Amberly langsung memeluk ibunya, begitu wanita setengah baya itu membuka pintu.
"Ibuu!" Setengah tersedu."Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?" Almira, ibunya. Melepaskan pelukan untuk meneliti tubuh anaknya."Aku baik-baik saja, ibu. Aku yang sepanjang waktu mengkhawatirkan ibu.""Ibu sakit, sih." Almira menyunggingkan senyumnya."Ibu sakit, apa?" Amberly agak tertegun."Sakit yang namanya rindu. Rindu ingin ketemu denganmu dan cucuku."Amberly tampak bernapas lega. "Sekarang jadi terobati. Maaf, Amber baru menemui Ibu." Sorot mata Amberly melukiskan perasaannya."Tidak apa-apa, penantian ibu sudah terbayarkan." Ia kemudian melihat pada gadis kecil yang ada di sebelah Amberly. "Apakah ini cucu, Ibu?""Iya, Bu. Namanya Angel, tapi biasa dipanggil Ange." Amberly memberi penjelasan."Hai, ternyata cantik sekali cucu Oma ini." Almira agak membungkukkan tubuh untuk mencolek pipi Angel."Beri salam sama Oma, Sayang." perintah Amberly.Anak yang baru berusia tiga tahun itu menuruti, menyodorkan tangan dengan manis, kemudian mencium tangan omanya."Oh, cucu Oma sangat pintar." Dengan wajah semringah, Almira meraih tubuh kecil itu masuk dalam pelukannya."Ayo! Kita ke dalam rumah." ajaknya, terus menggendong Angel.Almira segera menyeduh teh panas dengan sedikit gula. Setelah mendudukkan cucu mungilnya itu di sofa. Sepertinya Angel kelelahan, ia langsung meringkukkan tubuhnya."Ibu turut berduka, dengan kepergian mantu ibu yang sekalipun belum ketemu." Almira langsung menyampaikan bela sungkawanya."Maaf, Bu. Tapi aku belum menemukan waktu yang baik untuk membawa Ethan ketemu ibu." Mata Amberly menyiratkan rasa sesalnya."Ibu mengerti kalau mendengar riwayat kesehatannya. Apakah kamu bahagia, Amber?" tatap Almira."Aku belum menemukan pria yang benar-benar baik, seperti Ethan, Bu. Dia, sungguh! Jadi penyelamat hidupku tanpa pamrih apapun. Selama empat tahun bersamanya, aku bahagia. Dan aku mengabdikan diriku untuk merawatnya. Murni karena rasa terima kasihku. Maaf, sekali lagi. Kalau Amber jadi mengabaikan Ibu.""Kamu tidak mengabaikan, Ibu. Sudah sepatutnya bila kamu berumah tangga lebih mengabdi pada suamimu. Ibu juga melakukan itu, tapi malah membawamu hidup dalam kesengsaraan.""Maksud, Ibu?" Amberly agak terhenyak, mendengar penuturan dari ibunya.Selama ini, Almira tidak bercerita banyak mengenai keluarganya. Bahkan siapa bapaknya pun, Amberly tidak pernah tahu. Dulu waktu kecil, ia pernah menanyakannya. Namun, Almira seolah selalu berkelit untuk tidak menceritakannya.Hidup seadanya, dengan hanya mengandalkan warung kecil sebagai penghasilan utama. Membuat hidup Amberly dan ibunya tidaklah dikatakan cukup, membuat Amberly bertekat secepatnya untuk menyelesaikan kuliah. Hanya yang membuatnya aneh, Almira tidak pernah mengeluh soal uang kuliah. Berapapun yang diminta berusaha ia sediakan.Satu lagi yang membuat Amberly heran akan permintaan Almira, saat ia diminta untuk kuliah di jurusan Manajemen Bisnis. Seakan mempersiapkan dirinya untuk jadi pemimpin sebuah perusahaan. Perusahaan yang mana? Apakah warung kecil, itu?Tapi sebagai anak, Amberly menurut saja tanpa bantahan. Beruntung punya otak encer, ia jadi berhasil secara akademis dengan nilai sangat memuaskan.Sekarang, sudah saatnya Almira membuka cerita."Gara-gara kamu diculik itu, Ibu jadi berpikir keras. Apa ada hubungannya dengan masa lalu Ibu?" tanyanya penuh keraguan."Aku merasa tidak tahu apa-apa tentang Ibu. Apakah boleh Amber mengetahuinya, Bu?"Almira seperti sedang mempertimbangkannya. Terlihat dari diamnya untuk beberapa saat.Kemudian, berkata secara perlahan. "Masa lalu Ibu sangat menyakitkan dan menyedihkan. Ibu hanya ingin menyimpannya sendiri, makanya Ibu tidak ingin