tanya Eve.“Nggak,” sahut Aze tegas.“Oke, aku yang setir ya.”“Kamu capek, Eve,” sahut Dexter seakan mengetahui kalimat Eve barusan ditujukan untuknya.&l
Dexter melihat ponselnya lagi. Dia sudah memarkir mobilnya di tempat parkir bagian samping rumah sakit. Tidak banyak mobil yang diparkir di sana sekarang, makin malam rumah sakit makin sepi.Dia menekan tombol telpon, lalu membatalkannya sebelum tersambung. Berpikir lagi dan lagi.Dia sudah pasti angkat tangan membantu Eve menghadapi Aze, meskipun tadi tampaknya berhasil dan Eve melemparkan senyuman atau kata-kata bernada geli di hadapannya. Tetapi itu pasti akan sulit dilakukannya lagi.Satu-satunya cara membantu Eve meringankan kelelahannya adalah melalui pekerjaan. Jarinya menekan tombol telpon lagi, dia sudah punya alasan.“Malam, Pa.”“Oh, malam, Dex.”“Sibuk, Pa?”“Oh, no, no. Ada masalah apa?”“Tidak ada, Pa. Cuma mau minta tolong.”“Apa itu?”“Ehm… soal tembok belakang di market, apa Papa bisa kirim draft ke Dex?”
Tidak terasa Dexter sudah berada di dalam mobil yang terparkir rapi di parkiran rumah sakit hampir selama 1 jam. Dia sibuk memeriksa draft bangunan pasar milik Daveno, terutama tembok belakangnya, yang dikirim oleh ayah mertuanya tadi. Dia juga memeriksa data-data perbaikannya, bahan dan apa saja yang dilakukan, Daveno memang selalu cerewet dengan apa yang mereka bayar. Dalam kasus ini, itu amat membantu Dexter untuk mengecek di mana masalahnya.Dia baru sadar malam makin larut saat Eve menelpon dan memberitahukan bahwa mereka sudah menunggu di dekat pintu keluar. Terdengar Aze mengomel karena harus berjalan sekitar 20 meter dari bagian depan lobi, tempat mereka turun.“Terima kasih sudah menunggu.” Dexter hanya mengangguk.Eve membuka pintu penumpang belakang dan membantu Aze masuk ke dalam mobil. Dia menaruh tiga tas kertas berlogo brand terkenal yang bisa ditebak berisi barang belanjaan. Lalu ikut masuk ke dalam mobil duduk di sebelah Aze.
Saat Eve bangun pagi itu, tidak ada Dexter di kamar kerjanya lagi. Semalam pria itu tertidur di atas sofa ruang kerjanya, mungkin dia terbangun dan sudah pindah semalam. Tetapi Dexter tidak memberikan pendapatnya tentang renovasi tembok belakang yang akan dibuat hari ini. Nanti saja dia akan bertanya padanya.Dia membuka pintu membiarkan pelayan membersihkan kamarnya. Bukannya dia tidak bisa, dia sudah terlatih untuk itu, didikan neneknya, tetapi hari ini dia merasa lelah dan bangun terlambat. Belum lagi dia masih harus berangkat kerja.Eve masih berkutat di dapur. Hari ini permintaan Aze agak ringan tetapi memasaknya akan memakan waktu lama. Untung masih ada Meli yang membantunya.Bubur di dalam panci itu harus diaduk terus, tidak boleh berhenti. Itu rahasianya kalau mau rasanya enak, begitu kata neneknya. Eve memasaknya dengan cara begitu dan Aze menyukainya seperti itu. Kaldu ayam yang sudah dicampurkan akan membuat rasanya gurih tanpa penyedap rasa. Meskipun
Dexter sudah menyelesaikan makannya lebih dahulu lalu berpamitan. Eve memang tidak pernah bertanya ke mana Dexter akan pergi, tetapi biasanya Sabtu bukanlah hari liburnya. Jadi Eve menduga pria itu pergi bekerja seperti biasa. Entah mengapa dia terlihat buru-buru. “Soal renovasi, kamu belum beritahu aku apa-apa,” kata Eve setelah Dexter berdiri meninggalkan meja makan. “Nanti,” sahut Dexter singkat dan jelas. “Belum selesai memeriksa semua draft?” “Sudah. Aku duluan.” Dexter tidak melihat Eve memandangi punggungnya sampai menghilang dari pandangan matanya. Eve mengetahui jawabannya saat menemukan Dexter berdiri di depan rumah. Tubuhnya bersandar pada tembok bagian luar rumah. Wajahnya terlihat berkilau tertimpa sinar matahari yang sudah mengintip dari balik awan. Matanya berkilau menangkap bayangan Eve di pintu masuk rumah. “Kamu menunggu aku?” tanya Eve dengan heran. Dexter berjalan di belakang Eve dan segera menyusul di sampi
Segera setelah sampai di kantor The Daveno Market, keduanya sudah disambut oleh perwakilan kontraktor yang menangani renovasi tembok belakang. Orang itu sudah menunggu di dalam kantor Eve.Dexter berbicara sebentar pada orang itu dan memberikan beberapa perintah. Orang yang diketahui oleh Eve bernama Khan, pria keturunan India, tersenyum dan mengangguk penuh hormat. Dari kursi kerjanya, Eve hanya sesekali memandangi mereka yang duduk di sofa ruang kerjanya. Dexter yang serius bekerja terlihat sangat menarik untuk Eve. Lalu Eve menertawai dirinya sendiri dalam hati. Dia menghapus pikirannya sendiri dan kembali bekerja.“Aku langsung ke belakang. Kamu di sini, nanti aku kabari,” kata Dexter pada Eve. Eve mendongakkan kepalanya, dia bahkan tidak mengetahui kapan kedua orang itu bangkit dari sofa.“Kamu mau memeriksa tembok belakang?”“Iya.”“Aku ikut. Aku harus lapor ke Papa,” sahut Eve. Dia menutup berk