"Den Golda, sepertinya nona kecil sudah tertidur, biar Bibi letakkan di tempat tidurnya." pinta bi Lasih ketika melihat Angel sudah tertidur dalam gendongan hangat om-nya.
"Biarkan saja, Ange lebih lama tertidur dalam gendonganku, Bi." tolak halus Golda."Baiklah, Den. Tapi, ada sedikit yang mau Bibi sampaikan. Aden tidak apa-apa, sambil menggendong Nona Ange?" tanya bi Lasih agak ragu-ragu.Golda melihat bi Lasih kemudian pada Angel, keponakan tersayangnya ini. Terlihat tampak damai dalam tidurnya."Tidak apa-apa, Bi. Katakan saja.""Ini mengenai den Ethan saat Bibi menemukannya pingsan di tempat tidurnya." ungkap bi Lasih, memulai."Sudahlah, Bi. Saya malas untuk membahasnya lagi. Kenyataannya, Abang tidak bisa bangun lagi dari kuburnya, apapun yang akan Bibi katakan." Golda tampak tidak tertarik, mengenai apa yang akan disampaikan bi Lasih. Hanya akan menambah kesedihannya saja."Tidak begitu, Den. Dengarkan perkataan Bibi dulu. Ini sangat penting, Den. Supaya Aden pun tahu dan menyadari kalau pertengkaran Aden dengan Non Sherra pada waktu malam itu, den Ethan mendengarnya."Kali ini Golda menatap bi Lasih lebih fokus. Tidak menyangka kalau pertengkaran dirinya dan Sherra ada yang mengetahui. Padahal dia sudah berusaha menangkup mulut kekasihnya itu, bila berkata keras. Dan memperingatinya supaya agak tenang."Ceritakan secara pelan, Bi. Apa yang Bibi ketahui." pintanya. Sedikit mengurangi nada suaranya."Atau, Bibi mau duduk? Santai aja, Bi. Akan aku dengarkan." tambanya lagi.Bi Lasih mengikuti saran Golda, ia duduk tidak jauh dari anak majikannya yang tetap berdiri sambil menimang Angel."Malam itu, Bibi melihat den Ethan keluar kamar karena mendengar ribut-ribut orang sedang bertengkar di samping taman. Bibi sudah berusaha menarik tangannya supaya jangan mendekat. Bibi melakukan itu, supaya den Ethan tidak terlibat masuk dalam pertengkaran itu untuk memisahkan. Tapi, den Ethan berjanji tidak akan mencampuri urusan Den Golda dan non Sherra." Bi Lasih, menjeda ucapannya."Terus …?" Golda tampak tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya."Bibi mah hanya mengawasinya dari jauh, Den. Tidak ikut mendengarkan pertengkaran Aden, tetapi setelah berselang lama, Bibi melihat den Ethan masuk ke kamarnya dengan wajah pucat sambil memegangi dadanya. Bibi jadi merasa khawatir. Sepertinya ada dari isi pertengkaran Aden, yang jadi pikiran den Ethan." Bi Lasih menatap Golda dengan pandangan bertanya."Apanya, Bi? Pertengkaranku dan Sherra, hanya menyangkut hal pribadi antara aku dan Sherra aja, Bi. Tidak membahas hal lainnya, apalagi bang Ethan." ujar Golda. Belum mengerti, apa sangkut paut pertengkaran dirinya, bisa berpengaruh pada jantungnya bang Ethan?"Coba Aden ingat-ingat, sekiranya apa yang membuat den Ethan begitu. Karena sejak masuk kamar, saat Bibi masuk karena merasa khawatir. Den Ethan mengeluh terus kalau dadanya sakit. Bibi hanya memberi obat rutin yang harus di minumnya saja." jelas bi Lasih."Amberly ada di mana, saat itu? Apakah ikut menguping juga?" Golda bertanya penuh curiga."Sejak sore juga, non Amber mah sudah tidur ngelonin nona Ange, Den. Kamar nona Ange kan, jauh dari taman. Ada kemungkinan non Amber mah tidak tahu kejadian itu."Golda yang tadi lebih mendekat, jadi menjauh. Ada perasaan lega, saat mendengar kalau Amberly tidak tahu pertengkaran dia dan Sherra pada malam itu."Dan Aden tahu selanjutnya, kalau den Ethan tiba-tiba pingsan tidak lama setelah