Sudah sepekan berlalu sejak lamaran di restoran waktu itu. Beberapa kali sudah Adrian mencoba meyakinkan Natasha akan permintaannya, bahkan laki-laki itu rela merendah padanya. Tapi Natasha tetap tak bergeming. Bahkan, semua kontak yang terhubung dengan Adrian diblokir oleh gadis itu. Membuat pria itu tak lagi berharap banyak.
Pagi ini Adrian memutuskan untuk libur kerja sehari, ia menelpon David asistennya agar membatalkan semua jadwal hari ini. Ia beralasan pada David kalau hari ini dirinya sedang tidak enak badan. Setelah memasak mi instant berkuah dengan beberapa potongan cabai dan dua telur, sesuatu yang sangat jarang dilakukan seorang Adrian.
Ia membawa mangkuknya menuju ruang tengah dan duduk di karpet berwarna merah maroon. Menyalakan televisi dan mengganti saluran secara asal, menontonnya sambil menikmati semangkuk mi yang barusan dibuatnya. Ia berharap mi kuah pedas ini bisa mengembalikan mood nya yang sedikit memburuk.
Sebuah saluran televisi menayangkan berita selebritis. Salah satunya tentang seorang model papan atas yang tertangkap kamera sedang menghabiskan waktu liburan dengan seorang aktor terkenal. Sang aktor merupakan bintang di negeri ini karena berhasil meraih beberapa penghargaan, bahkan dinobatkan sebagai aktor terbaik tahun ini.
Sedang si model tak lain adalah Natasha Albertina. Rahang Adrian mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Rupanya, selain memblokir akun sosial medianya gadis itu juga sudah memalingkan hatinya. Adrian mematikan televisi, kemudian membawa mangkok yang isinya tinggal separuh ke dapur.
Ia kemudian menuju kamar mengganti baju, dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke dalam sebuah ransel. Ia benar-benar perlu menjernihkan pikirannya. Diraihnya kunci mobil yang tergeletak di meja, menelpon David memberitahunya jika ia memperpanjang liburnya sepekan ke depan. Ia juga tidak menjelaskan lebih banyak ke asistennya itu.
Mobil melaju meninggalkan apartemennya, menuju ke luar kota. Ke tempat dimana Adrian menghabiskan waktu saat pikirannya benar-benar kalut.
Suasana dataran tinggi yang sejuk dengan deretan pohon alpukat menyambut kedatangan Adrian di wilayah kebun teh Wonosari. Kebun teh ini merupakan salah satu bagian yang dikelola oleh perusahaan Hadinata. Selain mengolah daun teh, di sini merupakan sentra penghasil buah alpukat. Perkebunan ini berada di lereng Gunung Arjuno.
Selain mengolah perkebunan teh dan alpukat, perusahaan Hadinata juga mengolah tempat ini menjadi area wisata dengan pemandian air panas. Banyak spot foto dibangun untuk memikat para pengunjung. Beberapa fasilitas penginapan juga dibangun di kawasan ini.
Mobil yang dikendarai Adrian melaju di antara jalanan berliku di bawah rimbun pepohonan. Sesekali ban mobil berdecit jika mendapati tanjakan yang cukup tinggi. Mobil berhenti di salah satu villa milik keluarga Hadinata. Seorang lelaki dengan sweater berwarna hijau lumut menyambut kedatangan Adrian.
"Selamat siang, Den. Selamat datang kembali." Sambut pria itu sambil membungkukkan badan memberi hormat, namanya Pak Yanto. Empat orang pelayan berdiri di dekat pintu menyambut kedatangan tuannya, salah satu yang berbadan gemuk -- namanya Marina-- merupakan yang tertua dan kepala pelayan di sini.
"Selamat datang, Den Adrian. Apa perlu saya siapkan makan siang?" Sambut Marina sambil membungkukkan badannya.
"Aku ingin istirahat sebentar." Jawab Adrian sambil menyerahkan ransel yang dibawanya kepada wanita tadi.
"Silahkan, Den. Kamar sudah kami siapkan." Marina berkata penuh penghormatan.
"Buatkan aku coklat panas dan bawa ke atas." Adrian berkata lalu melangkah menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Ia memasuki kamar yang biasa dipakainya saat menginap disini, berjalan menuju balkon dan memandangi hamparan kebun teh di bawahnya.
Ia selalu merasa damai jika berkunjung ke sini, tempat kedua saat ingin melepaskan beban pikiran setelah rooftop apartemennya. Beberapa kali ia menghabiskan waktu disini. Pertama, saat ia kehilangan ayahnya dalam peristiwa kecelakaan pesawat. Membuatnya kehilangan sosok yang biasa menjadi pegangannya.
