Adrian berdiri sambil bersandar di tembok pembatas balkon, tangannya sibuk memainkan ponsel sambil sesekali pandangannya melihat ke dalam kamar di mana Alya sedang bekerja. Sejak pertama melihat gadis itu Adrian seolah terkena sihir, atau mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.
Gadis itu memang tampak sederhana wajahnya cantik berbentuk bulat telur, rambut panjangnya sedikit bergelombang di bagian bawah. Terlihat sangat manis saat dikuncir dan tersisa beberapa bagian di samping kiri dan kanan dahinya. Ia merasakan debaran aneh di jantungnya saat melihat gadis itu, debaran yang sama saat ia jatuh cinta pada Natasha.
Mengingat Natasha membuat Adrian nelangsa lagi, ia kemudian melihat ke layar ponsel dalam genggamannya. Membuka kembali galeri foto yang penuh dengan gambar mereka berdua. Senyum keduanya yang merekah seolah menggambarkan jika mereka tak akan terpisahkan.
Satu foto yang paling berkesan bagi Adrian, yaitu saat mereka liburan di Raja Ampat. Mereka berdua berdiri di atas puncak dua kars, salah satu puncak pulau Wayag. Dari sana terlihat gugusan-gugusan karang yang runcing ujungnya berpadu dengan warna biru air laut yang memukau. Dengan latar pemandangan yang indah itu mereka berjanji akan selalu bersama.
Dalam foto itu Natasha tampak cantik dengan busana long floral dress warna pink dipadu dengan topi rajut warna coklat dan kacamata berbingkai putih. Senyumnya terlihat bahagia sambil memandang Adrian. Namun, siapa sangka justru bukan akhir indah yang mereka dapatkan.
Adrian menghela napas, menimbang kembali perasaannya. Apakah ini pelarian rasa karena kecewa?. Adrian kembali mengalihkan pandangannya ke kamar, gadis itu ternyata sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia lalu bergegas turun, kemudian mendapati Bibi Marina sedang bersiap untuk pergi.
"Mau kemana, Bi?" tanya Adrian.
"Ini, Den, ada beberapa bahan yang habis jadi Bibi mau ke pasar." Bibi Marina menjawab pertanyaan Adrian.
"Biar aku saja, Bi. Berikan catatannya dan suruh gadis tadi menemaniku." Adrian berkata sambil meminta catatan belanja dari Bibi Marina. Sang bibi pun memberikan catatan tadi, kemudian berlalu ke belakang untuk memanggil Alya.
Adrian mengeluarkan sendiri mobilnya dari garasi dan menolak Pak Yanto yang menawarkan diri untuk menyetir. Sedangkan Alya sudah terlihat menunggu di dekat gerbang sambil menenteng tas yang biasa dibawa Bibi Marina pergi ke pasar.
"Apa aku terlihat seperti sopir taksi?" ucap Adrian saat mendapati Alya membuka pintu belakang mobil lalu duduk di sana.
"Maaf, sa…."
"Cepat pindah ke depan!" Perintah Adrian sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Dengan mulut berdecak kesal akhirnya gadis itu menuruti perintah majikannya.
"Pakai sabuk pengamanmu!" Perintahnya lagi sambil menghidupkan mesin mobil bersiap untuk berangkat.
"Eh." Hanya itu jawaban Alya sambil kepalanya menoleh ke kursinya mencari sesuatu yang dimaksud tuannya tadi. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang dicarinya tadi di belakang lengan kirinya, kemudian menarik tali itu lalu kebingungan bagaimana menggunakannya.
Adrian yang melihat berdecak kesal, tangannya kemudian terulur untuk membantu gadis itu memasang sabuk pengaman. Harum aroma musk terhidu Alya saat lelaki itu mendekat, dan ia kemudian memalingkan muka karena merasa malu sebab ketahuan tidak bisa memakai sabuk pengaman.
Mobil kemudian melaju menuruni jalanan perbukitan, sesekali mereka berpapasan dengan rombongan para pemetik teh. Mobil pun berbelok ke arah selatan, tujuan mereka adalah Pasar Tradisional Lawang. Sudah lama Adrian tidak bepergian dengan suasana santai seperti saat ini. Biasanya ia pergi untuk urusan pekerjaan. Terakhir liburan pun sudah empat bulan lalu dengan Natasha.
Refleks Adrian memukul setir kala mengingat Natasha kembali, membuat Alya terlonjak kaget.
"Ah, maaf." Adrian lupa jika saat ini ia tak sendirian di mobil.
"Ada masalah, Tuan?" Tanya Alya hati-hati.
"Bukan urusanmu!" Adrian menjawab dengan ketus.