menceritakannya sama kamu.""Ibu … Aku anak Ibu. Sesakit apapun yang pernah dialami, sebaiknya Amber tahu. Kata Ibu tadi, penculikan yang terjadi padaku ada kaitannya dengan masa lalu Ibu. Sebaiknya ibu ceritakan saja, supaya Amber bisa tahu, siapa sebenarnya yang mau mencelakaiku.""Mereka ternyata belum puas, padahal Ibu sudah mengalah untuk menyelamatkan hidupmu. Agar tidak terlacak mengenai keberadaanmu."Amberly semakin melebarkan matanya. Tidak menyangka hidupnya dari kecil sampai dewasanya itu, ternyata dibalik hidup tentramnya selama ini, ada drama yang terjadi sebelumnya di hidup Almira."Kamu pantas diburu mereka, karena kamu pewaris satu-satunya, dari orang terkaya di Kalimantan. Kamu mengenal perusahaan Borneo Grup? itu salah satu perusahaan kayu terbesar di sana, yang kini merambah usaha lain dan cabangnya ada di mana-mana. Mungkin di Jakarta ini juga ada."Mata Amberly kian membola, tidak salahkah ia mendengarnya? Walau sedikit tahu tentang perusahaan itu, tapi sangat jelas itu merupakan perusahaan yang sangat besar. Ia bahkan punya rencana ingin melamar kerja ke perusahaan cabangnya yang ada di Jakarta."Apa pertaliannya aku dengan perusahaan itu, Bu?" Alih-alih merasa terkejut, Amberly bertanya ingin lebih tahu."Bapakmu, adalah sebagai pemimpinnya.""Ibu?!" Tidak sadar Amberly berkata agak keras. Kemudian air matanya langsung keluar. Bukan karena mendengar kalau bapaknya seorang pemimpin perusahaan besar, tetapi akhirnya ia tahu juga siapa bapaknya."Maafkan Ibu, bila hal ini baru Ibu kemukakan sama kamu. Karena Ibu terlalu takut." Almira merasa bersalah, karena sudah menyembunyikannya sejak lama."Ibu tidak ingin kamu mengalami yang pernah Ibu rasakan. Ibu sangat takut kehilanganmu, Amber. Kamu akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak punya hati." ucapnya sambil tersedu."Mengapa, Bu. Ceritakan yang jelas pada Amber."Ibunya malah tersedu-sedu dan Amberly tidak bertanya lagi. Membiarkan Almira sudah siap menceritakannya.Beberapa saat kemudian, baru Almira mengangkat wajahnya. "Dari itu, waktu Ibu kehilanganmu beberapa hari, Ibu sangat stres memikirkan kamu. Itu membuat ibu sakit, tapi tidak berani lapor pada polisi. Takut di tanya-tanya soal latar belakang kehidupan Ibu. Bersyukurlah setelah seminggu, kemudian Ibu dapat kabar dari kamu.""Iya, Bu. Setelah mengalami luka-luka akibat penculiknya membuangku ke jurang, aku dalam perawatan dokter, yang biasa merawat Ethan. Dokter itu yang dipercaya Ethan, tidak akan menyebarkan mengenai kehadiranku ada di rumahnya. Aku baru mengingat Ibu setelah seminggu, langsung menghubungi agar Ibu tahu kalau aku masih hidup." Gantian yang kini menceritakan apa yang menimpa Amberly pada waktu itu."Ah! Ibu langsung sujud syukur pada Tuhan, saat kamu hubungi. Ibu sudah mengira-ngira ada hal buruk terjadi padamu." kata Almira penuh was-was."Hanya mengenai penculikan itu, bagaimana terjadinya? Kamu belum menceritakan secara lengkapnya." tuntut Almira."Ibu tahu, kalau pagi-pagi waktu itu, aku mencari sarapan. Memang keadaannya sangat sepi, karena masih pagi sekali. Masih di dalam gang, ada orang yang mendekati, langsung menangkup mulutku dengan kain yang sudah dibubuhi obat bius. Sejak itu aku sudah tidak sadarkan diri, Bu. Aku dibawa oleh mobil, diapit oleh dua lelaki yang ditutup wajahnya. Detik-detik aku mau dibuang, aku tersadar, tapi mereka yang menjagaku, tidak tahu. Jadi, aku sempat mendengar perdebatan mereka.""Kita bunuh saja gadis ini, supaya tugas kita cepat selesai." kata Si A"Wajahnya cantik sekali, aku tidak tega membunuhnya." kata Si B"Ah, yang penting kita menjalankan tugas seperti perintah Si bos dan dapat bayarannya. Tidak ada sangkut pautnya dengan kecantikan gadis ini." Si