Golda melihat Amberly yang sedang berada di pelukan Maya. Kata-kata hiburan dan membesarkan hati cukup banyak diutarakan olehnya.
"Kamu seorang istri yang baik, Amber. Mami sangat berterima kasih sama kamu, karena Ethan sempat mengecap kebahagiaan membangun rumah tangga bersamamu. Meski akhirnya Ethan meninggalkan kita juga, tapi semua ini sudah kehendak Tuhan. Tidak ada yang harus kita sesali, Mami sudah benar-benar ikhlas." ucap Maya terlihat pasrah."Aku sangat menyayangi, Ethan. Tidak ada cacat celanya di mataku." ungkap Amberly."Mami dapat melihatnya dari sikap kalian yang saling mengasihi. Ethan bahagia sekali sepanjang hidup bersamamu. Tidak ada yang perlu disalahkan." Sepertinya, Maya tahu sedikit banyak mengenai sikap Golda yang terus menyalahkan Amberly atas kematian kakaknya.Mendengar itu, Golda yang masih merasa belum puas, mendekati keduanya dengan wajah tidak bersahabat."Apakah Mami percaya, kematian bang Ethan tidak ada apa-apanya?" tanya Golda.Maya melepaskan pelukannya pada Amberly. Katanya. "Coba duduk baik-baik, Sayang. Mami mau bicara."Mau tidak mau Golda duduk di hadapannya dengan wajah masih ditekuk, sama sekali tidak melihat pada Amberly yang duduk di samping maminya.Maya terlihat menarik napasnya, mulai bicara. "Menghadapi duka cita ini, kita menyikapinya tidak harus berlebihan. Mami mengerti kesedihanmu, Gold. Namun, kita harus ingat, jangan sampai disesatkan oleh rekayasa iblis yang bermaksud mengacaukan perasaan kita yang sedang berduka." nasihat Maya, menatap anak bungsunya dengan penuh kasih."Mami yang merawat abangmu dari kecil saja, tetap tenang, meski mengalami duka yang sama denganmu." lanjut Maya. "Terus terang Mami sudah siap, bila suatu saat Ethan dipanggil Tuhan, ini justru luar biasa terjadi melebihi perkiraan Mami. Dari awal, dokter sudah memprediksikan kalau Ethan tidak akan melewati usia remajanya, tetapi buktinya, kan? Tuhan memberi waktu lebih untuk abangmu hidup di dunia ini. Mami bersyukur pada Tuhan atas kesempatan yang Tuhan berikan ini. Jadi, jangan cacati rasa syukur Mami ini dengan menganggap Ethan seolah meninggalnya tidak wajar. Mami perjelas, Gold…" tatap Maya lagi lebih tegas."Ethan meninggal dalam damai. Mami melihat detik-detik di helaan napas terakhirnya, dia tersenyum dan sempat bilang 'terima kasih', tidak ada penyesalan sama sekali di raut wajahnya. Ethan menerima, kehendak Tuhan, meski tahu hidupnya akan berakhir." Maya mengakhiri ucapannya yang panjang lebar.Golda mengusap tetesan air matanya. "Coba kalau bang Ethan tidak nekat menikah dengan wanita ini!" tunjuknya pada Amberly."Gold … !" tegur Maya. Dengan suara agak naik, ia menyatakan ketidaksetujuannya."Kamu anak Mami. Kamu percaya pada kehendak Tuhan, kan?" Masih dengan nada teguran."Maaf, Mi. Entahlah, aku masih merasa janggal." Golda membuang mukanya. Masih belum terima."Tenangkan dirimu dulu, Gold. Jernihkan pikiranmu. Nanti sore, kita akan duduk bersama lagi, karena ada sesuatu yang akan disampaikan oleh pengacara kita. Ada surat wasiat yang perlu kita ketahui dari Ethan." Maya menatap anaknya."Apa?" Secara spontan Golda bertanya, dari rasa terkejutannya."Ya, Mami juga belum tahu apa isinya." jawab Maya tenang. Matanya melirik Amberly yang sedari tadi terduduk dalam diam, kemudian memeluknya lagi. "Kita dengarkan, apa yang hendak Ethan sampaikan pada kita."Amberly menanggapi, hanya dengan senyum getirnya. Sementara Golda sudah meninggalkan mereka tanpa kata. ***Golda sedang berdiri mematung, menatap taman yang setiap hari dirawat oleh Amberly. Ethan kadang