merasakan sesak napasnya. Orang pertama yang mengusulkan untuk segera dibawa ke rumah sakit, kan, non Amber. Ia terbangun, karena Bibi yang ribut saking panik melihat den Ethan kesakitan."Golda jadi terdiam, memikirkan apa yang diterangkan oleh bi Lasih."Aden juga, tahu. Kalau dari pagi keadaan den Ethan itu, baik-baik saja. Bahkan sempat bersenda gurau sama Aden, di taman. Tidak baik kalau Aden terus menyalahkan non Amber atas kematian den Ethan. Itu sudah kehendak Tuhan, Den."Sambungnya lagi. "Bibi lihat pengabdian non Amber itu, tiada duanya sebagai istri. Bibi saja merasa salut pada non Amber. Ia yang merawat den Ethan sangat baik. Dari mandi, makan, minum, semua keperluan den Ethan tanpa diminta, selalu disiapkan non Amber. Jangan sakiti lagi hati non Amber, Den. Justru non Amberlah yang paling berduka atas kepergian den Ethan. Karena ia yang menemaninya setiap hari dari bangun tidur sampai tidurnya kembali." Bi Lasih menatapnya dengan penuh permohonan.Golda jadi menatap ke arah lain, ke taman yang disinari lampu yang temaram. Hatinya penuh gejolak rasa yang tidak keruan. Amberly tidak bersalah? Malah dia sendiri yang jadi penyebabnya?Dan yang lebih dipikirkannya lagi, mengenai wasiat kakaknya. Dia harus menikahi Amberly? Apa maksud dari kakaknya?"Bi, mungkin Bibi belum tahu isi wasiat dari bang Ethan." Apa yg dipikirkan, Golda langsung kemukakan.Bi Lasih tidak bertanya, cukup menatap Golda. Karena ini bukan wewenangnya untuk ikut mengetahui."Bang Ethan memintaku untuk menikahi Amberly setelah setahun kematiannya." Golda lebih memperjelasnya.Terlihat mata tua itu melebar, dengan ekspresi terkejut."Bagaimana menurut, Bibi?" Golda malah bertanya padanya.Bi Lasih hanya dipercaya oleh keluarga Frank Sander, sebagai pengasuh kedua anak lelakinya. Dari mereka lahir sampai usia dewasanya. Hubungan mereka satu sama lain memang sudah sangat dekat, bi Lasih sudah seperti ibu kedua bagi mereka. Namun, untuk pertanyaan Golda kali ini, membuat bi lasih tidak secara mudah menjawabnya."Den …." Bi Lasih memanggilnya secara lembut. Melihat pada Golda yang seakan sangat berharap pada jawabannya."Bibi tidak tahu, mengapa den Ethan memberi wasiat seperti itu?""Apakah, kepada Bibi, Abang tidak mengatakan sesuatu apapun?""Tidak, Den."Golda kembali termenung. "Aneh! Apakah Abang terlalu khawatir karena melihat sikapku pada Amber yang tidak begitu baik? Hingga mengira, aku akan mengabaikan istrinya?""Menurut pendapat Aden sendiri, gimana?""Saat ini, aku belum bisa memikirkanya, Bi. Abang memberi kesempatan setahun untuk mempertimbangkannya.""Tapi, Den. Tidak harus dipertimbangkan lagi. Sebuah wasiat dari orang yang sudah meninggal, biasanya harus dilaksanakan." ucap Bi Lasih secara lugas."Itulah yang membuatku bingung, Bi.""Non Sherra! Gimana?" Secara spontan bi Lasih bertanya."Kalau soal itu tidak jadi masalah berat lagi, bagiku. Hubunganku dengannya, sejak pertengkaran itu, sudah berakhir.""Den!" Tampak bi Lasih tersentak kaget."Dari awal hubunganku dengan Sherra memang selalu diwarnai pertengkaran, Bi. Kalau sampai lima tahun bertahan, itu karena tuntutan publik saja. Yang sudah terlanjur kami diidolakan sebagai pasangan serasi.""Aden seperti bintang film aja." kekeh bi Lasih, merasa tergugu."Entahlah, Bi. Aku sering mendapat perhatian publik. Padahal aku hanya sebagai pengusaha muda, bukan seorang artis." Golda ikut terkekeh."Lalu selanjutnya, bagaimana, Den?""Saya sendiri tidak