A tidak peduli."Si Bos kan, tidak tahu. Bilang saja kalau kita telah membunuhnya, dan telah membuangnya ke jurang." bujuk Si B."Kamu tidak berani mengeksekusinya?" ejek Si A"Dengan membuangnya ke jurang saja, mungkin gadis ini tidak akan selamat." Si A berusaha mempengaruhi pikiran Si B.Amberly yang mendengarnya baru sadar, bahwa ia sedang berada di ujung maut. Tidak berani menyatakan kalau ia sudah sadar, malah ia memilih untuk tetap diam. Pikirnya, bila penculik ini tahu, ia sudah terlepas dari obat biusnya, mungkin saja ia akan langsung dibunuh. Lebih baik ia diam saja, sambil berdoa.Ternyata Tuhan mendengar doanya. Kedua laki-laki itu hanya menggulingkan Amberly dari tepi tebing yang kemiringannya hanya sekitar 45°, beruntung tidak terlalu curam. Hanya saat tubuh Amberly melaluinya, membuat banyak luka-luka pada kulit."Itulah yang terjadi, Bu." Amberly mengakhiri ceritanya.Almira menghela napasnya sebelum bertanya lagi. "Tidak menemukan keterangan lain?"Amberly menggeleng."Cara bicaranya, mungkin punya logat tertentu?"Amberly mengernyitkan dahinya. Berusaha mengingat-ingat. "Tidak, Bu."Almira menarik napasnya lagi."Ibu pergi, dari kehidupan bapak kamu, karena kalau mereka tahu Ibu hamil, maka sebelum lahir pun mungkin kamu akan tidak diberi kesempatan untuk hidup." Almira mulai membuka ceritanya. Amberly hanya diam, untuk mendengarkan."Ibu menikah dengan bapakmu, karena cinta. Awalnya bapak sudah di jodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya, tapi bapak berteguh menikahi Ibu. Setelah satu tahun menikah, belum juga dikaruniai anak, orang tua bapak mulai menekan Ibu. Mereka para tetua keluarga kakekmu menuntut agar pewaris segera dilahirkan. Membuat Ibu sudah tidak merasa damai lagi ada diam di keluarga itu. Dan di tiga tahun berikutnya, mereka memaksa bapakmu untuk menikahi wanita yang sama yang dijodohkan dengan bapak. Padahal waktu itu sudah janda beranak dua. 'Sudah jelas, wanita itu tidak mandul', kata mereka." Almira, menatap Amberly dengan pandangan sedih. Lalu melanjutkan lagi ceritanya."Bapakmu tidak berdaya, karena didesak banyak pihak. Akhirnya menikahi wanita itu. Sejak itu, Ibu tidak rela dimadu, apalagi sikap Ranti (wanita itu) ternyata sangat berkuasa karena mendapat dukungan keluarga. Sikapnya sangat jelas sangat memusuhi ibu. Setiap hari selalu cari gara-gara untuk menjatuhkan Ibu. Sementara bapakmu, semakin tertekan, membuat Ibu tidak tega. Ibu pernah bilang, kalau Ibu akan pergi darinya. Namun, bapak tidak mengijinkan. Akhirnya suatu saat, karena sudah tidak tahan akan intimidasi dari Ranti dan mertua, Ibu pergi.""Berarti Ibu sudah mengandungku?" tanya Amberly."Betul, nak. Waktu itu ibu berpikir, akan berterus terang tentang kehamilan Ibu ini, tapi melihat sikap Ranti, ibu yakin ia tidak akan membiarkan kamu lahir. Saat Ibu tidak hamil saja, ia sudah berbuat hidup ibu susah. Apalagi kalau sampai ia mengetahui, Ibu sedang hamil.""Mengapa Ibu tidak melawan?""Kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Nak? Ibu melihat Ranti, sangat ambisius dan Ibu malas meladeninya. Ibu memilih tidak mau berurusan dengan orang seperti itu. Lebih baik membesarkanmu, meski harus meninggalkan hidup berlimpah harta. Maafkan Ibu sudah memilih hidup seperti ini, Nak." Mendengar hal ini, Amberly langsung memeluk Ibunya."Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak menyalahkan Ibu," ucap amberly menghibur hati Almira. "Jadi, Ibu mengira mereka tahu tentang keberadaanku dan ingin melenyapkan aku?" tanya Amberly, hanya dijawab oleh Almira dengan anggukan."Mungkin Ibu dulu hanya diam saja. Tapi aku akan ketemu bapak." tekad Amberly.Mata Almira terbelalak."Jangan! Sayang."Amberly malah tersenyum menanggapi ketakutan ibunya."Bu, seumur hidup Amber, ingin ketemu bapak. Aku berharap bapak masih hidup sekarang ini. Tidak peduli macan yang mengelilinginya, akan Amber hadapi. Amber berhak untuk ketemu bapak!" kukuh Amberly."Hidup mereka penuh intrik dan tidak punya hati, kamu masih polos dan lugu, Nak." Almira menyangsikan anaknya, bisa menghadapi mereka."Bu, untuk apa, ibu menyekolahkan aku tinggi-tinggi? Mungkin Ibu melihat Amber terlalu lemah, tapi sekarang Amber bertekad, mau melawan siapa saja orang yang mau menindas kita. Ternyata dengan diam saja, malah memberi peluang kepada orang untuk berbuat semena-mena pada kita, Bu." Tekadnya, terlihat dari tatapan Amberly yang sangat keras.Almira, melihat perubahan dalam diri Amberly. Sepertinya pengalaman hidup telah mengubah anaknya lebih keras."Dengar, Bu. Kalau benar mereka sudah berniat jahat padaku. Aku akan sekalian menantang mereka dengan kehadiranku, di tengah-tengah mereka.""Amber!" seru Almira, tidak menyetujui."Amber tidak takut, menghadapi mereka, Bu. Amber anak sah bapak, mereka tidak bisa menolak akan kehadiranku. Aku akan mencari dulu keterangan tentang mereka, terutama yang bernama Ranti itu. Siapa nama bapak, Bu?"Masih dalam sikap tertegun, Almira menjawabnya. "Berly Hanan, anak tertua dari keluarga Hanan."Amberly tersenyum, ternyata namanya diambil dari nama bapaknya. "Namaku diambil dari nama bapak kan, Bu?"Almira kembali hanya mengangguk.Dengan penuh tekad dan semangat membara, Amberly terbang ke daerah Pulau Kalimantan. Hanya berbekal alamat rumah dan perusahaan, yang dibeti dari ibunya.Benar saja, saat sudah ada di depan rumah bapaknya, Amberly tertegun. Rumah itu tampak seperti istana, sangat besar dan luasnya. Terlihat saat ia mengintip dari pintu pagar rumahnya.Amberly dihampiri oleh satpam, kemudian di tanya-tanya sesuai dengan tugas yang diembannya. Amberly memperlihatkan KTP dan menyatakan niatnya untuk bertemu dengan bapak Berly Hanan. Tentu saja tidak mudah untuk mendapatkan izinnya, harus ada konfirmasi dari keluarganya dulu, terutama istrinya, ibu Ranti.Ia tidak keberatan, mendengar bapaknya masih hidup saja sudah senang. Dengan tidak banyak bertanya, Amberly menunggu.Sementara di dalam rumah, seorang wanita setengah baya dengan rambut disasak tinggi dan rapi, tampak sedang mendengar lewat telepon laporan dari satpamnya.Matanya tiba-tiba terbelalak. Siapa namanya, Pak?""Amberly, Bu."Mendengar nama t
Di ranjang itu, yang pertama Amberly lihat, adalah seorang lelaki yang sangat kurus. Dengan mata cekung dan kulit berwarna pucat, tetapi bersih.Inikah bapaknya yang sangat dirindukan? Seumur hidup Amberly sangat mendambakan untuk bertemu. Segala rasa berkecamuk dalam hatinya. "Papa sudah lama sakit, hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. Karena mengalami stroke dan penyakit gula." terang Gathan, setengah berbisik di dekat telinganya. Hal itu membuat Amberly secara refleks menjauh.Amberly sedikit mengangguk sambil tersenyum pada Gathan. Kemudian, lebih mendekati ranjang bapaknya.Sang bapak, sejak melihat Amberly masuk ke kamarnya, terus mengawasi tanpa berkedip. Amberly agak membungkuk untuk menyetarakan posisi wajahnya, supaya setara dengan wajah bapak yang terbaring."Bapak …." Dengan nada bergetar, Amberly memanggilnya."Kamu, siapa" Sedikit heran, dia bertanya."Namaku, Amberly."Tampak Berly agak tertegun. "Almira pernah mengatakan kalau punya anak perempuan, akan dinamakan
