Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.
Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku
Akan selalu memujamu
Di setiap langkahku
Ku kan s'lalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan
Hidupku tanpa cintamu
Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di tempat tujuan, sebuah rumah sederhana berdinding bata dengan cat warna putih seperti pada umumnya dengan beberapa undakan menuju ke pintu masuk.
"Maaf, Tuan. Saya turun dulu." Ucap Alya sambil melepas sabuk pengamannya.
"Oh,ya. Bawa ini dan berikan ke Ibumu." Adrian berkata sambil memberikan amplop berwarna coklat kepada gadis itu.
"Apa ini?" Tanyanya kebingungan tidak mengerti maksud lelaki di depannya ini.
"Anggap saja uang saku buat mereka." Ucap Adrian.
"Tapi, Tuan. Saya tidak bisa menerimanya." Jawab gadis itu, ia merasa tidak enak hati.
"Anggap saja ini uang muka gaji kamu." Ucap Adrian lagi karena tahu gadis itu mungkin merasa tak enak.
"Ambillah, pasti berguna nanti," sambungnya lagi.
Alya akhirnya menerima amplop dari Adrian meski ia merasa sungkan, kemudian membuka pintu mobil dan mulai berjalan menuju rumahnya.
"Assalamualaikum." Ucapnya sambil membuka sepatunya.
"Waalaikumsalam, kenapa kamu pulang?" Jawab Rima yang sedang berdiri dengan bersedekap di depan kamarnya karena mendengar suara salam.
"Ayah mana?" Tanya Alya tanpa menjawab pertanyaan ibu tirinya. Dan seorang lelaki kisaran empat puluhan keluar dari kamar di belakan Rima.
"Kamu sudah pulang, Nduk?" Tanya Banu.
"Aku hanya mampir sebentar buat ambil pakaian." Jawab Alya sambil melangkah menuju kamarnya.
"Aku akan ikut majikanku bekerja di kota, apa Ayah sudah sehat?" Ucapnya lagi sambil membuka pintu kamarnya.
"Ayah? Sehat? Memangnya Ayah sakit? Ayah baik-baik saja." Ucap Banu sedikit bingung dengan pertanyaan putrinya.
"Bukannya Tante Rima bilang Ayah sakit kemarin, waktu ke villa minta uang sama aku." Ucap Alya membatalkan langkahnya memasuki kamar.
"Hei, jangan ngadi-ngadi kamu ya! Kapan aku minta uang sama kamu. Baru kerja aja udah mau adu domba aku sama bapakmu." Rima berkilah jika ia tidak meminta uang sama Alya.
"Lagian memangnya kenapa kalau aku minta uang sama kamu. Toh aku juga kan yang merawat bapakmu." Sambung Rima lagi.
"Sudah, kalian ini bertengkar saja kerjaannya, bikin pusing saja!" Bentak Banu sambil melangkah meninggalkan mereka menuju dapur.
"Dasar anak tak tahu diri kamu itu!" Maki Rima sambil berlalu menyusul suaminya. Alya hanya menghela napas kemudian memasuki kamarnya.
Beberapa pakaiannya sudah masuk ke dalam tas, tak banyak yang ia bawa karena gadis itu tak punya baju bagus. Selembar fotonya bersama ayah dan almarhumah ibunya dalam sebuah pigura turut serta ia bawa. Gadis itu memandang sekeliling kamarnya, tempat dimana ia menyembunyikan tangis dan lara. Ia akan meninggalkan rumah ini, rumah penuh kenangan manis dan juga pahit.
Sadar jika sang majikan masih menunggu, gegas ia keluar menemui Ayah dan Ibu tirinya yang sedang berada di ruangan dekat dapur. Rumah ini hanya terdiri dari dua kamar, ruang tamu, juga sebuah ruangan yang cukup luas di bagian dalam untuk ruang keluarga yang di sekat sedikit di bagian dapur.
"Kamu jadi berangkat?" Tanya Banu setelah menandaskan kopinya.
"Iya, Ayah." Jawab Alya mantap, karena memang ia sudah tak tahan dengan ibu tirinya.