tahu." Golda sendiri masih bingung."Kasian non Amber …." gumam bi Lasih."Kenapa, kasian, Bi?""Tidak apa-apa." Bi Lasih langsung menggeleng, seperti ada yang disembunyikannya."Bi. Sepertinya Bibi dan abang, menyembunyikan sesuatu tentang Amberly. Dari mana ia datang, siapa dirinya, latar belakang kehidupannya pun kita tidak tahu. Mengapa ia selalu ketakutan bila bertemu orang lain? Sungguh! Amber tidak berperilaku seperti orang pada umumnya."Secara terburu-buru bi Lasih sepertinya ingin menghindari keingintahuan Golda. "Maaf, Den. Bibi juga tidak begitu tahu. Bibi pamit mau istirahat. Sudah malam" Tanpa menunggu, bi Lasih bergegas meninggalkan ruangan.Pikirnya, bukan haknya untuk menceritakan siapa sebenarnya Amberly, tetapi bi Lasih punya tekat yang kuat untuk selalu melindungi wanita cantik yang bernasib malang itu.Biarlah Amberly sendiri yang mengungkapkan siapa dirinya, kalau ia mau. Bi Lasih merasa bukan kapasitasnya menceritakan orang lain yang orangnya sendiri masih ada.Sepeninggal bi Lasih, Golda terus menimang Angel yang kadang terusik oleh obrolan mereka tadi.Membayangkan Amberly sebagai istrinya?Kecantikan alami yang dimiliki Amberly, memang sangat menarik perhatiannya. Akan tetapi, wanita itu sangat misterius bagi Golda.Sikap diam dan masih memperlihatkan rasa takut-takutnya, bila terkadang kebetulan mereka berinteraksi. Selebihnya, Amberly memilih menghindarinya. Namun, dibalik sikap lemahnya, Golda menemukan juga kekuatan yang sama sekali tidak terduga dari wanita itu. Sungguh! Tidak mudah tertebak.Tidak seperti Sherra, yang menurutnya seperti sebuah buku yang terbuka, selalu mudah ditebak isi pikirannya.Alangkah terkejutnya Golda, saat mau menidurkan Angel. Di tempat tidur yang biasanya ditempati oleh keponakan kecilnya ini, sudah penuh oleh tubuh Amberly. Rupanya setelah masuk kamarnya dengan Ethan, Amberly merasakan ketidaknyamanan, hingga ia tidak memaksakan diri untuk tidur di kamar itu. Ia malah masuk ke kamar anaknya yang terasa lebih hangat.Tubuhnya sudah sangat lelah dan mengantuk, setelah selama dua hari menunggu Ethan dirawat di rumah sakit. Ia tidak mau beranjak sedikitpun dari sisi tempat tidurnya, hingga dr. Ben menyarankan agar Amberly mau mengistirahatkan tubuh barang sejenak. Namun, ia tidak mau beranjak juga. Bahkan ketika Maya membujuknya.Golda memahami rasa lelah wanita itu. Hanya menatapnya lama. Dan muncul pertanyaan di otaknya. "Maukah, Amberly jadi istrinya?"Dengan Sherra pun menjalin kasih sampai lima tahun ini, Golda merasa belum pasti. Selalu menghindar bila Sherra mendesak untuk menikahinya. Sekarang, malah mendapat wasiat dari abangnya. Yang sama sekali tidak dimengerti apa tujuannya.Perasaan Golda sendiri belum jelas. Ada rasa tertarik, tapi masih abu-abu. Tertarik dari segi apanya? Jelas-jelas Amberly sudah janda beranak satu. Sementara di luar sana, banyak sekali gadis lajang yang mengaguminya. Apalagi nanti, setelah dia mengumumkan soal perpisahannya dengan Sherra. Dengan percaya diri, Golda merasa yakin, masih banyak gadis yang akan antri untuk menjadi kekasihnya.Akhirnya Golda menarik dirinya untuk keluar dari kamar Angel, menuju satu lagi kamar yang biasa dia pakai bila menginap di rumah Ethan. Meski rumah itu tidak begitu besar, seperti milik orang tuanya di Jakarta. Akan tetapi, cukup ada empat kamar. Hal itu juga terpaksa ditambahkan atas permintaan Maya. Karena Ethan hanya ingin rumah kecil saja yang di kelilingi taman seperti