betah melukis di sana, ditemani istrinya dengan setia.Selama ini, Golda mengawasi Amberly memang tidak terbantahkan. Bagaimana perilaku kakak iparnya itu sangat mengabdi pada suaminya, Ethan.Setiap pagi menyediakan sarapan dengan tidak lupa menyiapkan obat yang harus rutin dikonsumsi Ethan. Tidak seperti interaksi antara dirinya dan Amberly yang tidak begitu baik, tapi dengan Ethan, Amberly bisa ngobrol dan bercanda seperti umumnya suami-istri. Kadang membuat Golda sedikit cemburu, kalau Ethan diperlakukan oleh Amberly, seperti seorang pangeran.Namun mengapa, timbul rasa tidak suka dalam hatinya pada Amberly? Apa salah wanita itu? Sisi lain di hati Golda, diam-diam juga mengagumi wajah perinya. Sungguh, suatu perasaan yang sangat tidak dimengertinya. Membuat Golda kadang memperlihatkan rasa tidak sukanya itu, dengan sikap menegur dengan kata-kata ancaman pada Amberly. Menekannya, bahwa: 'bila dia menemukan sikap tidak baiknya pada Ethan, Golda akan marah'.Atau, itu hanya sebuah alasan saja, agar Golda bisa mendekati Amberly? Karena menurutnya, wanita itu sangat misterius. Tidak mudah didekati. Sikapnnya diam dan tidak begitu menggubris apapun yang dilakukan Golda terhadapnya. Menggelitik kelelakiannya untuk mendapatkan perhatian. Mungkin.Dan secara diam-diam pula Golda suka melakukan pengintipan di tempat tersembunyi, untuk memperhatikan Amberly. Entah itu sedang menyiram bunga, atau menanamnya. Hanya itu, tanpa diketahui oleh seorangpun. Golda sendiri merasa aneh dengan sikapnya itu.Sore hari, pak Fadly yang sebagai pengacara keluarga, sudah hadir. Semua menunggu Golda, di ruang tengah.Tidak lama laki-laki muda yang tampan itu, muncul dengan rambut yang masih basah. Rupanya dia baru selesai mandi.Pak Fadly tersenyum melihat Golda langsung duduk, menurut pada ajakkan Maya, sesaat setelah pemuda itu muncul. "Di sini, Gold. Duduk di samping Mami.""Baiklah kita mulai saja." Tarikan napas pak Fadly menandakan kalau dia akan segera memulai. "Sebelumnya bang Ethan memanggil saya, sehari sebelum beliau meninggal. Kemudian dengan susah payah, beliau berpesan, untuk membacakan amplop yang dia serahkan kepada saya. Tidak banyak kata yang disampaikan, sehubungan dengan kondisinya." Pak Fadly menjeda ucapannya, untuk menatap satu persatu orang yang ada di ruangan keluarga, rumah Ethan. Pada Golda, Maya, Amberly dan terakhir pada Frank, papinya yang duduk di kursi roda."Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya akan segera membuka surat ini. Apapun isi di dalamnya, saya sama sekali tidak tahu." Pak Fadly mengangkat sampul surat panjang berwarna coklat, yang masih tertutup rapat, kemudian merobek dan mengambil lembar suratnya.Golda memegang kepalan tangan dan menaruh di bawah dagunya. Berusaha bersikap tenang, karena Maya ada di sampingnya."Apapun yang disampaikan, inilah pesan terakhir bang Ethan." ucap pak Fadly.Beberapa saat dia terpaku diam. Menyimak tulisan yang begitu rapi."Langsung bacakan saja, Pak. Tidak harus Pak Fadly dulu yang menyimaknya." protes Golda tidak sabar."Baik, baik, akan langsung saya bacakan." Sepertinya pak Fadly baru sadar dari rasa terperangahnya."Surat ini saya buat, dikhususkan buat adik yang sangat Abang sayangi, Golda. Maaf, Abang membuat surat ini lewat pengacara, tidak secara langsung. Bertujuan untuk dilakukan oleh kedua belah pihak, tanpa bantahan."Selanjutnya. "Adikku, Golda, kesayangan abang. Yang masih tertinggal di dunia ini, adalah istri yang sangat kukasihi, dengan Angel anak abang satu-satunya. Kiranya, setelah satu tahun dari sekarang, secara