"Dih, siapa juga yang peduli." Gumam Alya. Dan ternyata pria di sebelahnya ini mendengar lalu memberikan tatapan tajam pada gadis itu. Alya yang melihat dari ekor matanya hanya mengedikan bahu lalu berpura-pura sibuk melihat ke luar jendela.
Suasana pasar tradisional Lawang tidak begitu ramai saat mereka tiba di sana karena memang bukan musim liburan. Pasar Lawang merupakan salah satu obyek wisata bagi warga dari dalam dan luar Kota Malang. Alya berjalan menuju kios di lantai bawah untuk membeli sayuran dan bumbu dapur sesuai catatan, sedangkan Adrian mengikutinya dari belakang.
Adrian menilai gadis itu cukup pandai memilih sayur dan buah, juga piawai dalam menawar harga. Mereka lalu naik ke lantai dua mencari bahan pokok kering, singgah dari satu kios ke kios lain. Alya berjalan di depan sedang Adrian berada di belakang gadis itu sambil membawa tas berisi belanjaan dari lantai bawah.
Saat hendak berbelok ke kios sembako mereka ditarik dua wanita berseragam warna hijau. Di bagian dada sebelah kanan tertulis nama salah satu produk herbal terkenal. Mereka dibawa menuju sebuah kios dengan lampu yang sangat terang. Di dalamnya ada sudah ada seorang wanita dengan seragam yang sama, juga tiga pasang suami istri, terlihat dari badan si wanita yang ketiganya tengah hamil.
"Maaf menunggu bapak-bapak ibu-ibu. Kita mulai ya kelas senam hamil nya. Buat bapak dan ibu yang baru saja masuk bisa bergabung dengan yang lain." Seorang wanita yang berada di dalam ruangan tadi mulai melakukan instruksi.
"Tapi, Bu. Kami bukan …"
"Ndak apa-apa, Bu. Selain buat ibu hamil senam ini juga bagus buat pasangan yang sedang melakukan program kehamilan." Wanita tadi memotong ucapan Alya sembari menuntun Alya dan Adrian menuju satu matras berbentuk lingkaran.
Adrian dan Alya pasrah saja menuruti perkataan wanita tadi. Mereka kemudian memulai kegiatan senam hamil. Para istri duduk bersila di matras berbentuk lingkaran tadi, sedang para suami berdiri dengan bertumpu pada lutut di belakang istri. Kemudian memijat pundak istri, dilanjutkan dengan posisi berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan lalu jongkok bersamaan.
Ketika posisi memeluk perut membuat keduanya sama-sama canggung dan berharap acara dadakan ini cepat selesai. Sesi senam diakhiri dengan promo produk herbal yang mereka jual. Karena sudah kesal akhirnya Adrian mengajak Alya keluar ruangan.
"Maaf, saya permisi dulu. Putra saya sudah menangis di rumah." Bohong Adrian pada petugas wanita tadi lalu menyeret Alya meninggalkan ruangan.
"Cara marketing yang buruk!" Umpat Adrian saat mereka sudah berada di luar.
"Kamu juga kenapa diam saja." Ia menyalahkan Alya yang menurutnya hanya diam saja.
"Lho, bukannya, Tuan tahu sendiri kan saya tadi sudah mencoba menjelaskan." Ucap Alya membela diri.
"Tapi, kan, kamu bisa lebih ngotot lagi jelasinnya." Adrian tetap menyalahkan Alya, bahkan sampai keduanya berada di tempat parkir, melupakan beberapa belanjaan yang belum dibeli.
"Tuan sendiri kenapa dari tadi diam aja?" Balas Alya tak terima karena pria ini menyudutkannya dari tadi.
"Tadi kan aku juga sudah buat alasan biar kita bisa keluar. Sudah kita pulang saja!" Bentak Adrian sambil membuka pintu mobil dan menutupnya dengan keras.
"Dasar pria aneh." Umpat Alya lirih sambil memasuki mobil dan duduk di samping kemudi.
Mobil melaju meninggalkan pasar, keduanya sama-sama hening. Bibir Alya mengerucut sambil matanya menatap keluar jendela. Pikirannya penuh dengan umpatan dan kata-kata kasar terhadap lelaki yang duduk di sampingnya. Padahal jelas-jelas tadi dia sudah mencoba menjelaskan pada wanita berseragam itu jika mereka bukan suami istri.
Apalagi waktu senam hamil tadi, pipinya pasti sudah terasa merah karena malu. Belum lagi pas posisi tangan Adrian melingkar di pinggang, juga alasan aneh yang dibuat lelaki itu dengan mengatakan putra mereka yang menangisi. Membuat Alya dengan cepat menggelengkan kepalanya jika mengingat kejadian tadi.
"Kamu kenapa?" Tanya Adrian yang kaget melihat gadis di sebelahnya yang tiba-tiba menggelengkan kepala.