di sebuah surga.Golda tidur di kamar itu dengan keponakan kecilnya."Ini anakku, mengapa kamu seolah berkuasa memilikinya?" ucap ketus Amberly, saat menemukan Angel tidur bersama pamannya di ranjang ruang tamu.Tentu saja teguran itu membangunkan Golda dari tidurnya. Dia jadi terkaget, tetapi kata-kata Amberly tadi, dapat disimaknya juga."Aku pamannya, mengapa kamu keberatan?" balasnya, sambil mengusap wajah.Amberly sama sekali tidak tergoda oleh wajah tampan Golda, terbukti dari pelototan matanya yang tidak juga memudar. "Perlakuanmu sangat tidak sopan, mengambilnya sembarang, menidurkannya juga secara sembarang." omel Amberly. Ingin saja mengambil Angel secepatnya, tetapi terhalang tubuh Golda yang masih rebahan. Tampak Angel merasa terusik oleh keributan sekitar. "Mama." panggilnya spontan."Kemarilah, Sayang. Mendekat sama Mama." ajak Amberly, pada Angel. Tidak lebih memajukan dirinya, karena Golda masih terbaring di tempat tidur, menghalangi upaya wanita itu untuk mengambil anaknya.Golda malah menerbitkan senyumnya, "Kamu lebih banyak bicara,
Amberly langsung memeluk ibunya, begitu wanita setengah baya itu membuka pintu."Ibuu!" Setengah tersedu."Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?" Almira, ibunya. Melepaskan pelukan untuk meneliti tubuh anaknya. "Aku baik-baik saja, ibu. Aku yang sepanjang waktu mengkhawatirkan ibu." "Ibu sakit, sih." Almira menyunggingkan senyumnya."Ibu sakit, apa?" Amberly agak tertegun."Sakit yang namanya rindu. Rindu ingin ketemu denganmu dan cucuku."Amberly tampak bernapas lega. "Sekarang jadi terobati. Maaf, Amber baru menemui Ibu." Sorot mata Amberly melukiskan perasaannya."Tidak apa-apa, penantian ibu sudah terbayarkan." Ia kemudian melihat pada gadis kecil yang ada di sebelah Amberly. "Apakah ini cucu, Ibu?" "Iya, Bu. Namanya Angel, tapi biasa dipanggil Ange." Amberly memberi penjelasan."Hai, ternyata cantik sekali cucu Oma ini." Almira agak membungkukkan tubuh untuk mencolek pipi Angel."Beri salam sama Oma, Sayang." perintah Amberly.Anak yang baru berusia tiga tahun itu menuruti, menyod
Dengan penuh tekad dan semangat membara, Amberly terbang ke daerah Pulau Kalimantan. Hanya berbekal alamat rumah dan perusahaan, yang dibeti dari ibunya.Benar saja, saat sudah ada di depan rumah bapaknya, Amberly tertegun. Rumah itu tampak seperti istana, sangat besar dan luasnya. Terlihat saat ia mengintip dari pintu pagar rumahnya.Amberly dihampiri oleh satpam, kemudian di tanya-tanya sesuai dengan tugas yang diembannya. Amberly memperlihatkan KTP dan menyatakan niatnya untuk bertemu dengan bapak Berly Hanan. Tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan izinnya, harus ada konfirmasi dari keluarganya dulu, terutama istrinya, ibu Ranti.Ia tidak keberatan, mendengar bapaknya masih hidup saja sudah senang. Dengan tidak banyak bertanya, Amberly menunggu.Sementara di dalam rumah, seorang wanita setengah baya dengan rambut disasak tinggi dan rapi, tampak sedang mendengar lewat telepon laporan dari satpamnya.Matanya tiba-tiba terbelalak. Siapa namanya, Pak?""Amberly, Bu."Mendengar nama t