rela kamu dapat menikahinya." Surat itu dibacakan, tanpa ada kelanjutannya lagi.Semua orang tampak terkejut. Apalagi yang bersangkutan. Golda hampir loncat dari tempatnya. "Bacakan, terus!" desaknya."Sudah selesai, tidak ada lagi." jawab pak Fadly, langsung.Secara cepat Golda menyambar surat yang ada di tangan pak Fadly. Memang benar sangat pendek, tidak ada kelanjutannya saat Golda membacanya."Apa maksudnya Abang ini, Mi?" tanyanya pada Maya."Mana Mami tahu, Gold." Maya merentangkan tangan sebagai isyarat bahwa dirinya pun tidak tahu.Semua tampak terdiam, setelahnya. 'Ini, Gila!' pikir Golda.Ethan sangat tahu, hubungan dia dengan Amberly tidak begitu baik. Apa maksudnya mereka dipaksa harus bersatu dalam tali pernikahan? Tanpa penjelasan, lagi. Kenapa mereka harus menikah di satu tahun berikutnya?Bolehlah Ethan merasa khawatir akan nasib istri dan anak, setelah kepergiannya. Akan tetapi, tidak mesti meminta Golda untuk menikahinya juga, bukan?Tanpa diminta pun, tentu saja dia dan keluarga, tidak akan membuang Amberly dan anaknya dengan begitu saja."Bagaimana ini, Mi?" Golda bertanya pada Maya."Dalam hal ini, Mami benar-benar tidak tahu maksud dari abangmu. Mami hanya bisa menyarankan, lakukan apa yang abangmu minta darimu. Karena ini merupakan permintaan terakhirnya." ucap Maya dalam keadaan bingung.Tatapan Golda beralih pada Amberly. Yang sejak tahu isi dari surat itu, bersikap seperti sebuah patung. Bibirnya terkatup rapat, matanya terpejam, hanya gerakan saat ia bernapas dan jatuhnya air mata membasahi pipinya yang menandakan ia masih hidup."Jangan tanyakan padaku. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi untuk sekarang." ujar Amberly, mendahului Golda yang baru saja membuka mulut, untuk berbicara.Bibir Golda langsung terkatup lagi. Menatap wajah yang sedikit memucat dan tanpa ekspresi itu."Kita bicarakan nanti, pak Fadly. Terima kasih sudah menyampaikan surat wasiat dari almarhum bang Ethan" angguk Golda, sedikit membungkukkan tubuhnya pada pak Fadly, mengakhiri pertemuan itu.Tidak ada obrolan setelah pak Fadly beranjak dari ruangan. Perhatian mereka agak teralihkan dengan masuknya bi Lasih sambil menggendong anak perempuan berumur tiga tahun. Raut wajah anak itu, sudah terlihat sembab dan tampak rewel.Amberly langsung berdiri, menerima Angel yang disodorkan bi Lasih padanya."Kasihan, Non. Ange tidak begitu keperhatikan, sejak abang masuk rumah sakit." kata bi Lasih.Seakan baru menyadarinya, Amberly langsung mendekap anaknya dengan penuh rasa bersalah."Maafkan, Mama, Sayang …." Amberly menciumi wajah Angel. "Papamu, sudah gak ada ... tidak akan mengajak Ange bermain di taman lagi." Amberly malah kembali menangis, semakin mendekap anak kecil itu. Tentu saja Angel tidak mengerti kesedihan yang sedang dialami ibunya.Angel malah memberontak sambil menyebut-nyebut mamanya. "Mama … mama …."Tiba-tiba anak itu menghilang dari pelukan Amberly, karena secara cepat Golda menyambarnya. "Mana mengerti anak sekecil ini tentang kematian." Lalu dia membawanya ke ruangan lain rumah yang ditempati oleh keluarga kecil Ethan.Amberly merasa malas untuk mengambilnya kembali, ia sudah tidak punya semangat untuk melawan lelaki arogan itu. Yang sayangnya, adalah adik iparnya sendiri.Ia hanya dapat menatap Maya. Dibalas dengan tatapan prihatinnya. "Ange sangat akrab dengan om-nya, biarkan ia bersamanya." hibur Maya. Dipaksakan untuk tersenyum."Iya, Mi." Amberly menurut."Lebih baik kamu istirahat, Amber. Mami juga akan melakukannya, karena sama-sama lelah."Ia kembali mematung, saat