"Biarin aja, lah, Mas. Toh dia juga udah besar, sudah waktunya dia cari uang sendiri. Jangan bisanya cuma minta aja." Ucap Rima dari dapur.
"Memang kapan aku minta uang? Bahkan untuk bayar sekolahku saja enggak pernah, kan?" Tanya Alya mulai kesal dengan ucapan ibi tirinya.
"Hei, yang kasih makan kamu siapa? Memang buat makan belinya nggak pakai duit?" Rima tak kalah emosi, ia berbicara sambil telunjuknya mengarah ke Alya.
"Toh yang dipakai bukan sepenuhnya uang Tante, kan. Nih aku ganti." Alya merogoh sakunya dan mengambil amplop yang diberikan Adrian tadi beruntung tadi ia menerima pemberian lelaki itu, jadi tidak perlu ada drama berkepanjangan.
"Baguslah kalau begitu." Rima kemudian mengambil amplop itu dan membukanya, matanya berbinar saat menghitung jumlah uangnya. Sedang Banu hanya geleng-geleng kepala melihat pertengkaran keduanya, ia tak berniat melerai atau membela Alya.
Alya yang sudah muak menghadapi sikap dua orang di depannya ini segera beranjak pergi, air mata turun di kedua pipinya saat keluar dari rumah ini. Ia bertekad akan menjadi orang yang lebih baik saat di kota nanti. Ia hapus jejak air matanya di pipi saat dirinya sudah hampir mendekati mobil, kemudian menarik napas dan menghembuskannya perlahan untuk melonggarkan paru-parunya.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Adrian, meski gadis di sebelahnya ini diam, ia tahu jika sebenarnya gadis ini habis menangis. Terlihat dari matanya yang sedikit sembab.
"Tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya sedih harus meninggalkan keluarga saya." Bohong gadis itu tak ingin Adrian bertanya lebih jauh lagi.
"Ya sudah." Adrian berkata sambil menghidupkan mobilnya.
Mobil mereka sudah melewati jalan menuju villa dan sudah berada di jalan raya, lebih tepatnya ke arah selatan menuju pusat Kota Malang. Jalan yang mereka lewati cukup padat dan merayap. Untuk mengusir rasa bosan Adrian menyalakan musik dari radio tape mobilnya. Ia tak berniat untuk mengusik Alya, hanya membiarkan gadis itu larut dalam pikirannya.
Alya terkejut saat mobil berhenti di Alun-alun Kota Malang, apalagi hari cukup ramai. Siang yang terik ini tak menyurutkan niat pengunjung untuk menikmati suasana pusat kota. Ditambah air mancur yang menjadi ikon alun-alun itu dinyalakan, membuat udara tidak begitu panas karena hembusan angin bercampur air. Mereka kemudian berjalan memasuki pelataran alun-alun lewat pintu sebelah timur setelah memarkir mobil di parkiran mall terdekat.
Mata gadis itu berbinar ketika memasuki alun-alun, sudah lama sejak ibunya meninggal ia tak pernah lagi ke sini. Tempat ini merupakan salah satu tempat penuh kenangan baginya, hampir setiap satu bulan sekali ia dan keluarganya akan berkunjung ke sini. Selain untuk menikmati ramainya alun-alun mereka juga akan mampir ke mall yang ada di sekitar tempat ini, dan berakhir di salah satu kedai makan favorit mereka.
Tanpa sadar gadis itu tersenyum dan hal itu tertangkap penglihatan Adrian. Menyadari ada perubahan dalam wajah gadis itu membuatnya bernapas lega. Tidak sia-sia ia membelokkan mobilnya ke sini.
"Kamu sering ke tempat ini?" Tanya Adrian sambil memberikan sebotol minuman rasa buah yang dibelinya dari pedagang yang lewat.
"Iya, Tuan. Dulu, hampir sebulan sekali orang tua saya selalu mengajak bermain ke tempat ini. Melihat burung dara yang terbang bebas sambil menikmati air mancur." Jawab gadis itu sambil memandang kawanan burung dara yang terbang berputar-putar di atas mereka.