"Eh," balas Alya dan menyadari apa yang barusan ia perbuat.
"Jangan mikir macam-macam kamu ya, kamu kira saya kesenengan." ucap pria itu dengan nada dingin.
Alya hanya menjawab dengan helaan napas, ia tidak berniat membalas ucapan majikannya. Bagi gadis itu mengelak atau tidak tetap dirinya yang akan disalahkan. Wajah boleh tampan tapi kelakuan mengenaskan.
Adrian menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa lelah hari ini. Bukan lelah secara fisik tapi lebih pada pikirinnya. Ia mengingat lagi kejadian di pasar tadi yang begitu tiba-tiba, hingga tak menyadari bahwa ia bersikap seperti orang bodoh. Namun, ia kemudian tersenyum kala mengingat momen senam hamil tadi. Dimana ia bisa leluasa memandang wajah Alya dari dekat.Wajah yang entah mengapa bisa membuat hatinya bergetar, lalu aroma jasmin yang sempat terhidu tatkala ia melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menghalau rasa dan pikiran aneh yang berkelindan di kepala. Ia kemudian bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.Puluhan panggilan tak terjawab dari David, asisten pribadinya. Ia mengumpat kesal, mengingat jika sebelumnya ia berpesan tak ingin diganggu untuk bebe
Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.Kau begitu sempurnaDi mataku kau begitu indahKau membuat dirikuAkan selalu memujamuDi setiap langkahkuKu kan s'lalu memikirkan dirimu
Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf."Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya."Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Aya
Matahari telah menampakkan sinar keemasannya di ufuk timur, semburat warna jingga dan merah perlahan menghilang. Alya telah bangun sejak pukul lima pagi tadi, setelah membersihkan rumah terlebih dahulu dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci ia mulai berkutat di dapur.Adrian mencium harum aroma nasi goreng saat keluar dari kamarnya, perutnya langsung berbunyi nyaring. Masakan gadis itu membuatnya berselera makan dan ia jadi mudah lapar, padahal sebelumnya hampir tak pernah ia makan secara teratur. Ia berjalan menuju dapur, nasi goreng ampela ati dan kerupuk udang sudah siap di meja makan."Selamat pagi, Tuan." Alya menyapa sambil meletakkan piring berisi telur mata sapi setengah matang."Pagi, kalau begini caranya perutku akan semakin gendut." Adrian menggumam sambil
"Terima kasih atas pemberiannya, Tuan. Tapi kenapa harus sebanyak ini ?" Alya mengutarakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatinya. Mereka telah sampai di apartemen saat hari sudah menjelang sore."Aku hanya tidak ingin orang menilaimu kampungan, anggap saja itu bonus. Jadi kau harus bekerja dengan giat dan menuruti semua perintahku." Adrian kemudian berlalu menuju kamarnya.Alya tetap merasa tidak enak hati, pasalnya barang-barang yang dibeli untuknya hari ini setara dengan satu tahun gajinya. Mau menolak pun percuma, karena Adrian termasuk tipe orang yang tidak suka dibantah. Gadis itu kemudian membawa barang-barang itu ke kamar, ia lalu membersihkan diri di kamar mandi sebelum menyiapkan makan malam.Makan malam telah siap, dan mereka berdua seperti biasa makan da
Alya bangun lebih pagi hari ini karena semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya. Ia masih berpikir bahwa semua ini salah, tetapi ia tidak bisa berbuat apapun. Gadis itu mendekati jendela dan menyibak tirainya, diluar langit masih terlihat gelap dengan bintang yang saling berkerlip meski suara kokok ayam terdengar bersahutan. Matanya memanas teringat akan ibunya, andai wanita itu masih ada tentu ia tak akan gelisah seperti ini.Gadis itu memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa keputusan menerima pernikahan pura-pura ini salah. Namun, ia mempunya pemikiran lain. Ia menerima imbalan yang diberikan Adrian, gadis itu berniat mengubah nasibnya. Ia akan menggunakan uang itu nanti sebagai modal memulai kehidupan baru di tempat lain. Setelah kontrak pernikahan mereka selesai, gadis itu berencana pergi jauh meninggalkan kota ini dan memulai usaha baru, dimana tak