Amberly berdiri di hadapan para tetua yang nota bene merupakan saudara dari bapaknya. Rata-rata mereka adalah pemegang saham di perusahaan besar itu. Bapaknya, Berly Hanan ikut hadir, meski harus duduk di atas kursi roda. Memberi kekuatan kepada Amberly untuk menghadapi mereka.Berly sendiri yang memimpin rapat penting itu, menyatakan kalau Amberly anak kandungnya, dia memperlihatkan hasil dari tes DNA yang sudah diperoleh hasilnya. Jadi secara sah bisa memimpin salah satu perusahaan di bawah perusahaan PT. Borneo Grup. Sebuah perusahaan milik keluarga mereka, turun temurun"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengambil kedudukan Bapak sebagai direktur atama di perusahaan pusat. Akan tetapi, sesuai domisili saya di Jakarta. Saya akan memimpin perusahaan di sana." ungkap Amberly sambil tersenyum."Tetapi perusahaan di sana, sudah di pegang oleh LiLian." kata salah satu yang hadir. Berkepala agak botak dan sudah tua.Berly bergerak memutar kursi rodanya lebih ke depan. "Soal itu, nanti
Golda memasuki lobi gedung perusahaan PT KAB Tbk. Tubuhnya yang tinggi dan berwajah tampan, banyak menarik perhatian tiap orang yang ada di ruangan itu. Lilian yang memang sedang menunggu kedatangannya, menelan ludah sendiri. Tidak salah lagi, lelaki tampan yang baru datang itu adalah Golda. Ia pernah melihat profilnya dari media internet. Melihat orangnya secara langsung, ternyata lebih menawan."Selamat pagi, pak Golda." sapanya, membuat langkah lelaki itu terhenti.Lilian tersenyum. "Selamat datang di perusahaan kami. Saya pribadi akan mengantarkan Bapak untuk bertemu dengan CEO."Golda hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Melanjutkan langkah sejajar dengan yang akan mengantarnya.Begitu ruangan terbuka, Golda melihat di meja kerja utama yang bertuliskan CEO, terlihat seorang wanita sedang menunduk. Kemudian secara perlahan terangkat wajahnya. Di saat seperti itulah tatapan keduanya bertemu. Golda agak mengerutkan keningnya, sambil tidak melepaskan tatapannya. 'Pasti pandanga
Lilian tampak cerah raut wajahnya, sementara Amberly, biasa saja."Ternyata kamu, datang berdua. Kenapa tidak sekalian saja yang hadir di kantormu itu, semua kamu bawa?""Perkenalkan, Lilian saudari tiriku." Amberly mengabaikan sindiran dari Golda.Golda pun sama sikapnya. Tidak menggubris perkenalan Amberly. Tidak mau tahu, entah itu saudara tirinya, atau siapanya dia. Golda merasa kesal, ternyata Amberly menemuinya tidak sendiri.Dia tidak melirik Lilian sedikit pun, tetapi terus menatap Amberly dengan tajam, sampai wanita itu duduk dihadapannya."Matamu tidak mau mengedip?" tegur Amberly. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?"Tatapannya tetap tidak dialihkan. "Aku ingin ketemu dengan Ange." "Aku kira, kamu akan membahas soal perusahaan." Amberly membuang wajahnya. "Ange baik-baik saja. Jadi stop menanyakan anakku." Memberi jawaban.Amberly menerima buku menu yang disodorkan pelayan restoran. Fokus memilih menu. Tidak lama kemudian, "Silahkan Pak Golda memilih sendiri." kata
"Om Odaa … !" lengking suara Angel begitu nyaring saat melihat Golda berdiri di depan pintu. Sementara Amberly yang membukakan pintunya, jadi melebarkan mata.Tubuh mungil Angel langsung diangkat oleh Golda, kemudian menciuminya penuh dengan kerinduan. "Ange kangen Om, gak?" tanyanya. Membuat jarak, agar dia bisa melihat wajah Angel."Napa Om lama sekali, ndak ketemu Anye?"Amberly menarik nafas , semoga Golda tidak menjawab yang menyudutkan dirinya."Om sibuk bekerja dan baru bisa datang sekarang." Kembali Golda mencium pipi gembilnya Angel."Om, ajak Anye ke taman.""Mengapa Ange mau ke taman, hum?"Anye pengen ketemu Papa." Untuk sejenak Golda tertegun. Taman yang dimaksud Angel adalah rumahnya dulu."Boleh, tapi nanti kalau Om tidak begitu sibuk bekerja." jawab Golda sedikit terharu. Angel mengingat Ethan, papanya.Angel terlonjak gembira. "Asik! Anye juga pengen liat bunga, di sini ndak ada." Golda mengeratkan pelukannya. Mulai melangkah ke dalam rumah. Mengikuti Amberly yang ter
