Sudah saatnya Amberly mendampingi Golda, untuk mengadakan peninjauan ke lokasi proyek. Amberly sengaja mengajak Gathan dan Lilian, yang jelas ia tidak mau sendirian. Entahlah, merasa enggan saja untuk bersama sendirian dengan Golda. Ada rasa takut yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Ternyata Golda tidak protes lagi, mengajak mereka untuk pergi bersama dalam satu mobil SUV miliknya.Ketika tiba di lokasi pembangunan perkantoran kecamatan yang dipindahkan ke lokasi yang lebih luas, masih terlihat dalam tahap pembenahan. Supaya tanah yang tidak rata, pakai alat berat jadi rata.Golda hanya lebih menyelidik melalui pandangannya pada pribadi Gathan, karena Amberly lebih tampak akrab dengannya.Sementara Lilian lebih inten memberi penjelasan secara detail sambil memegang beberapa denah perkantoran yang akan di bangun di beberapa titik.Tanah itu tidak rata, dan mereka ada di tepi tebing yang tidak begitu curam. Namun, bagi Amberly yang pernah punya trauma dengan kondisi tebing, membuat ia
Setengah jam sebelum kepulangannya, Amberly sudah ke luar gedung kantornya. Ceklek! Ia membuka pintu mobilnya. Begitu sudah masuk, terdengar teguran dari seseorang. "Mau kabur, sebelum jam kerja berakhir? Aku sudah mengantisipasinya." Dilihat, Golda sedang berdiri di samping mobilnya."Kenapa harus memaksa?" "Harus! Kalau tidak dipaksa kamu akan selalu menentangku. Mau diperlakukan seperti karung beras, seperti tadi?" ancam Golda.Tentu saja ia tidak mau diperlakukan begitu lagi oleh Golda.Dengan terpaksa Amberly keluar dari mobilnya. Golda tersenyum penuh kemenangan, ingin saja ia memeluk tubuh ramping itu dan menghujaninya dengan ciuman. Namun, itu hanya angannya, tidak mungkin dia lakukan, kalau tidak ingin mendapat tamparan dari Amberly.Golda membimbing Amberly untuk masuk ke dalam mobilnya. Lalu, dia duduk di belakang kemudi. "Nanti pun kita akan jadi suami-istri, dan aku ingin Ange, memanggilku Ayah." "Kamu bukan ayahnya." "Kalau sudah jadi suamimu, aku otomatis jadi ayahny
Seharian ini, Golda bersama Angel. Anak kecil itu, tampak seolah melupakan rasa sakitnya. Keberadaan Golda cukup menghiburnya, ia selalu tertawa, karena ternyata sikap Golda mampu berinteraksi dengan anak kecil sebegitu baiknya."Aku tetap akan memeriksakan Angel pada dokter." ungkap Amberly. Ikut duduk di kursi tamu, saat Golda sedang memangku Angel. Memperhatikan kalau Golda masih mengenakan baju kemarin yang dia pakai."Aku akan antar, supaya tahu Ange sakit apa." Golda menanggapi."Aku punya kemeja Ethan, yang sengaja aku simpan." kata Amberly, lebih memperhatikan. Mungkin Golda perlu mengganti pakaiannya.Akan tetapi, Golda malah tertawa. "Tubuh bang Ethan itu kurus, mana muat di badanku."Amberly berpikir, sambil menilik tubuh Golda yang kekar dan berisi. "Ya, memang ukurannya kecil.""Untuk apa kamu menyimpan baju abangku?" tanya Golda."Sebagai kenang-kenangan, itu merupakan baju kesayangannya." "Kamu benar-benar sangat mencintainya?" Amberly membuang muka. Kenapa Golda masi