ingin masuk ke kamar tidur. Ingatannya kembali ke kebersamaannya dengan Ethan. Masih tergambar jelas dalam ingatannya. Bagaimana ia membangun hubungan baik, bukan sebagai suami-istri, tapi lebih tepatnya sebagai sahabat.Kalau digambarkan, Ethan sebagai sahabat yang penuh pengertian, meski hubungan itu baru terjalin dalam empat tahun ini. Ethan selalu tersenyum dan bersikap sangat baik padanya. Amberly tidak pernah membiarkan hal apapun, dapat mempengaruhi emosi Ethan. Ia selama ini sangat menjaganya.Namun, pada malam itu … ada keributan yang terjadi. Bukan mereka, tapi justru dari Golda sendiri dan kekasihnya, Sherra."Den Golda, sepertinya nona kecil sudah tertidur, biar Bibi letakkan di tempat tidurnya." pinta bi Lasih ketika melihat Angel sudah tertidur dalam gendongan hangat om-nya."Biarkan saja, Ange lebih lama tertidur dalam gendonganku, Bi." tolak halus Golda."Baiklah, Den. Tapi, ada sedikit yang mau Bibi sampaikan. Aden tidak apa-apa, sambil menggendong Nona Ange?" tanya bi Lasih agak ragu-ragu.Golda melihat bi Lasih kemudian pada Angel, keponakan tersayangnya ini. Terlihat tampak damai dalam tidurnya."Tidak apa-apa, Bi. Katakan saja.""Ini mengenai den Ethan saat Bibi menemukannya pingsan di tempat tidurnya." ungkap bi Lasih, memulai."Sudahlah, Bi. Saya malas untuk membahasnya lagi. Kenyataannya, Abang tidak bisa bangun lagi dari kuburnya, apapun yang akan Bibi katakan." Golda tampak tidak tertarik, mengenai apa yang akan disampaikan bi Lasih. Hanya akan menambah kesedihannya saja."Tidak begitu, Den. Dengarkan perkataan Bibi dulu. Ini sangat penting, Den. Supaya Aden pun tahu dan men
"Ini anakku, mengapa kamu seolah berkuasa memilikinya?" ucap ketus Amberly, saat menemukan Angel tidur bersama pamannya di ranjang ruang tamu.Tentu saja teguran itu membangunkan Golda dari tidurnya. Dia jadi terkaget, tetapi kata-kata Amberly tadi, dapat disimaknya juga."Aku pamannya, mengapa kamu keberatan?" balasnya, sambil mengusap wajah.Amberly sama sekali tidak tergoda oleh wajah tampan Golda, terbukti dari pelototan matanya yang tidak juga memudar. "Perlakuanmu sangat tidak sopan, mengambilnya sembarang, menidurkannya juga secara sembarang." omel Amberly. Ingin saja mengambil Angel secepatnya, tetapi terhalang tubuh Golda yang masih rebahan. Tampak Angel merasa terusik oleh keributan sekitar. "Mama." panggilnya spontan."Kemarilah, Sayang. Mendekat sama Mama." ajak Amberly, pada Angel. Tidak lebih memajukan dirinya, karena Golda masih terbaring di tempat tidur, menghalangi upaya wanita itu untuk mengambil anaknya.Golda malah menerbitkan senyumnya, "Kamu lebih banyak bicara,
Amberly langsung memeluk ibunya, begitu wanita setengah baya itu membuka pintu."Ibuu!" Setengah tersedu."Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?" Almira, ibunya. Melepaskan pelukan untuk meneliti tubuh anaknya. "Aku baik-baik saja, ibu. Aku yang sepanjang waktu mengkhawatirkan ibu." "Ibu sakit, sih." Almira menyunggingkan senyumnya."Ibu sakit, apa?" Amberly agak tertegun."Sakit yang namanya rindu. Rindu ingin ketemu denganmu dan cucuku."Amberly tampak bernapas lega. "Sekarang jadi terobati. Maaf, Amber baru menemui Ibu." Sorot mata Amberly melukiskan perasaannya."Tidak apa-apa, penantian ibu sudah terbayarkan." Ia kemudian melihat pada gadis kecil yang ada di sebelah Amberly. "Apakah ini cucu, Ibu?" "Iya, Bu. Namanya Angel, tapi biasa dipanggil Ange." Amberly memberi penjelasan."Hai, ternyata cantik sekali cucu Oma ini." Almira agak membungkukkan tubuh untuk mencolek pipi Angel."Beri salam sama Oma, Sayang." perintah Amberly.Anak yang baru berusia tiga tahun itu menuruti, menyod
