"Kamu harus segera menikah!" Perintah dari Kakek Hadinata pada Adrian, cucunya, saat mereka berdua menikmati makan malam membuat Adrian membelalakkan kedua matanya.
"Kek, kenapa harus seperti ini?" Adrian tahu jika kakeknya tidak pernah suka dibantah. Tetapi ini soal pernikahan yang ia sendiri tidak yakin akan bisa mewujudkannya.
"Kau pewarisku satu-satunya," jawab Kakek Hadinata setelah ia mengusap mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja makan.
"Kau harus segera punya pendamping agar bisa menggantikan posisiku." Kakek Hadinata memandang lekat cucunya.
Pria yang berusia hampir tujuh puluh tahun ini merupakan pemilik kerajaan bisnis Hadinata Group. Ia hanya memiliki seorang putra yaitu Abraham Hadinata -- Ayah Adrian -- yang meninggal pada kecelakaan pesawat lima tahun silam. Adrian Hadinata sendiri merupakan putra tunggal dari Abraham Hadinata dan Merline Wijaya.
Saat meninggalnya sang ayah Adrian berusia delapan belas tahun. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Adrian membantu sang kakek menjalankan bisnisnya. Sedangkan Merline, ibunya, menikah lagi dengan pria berkebangsaan Kanada yang merupakan teman kuliahnya dulu.
Ini bukan kali pertama sang kakek meminta Adrian untuk menikah, beberapa kali pria paruh baya itu berniat menjodohkannya dengan putri relasi bisnisnya. Namun, Adrian tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada mereka.
"Tapi Kek, apa ini tidak terburu-buru. Maksudku, aku masih belum siap ..."
"Cepat ambil keputusan! Ku beri kau waktu satu bulan, jika belum juga maka kau harus siap dengan jodoh yang kakek pilihkan." Kakek Hadinata memotong ucapan Adrian. Ucapan penuh ultimatum itu tidak bisa dibantah Adrian. Kakeknya berharap dengan adanya pendamping hidup membuat cucunya lebih bisa bertanggung jawab.
Pria itu menyandarkan badannya di kursi ruang makan. Tangan kanannya memijat pelipis, hanya ada satu orang yang menjadi harapan Adrian. Tangannya kemudian meraih ponsel yang tersimpan di saku jasnya. Ia lalu mengirim sebuah pesan pada seseorang, sebuah janji untuk bertemu saat makan malam.
Adrian memasuki sebuah restoran bernuansa Jepang dengan interior berbahan dasar bambu, juga puluhan lampion yang tergantung di langit-langit ruangan. Pria itu berjalan menuju ke sebuah meja yang berada di sudut sebelah kiri. Di depannya meja-meja yang berderet sudah dipenuhi pengunjung.
Ada yang sedang menunggu seseorang, terlihat dari gerakannya yang sesekali mengecek ponsel. Ada yang bersama pasangannya. Atau ada juga yang bersama keluarga besarnya.
Seorang perempuan terlihat memasuki restoran, mengenakan dress selutut berwarna moka dengan dan highheels warna senada. Rambut panjangnya berwarna coklat karamel melambai seiring gerakannya. Ia berhenti tepat di meja Adrian dan lelaki itu berdiri menyambutnya dengan saling mencium pipi, mengabaikan tatapan para pengunjung. Dia adalah Natasha Albertina, gadis yang saat ini dekat dengan Adrian.
"Maaf, Beb. Apa kamu sudah lama menunggu?" Tanyanya dengan nada yang manja sambil duduk di kursi depan Adrian.
"Oh, enggak aku juga baru datang." jawab Adrian lalu memanggil pelayan dan memesan beberapa menu untuk mereka berdua. Keduanya kemudian terlibat obrolan ringan sambil menunggu pesanan datang.
"Apa ada sesuatu?" tanya Natasha setelah keduanya selesai menyantap hidangan yang mereka pesan tadi.
"Iya, sebenarnya …." Adrian menghentikan kalimatnya, ia merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebuah kotak kecil berbahan beludru warna merah ia ambil dan membukanya.
"Maukah kau menikah denganku?" Adrian bertanya sambil menyerahkan kotak beludru yang terbuka tadi pada Natasha. Gadis di depannya berbinar bahagia menerima lamaran yang begitu tiba-tiba ini. Ia menerima kotak tersebut dan mengambil isinya.
"So sweet, Beb. Ini indah sekali," jawabnya sambil memandang sebuah cincin perak bermata tiga itu.