Di ranjang itu, yang pertama Amberly lihat, adalah seorang lelaki yang sangat kurus. Dengan mata cekung dan kulit berwarna pucat, tetapi bersih.Inikah bapaknya yang sangat dirindukan? Seumur hidup Amberly sangat mendambakan untuk bertemu. Segala rasa berkecamuk dalam hatinya. "Papa sudah lama sakit, hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Karena mengalami stroke dan penyakit gula." terang Gathan, setengah berbisik di dekat telinganya. Hal itu membuat Amberly secara refleks menjauh.Amberly sedikit mengangguk sambil tersenyum pada Gathan. Kemudian, lebih mendekati ranjang bapaknya.Sang bapak, sejak melihat Amberly masuk ke kamarnya, terus mengawasi tanpa berkedip. Amberly agak membungkuk untuk menyetarakan posisi wajahnya, supaya setara dengan wajah bapak yang terbaring."Bapak …." Dengan nada bergetar, Amberly memanggilnya."Kamu, siapa" Sedikit heran, dia bertanya."Namaku, Amberly."Tampak Berly agak tertegun. "Almira pernah mengatakan kalau punya anak perempuan, akan dinamakan
Amberly berdiri di hadapan para tetua yang nota bene merupakan saudara dari bapaknya. Rata-rata mereka adalah pemegang saham di perusahaan besar itu. Bapaknya, Berly Hanan ikut hadir, meski harus duduk di atas kursi roda. Memberi kekuatan kepada Amberly untuk menghadapi mereka.Berly sendiri yang memimpin rapat penting itu, menyatakan kalau Amberly anak kandungnya, dia memperlihatkan hasil dari tes DNA yang sudah diperoleh hasilnya. Jadi secara sah bisa memimpin salah satu perusahaan di bawah perusahaan PT. Borneo Grup. Sebuah perusahaan milik keluarga mereka, turun temurun"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengambil kedudukan Bapak sebagai direktur atama di perusahaan pusat. Akan tetapi, sesuai domisili saya di Jakarta. Saya akan memimpin perusahaan di sana." ungkap Amberly sambil tersenyum."Tetapi perusahaan di sana, sudah di pegang oleh LiLian." kata salah satu yang hadir. Berkepala agak botak dan sudah tua.Berly bergerak memutar kursi rodanya lebih ke depan. "Soal itu, nanti
Golda memasuki lobi gedung perusahaan PT KAB Tbk. Tubuhnya yang tinggi dan berwajah tampan, banyak menarik perhatian tiap orang yang ada di ruangan itu. Lilian yang memang sedang menunggu kedatangannya, menelan ludah sendiri. Tidak salah lagi, lelaki tampan yang baru datang itu adalah Golda. Ia pernah melihat profilnya dari media internet. Melihat orangnya secara langsung, ternyata lebih menawan."Selamat pagi, pak Golda." sapanya, membuat langkah lelaki itu terhenti.Lilian tersenyum. "Selamat datang di perusahaan kami. Saya pribadi akan mengantarkan Bapak untuk bertemu dengan CEO."Golda hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Melanjutkan langkah sejajar dengan yang akan mengantarnya.Begitu ruangan terbuka, Golda melihat di meja kerja utama yang bertuliskan CEO, terlihat seorang wanita sedang menunduk. Kemudian secara perlahan terangkat wajahnya. Di saat seperti itulah tatapan keduanya bertemu. Golda agak mengerutkan keningnya, sambil tidak melepaskan tatapannya. 'Pasti pandanga
Lilian tampak cerah raut wajahnya, sementara Amberly, biasa saja."Ternyata kamu, datang berdua. Kenapa tidak sekalian saja yang hadir di kantormu itu, semua kamu bawa?""Perkenalkan, Lilian saudari tiriku." Amberly mengabaikan sindiran dari Golda.Golda pun sama sikapnya. Tidak menggubris perkenalan Amberly. Tidak mau tahu, entah itu saudara tirinya, atau siapanya dia. Golda merasa kesal, ternyata Amberly menemuinya tidak sendiri.Dia tidak melirik Lilian sedikit pun, tetapi terus menatap Amberly dengan tajam, sampai wanita itu duduk dihadapannya."Matamu tidak mau mengedip?" tegur Amberly. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?"Tatapannya tetap tidak dialihkan. "Aku ingin ketemu dengan Ange." "Aku kira, kamu akan membahas soal perusahaan." Amberly membuang wajahnya. "Ange baik-baik saja. Jadi stop menanyakan anakku." Memberi jawaban.Amberly menerima buku menu yang disodorkan pelayan restoran. Fokus memilih menu. Tidak lama kemudian, "Silahkan Pak Golda memilih sendiri." kata