Dengan penuh tekad dan semangat membara, Amberly terbang ke daerah Pulau Kalimantan. Hanya berbekal alamat rumah dan perusahaan, yang dibeti dari ibunya.Benar saja, saat sudah ada di depan rumah bapaknya, Amberly tertegun. Rumah itu tampak seperti istana, sangat besar dan luasnya. Terlihat saat ia mengintip dari pintu pagar rumahnya.Amberly dihampiri oleh satpam, kemudian di tanya-tanya sesuai dengan tugas yang diembannya. Amberly memperlihatkan KTP dan menyatakan niatnya untuk bertemu dengan bapak Berly Hanan. Tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan izinnya, harus ada konfirmasi dari keluarganya dulu, terutama istrinya, ibu Ranti.Ia tidak keberatan, mendengar bapaknya masih hidup saja sudah senang. Dengan tidak banyak bertanya, Amberly menunggu.Sementara di dalam rumah, seorang wanita setengah baya dengan rambut disasak tinggi dan rapi, tampak sedang mendengar lewat telepon laporan dari satpamnya.Matanya tiba-tiba terbelalak. Siapa namanya, Pak?""Amberly, Bu."Mendengar nama t
Di ranjang itu, yang pertama Amberly lihat, adalah seorang lelaki yang sangat kurus. Dengan mata cekung dan kulit berwarna pucat, tetapi bersih.Inikah bapaknya yang sangat dirindukan? Seumur hidup Amberly sangat mendambakan untuk bertemu. Segala rasa berkecamuk dalam hatinya. "Papa sudah lama sakit, hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Karena mengalami stroke dan penyakit gula." terang Gathan, setengah berbisik di dekat telinganya. Hal itu membuat Amberly secara refleks menjauh.Amberly sedikit mengangguk sambil tersenyum pada Gathan. Kemudian, lebih mendekati ranjang bapaknya.Sang bapak, sejak melihat Amberly masuk ke kamarnya, terus mengawasi tanpa berkedip. Amberly agak membungkuk untuk menyetarakan posisi wajahnya, supaya setara dengan wajah bapak yang terbaring."Bapak …." Dengan nada bergetar, Amberly memanggilnya."Kamu, siapa" Sedikit heran, dia bertanya."Namaku, Amberly."Tampak Berly agak tertegun. "Almira pernah mengatakan kalau punya anak perempuan, akan dinamakan
Amberly berdiri di hadapan para tetua yang nota bene merupakan saudara dari bapaknya. Rata-rata mereka adalah pemegang saham di perusahaan besar itu. Bapaknya, Berly Hanan ikut hadir, meski harus duduk di atas kursi roda. Memberi kekuatan kepada Amberly untuk menghadapi mereka.Berly sendiri yang memimpin rapat penting itu, menyatakan kalau Amberly anak kandungnya, dia memperlihatkan hasil dari tes DNA yang sudah diperoleh hasilnya. Jadi secara sah bisa memimpin salah satu perusahaan di bawah perusahaan PT. Borneo Grup. Sebuah perusahaan milik keluarga mereka, turun temurun"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengambil kedudukan Bapak sebagai direktur atama di perusahaan pusat. Akan tetapi, sesuai domisili saya di Jakarta. Saya akan memimpin perusahaan di sana." ungkap Amberly sambil tersenyum."Tetapi perusahaan di sana, sudah di pegang oleh LiLian." kata salah satu yang hadir. Berkepala agak botak dan sudah tua.Berly bergerak memutar kursi rodanya lebih ke depan. "Soal itu, nanti