Abraham, ayah Adrian begitu menyayangi putranya. Selain karena ia anak tunggal, juga karena perjuangan mereka untuk mendapatkan seorang putra. Merline, sang ibu beberapa kali mengalami keguguran sebelum mengandung Adrian. Kondisi rahimnya yang lemah membuat janinnya tidak bisa bertahan.
Saat mengandung Adrian, sang ibu harus rutin mengkonsumsi obat penguat kandungan. Juga harus istirahat total selama beberapa Minggu agar janinnya bisa bertahan. Beruntungnya Adrian lahir dengan selamat, dan sang ibu juga dalam kondisi sehat setelah melahirkan.
Yang kedua saat sang ibu memutuskan untuk menikah lagi. Tiga tahun setelah meninggalnya sang ayah, ibunya bertemu lagi dengan Paman Willy, teman ibunya semasa kuliah dulu. Mereka pernah menjalin hubungan selama masa kuliah. Namun, karena suatu alasan mereka harus berpisah.
Mereka bertemu lagi dalam acara dies natalis kampus mereka. Rupanya, Paman Willy pindah ke Kanada bersama orang tuanya. Saat pertemuan itu keduanya menyadari jika benih-benih cinta yang mereka miliki dulu masih ada. Ditambah hubungan Merline dan mertuanya juga tidak berjalan dengan baik.
Ibunya sempat mengajak Adrian untuk mengikutinya ke Kanada, namun disaat yang bersamaan kondisi kesehatan sang kakek tidak dalam kondisi yang baik. Akhirnya dengan terpaksa Adrian tinggal bersama kakeknya. Ibunya masih sering menghubungi Adrian lewat sambungan telepon, terkadang mereka juga melakukan panggilan video.
Paman Willy juga bersikap baik dengan Adrian, beberapa kali ia menawarkan pada pemuda itu untuk berlibur ke Kanada. Tapi karena Adrian masih merasa sedikit canggung ia hanya menjawab dengan kata "kapan-kapan".
"Maaf Den, ini coklat panasnya." Suara seorang perempuan yang ternyata Bibi Marina membuyarkan lamunan Adrian. Pria itu menerima gelas yang diulurkan kepala pelayan tadi.
"Maaf Den, saya ingin memberitahukan satu hal," ucap kepala pelayan itu kemudian.
"Ya, ada apa?" balas Adrian sambil menatap kepala pelayan tadi. Siku kirinya bertumpu pada tembok balkon sedang tangan kanannya memegang cangkir berisi coklat panas tadi dan meminumnya perlahan sambil sesekali ditiup.
"Saya sudah mengajukan pensiun dan sudah disetujui Tuan Hadinata. Bulan ini adalah terakhir kali saya bekerja disini," ucap Marina memberitahu Adrian.
"Lalu?" tanya Adrian setelah meneguk lagi minumannya.
"Besok akan ada yang menggantikan saya, dan saya akan mulai mengajarinya," jawab wanita bertubuh tambun itu.
"Kenapa secepat ini, Bi?" tanya Adrian.
"Anak Bibi yang di desa ingin bibi istirahat, Den. Dua bulan yang lalu dia baru pulang dari Malaysia. Dan sekarang dia berencana membuka usaha sendiri." Bibi Marina menjelaskan alasan pengunduran dirinya.
Wanita ini sudah melayani keluarga Kakek Hadinata sejak usia sembilan belas tahun. Dia tipe pekerja keras dan teliti. Tak ada satu pekerjaanpun yang lolos dari penglihatannya. Meski begitu wanita ini tipe yang penyabar dan keibuan.
Wanita ini memiliki empat anak, dua lelaki dan dua perempuan. Anak pertama dan keduanya sudah menikah dan masing-masing mempunyai seorang anak. Anak ketiga perempuan masih single dan sudah enam tahun menjadi TKW di Singapura, baru pulang dua bulan yang lalu. Dialah yang meminta Bibi Marina berhenti bekerja. Sedang putra bungsunya masih duduk di kelas dua belas SMK.
"Terserah Bibi saja. Sebelumnya terima kasih karena Bibi sudah setia melayani keluarga Hadinata selama ini," ucap Adrian dengan tulus
"Sama-sama Den Adrian. Saya juga berterima kasih karena selama saya bekerja Aden dan keluarga memperlakukan saya dengan baik." Bibi Marina berkata diiringi isakan kecil. Ia merasa sedih harus meninggalkan keluarga ini.