"Om Odaa … !" lengking suara Angel begitu nyaring saat melihat Golda berdiri di depan pintu. Sementara Amberly yang membukakan pintunya, jadi melebarkan mata.Tubuh mungil Angel langsung diangkat oleh Golda, kemudian menciuminya penuh dengan kerinduan. "Ange kangen Om, gak?" tanyanya. Membuat jarak, agar dia bisa melihat wajah Angel."Napa Om lama sekali, ndak ketemu Anye?"Amberly menarik nafas , semoga Golda tidak menjawab yang menyudutkan dirinya."Om sibuk bekerja dan baru bisa datang sekarang." Kembali Golda mencium pipi gembilnya Angel."Om, ajak Anye ke taman.""Mengapa Ange mau ke taman, hum?"Anye pengen ketemu Papa." Untuk sejenak Golda tertegun. Taman yang dimaksud Angel adalah rumahnya dulu."Boleh, tapi nanti kalau Om tidak begitu sibuk bekerja." jawab Golda sedikit terharu. Angel mengingat Ethan, papanya.Angel terlonjak gembira. "Asik! Anye juga pengen liat bunga, di sini ndak ada." Golda mengeratkan pelukannya. Mulai melangkah ke dalam rumah. Mengikuti Amberly yang ter
Seperti biasa Golda memandikannya dengan cara dilap. Sekarang tangannya lebih nakal dan menggoda Amberly.Kadang mereka berciuman dengan asiknya, tetapi tidak bisa lebih lagi. Karena Amberly masih sakit.“Sabar, belum waktunya.” Amberly mendorong tubuh Golda dengan lembut.Napas Golda yang sudah sedikit memburu, jadi melemah. Hasratnya tidak bisa terus lanjut, merasa terhalangi oleh fisik istrinya.Golda menatapnya penuh kabut, merapatkan dahi ke istrinya dengan mengatur napas lebih teratur. Beberapa lama dia bersikap begitu, Amberly hanya bisa menahan senyumnya. Lalu mengusap-usap dadanya dengan lembut.“Aku sudah ada di tanganmu, jangan terburu-buru.” ucapnya.“Kau godaan terbesarku, bisa disentuh, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kamu curang ….” Golda berkata dengan menelan ludahnya.Amberly terkikik, kemudian menjauhkan wajahnya. “Kita belajar lebih mengakrabkan diri, apa kamu tidak ambil manfaatnya?”“Ya, kamu benar.” Golda akhirnya menyetujui, kemudian mengambil air minum dan meneg
“Kamu mau berbulan madu sama aku?” tanya Golda, setelah Gathan dan Lilian berpamitan.“Sama siapa lagi, sama kucing?” Amberly memalingkan wajahnya ke arah lain.“Kamu tahu, kan? Arti dari bulan madu? Kamu dan aku bersatu saling memadu kasih? Layaknya suami istri seperti pada umumnya.” Golda bertanya tidak percaya.“Aku ingin Ange punya adik, tidak jadi anak tunggal.” ujar Amberly ringan.Membuat Golda semakin ternganga, dibuatnya.“Tutup mulutnya, jangan malah bengong.” peringati Amberly. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Golda seperti menerima durian runtuh. Hanya bisa terbengong-bengong.“Apakah kamu waras? Diam saja.” Amberly menegurnya.“Hampir tidak percaya kamu mengatakannya.” Tiba-tiba air mata merebak di pelupuk mata Golda. Dia duduk disamping ranjang Amberly. Dengan lembut, Amberly menatapnya. “Kita mulai hidup baru dan lupakan semuanya.” Amberly meengambil sejumput rambut bagia depan Golda dan memainkannya. “Aku hampir tidak percaya, mendapatkan anugerah yang tidak ter