Golda memasuki lobi gedung perusahaan PT KAB Tbk. Tubuhnya yang tinggi dan berwajah tampan, banyak menarik perhatian tiap orang yang ada di ruangan itu. Lilian yang memang sedang menunggu kedatangannya, menelan ludah sendiri. Tidak salah lagi, lelaki tampan yang baru datang itu adalah Golda. Ia pernah melihat profilnya dari media internet. Melihat orangnya secara langsung, ternyata lebih menawan."Selamat pagi, pak Golda." sapanya, membuat langkah lelaki itu terhenti.Lilian tersenyum. "Selamat datang di perusahaan kami. Saya pribadi akan mengantarkan Bapak untuk bertemu dengan CEO."Golda hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Melanjutkan langkah sejajar dengan yang akan mengantarnya.Begitu ruangan terbuka, Golda melihat di meja kerja utama yang bertuliskan CEO, terlihat seorang wanita sedang menunduk. Kemudian secara perlahan terangkat wajahnya. Di saat seperti itulah tatapan keduanya bertemu. Golda agak mengerutkan keningnya, sambil tidak melepaskan tatapannya. 'Pasti pandanga
Lilian tampak cerah raut wajahnya, sementara Amberly, biasa saja."Ternyata kamu, datang berdua. Kenapa tidak sekalian saja yang hadir di kantormu itu, semua kamu bawa?""Perkenalkan, Lilian saudari tiriku." Amberly mengabaikan sindiran dari Golda.Golda pun sama sikapnya. Tidak menggubris perkenalan Amberly. Tidak mau tahu, entah itu saudara tirinya, atau siapanya dia. Golda merasa kesal, ternyata Amberly menemuinya tidak sendiri.Dia tidak melirik Lilian sedikit pun, tetapi terus menatap Amberly dengan tajam, sampai wanita itu duduk dihadapannya."Matamu tidak mau mengedip?" tegur Amberly. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?"Tatapannya tetap tidak dialihkan. "Aku ingin ketemu dengan Ange." "Aku kira, kamu akan membahas soal perusahaan." Amberly membuang wajahnya. "Ange baik-baik saja. Jadi stop menanyakan anakku." Memberi jawaban.Amberly menerima buku menu yang disodorkan pelayan restoran. Fokus memilih menu. Tidak lama kemudian, "Silahkan Pak Golda memilih sendiri." kata
Seperti biasa Golda memandikannya dengan cara dilap. Sekarang tangannya lebih nakal dan menggoda Amberly.Kadang mereka berciuman dengan asiknya, tetapi tidak bisa lebih lagi. Karena Amberly masih sakit.“Sabar, belum waktunya.” Amberly mendorong tubuh Golda dengan lembut.Napas Golda yang sudah sedikit memburu, jadi melemah. Hasratnya tidak bisa terus lanjut, merasa terhalangi oleh fisik istrinya.Golda menatapnya penuh kabut, merapatkan dahi ke istrinya dengan mengatur napas lebih teratur. Beberapa lama dia bersikap begitu, Amberly hanya bisa menahan senyumnya. Lalu mengusap-usap dadanya dengan lembut.“Aku sudah ada di tanganmu, jangan terburu-buru.” ucapnya.“Kau godaan terbesarku, bisa disentuh, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kamu curang ….” Golda berkata dengan menelan ludahnya.Amberly terkikik, kemudian menjauhkan wajahnya. “Kita belajar lebih mengakrabkan diri, apa kamu tidak ambil manfaatnya?”“Ya, kamu benar.” Golda akhirnya menyetujui, kemudian mengambil air minum dan meneg
“Kamu mau berbulan madu sama aku?” tanya Golda, setelah Gathan dan Lilian berpamitan.“Sama siapa lagi, sama kucing?” Amberly memalingkan wajahnya ke arah lain.“Kamu tahu, kan? Arti dari bulan madu? Kamu dan aku bersatu saling memadu kasih? Layaknya suami istri seperti pada umumnya.” Golda bertanya tidak percaya.“Aku ingin Ange punya adik, tidak jadi anak tunggal.” ujar Amberly ringan.Membuat Golda semakin ternganga, dibuatnya.“Tutup mulutnya, jangan malah bengong.” peringati Amberly. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Golda seperti menerima durian runtuh. Hanya bisa terbengong-bengong.“Apakah kamu waras? Diam saja.” Amberly menegurnya.“Hampir tidak percaya kamu mengatakannya.” Tiba-tiba air mata merebak di pelupuk mata Golda. Dia duduk disamping ranjang Amberly. Dengan lembut, Amberly menatapnya. “Kita mulai hidup baru dan lupakan semuanya.” Amberly meengambil sejumput rambut bagia depan Golda dan memainkannya. “Aku hampir tidak percaya, mendapatkan anugerah yang tidak ter