Ethan merasa kaget saat mendengar jeritan bi Lasih, di pagi hari. Dia bermaksud mendekati pengasuhnya.Namun, kemudian, wanita tua itu melarangnya untuk mendekat. Segera ia menutup pintu."Aden jangan ke sini. Diam di dalam saja." larang bi Lasih."Ada apa, Bi?""Ada seseorang di depan pintu, penuh dengan luka-luka. Aden jangan lihat!" Bi Lasih lebih memikirkan mengenai kondisi jantung Ethan."Bibi akan menangani wanita malang ini. Perlu dibersihkan dulu. Mungkin kita perlu seorang dokter?""Apakah dia masih masih hidup?""Masih bernapas, Den. Tapi penuh dengan luka dan pakainnya tidak semestinya Aden lihat. Jadi Aden jangan ke sini." Bi Lasih tetap melarangnya untuk ikut melihat kondisi wanita yang tiba-tiba ada di depan pintu rumah Ethan."Apakah kita perlu lapor polisi?" Tanya bi Lasih, merasa gamang."Ambil gambarnya saja, Bi. Kita tolong dulu kondisi dia. Aku malas berurusan dengan polisi." ucap Ethan."Duh, semoga gadis ini tidak parah dan masih bisa diselamatkan hidupnya. Bibi
Ingatan tentang dirinya, membuat Amberly merasa nelangsa. Menatap wajah Angel, yang terlelap. Siapakah bapaknya? Apakah ia harus menceritakan hal ini, biar Golda mengerti? Dan melepaskan hidupnya sendiri? Namun, sangat berat untuk Amberly lakukan, karena yang mengetahui kejadian itu, hanya Ethan, bi Lasih, dan beberapa dokter kepercayaan.Sore harinya, Golda mengantar Amberly untuk memeriksakan Angel ke dokter. Bersyukur dokter menyatakan kalau Angel tidak apa-apa.Ada radang di tenggorokannya, tetapi sudah sembuh.Golda merasa gembira, keponakan cantiknya ini, sakitnya tidak berlanjut."Kalau tidak sakit, aku ingin kembali mengajaknya bermain ke mall." ucap Golda. Mereka sudah dalam perjalanan menuju kembali ke rumah.Amberly meliriknya yang sedang memegang kemudi. "Tidak, aku tidak ingin membuat Angel sakit lagi." Pandangannya dialihkan kepada Angel yang sedang tertidur di pangkuannya.'Lebih mirip siapakah Angel?' Kalau lebih diteliti, sepertinya Angel lebih menyerupai garis mukan
Kembali ke hari kerja, kesibukan tidak bisa dihindari. Amberly baru bisa makan, itu juga diseret oleh Gathan."Kerja sih kerja, tapi perut juga perlu di isi." canda Gathan."Aku diseret Lilian, hingga sibuk hari ini.""Kalau soal kerja, ternyata kalian klop, ya?""Terus terang, soal manajemen kak Lilian sangat rapi, Kak. Aku salut padanya." ujar Amberly, Mereka sedang berada di restoran, untuk makan siang. Sedang menunggu makanan dihidangkan."Bagaimana hubunganmu dengan Golda?" selidik Gathan."Biasa saja." jawab Amberly."Sepertinya kamu kurang menyukainya? Apakah demi proyek ini, kamu harus berbaik-baik dengannya?" Amberly terdiam untuk sejenak. "Sebenernya ini urusan pribadi, tapi aku harus melakukannya. Aku harus menikah dengan Golda, sesuai wasiat dari Ethan."Membuat Gathan terkejut. "Mengapa begitu?""Entahlah! Sementara aku tidak ingin menikah dengan siapapun." jawab Amberly."Kamu masih muda, cantik, dan punya jabatan. Tentu itu suatu hal yang tidak mudah." ucap Gathan.Am
Golda membuka pintu kamar, niatnya ingin menengok Angel yang tertidur. Dalam keremangan cahaya, dia tidak mendapati Amberly ada di atas tempat tidur.Saat menoleh ke sudut kamar, Golda merasa tersentak kaget, melihat Amberly sedang memeluk lutut dengan gemetar, seperti sedang ketakutan. 'Apa yang terjadi?' pikirnya.Golda tertarik untuk mendekatinya. "Jangan mendekat." Suara penuh getaran itu, menghentikan langkahnya. "Ada apa denganmu?" tanyanya.."Jangan mendekat, jangan …." Nadanya memohon.Golda terdiam, sambil menatap terus pada Amberly yang tetap memeluk lututnya tanpa mengangkat wajahnya."Pergilah! Angel sudah tidur. Dia baik-baik saja." Amberly kembali mengusirnya secara halus."Kamu, kenapa?" Golda semakin penasaran dengan keanehan sikap calon istrinya itu."Aku tidak apa-apa." Amberly mengangkat mukanya, tapi tidak berusaha melihat pada Golda."Kamu menangis di sudut kamar begitu. Masa tidak apa-apa. Dari dulu kamu selalu ketakutan, pasti ada penyebabnya." Golda menyampa