Sudah saatnya Amberly mendampingi Golda, untuk mengadakan peninjauan ke lokasi proyek. Amberly sengaja mengajak Gathan dan Lilian, yang jelas ia tidak mau sendirian. Entahlah, merasa enggan saja untuk bersama sendirian dengan Golda. Ada rasa takut yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Ternyata Golda tidak protes lagi, mengajak mereka untuk pergi bersama dalam satu mobil SUV miliknya.Ketika tiba di lokasi pembangunan perkantoran kecamatan yang dipindahkan ke lokasi yang lebih luas, masih terlihat dalam tahap pembenahan. Supaya tanah yang tidak rata, pakai alat berat jadi rata.Golda hanya lebih menyelidik melalui pandangannya pada pribadi Gathan, karena Amberly lebih tampak akrab dengannya.Sementara Lilian lebih inten memberi penjelasan secara detail sambil memegang beberapa denah perkantoran yang akan di bangun di beberapa titik.Tanah itu tidak rata, dan mereka ada di tepi tebing yang tidak begitu curam. Namun, bagi Amberly yang pernah punya trauma dengan kondisi tebing, membuat ia
Setengah jam sebelum kepulangannya, Amberly sudah ke luar gedung kantornya. Ceklek! Ia membuka pintu mobilnya. Begitu sudah masuk, terdengar teguran dari seseorang. "Mau kabur, sebelum jam kerja berakhir? Aku sudah mengantisipasinya." Dilihat, Golda sedang berdiri di samping mobilnya."Kenapa harus memaksa?" "Harus! Kalau tidak dipaksa kamu akan selalu menentangku. Mau diperlakukan seperti karung beras, seperti tadi?" ancam Golda.Tentu saja ia tidak mau diperlakukan begitu lagi oleh Golda.Dengan terpaksa Amberly keluar dari mobilnya. Golda tersenyum penuh kemenangan, ingin saja ia memeluk tubuh ramping itu dan menghujaninya dengan ciuman. Namun, itu hanya angannya, tidak mungkin dia lakukan, kalau tidak ingin mendapat tamparan dari Amberly.Golda membimbing Amberly untuk masuk ke dalam mobilnya. Lalu, dia duduk di belakang kemudi. "Nanti pun kita akan jadi suami-istri, dan aku ingin Ange, memanggilku Ayah." "Kamu bukan ayahnya." "Kalau sudah jadi suamimu, aku otomatis jadi ayahny
Seperti biasa Golda memandikannya dengan cara dilap. Sekarang tangannya lebih nakal dan menggoda Amberly.Kadang mereka berciuman dengan asiknya, tetapi tidak bisa lebih lagi. Karena Amberly masih sakit.“Sabar, belum waktunya.” Amberly mendorong tubuh Golda dengan lembut.Napas Golda yang sudah sedikit memburu, jadi melemah. Hasratnya tidak bisa terus lanjut, merasa terhalangi oleh fisik istrinya.Golda menatapnya penuh kabut, merapatkan dahi ke istrinya dengan mengatur napas lebih teratur. Beberapa lama dia bersikap begitu, Amberly hanya bisa menahan senyumnya. Lalu mengusap-usap dadanya dengan lembut.“Aku sudah ada di tanganmu, jangan terburu-buru.” ucapnya.“Kau godaan terbesarku, bisa disentuh, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kamu curang ….” Golda berkata dengan menelan ludahnya.Amberly terkikik, kemudian menjauhkan wajahnya. “Kita belajar lebih mengakrabkan diri, apa kamu tidak ambil manfaatnya?”“Ya, kamu benar.” Golda akhirnya menyetujui, kemudian mengambil air minum dan meneg
“Kamu mau berbulan madu sama aku?” tanya Golda, setelah Gathan dan Lilian berpamitan.“Sama siapa lagi, sama kucing?” Amberly memalingkan wajahnya ke arah lain.“Kamu tahu, kan? Arti dari bulan madu? Kamu dan aku bersatu saling memadu kasih? Layaknya suami istri seperti pada umumnya.” Golda bertanya tidak percaya.“Aku ingin Ange punya adik, tidak jadi anak tunggal.” ujar Amberly ringan.Membuat Golda semakin ternganga, dibuatnya.“Tutup mulutnya, jangan malah bengong.” peringati Amberly. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Golda seperti menerima durian runtuh. Hanya bisa terbengong-bengong.“Apakah kamu waras? Diam saja.” Amberly menegurnya.“Hampir tidak percaya kamu mengatakannya.” Tiba-tiba air mata merebak di pelupuk mata Golda. Dia duduk disamping ranjang Amberly. Dengan lembut, Amberly menatapnya. “Kita mulai hidup baru dan lupakan semuanya.” Amberly meengambil sejumput rambut bagia depan Golda dan memainkannya. “Aku hampir tidak percaya, mendapatkan anugerah yang tidak ter