Tangan kanan yang di infus, mulai membuka baju tangan yg di gips. Terasa sulitnya membuka pakaian dari rumah sakit itu hanya ada tali yang tidak diikatkan. Mata Amberly melihat pada Golda yang malah bengong."Bisa bantu aku?" tanyanya.Tentu saja Golda tampak terkejut. Dia agak terbata-bata menjawabnya. "A --- aku ...?""Siapa lagi? Kamu suamiku, bukan?" kembali tanya AmberlyDengan agak tertegun sejenak, Golda tergagap. "Ka ---kamu yakin aku yang harus membuka bajumu?""Siapa lagi?" Sambil memutar matanya, tangan kanan Amberly berusaha terus membuka bajunya. Hingga sebagian dadanya terlihat.Dengan menahan napas, Golda membantu Amberly melepas pakaiannya dari tangan yang di gips.Jantung Golda bergemuruh dengan detak tidak keruan. Dia melihat kulit dadanya yang seputih susu dan membusung, tanpa baju yang menghalangi lagi.Namun, dia harus meneruskan apa yang sudah dilakukan.Sebenarnya sudah tidak tahan, melihat keindahan tubuh Amberly. Dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan dir
Dalam keadaan oleng itu, Amberly merasa terdesak harus kembali membanting setir. Karena posisi mobil kecil semakin terpepet, mobil besar mau menggilasnya.Itu jelas perbuatan yang disengaja, akhirnya Amberly menabrak gundukan di depannya. Tidak terhindarkan.Ia merasa ini akhir hidupnya, dadanya merasa sesak. Gelap gulita, tidak sadarkan diri.Bangun dari pingsan, tahu-tahu Amberly sudah berada di rumah sakit. Kaki dan tangannya di bebat, sepertinya kena patah tulang.Menyadari bahwa ada seseorang di sisi tempat tidurnya. “Sully … “ usapnya pada rambut Sully.“Am! Kau sudah sadar? Syukurlah ….” ucap Sully penuh rasa lega, jadi menatapnya.Amberly tersenyum sebelum menjawab. “Aku selamat.”“Maafkan aku tidak bisa menolongmu.”“Kaukah yang dalam penyanderaan Rojak?” tanya Sully.“Makanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.”“Tidak juga, kamu berani memberi perlawanan meski beresiko membahayakan keselamatanmu juga.”“Aku hanya bisa memperhatikan bendera, jadi kadang aku rebut setirnya, dan b
Alangkah kagetnya Amberly, secara cepat ingin mengangkat tubuh Golda supaya ke atas.“Beri ampun padaku atas apa yang kulakukan, Amberly ….” kata Golda dengan nada penuh penyesalan.Tubuhnya sudah terguncang-guncang karena isak tangisnya. Dia tetap bertahan dalam posisi bersujud di depan Amberly.“Jangan begini Gold, bangkitlah! Aku memaafkanmu.” jawab Amberly yang langsung direspons oleh Golda.“Mengapa kamu begitu mudah memaafkan?” tanya Golda sambil menengadahkan wajahnya.“Seperti yang diutarakan ibuku sebelumnya, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kenapa aku harus mengingat terus kesalahan yang tidak tersimpan di ingatanmu?” Pandangan mereka bertemu.“Amber … Lelaki bejat ini tahu akibat perbuatannya, kamu sangat menderita.” Suara serak Golda menjelaskan perasaannya.“Jangan ingat lagi, mari kita lupakan kejadian yang tidak menguntungkan ini. Aku sudah sembuh, jiwaku merasa bebas sekarang. Karena aku sudah berhasil mengampunimu.”“Amber, sebenarnya aku tidak layak mendap