Adrian meletakkan cangkir yang dibawanya di meja samping kirinya. Ia mendekati perempuan tua itu dan tanpa canggung memeluknya, seperti pelukan seorang anak yang menenangkan ibunya.
"Terima kasih, Bi."
Udara dingin pukul lima pagi tak menyurutkan niat Alya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu berjibaku dengan kegiatan mencuci baju sebanyak dua ember cat besar, belum lagi cucian piring sisa makan semalam yang menumpuk. Pekerjaan seperti ini sudah menjadi sarapan sehari-hari.Namanya Alya Kharisma, gadis berusia sembilan belas tahun ini sudah menjadi seorang piatu sejak kelas enam SD. Ibunya meninggal karena penyakit demam berdarah. Ia lalu tinggal berdua dengan Banu, ayahnya, yang bekerja di pabrik pengolahan teh. Menginjak kelas tujuh SMP sang ayah membawa pulang seorang perempuan bernama Rima untuk dijadikan ibu sambung bagi Alya.Sejak saat itu kehidupan Alya yang tenang mulai berubah. Rima memperlakukan Alya layaknya di sinetron sebagai seorang ibu tiri yang kejam, tak peduli meski ada sang ayah. Sang a
Adrian berdiri sambil bersandar di tembok pembatas balkon, tangannya sibuk memainkan ponsel sambil sesekali pandangannya melihat ke dalam kamar di mana Alya sedang bekerja. Sejak pertama melihat gadis itu Adrian seolah terkena sihir, atau mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.Gadis itu memang tampak sederhana wajahnya cantik berbentuk bulat telur, rambut panjangnya sedikit bergelombang di bagian bawah. Terlihat sangat manis saat dikuncir dan tersisa beberapa bagian di samping kiri dan kanan dahinya. Ia merasakan debaran aneh di jantungnya saat melihat gadis itu, debaran yang sama saat ia jatuh cinta pada Natasha.Mengingat Natasha membuat Adrian nelangsa lagi, ia kemudian melihat ke layar ponsel dalam genggamannya. Membuka kembali galeri foto yang penuh dengan gambar mereka berdua. Senyum keduanya yang mereka
Adrian menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa lelah hari ini. Bukan lelah secara fisik tapi lebih pada pikirinnya. Ia mengingat lagi kejadian di pasar tadi yang begitu tiba-tiba, hingga tak menyadari bahwa ia bersikap seperti orang bodoh. Namun, ia kemudian tersenyum kala mengingat momen senam hamil tadi. Dimana ia bisa leluasa memandang wajah Alya dari dekat.Wajah yang entah mengapa bisa membuat hatinya bergetar, lalu aroma jasmin yang sempat terhidu tatkala ia melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menghalau rasa dan pikiran aneh yang berkelindan di kepala. Ia kemudian bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.Puluhan panggilan tak terjawab dari David, asisten pribadinya. Ia mengumpat kesal, mengingat jika sebelumnya ia berpesan tak ingin diganggu untuk bebe
Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.Kau begitu sempurnaDi mataku kau begitu indahKau membuat dirikuAkan selalu memujamuDi setiap langkahkuKu kan s'lalu memikirkan dirimu
Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf."Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya."Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Aya
Matahari telah menampakkan sinar keemasannya di ufuk timur, semburat warna jingga dan merah perlahan menghilang. Alya telah bangun sejak pukul lima pagi tadi, setelah membersihkan rumah terlebih dahulu dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci ia mulai berkutat di dapur.Adrian mencium harum aroma nasi goreng saat keluar dari kamarnya, perutnya langsung berbunyi nyaring. Masakan gadis itu membuatnya berselera makan dan ia jadi mudah lapar, padahal sebelumnya hampir tak pernah ia makan secara teratur. Ia berjalan menuju dapur, nasi goreng ampela ati dan kerupuk udang sudah siap di meja makan."Selamat pagi, Tuan." Alya menyapa sambil meletakkan piring berisi telur mata sapi setengah matang."Pagi, kalau begini caranya perutku akan semakin gendut." Adrian menggumam sambil