Hingar-bingar pernikahan cucu di keluarga Hadinata telah berakhir, runah bergaya klasik modern itu kembali pada rutinitasnya semula. Bibi Marina sudah pulang beberapa saat setelah pesta selesai. Ia tidak bisa meninggalkan villa terlalu lama. Meski sedikit terkejut dan tidak menyangka tentang pernikahan ini, tetapi wanita itu memberi wejangan pada Alya bagaimana bersikap sebagai seorang istri. Ia juga berpesan pada gadis itu untuk lebih menjaga sikap karena ada nama besar Hadinata yang harus ia bawa mulai dari sekarang.Mama Merline Wijaya juga sudah meninggalkan Indonesia beberapa jam yang lalu. Sama halnya dengan Bibi Marina, sebelum pergi wanita yang masih terlihat cantik itu juga memberikan beberapa wejangan untuk Alya. Ia juga memberitahu bagaiman sifat putranya yang harus dipahami gadis itu dan apa makanan kesukaannya. Wanita itu juga berharap agar keduanya tidak menunda memberinya
Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan berpamitan yang sedikit drama dengan Kakek Hadinata Alya dan Adrian akhirnya meninggalkan rumah besar itu. Kakek Hadinata sebenarnya berat melepas mereka kembali ke apartemen."Kalian yakin benar-benar ingin meninggalkan pria tua ini?" Tanyanya saat keduanya bersiap hendak pergi."Kek, please. Sudah kubilang kami ingin privasi." Adrian sebenarnya merasa bersalah juga, tapi jika tetap disini bisa-bisa kebohongan pernikahan mereka akan terbongkar."Baiklah, tapi lekas beri Kakek kalian ini cicit. Sekarang pergilah!" Pria tua itu meninggalkan mereka dan mengambil sebuah buku besar di meja dan membawanya ke kursi yang berada di balkon kamarnya.Mereka berdua meninggalkan pria tua itu, dalam hati Adrian berjanji jika waktunya sudah tepat ia akan membahagiakan sang kakek. Bagaimanapun juga pria tua itu orang yang paling berarti dalam hidupnya. Dua buah koper sudah dim
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.💗💗💗Adrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan
Alya mematut dirinya di cermin, celana pensil berwarna krem dengan paduan blouse warna putih tampak cantik di badannya. Ia menyapukan bedak tipis-tipis di wajahnya, menambahkan blush on berwarna peach lalu mengoleskan lipstik warna nude. Alya lalu beranjak dari meja riasnya setelah dirasa penampilannya sudah cukup sempurna. Mengambil ponsel yang ditinggalkannya di atas kasur dan mengecek jam, sudah waktunya Adrian pulang kerja.Alya kemudian menunggu suaminya pulang di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya. Sesekali Alya menengok ke depan, barangkali Adrian sudah pulang dan ia yang tidak mendengar suaranya. Tetapi nihil, garasi masih tetap kosong dan Adrian memang belum pulang.Satu jam, dua jam, bahkan sampai menjelang malam Adrian belum datang juga. Bahkan Alya sengaja melewatkan makan malam agar dia bisa mengajak Adrian makan nasi Padang. Entah kenapa seharian ini Alya begitu ingin makan nasi Padang. Apalagi ketika membayangkan sa
Adrian merasa kepalanya pusing, setelah kepergian Natasha pria itu dihadapkan dengan masalah perusahaan. Dimulai dari investor yang beberapa waktu lalu ia temui ternyata batal untuk menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Belum lagi masalah internal di bagian keuangan yang salah menginput data. Bisa dipastikan perusahaan mengalami kekacauan.Untungnya masalah bisa segera diatasi, meski begitu Adrian berencana untuk melakukan evaluasi kerja lebih cepat untuk semua karyawannya.Waktu sudah semakin sore, sudah waktunya untuk pulang kerja. Adrian masih membereskan berkas-berkas di mejanya saat ia mendengar bunyi pintu diketuk lalu kemudian dibuka."Masih lembur, Bos." tanya David sambil memasuki ruangan Adrian."Sebentar lagi mau pulang, ada apa?" Adrian menjawab pertanyaan David sambil tetap melanjutkan aktivitasnya."Hari ini sungguh melelahkan, bagaimana kalau kita mi
"Apa! Hamil?" Alya tak percaya dengan usulan yang diutarakan oleh Adrian. Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat reaksi Alya, ia pun meninggalkan wanita itu menuju ke kamar setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Alya.Alya berdecak sebal melihat kelakuan Alya, tetapi kemudian dia meraba perutnya. Ia ingat jika sempat memikirkan hal yang serupa beberapa waktu lalu. Dan sekarang Adrian berkata seperti tadi, meski dirinya tahu jika pria itu berkata dengan nada bercanda.Alya melamun hingga beberapa saat sambil tetap memegangi perutnya. Ia tak menyadari jika Adrian sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas yang rapi dan bersiap untuk berangkat kerja. Melihat Alya yang tak segera beranjak dari duduknya, pria itu memeluknya dari belakang."Masih ada waktu untuk membuatmu bisa hamil." Bisik Adrian di telinga Alya yang membuat perempuan itu tersipu."Ish, kamu kira bisa segampang itu. Yang sudah me