Hari-hari selanjutnya, Amberly tetap sabar dalam menghadapi sikap Angel yang belum reda dari ngambeknya. Tidak mau memaksa, dirinya yang memang salah. Ia juga sambil menunggu hasil perkembangan kasus akibat perbuatan Rojak.Amberly terkejut dengan kedatangan Gathan dan Lilian ke rumah sakit. Mereka berpelukan dan saling menyatakan kerinduan. “Kemana saja, Am? Menghilang begitu saja?” tanya Gathan, menatap Amberly sangat dalam.“Aku membantu bapak di pertambangan.” jawab Amberly tenang sambil menyunggingkan senyumnya.“Tidak mungkin kamu jauh-jauh datang ke sana, tanpa tujuan.” Kini Lilianlah yg berbicara. Amberly mengalihkan tatapannya pada Lilian. “Ya! Kak Lilian pasti sudah tahu, ibu Ranti dijemput paksa sama polisi.”“Kita tidak mempermasalahkannya, kalau itu benar mama ada keterkaitan di penculikanmu beberapa tahun lalu. Aku tidak berpihak pada mama atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Biar pihak pengadilan yang membuktikan.” kata Gathan, menepuk-nepuk bahunya.“Kamu sudah me
Begitu membuka pintu, Amberly melihat bapaknya datang.“Bapak langsung kemari?” tanya Amberly. “Tentu saja, Bapak ingin tahu yang terjadi padamu. Bagaimana keadaan menantu Bapak?” “Sudah tertolong, Pak.” Amberly menerima pelukan Berly Hanan.“Syukurlah ….” Berly Hanan bernapas lega, kemudian melepas pelukannya. “Kamu tidak apa-apa?” Terlihat khawatir, hingga melihat wajah Amberly dan seluruh tubuhnya. “Am, hanya kena pukulan beberapa kali, tapi tidak apa-apa. Benjut sedikit masih bisa Am tahan” Ia terkekeh, mengikuti langkah bapaknya.“Kamu jadi wanita kuat.” ujar Berly tersenyum, menggusak puncak rambut anaknya.Berly Hanan melihat Golda, lalu bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Sudah membaik, tinggal pemulihan.” jawab Golda.“Sabar, pelakunya akan segera ditindak.” Berly menatapnya.“Mungkin sebentar lagi, polisi akan kemari untuk menanyakan kronologinya.”“Semoga polisi jeli hingga dapat mengungkap kasusnya. Kenapa sangat pas ada di tempat kejadian?”“Saya ingin bertemu Am
Golda meringis menahan sakit, Amberly segera memangku kepalanya tanpa ragu.Ia mengusap wajah tampan itu dengan tangan gemetar. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Amberly."Maafkan aku, Amberly." Golda memejamkan mata, tidak sanggup bicara lagi. "Golda!" teriak Amberly panik, saat melihat kepala Golda terkulai di pangkuannya."Pak, tolong segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dapat pertolongan." pinta Amberly ke supir."Iya … iya …" Pak supir segera bergerak memangku tubuh Golda, kemudian dibantu mengangkatnya ke mobil oleh Amberly.Amberly duduk terlebih dahulu, lalu meletakkan kepala Golda di atas pangkuannya kembali.Amberly menepuk-nepuk pipi Golda secara pelan. Tetapi Golda tetap tidak bereaksi."Mengapa kamu datang, saat aku dalam bahaya? Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Amberly.Tentu saja pertanyaannya tidak terjawab. Untuk menghilangkan kecemasannya, Amberly menangis."Dia siapa, Am?" tanya Sully yang duduk di depannya, samping pak supir.Amberly melihatnya. "
Untuk beberapa minggu, Sully merasa aman karena Rojak berhenti untuk mengganggunya. Pikir Amberly pun, Rojak merasa kapok sudah dihajar olehnya. Namun, kewaspadaan tetap ia jalankan, mengingat peringatan dari pak Hadi.Waktu libur yang lebih panjang, Amberly bersama Sully kedaerahnya, bertemu dengan kedua anaknya. Yang satunya sudah remaja berumur 14 tahun, cantik seperti ibunya. Yang kedua baru berumur sembilan tahun, seorang anak laki-laki."Inilah alasanku bekerja, Am. Kinara sudah mau masuk SMA. Ia mengincar sekolah favorit yang cukup besar biayanya." terang Sully."Kamu pasti bisa dengan gajimu sekarang, dipertambangan.""Aku juga harus berbagi dengan ibuku yang merawat kedua anakku. Aku menabung juga untuk membeli rumah sendiri." ungkap Sully."Ibuku juga menganggap, pendidikan hal yang terpenting. Meski dengan warung kecilnya, beliau mampu menjadikan aku sarjana." Ceritakan tentang hidupmu, Am. Sejauh aku kenal dirimu, tidak pernah menceritakan keluargamu." pinta Sully."Aku l