"Terima kasih atas pemberiannya, Tuan. Tapi kenapa harus sebanyak ini ?" Alya mengutarakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatinya. Mereka telah sampai di apartemen saat hari sudah menjelang sore."Aku hanya tidak ingin orang menilaimu kampungan, anggap saja itu bonus. Jadi kau harus bekerja dengan giat dan menuruti semua perintahku." Adrian kemudian berlalu menuju kamarnya.Alya tetap merasa tidak enak hati, pasalnya barang-barang yang dibeli untuknya hari ini setara dengan satu tahun gajinya. Mau menolak pun percuma, karena Adrian termasuk tipe orang yang tidak suka dibantah. Gadis itu kemudian membawa barang-barang itu ke kamar, ia lalu membersihkan diri di kamar mandi sebelum menyiapkan makan malam.Makan malam telah siap, dan mereka berdua seperti biasa makan da
Alya bangun lebih pagi hari ini karena semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya. Ia masih berpikir bahwa semua ini salah, tetapi ia tidak bisa berbuat apapun. Gadis itu mendekati jendela dan menyibak tirainya, diluar langit masih terlihat gelap dengan bintang yang saling berkerlip meski suara kokok ayam terdengar bersahutan. Matanya memanas teringat akan ibunya, andai wanita itu masih ada tentu ia tak akan gelisah seperti ini.Gadis itu memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa keputusan menerima pernikahan pura-pura ini salah. Namun, ia mempunya pemikiran lain. Ia menerima imbalan yang diberikan Adrian, gadis itu berniat mengubah nasibnya. Ia akan menggunakan uang itu nanti sebagai modal memulai kehidupan baru di tempat lain. Setelah kontrak pernikahan mereka selesai, gadis itu berencana pergi jauh meninggalkan kota ini dan memulai usaha baru, dimana tak
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.šššAdrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan
Alya mematut dirinya di cermin, celana pensil berwarna krem dengan paduan blouse warna putih tampak cantik di badannya. Ia menyapukan bedak tipis-tipis di wajahnya, menambahkan blush on berwarna peach lalu mengoleskan lipstik warna nude. Alya lalu beranjak dari meja riasnya setelah dirasa penampilannya sudah cukup sempurna. Mengambil ponsel yang ditinggalkannya di atas kasur dan mengecek jam, sudah waktunya Adrian pulang kerja.Alya kemudian menunggu suaminya pulang di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya. Sesekali Alya menengok ke depan, barangkali Adrian sudah pulang dan ia yang tidak mendengar suaranya. Tetapi nihil, garasi masih tetap kosong dan Adrian memang belum pulang.Satu jam, dua jam, bahkan sampai menjelang malam Adrian belum datang juga. Bahkan Alya sengaja melewatkan makan malam agar dia bisa mengajak Adrian makan nasi Padang. Entah kenapa seharian ini Alya begitu ingin makan nasi Padang. Apalagi ketika membayangkan sa
Adrian merasa kepalanya pusing, setelah kepergian Natasha pria itu dihadapkan dengan masalah perusahaan. Dimulai dari investor yang beberapa waktu lalu ia temui ternyata batal untuk menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Belum lagi masalah internal di bagian keuangan yang salah menginput data. Bisa dipastikan perusahaan mengalami kekacauan.Untungnya masalah bisa segera diatasi, meski begitu Adrian berencana untuk melakukan evaluasi kerja lebih cepat untuk semua karyawannya.Waktu sudah semakin sore, sudah waktunya untuk pulang kerja. Adrian masih membereskan berkas-berkas di mejanya saat ia mendengar bunyi pintu diketuk lalu kemudian dibuka."Masih lembur, Bos." tanya David sambil memasuki ruangan Adrian."Sebentar lagi mau pulang, ada apa?" Adrian menjawab pertanyaan David sambil tetap melanjutkan aktivitasnya."Hari ini sungguh melelahkan, bagaimana kalau kita mi
"Apa! Hamil?" Alya tak percaya dengan usulan yang diutarakan oleh Adrian. Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat reaksi Alya, ia pun meninggalkan wanita itu menuju ke kamar setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Alya.Alya berdecak sebal melihat kelakuan Alya, tetapi kemudian dia meraba perutnya. Ia ingat jika sempat memikirkan hal yang serupa beberapa waktu lalu. Dan sekarang Adrian berkata seperti tadi, meski dirinya tahu jika pria itu berkata dengan nada bercanda.Alya melamun hingga beberapa saat sambil tetap memegangi perutnya. Ia tak menyadari jika Adrian sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas yang rapi dan bersiap untuk berangkat kerja. Melihat Alya yang tak segera beranjak dari duduknya, pria itu memeluknya dari belakang."Masih ada waktu untuk membuatmu bisa hamil." Bisik Adrian di telinga Alya yang membuat perempuan itu tersipu."Ish, kamu kira bisa segampang itu. Yang sudah me