Tangan kanan yang di infus, mulai membuka baju tangan yg di gips. Terasa sulitnya membuka pakaian dari rumah sakit itu hanya ada tali yang tidak diikatkan. Mata Amberly melihat pada Golda yang malah bengong."Bisa bantu aku?" tanyanya.Tentu saja Golda tampak terkejut. Dia agak terbata-bata menjawabnya. "A --- aku ...?""Siapa lagi? Kamu suamiku, bukan?" kembali tanya AmberlyDengan agak tertegun sejenak, Golda tergagap. "Ka ---kamu yakin aku yang harus membuka bajumu?""Siapa lagi?" Sambil memutar matanya, tangan kanan Amberly berusaha terus membuka bajunya. Hingga sebagian dadanya terlihat.Dengan menahan napas, Golda membantu Amberly melepas pakaiannya dari tangan yang di gips.Jantung Golda bergemuruh dengan detak tidak keruan. Dia melihat kulit dadanya yang seputih susu dan membusung, tanpa baju yang menghalangi lagi.Namun, dia harus meneruskan apa yang sudah dilakukan.Sebenarnya sudah tidak tahan, melihat keindahan tubuh Amberly. Dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan dir
Dalam keadaan oleng itu, Amberly merasa terdesak harus kembali membanting setir. Karena posisi mobil kecil semakin terpepet, mobil besar mau menggilasnya.Itu jelas perbuatan yang disengaja, akhirnya Amberly menabrak gundukan di depannya. Tidak terhindarkan.Ia merasa ini akhir hidupnya, dadanya merasa sesak. Gelap gulita, tidak sadarkan diri.Bangun dari pingsan, tahu-tahu Amberly sudah berada di rumah sakit. Kaki dan tangannya di bebat, sepertinya kena patah tulang.Menyadari bahwa ada seseorang di sisi tempat tidurnya. “Sully … “ usapnya pada rambut Sully.“Am! Kau sudah sadar? Syukurlah ….” ucap Sully penuh rasa lega, jadi menatapnya.Amberly tersenyum sebelum menjawab. “Aku selamat.”“Maafkan aku tidak bisa menolongmu.”“Kaukah yang dalam penyanderaan Rojak?” tanya Sully.“Makanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.”“Tidak juga, kamu berani memberi perlawanan meski beresiko membahayakan keselamatanmu juga.”“Aku hanya bisa memperhatikan bendera, jadi kadang aku rebut setirnya, dan b
Alangkah kagetnya Amberly, secara cepat ingin mengangkat tubuh Golda supaya ke atas.“Beri ampun padaku atas apa yang kulakukan, Amberly ….” kata Golda dengan nada penuh penyesalan.Tubuhnya sudah terguncang-guncang karena isak tangisnya. Dia tetap bertahan dalam posisi bersujud di depan Amberly.“Jangan begini Gold, bangkitlah! Aku memaafkanmu.” jawab Amberly yang langsung direspons oleh Golda.“Mengapa kamu begitu mudah memaafkan?” tanya Golda sambil menengadahkan wajahnya.“Seperti yang diutarakan ibuku sebelumnya, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kenapa aku harus mengingat terus kesalahan yang tidak tersimpan di ingatanmu?” Pandangan mereka bertemu.“Amber … Lelaki bejat ini tahu akibat perbuatannya, kamu sangat menderita.” Suara serak Golda menjelaskan perasaannya.“Jangan ingat lagi, mari kita lupakan kejadian yang tidak menguntungkan ini. Aku sudah sembuh, jiwaku merasa bebas sekarang. Karena aku sudah berhasil mengampunimu.”“Amber, sebenarnya aku tidak layak mendap
Hari-hari selanjutnya, Amberly tetap sabar dalam menghadapi sikap Angel yang belum reda dari ngambeknya. Tidak mau memaksa, dirinya yang memang salah. Ia juga sambil menunggu hasil perkembangan kasus akibat perbuatan Rojak.Amberly terkejut dengan kedatangan Gathan dan Lilian ke rumah sakit. Mereka berpelukan dan saling menyatakan kerinduan. “Kemana saja, Am? Menghilang begitu saja?” tanya Gathan, menatap Amberly sangat dalam.“Aku membantu bapak di pertambangan.” jawab Amberly tenang sambil menyunggingkan senyumnya.“Tidak mungkin kamu jauh-jauh datang ke sana, tanpa tujuan.” Kini Lilianlah yg berbicara. Amberly mengalihkan tatapannya pada Lilian. “Ya! Kak Lilian pasti sudah tahu, ibu Ranti dijemput paksa sama polisi.”“Kita tidak mempermasalahkannya, kalau itu benar mama ada keterkaitan di penculikanmu beberapa tahun lalu. Aku tidak berpihak pada mama atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Biar pihak pengadilan yang membuktikan.” kata Gathan, menepuk-nepuk bahunya.“Kamu sudah me