Esok harinya, Amberly sudah bisa mengatasi perasaannya sendiri. Mengakhiri kebersamaannya dengan keluarga mertua dengan manis. Sepanjang perjalanan pulang, mereka banyak diamnya. Hanya sesekali saja Golda mengajaknya bicara. "Lupakan!" Amberly meresponnya, dengan sebuah lirikan, tanpa ucap. Kemudian, "Jangan lakukan lagi. Kamu benar, lupakan saja.""Hubungan kita tetap baik. Jangan lupakan itu." Golda memperingatinya."Akan aku usahakan." Amberly mengiyakan disertai anggukan. Angel tertidur di pangkuannya. Keadaan menjadi hening kembali."Setelah ini kamu mau ke mana?"tanya Golda."Tidak ada. Aku akan diam terus di rumah." jawab Amberly."Sebaiknya begitu." kata Golda kaku. Suasana yang sedikit canggung itu, tidak ada yang dapat memecahkannya. Sampai ke rumah ibunya dan Golda pun, langsung pamit.Amberly sudah tidak peduli lagi. Berharap lelaki itu mundur, membebaskan dirinya dari wasiat itu.Hari sudah menjelang siang, Amberly minta ijin dari Almira, sekalian menitip angel. Ia berg
Seperti biasa Golda memandikannya dengan cara dilap. Sekarang tangannya lebih nakal dan menggoda Amberly.Kadang mereka berciuman dengan asiknya, tetapi tidak bisa lebih lagi. Karena Amberly masih sakit.“Sabar, belum waktunya.” Amberly mendorong tubuh Golda dengan lembut.Napas Golda yang sudah sedikit memburu, jadi melemah. Hasratnya tidak bisa terus lanjut, merasa terhalangi oleh fisik istrinya.Golda menatapnya penuh kabut, merapatkan dahi ke istrinya dengan mengatur napas lebih teratur. Beberapa lama dia bersikap begitu, Amberly hanya bisa menahan senyumnya. Lalu mengusap-usap dadanya dengan lembut.“Aku sudah ada di tanganmu, jangan terburu-buru.” ucapnya.“Kau godaan terbesarku, bisa disentuh, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kamu curang ….” Golda berkata dengan menelan ludahnya.Amberly terkikik, kemudian menjauhkan wajahnya. “Kita belajar lebih mengakrabkan diri, apa kamu tidak ambil manfaatnya?”“Ya, kamu benar.” Golda akhirnya menyetujui, kemudian mengambil air minum dan meneg
“Kamu mau berbulan madu sama aku?” tanya Golda, setelah Gathan dan Lilian berpamitan.“Sama siapa lagi, sama kucing?” Amberly memalingkan wajahnya ke arah lain.“Kamu tahu, kan? Arti dari bulan madu? Kamu dan aku bersatu saling memadu kasih? Layaknya suami istri seperti pada umumnya.” Golda bertanya tidak percaya.“Aku ingin Ange punya adik, tidak jadi anak tunggal.” ujar Amberly ringan.Membuat Golda semakin ternganga, dibuatnya.“Tutup mulutnya, jangan malah bengong.” peringati Amberly. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Golda seperti menerima durian runtuh. Hanya bisa terbengong-bengong.“Apakah kamu waras? Diam saja.” Amberly menegurnya.“Hampir tidak percaya kamu mengatakannya.” Tiba-tiba air mata merebak di pelupuk mata Golda. Dia duduk disamping ranjang Amberly. Dengan lembut, Amberly menatapnya. “Kita mulai hidup baru dan lupakan semuanya.” Amberly meengambil sejumput rambut bagia depan Golda dan memainkannya. “Aku hampir tidak percaya, mendapatkan anugerah yang tidak ter