"Kamu menerimanya, Sayang?" Adrian memastikan jika gadis di depannya ini menerima pinangannya.
"Tapi kita enggak buru-buru menikah kan, Beb?" Natasha bertanya pada Adrian sambil memandang cincin itu dengan binar bahagia.
Mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir Natasha membuat Adrian menghela napas panjang.
"Kakek memintaku untuk segera menikah bulan ini." Andrian menjawab tanpa bersemangat.
"Beb, aku belum siap. Kamu tahu sendiri kan karir aku lagi naik sekarang."
Natasha memang seorang model yang cukup terkenal di negeri ini. Di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun ia sudah menjadi peragawati profesional untuk produk dalam dan luar negeri. Ia juga menjadi bintang iklan untuk beberapa produk ternama.
Wajahnya yang cantik blasteran IndoJerman dari ibu yang asli Indonesia dan ayah yang berkewarganegaraan Jerman. Matanya indah berwarna coklat hazelnut. Dengan rambut panjangnya yang lurus berwarna coklat karamel.
Keduanya berkenalan saat stasiun televisi HDTV milik Hadinata Group, sedang mengadakan acara ulang tahun stasiun televisi tersebut. Salah satu acaranya adalah menampilkan peragaan busana dari desainer terkenal rekanan mereka, dan Natasha menjadi salah satu model peraganya.
Saat ini Natasha memang tengah disibukkan dengan peragaan busana karya desainer ternama Indonesia. Mereka akan mengadakan pagelaran acara di luar negeri, tepatnya di kota Osaka Jepang.
"Sayang, aku enggak akan membatasi kegiatan kamu setelah kita menikah nanti." Adrian mencoba meyakinkan Natasha agar mau menikah secepatnya.
"Enggak bisa, Beb. Aku belum siap kalau harus terikat dalam sebuah komitmen." Natasha berkata sambil memasukkan cincin tadi ke dalam kotaknya.
Adrian menghela napas pasrah, ia salah kalau mengharap Natasha akan mau membantunya. Ia tahu gadis di depannya ini sedang berada di puncak karirnya, meski dengan alasan yang klasik ' tak ingin terikat dalam komitmen'.
"Sayang, please." Adrian sekali lagi memohon pada Natasha berharap gadis itu berubah pikiran.
"Maaf Beb, aku enggak bisa." ucap Natasha sambil memegang tangan Adrian.
"Aku pergi dulu, ada pemotretan jam delapan nanti. Maaf ya." Natasha berlalu meninggalkan Adrian. Pria itu tetap bergeming di tempat duduknya. Makanan yang mereka pesan bahkan nyaris tidak tersentuh.
Adrian berjalan ke mobilnya setelah membayar tagihan restoran, ia duduk agak lama di balik kemudi tak ingin segera menjalankan mobilnya. Harapan satu-satunya yang ia pikir bisa didapatkan dari Natasha pupus sudah. Padahal sang kakek hanya memberinya waktu satu bulan.
Adrian menyugar rambutnya frustasi, haruskah ia menikah dengan pilihan kakeknya nanti. Hati dan pikiran lelaki itu tengah berkecamuk. Ia menjalankan mobilnya, meski ia fokus ke jalan raya tapi pikirannya melayang kemana-mana. Mobil melaju membelah jalanan kota yang cukup ramai, menuju ke sebuah apartemen dimana Adrian menghabiskan waktu jika ingin menyendiri.
Setelah memarkirkan mobil di lantai dasar, ia menuju lift dan menekan tombol lantai paling atas. Rooftop apartemen adalah tujuannya, tempat paling nyaman saat ini. Dari sana ia bisa memandang kota, gemerlap lampu yang kota terlihat indah di bawah sana.
Adrian menarik napasnya, melonggarkan paru-paru yang tiba-tiba terasa sesak. Setelah kejadian di restoran tadi, pria itu berpikir lagi tentang perasaannya pada Natasha. Benarkah ia mencintai gadis itu? Atau benarkah gadis itu mencintainya? Memang sebuah hubungan tidak harus berakhir di pernikahan. Tapi setidaknya jika dua orang yang memiliki perasaan yang sama akan saling berbagi suka dan duka satu sama lain.
Adrian memandang langit malam yang penuh bintang, meski di beberapa bagian mendung menutupi kilaunya. Ia kembali mendesah lebih berat, haruskah ia menerima siapapun pilihan kakeknya? Mengingat lagi perintah sang kakek tadi pagi membuat Adrian berteriak frustasi.
Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kayu yang ada di sana. Tidur telentang mengabaikan dinginnya malam, menutup mata dengan sebelah tangan. Mencoba terpejam dan berharap esok pagi ia akan menemukan jalan keluar.
Sudah sepekan berlalu sejak lamaran di restoran waktu itu. Beberapa kali sudah Adrian mencoba meyakinkan Natasha akan permintaannya, bahkan laki-laki itu rela merendah padanya. Tapi Natasha tetap tak bergeming. Bahkan, semua kontak yang terhubung dengan Adrian diblokir oleh gadis itu. Membuat pria itu tak lagi berharap banyak.Pagi ini Adrian memutuskan untuk libur kerja sehari, ia menelpon David asistennya agar membatalkan semua jadwal hari ini. Ia beralasan pada David kalau hari ini dirinya sedang tidak enak badan. Setelah memasak mi instant berkuah dengan beberapa potongan cabai dan dua telur, sesuatu yang sangat jarang dilakukan seorang Adrian.Ia membawa mangkuknya menuju ruang tengah dan duduk di karpet berwarna merah maroon. Menyalakan televisi dan mengganti saluran secara asal, menontonnya sambil menikmati
Udara dingin pukul lima pagi tak menyurutkan niat Alya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu berjibaku dengan kegiatan mencuci baju sebanyak dua ember cat besar, belum lagi cucian piring sisa makan semalam yang menumpuk. Pekerjaan seperti ini sudah menjadi sarapan sehari-hari.Namanya Alya Kharisma, gadis berusia sembilan belas tahun ini sudah menjadi seorang piatu sejak kelas enam SD. Ibunya meninggal karena penyakit demam berdarah. Ia lalu tinggal berdua dengan Banu, ayahnya, yang bekerja di pabrik pengolahan teh. Menginjak kelas tujuh SMP sang ayah membawa pulang seorang perempuan bernama Rima untuk dijadikan ibu sambung bagi Alya.Sejak saat itu kehidupan Alya yang tenang mulai berubah. Rima memperlakukan Alya layaknya di sinetron sebagai seorang ibu tiri yang kejam, tak peduli meski ada sang ayah. Sang a
Adrian berdiri sambil bersandar di tembok pembatas balkon, tangannya sibuk memainkan ponsel sambil sesekali pandangannya melihat ke dalam kamar di mana Alya sedang bekerja. Sejak pertama melihat gadis itu Adrian seolah terkena sihir, atau mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.Gadis itu memang tampak sederhana wajahnya cantik berbentuk bulat telur, rambut panjangnya sedikit bergelombang di bagian bawah. Terlihat sangat manis saat dikuncir dan tersisa beberapa bagian di samping kiri dan kanan dahinya. Ia merasakan debaran aneh di jantungnya saat melihat gadis itu, debaran yang sama saat ia jatuh cinta pada Natasha.Mengingat Natasha membuat Adrian nelangsa lagi, ia kemudian melihat ke layar ponsel dalam genggamannya. Membuka kembali galeri foto yang penuh dengan gambar mereka berdua. Senyum keduanya yang mereka
Adrian menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa lelah hari ini. Bukan lelah secara fisik tapi lebih pada pikirinnya. Ia mengingat lagi kejadian di pasar tadi yang begitu tiba-tiba, hingga tak menyadari bahwa ia bersikap seperti orang bodoh. Namun, ia kemudian tersenyum kala mengingat momen senam hamil tadi. Dimana ia bisa leluasa memandang wajah Alya dari dekat.Wajah yang entah mengapa bisa membuat hatinya bergetar, lalu aroma jasmin yang sempat terhidu tatkala ia melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menghalau rasa dan pikiran aneh yang berkelindan di kepala. Ia kemudian bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.Puluhan panggilan tak terjawab dari David, asisten pribadinya. Ia mengumpat kesal, mengingat jika sebelumnya ia berpesan tak ingin diganggu untuk bebe
Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.Kau begitu sempurnaDi mataku kau begitu indahKau membuat dirikuAkan selalu memujamuDi setiap langkahkuKu kan s'lalu memikirkan dirimu
Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf."Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya."Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Aya