Begitu membuka pintu, Amberly melihat bapaknya datang.“Bapak langsung kemari?” tanya Amberly. “Tentu saja, Bapak ingin tahu yang terjadi padamu. Bagaimana keadaan menantu Bapak?” “Sudah tertolong, Pak.” Amberly menerima pelukan Berly Hanan.“Syukurlah ….” Berly Hanan bernapas lega, kemudian melepas pelukannya. “Kamu tidak apa-apa?” Terlihat khawatir, hingga melihat wajah Amberly dan seluruh tubuhnya. “Am, hanya kena pukulan beberapa kali, tapi tidak apa-apa. Benjut sedikit masih bisa Am tahan” Ia terkekeh, mengikuti langkah bapaknya.“Kamu jadi wanita kuat.” ujar Berly tersenyum, menggusak puncak rambut anaknya.Berly Hanan melihat Golda, lalu bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Sudah membaik, tinggal pemulihan.” jawab Golda.“Sabar, pelakunya akan segera ditindak.” Berly menatapnya.“Mungkin sebentar lagi, polisi akan kemari untuk menanyakan kronologinya.”“Semoga polisi jeli hingga dapat mengungkap kasusnya. Kenapa sangat pas ada di tempat kejadian?”“Saya ingin bertemu Am
Golda meringis menahan sakit, Amberly segera memangku kepalanya tanpa ragu.Ia mengusap wajah tampan itu dengan tangan gemetar. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Amberly."Maafkan aku, Amberly." Golda memejamkan mata, tidak sanggup bicara lagi. "Golda!" teriak Amberly panik, saat melihat kepala Golda terkulai di pangkuannya."Pak, tolong segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dapat pertolongan." pinta Amberly ke supir."Iya … iya …" Pak supir segera bergerak memangku tubuh Golda, kemudian dibantu mengangkatnya ke mobil oleh Amberly.Amberly duduk terlebih dahulu, lalu meletakkan kepala Golda di atas pangkuannya kembali.Amberly menepuk-nepuk pipi Golda secara pelan. Tetapi Golda tetap tidak bereaksi."Mengapa kamu datang, saat aku dalam bahaya? Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Amberly.Tentu saja pertanyaannya tidak terjawab. Untuk menghilangkan kecemasannya, Amberly menangis."Dia siapa, Am?" tanya Sully yang duduk di depannya, samping pak supir.Amberly melihatnya. "
Untuk beberapa minggu, Sully merasa aman karena Rojak berhenti untuk mengganggunya. Pikir Amberly pun, Rojak merasa kapok sudah dihajar olehnya. Namun, kewaspadaan tetap ia jalankan, mengingat peringatan dari pak Hadi.Waktu libur yang lebih panjang, Amberly bersama Sully kedaerahnya, bertemu dengan kedua anaknya. Yang satunya sudah remaja berumur 14 tahun, cantik seperti ibunya. Yang kedua baru berumur sembilan tahun, seorang anak laki-laki."Inilah alasanku bekerja, Am. Kinara sudah mau masuk SMA. Ia mengincar sekolah favorit yang cukup besar biayanya." terang Sully."Kamu pasti bisa dengan gajimu sekarang, dipertambangan.""Aku juga harus berbagi dengan ibuku yang merawat kedua anakku. Aku menabung juga untuk membeli rumah sendiri." ungkap Sully."Ibuku juga menganggap, pendidikan hal yang terpenting. Meski dengan warung kecilnya, beliau mampu menjadikan aku sarjana." Ceritakan tentang hidupmu, Am. Sejauh aku kenal dirimu, tidak pernah menceritakan keluargamu." pinta Sully."Aku l