Tangan kanan yang di infus, mulai membuka baju tangan yg di gips. Terasa sulitnya membuka pakaian dari rumah sakit itu hanya ada tali yang tidak diikatkan. Mata Amberly melihat pada Golda yang malah bengong."Bisa bantu aku?" tanyanya.Tentu saja Golda tampak terkejut. Dia agak terbata-bata menjawabnya. "A --- aku ...?""Siapa lagi? Kamu suamiku, bukan?" kembali tanya AmberlyDengan agak tertegun sejenak, Golda tergagap. "Ka ---kamu yakin aku yang harus membuka bajumu?""Siapa lagi?" Sambil memutar matanya, tangan kanan Amberly berusaha terus membuka bajunya. Hingga sebagian dadanya terlihat.Dengan menahan napas, Golda membantu Amberly melepas pakaiannya dari tangan yang di gips.Jantung Golda bergemuruh dengan detak tidak keruan. Dia melihat kulit dadanya yang seputih susu dan membusung, tanpa baju yang menghalangi lagi.Namun, dia harus meneruskan apa yang sudah dilakukan.Sebenarnya sudah tidak tahan, melihat keindahan tubuh Amberly. Dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan dir
Dalam keadaan oleng itu, Amberly merasa terdesak harus kembali membanting setir. Karena posisi mobil kecil semakin terpepet, mobil besar mau menggilasnya.Itu jelas perbuatan yang disengaja, akhirnya Amberly menabrak gundukan di depannya. Tidak terhindarkan.Ia merasa ini akhir hidupnya, dadanya merasa sesak. Gelap gulita, tidak sadarkan diri.Bangun dari pingsan, tahu-tahu Amberly sudah berada di rumah sakit. Kaki dan tangannya di bebat, sepertinya kena patah tulang.Menyadari bahwa ada seseorang di sisi tempat tidurnya. “Sully … “ usapnya pada rambut Sully.“Am! Kau sudah sadar? Syukurlah ….” ucap Sully penuh rasa lega, jadi menatapnya.Amberly tersenyum sebelum menjawab. “Aku selamat.”“Maafkan aku tidak bisa menolongmu.”“Kaukah yang dalam penyanderaan Rojak?” tanya Sully.“Makanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.”“Tidak juga, kamu berani memberi perlawanan meski beresiko membahayakan keselamatanmu juga.”“Aku hanya bisa memperhatikan bendera, jadi kadang aku rebut setirnya, dan b
Alangkah kagetnya Amberly, secara cepat ingin mengangkat tubuh Golda supaya ke atas.“Beri ampun padaku atas apa yang kulakukan, Amberly ….” kata Golda dengan nada penuh penyesalan.Tubuhnya sudah terguncang-guncang karena isak tangisnya. Dia tetap bertahan dalam posisi bersujud di depan Amberly.“Jangan begini Gold, bangkitlah! Aku memaafkanmu.” jawab Amberly yang langsung direspons oleh Golda.“Mengapa kamu begitu mudah memaafkan?” tanya Golda sambil menengadahkan wajahnya.“Seperti yang diutarakan ibuku sebelumnya, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kenapa aku harus mengingat terus kesalahan yang tidak tersimpan di ingatanmu?” Pandangan mereka bertemu.“Amber … Lelaki bejat ini tahu akibat perbuatannya, kamu sangat menderita.” Suara serak Golda menjelaskan perasaannya.“Jangan ingat lagi, mari kita lupakan kejadian yang tidak menguntungkan ini. Aku sudah sembuh, jiwaku merasa bebas sekarang. Karena aku sudah berhasil mengampunimu.”“Amber, sebenarnya aku tidak layak mendap
Hari-hari selanjutnya, Amberly tetap sabar dalam menghadapi sikap Angel yang belum reda dari ngambeknya. Tidak mau memaksa, dirinya yang memang salah. Ia juga sambil menunggu hasil perkembangan kasus akibat perbuatan Rojak.Amberly terkejut dengan kedatangan Gathan dan Lilian ke rumah sakit. Mereka berpelukan dan saling menyatakan kerinduan. “Kemana saja, Am? Menghilang begitu saja?” tanya Gathan, menatap Amberly sangat dalam.“Aku membantu bapak di pertambangan.” jawab Amberly tenang sambil menyunggingkan senyumnya.“Tidak mungkin kamu jauh-jauh datang ke sana, tanpa tujuan.” Kini Lilianlah yg berbicara. Amberly mengalihkan tatapannya pada Lilian. “Ya! Kak Lilian pasti sudah tahu, ibu Ranti dijemput paksa sama polisi.”“Kita tidak mempermasalahkannya, kalau itu benar mama ada keterkaitan di penculikanmu beberapa tahun lalu. Aku tidak berpihak pada mama atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Biar pihak pengadilan yang membuktikan.” kata Gathan, menepuk-nepuk bahunya.“Kamu sudah me