Tangan kanan yang di infus, mulai membuka baju tangan yg di gips. Terasa sulitnya membuka pakaian dari rumah sakit itu hanya ada tali yang tidak diikatkan. Mata Amberly melihat pada Golda yang malah bengong."Bisa bantu aku?" tanyanya.Tentu saja Golda tampak terkejut. Dia agak terbata-bata menjawabnya. "A --- aku ...?""Siapa lagi? Kamu suamiku, bukan?" kembali tanya AmberlyDengan agak tertegun sejenak, Golda tergagap. "Ka ---kamu yakin aku yang harus membuka bajumu?""Siapa lagi?" Sambil memutar matanya, tangan kanan Amberly berusaha terus membuka bajunya. Hingga sebagian dadanya terlihat.Dengan menahan napas, Golda membantu Amberly melepas pakaiannya dari tangan yang di gips.Jantung Golda bergemuruh dengan detak tidak keruan. Dia melihat kulit dadanya yang seputih susu dan membusung, tanpa baju yang menghalangi lagi.Namun, dia harus meneruskan apa yang sudah dilakukan.Sebenarnya sudah tidak tahan, melihat keindahan tubuh Amberly. Dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan dir
Dalam keadaan oleng itu, Amberly merasa terdesak harus kembali membanting setir. Karena posisi mobil kecil semakin terpepet, mobil besar mau menggilasnya.Itu jelas perbuatan yang disengaja, akhirnya Amberly menabrak gundukan di depannya. Tidak terhindarkan.Ia merasa ini akhir hidupnya, dadanya merasa sesak. Gelap gulita, tidak sadarkan diri.Bangun dari pingsan, tahu-tahu Amberly sudah berada di rumah sakit. Kaki dan tangannya di bebat, sepertinya kena patah tulang.Menyadari bahwa ada seseorang di sisi tempat tidurnya. “Sully … “ usapnya pada rambut Sully.“Am! Kau sudah sadar? Syukurlah ….” ucap Sully penuh rasa lega, jadi menatapnya.Amberly tersenyum sebelum menjawab. “Aku selamat.”“Maafkan aku tidak bisa menolongmu.”“Kaukah yang dalam penyanderaan Rojak?” tanya Sully.“Makanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.”“Tidak juga, kamu berani memberi perlawanan meski beresiko membahayakan keselamatanmu juga.”“Aku hanya bisa memperhatikan bendera, jadi kadang aku rebut setirnya, dan b
Alangkah kagetnya Amberly, secara cepat ingin mengangkat tubuh Golda supaya ke atas.“Beri ampun padaku atas apa yang kulakukan, Amberly ….” kata Golda dengan nada penuh penyesalan.Tubuhnya sudah terguncang-guncang karena isak tangisnya. Dia tetap bertahan dalam posisi bersujud di depan Amberly.“Jangan begini Gold, bangkitlah! Aku memaafkanmu.” jawab Amberly yang langsung direspons oleh Golda.“Mengapa kamu begitu mudah memaafkan?” tanya Golda sambil menengadahkan wajahnya.“Seperti yang diutarakan ibuku sebelumnya, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kenapa aku harus mengingat terus kesalahan yang tidak tersimpan di ingatanmu?” Pandangan mereka bertemu.“Amber … Lelaki bejat ini tahu akibat perbuatannya, kamu sangat menderita.” Suara serak Golda menjelaskan perasaannya.“Jangan ingat lagi, mari kita lupakan kejadian yang tidak menguntungkan ini. Aku sudah sembuh, jiwaku merasa bebas sekarang. Karena aku sudah berhasil mengampunimu.”“Amber, sebenarnya aku tidak layak mendap