Matahari telah menampakkan sinar keemasannya di ufuk timur, semburat warna jingga dan merah perlahan menghilang. Alya telah bangun sejak pukul lima pagi tadi, setelah membersihkan rumah terlebih dahulu dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci ia mulai berkutat di dapur.Adrian mencium harum aroma nasi goreng saat keluar dari kamarnya, perutnya langsung berbunyi nyaring. Masakan gadis itu membuatnya berselera makan dan ia jadi mudah lapar, padahal sebelumnya hampir tak pernah ia makan secara teratur. Ia berjalan menuju dapur, nasi goreng ampela ati dan kerupuk udang sudah siap di meja makan."Selamat pagi, Tuan." Alya menyapa sambil meletakkan piring berisi telur mata sapi setengah matang."Pagi, kalau begini caranya perutku akan semakin gendut." Adrian menggumam sambil
"Terima kasih atas pemberiannya, Tuan. Tapi kenapa harus sebanyak ini ?" Alya mengutarakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatinya. Mereka telah sampai di apartemen saat hari sudah menjelang sore."Aku hanya tidak ingin orang menilaimu kampungan, anggap saja itu bonus. Jadi kau harus bekerja dengan giat dan menuruti semua perintahku." Adrian kemudian berlalu menuju kamarnya.Alya tetap merasa tidak enak hati, pasalnya barang-barang yang dibeli untuknya hari ini setara dengan satu tahun gajinya. Mau menolak pun percuma, karena Adrian termasuk tipe orang yang tidak suka dibantah. Gadis itu kemudian membawa barang-barang itu ke kamar, ia lalu membersihkan diri di kamar mandi sebelum menyiapkan makan malam.Makan malam telah siap, dan mereka berdua seperti biasa makan da
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.💗💗💗Adrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan
Alya mematut dirinya di cermin, celana pensil berwarna krem dengan paduan blouse warna putih tampak cantik di badannya. Ia menyapukan bedak tipis-tipis di wajahnya, menambahkan blush on berwarna peach lalu mengoleskan lipstik warna nude. Alya lalu beranjak dari meja riasnya setelah dirasa penampilannya sudah cukup sempurna. Mengambil ponsel yang ditinggalkannya di atas kasur dan mengecek jam, sudah waktunya Adrian pulang kerja.Alya kemudian menunggu suaminya pulang di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya. Sesekali Alya menengok ke depan, barangkali Adrian sudah pulang dan ia yang tidak mendengar suaranya. Tetapi nihil, garasi masih tetap kosong dan Adrian memang belum pulang.Satu jam, dua jam, bahkan sampai menjelang malam Adrian belum datang juga. Bahkan Alya sengaja melewatkan makan malam agar dia bisa mengajak Adrian makan nasi Padang. Entah kenapa seharian ini Alya begitu ingin makan nasi Padang. Apalagi ketika membayangkan sa
Adrian merasa kepalanya pusing, setelah kepergian Natasha pria itu dihadapkan dengan masalah perusahaan. Dimulai dari investor yang beberapa waktu lalu ia temui ternyata batal untuk menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Belum lagi masalah internal di bagian keuangan yang salah menginput data. Bisa dipastikan perusahaan mengalami kekacauan.Untungnya masalah bisa segera diatasi, meski begitu Adrian berencana untuk melakukan evaluasi kerja lebih cepat untuk semua karyawannya.Waktu sudah semakin sore, sudah waktunya untuk pulang kerja. Adrian masih membereskan berkas-berkas di mejanya saat ia mendengar bunyi pintu diketuk lalu kemudian dibuka."Masih lembur, Bos." tanya David sambil memasuki ruangan Adrian."Sebentar lagi mau pulang, ada apa?" Adrian menjawab pertanyaan David sambil tetap melanjutkan aktivitasnya."Hari ini sungguh melelahkan, bagaimana kalau kita mi
"Apa! Hamil?" Alya tak percaya dengan usulan yang diutarakan oleh Adrian. Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat reaksi Alya, ia pun meninggalkan wanita itu menuju ke kamar setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Alya.Alya berdecak sebal melihat kelakuan Alya, tetapi kemudian dia meraba perutnya. Ia ingat jika sempat memikirkan hal yang serupa beberapa waktu lalu. Dan sekarang Adrian berkata seperti tadi, meski dirinya tahu jika pria itu berkata dengan nada bercanda.Alya melamun hingga beberapa saat sambil tetap memegangi perutnya. Ia tak menyadari jika Adrian sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas yang rapi dan bersiap untuk berangkat kerja. Melihat Alya yang tak segera beranjak dari duduknya, pria itu memeluknya dari belakang."Masih ada waktu untuk membuatmu bisa hamil." Bisik Adrian di telinga Alya yang membuat perempuan itu tersipu."Ish, kamu kira bisa segampang itu. Yang sudah me