Begitu membuka pintu, Amberly melihat bapaknya datang.“Bapak langsung kemari?” tanya Amberly. “Tentu saja, Bapak ingin tahu yang terjadi padamu. Bagaimana keadaan menantu Bapak?” “Sudah tertolong, Pak.” Amberly menerima pelukan Berly Hanan.“Syukurlah ….” Berly Hanan bernapas lega, kemudian melepas pelukannya. “Kamu tidak apa-apa?” Terlihat khawatir, hingga melihat wajah Amberly dan seluruh tubuhnya. “Am, hanya kena pukulan beberapa kali, tapi tidak apa-apa. Benjut sedikit masih bisa Am tahan” Ia terkekeh, mengikuti langkah bapaknya.“Kamu jadi wanita kuat.” ujar Berly tersenyum, menggusak puncak rambut anaknya.Berly Hanan melihat Golda, lalu bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Sudah membaik, tinggal pemulihan.” jawab Golda.“Sabar, pelakunya akan segera ditindak.” Berly menatapnya.“Mungkin sebentar lagi, polisi akan kemari untuk menanyakan kronologinya.”“Semoga polisi jeli hingga dapat mengungkap kasusnya. Kenapa sangat pas ada di tempat kejadian?”“Saya ingin bertemu Am
Golda meringis menahan sakit, Amberly segera memangku kepalanya tanpa ragu.Ia mengusap wajah tampan itu dengan tangan gemetar. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Amberly."Maafkan aku, Amberly." Golda memejamkan mata, tidak sanggup bicara lagi. "Golda!" teriak Amberly panik, saat melihat kepala Golda terkulai di pangkuannya."Pak, tolong segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dapat pertolongan." pinta Amberly ke supir."Iya … iya …" Pak supir segera bergerak memangku tubuh Golda, kemudian dibantu mengangkatnya ke mobil oleh Amberly.Amberly duduk terlebih dahulu, lalu meletakkan kepala Golda di atas pangkuannya kembali.Amberly menepuk-nepuk pipi Golda secara pelan. Tetapi Golda tetap tidak bereaksi."Mengapa kamu datang, saat aku dalam bahaya? Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Amberly.Tentu saja pertanyaannya tidak terjawab. Untuk menghilangkan kecemasannya, Amberly menangis."Dia siapa, Am?" tanya Sully yang duduk di depannya, samping pak supir.Amberly melihatnya. "
Untuk beberapa minggu, Sully merasa aman karena Rojak berhenti untuk mengganggunya. Pikir Amberly pun, Rojak merasa kapok sudah dihajar olehnya. Namun, kewaspadaan tetap ia jalankan, mengingat peringatan dari pak Hadi.Waktu libur yang lebih panjang, Amberly bersama Sully kedaerahnya, bertemu dengan kedua anaknya. Yang satunya sudah remaja berumur 14 tahun, cantik seperti ibunya. Yang kedua baru berumur sembilan tahun, seorang anak laki-laki."Inilah alasanku bekerja, Am. Kinara sudah mau masuk SMA. Ia mengincar sekolah favorit yang cukup besar biayanya." terang Sully."Kamu pasti bisa dengan gajimu sekarang, dipertambangan.""Aku juga harus berbagi dengan ibuku yang merawat kedua anakku. Aku menabung juga untuk membeli rumah sendiri." ungkap Sully."Ibuku juga menganggap, pendidikan hal yang terpenting. Meski dengan warung kecilnya, beliau mampu menjadikan aku sarjana." Ceritakan tentang hidupmu, Am. Sejauh aku kenal dirimu, tidak pernah menceritakan keluargamu." pinta Sully."Aku l