Hari-hari selanjutnya, Amberly tetap sabar dalam menghadapi sikap Angel yang belum reda dari ngambeknya. Tidak mau memaksa, dirinya yang memang salah. Ia juga sambil menunggu hasil perkembangan kasus akibat perbuatan Rojak.Amberly terkejut dengan kedatangan Gathan dan Lilian ke rumah sakit. Mereka berpelukan dan saling menyatakan kerinduan. “Kemana saja, Am? Menghilang begitu saja?” tanya Gathan, menatap Amberly sangat dalam.“Aku membantu bapak di pertambangan.” jawab Amberly tenang sambil menyunggingkan senyumnya.“Tidak mungkin kamu jauh-jauh datang ke sana, tanpa tujuan.” Kini Lilianlah yg berbicara. Amberly mengalihkan tatapannya pada Lilian. “Ya! Kak Lilian pasti sudah tahu, ibu Ranti dijemput paksa sama polisi.”“Kita tidak mempermasalahkannya, kalau itu benar mama ada keterkaitan di penculikanmu beberapa tahun lalu. Aku tidak berpihak pada mama atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Biar pihak pengadilan yang membuktikan.” kata Gathan, menepuk-nepuk bahunya.“Kamu sudah me
Begitu membuka pintu, Amberly melihat bapaknya datang.“Bapak langsung kemari?” tanya Amberly. “Tentu saja, Bapak ingin tahu yang terjadi padamu. Bagaimana keadaan menantu Bapak?” “Sudah tertolong, Pak.” Amberly menerima pelukan Berly Hanan.“Syukurlah ….” Berly Hanan bernapas lega, kemudian melepas pelukannya. “Kamu tidak apa-apa?” Terlihat khawatir, hingga melihat wajah Amberly dan seluruh tubuhnya. “Am, hanya kena pukulan beberapa kali, tapi tidak apa-apa. Benjut sedikit masih bisa Am tahan” Ia terkekeh, mengikuti langkah bapaknya.“Kamu jadi wanita kuat.” ujar Berly tersenyum, menggusak puncak rambut anaknya.Berly Hanan melihat Golda, lalu bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Sudah membaik, tinggal pemulihan.” jawab Golda.“Sabar, pelakunya akan segera ditindak.” Berly menatapnya.“Mungkin sebentar lagi, polisi akan kemari untuk menanyakan kronologinya.”“Semoga polisi jeli hingga dapat mengungkap kasusnya. Kenapa sangat pas ada di tempat kejadian?”“Saya ingin bertemu Am
Golda meringis menahan sakit, Amberly segera memangku kepalanya tanpa ragu.Ia mengusap wajah tampan itu dengan tangan gemetar. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Amberly."Maafkan aku, Amberly." Golda memejamkan mata, tidak sanggup bicara lagi. "Golda!" teriak Amberly panik, saat melihat kepala Golda terkulai di pangkuannya."Pak, tolong segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dapat pertolongan." pinta Amberly ke supir."Iya … iya …" Pak supir segera bergerak memangku tubuh Golda, kemudian dibantu mengangkatnya ke mobil oleh Amberly.Amberly duduk terlebih dahulu, lalu meletakkan kepala Golda di atas pangkuannya kembali.Amberly menepuk-nepuk pipi Golda secara pelan. Tetapi Golda tetap tidak bereaksi."Mengapa kamu datang, saat aku dalam bahaya? Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Amberly.Tentu saja pertanyaannya tidak terjawab. Untuk menghilangkan kecemasannya, Amberly menangis."Dia siapa, Am?" tanya Sully yang duduk di depannya, samping pak supir.Amberly melihatnya. "
Untuk beberapa minggu, Sully merasa aman karena Rojak berhenti untuk mengganggunya. Pikir Amberly pun, Rojak merasa kapok sudah dihajar olehnya. Namun, kewaspadaan tetap ia jalankan, mengingat peringatan dari pak Hadi.Waktu libur yang lebih panjang, Amberly bersama Sully kedaerahnya, bertemu dengan kedua anaknya. Yang satunya sudah remaja berumur 14 tahun, cantik seperti ibunya. Yang kedua baru berumur sembilan tahun, seorang anak laki-laki."Inilah alasanku bekerja, Am. Kinara sudah mau masuk SMA. Ia mengincar sekolah favorit yang cukup besar biayanya." terang Sully."Kamu pasti bisa dengan gajimu sekarang, dipertambangan.""Aku juga harus berbagi dengan ibuku yang merawat kedua anakku. Aku menabung juga untuk membeli rumah sendiri." ungkap Sully."Ibuku juga menganggap, pendidikan hal yang terpenting. Meski dengan warung kecilnya, beliau mampu menjadikan aku sarjana." Ceritakan tentang hidupmu, Am. Sejauh aku kenal dirimu, tidak pernah menceritakan keluargamu." pinta Sully."Aku l