"Ibu pernah bercerita, waktu itu saya baru bisa berjalan saya senang sekali mengejar burung-burung dara itu, meski beberapa kali harus jatuh. Dan Ayah akan membeli jagung sebagai umpan biar mereka mau turun." Jelas gadis itu lagi, kali ini ada sendu yang tercetak di wajahnya ketika mengenang masa kecilnya.
"Lebih baik kita ke sana." Ajak Adrian menuju ke tengah alun-alun karena tak ingin berlama-lama melihat kaca-kaca di mata gadis itu.
Ia berjalan mendahului, berkeliling sambil memandang anak-anak kecil yang sedang berlarian. Ia lalu berhenti di depan penjual pakan burung dalam kemasan, membeli beberapa bungkus. Kemudian melemparkannya ke arah kawanan burung dara yang berjalan di antara para pengunjung. Kawanan burung itu berebut makanan yang dilempar Adrian, membuat Alya tersenyum lalu ia ikut memberi mereka makan juga.
Melihat senyum Alya kembali merekah membuat Adrian ikut tersenyum, bukan niatnya untuk menambah kesedihan gadis itu. Diam-diam ia mengambil ponsel dari sakunya dan memotret gadis yang tengah sibuk memberi makan burung dara itu. Ia ingin mengabadikan momen dimana gadis itu tersenyum tanpa beban.
"Gadis yang cantik." Gumamnya sambil mengamati hasil tangkapan layar di ponselnya.
"Terima kasih, Tuan." Ucap Alya saat keduanya sudah kembali ke dalam mobil, dan melanjutkan perjalanan untuk pulang karena hari sudah semakin sore.
"Untuk?" Tanya Adrian sambil fokus menatap jalanan di depannya. Suasana jalan sore ini cukup ramai, berkali-kali mobil yang mereka tumpangi berhenti karena padatnya lalu lintas.
"Sudah membawa saya ke alun-alun tadi." Ucap Alya dengan tulus karena merasa telah salah sangka selama ini pada Tuannya, ia sempat mengira jika lelaki yang sedang duduk di belakang kemudi itu lelaki yang arogan. Ternyata ia masih memiliki hati yang baik.
"Oh, jangan salah sangka. Saya hanya tidak ingin beban masalahmu kamu bawa ke tempatku besok. Bisa-bisa pekerjaan kamu nggak fokus nanti." Jawab Adrian dingin.
Alya hanya menghela napas, ditariknya lagi pujiannya tadi. Bagaimanapun juga dia tetaplah manusia yang arogan, dingin dan tak punya hati.
Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf."Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya."Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Aya
Matahari telah menampakkan sinar keemasannya di ufuk timur, semburat warna jingga dan merah perlahan menghilang. Alya telah bangun sejak pukul lima pagi tadi, setelah membersihkan rumah terlebih dahulu dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci ia mulai berkutat di dapur.Adrian mencium harum aroma nasi goreng saat keluar dari kamarnya, perutnya langsung berbunyi nyaring. Masakan gadis itu membuatnya berselera makan dan ia jadi mudah lapar, padahal sebelumnya hampir tak pernah ia makan secara teratur. Ia berjalan menuju dapur, nasi goreng ampela ati dan kerupuk udang sudah siap di meja makan."Selamat pagi, Tuan." Alya menyapa sambil meletakkan piring berisi telur mata sapi setengah matang."Pagi, kalau begini caranya perutku akan semakin gendut." Adrian menggumam sambil
"Terima kasih atas pemberiannya, Tuan. Tapi kenapa harus sebanyak ini ?" Alya mengutarakan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di hatinya. Mereka telah sampai di apartemen saat hari sudah menjelang sore."Aku hanya tidak ingin orang menilaimu kampungan, anggap saja itu bonus. Jadi kau harus bekerja dengan giat dan menuruti semua perintahku." Adrian kemudian berlalu menuju kamarnya.Alya tetap merasa tidak enak hati, pasalnya barang-barang yang dibeli untuknya hari ini setara dengan satu tahun gajinya. Mau menolak pun percuma, karena Adrian termasuk tipe orang yang tidak suka dibantah. Gadis itu kemudian membawa barang-barang itu ke kamar, ia lalu membersihkan diri di kamar mandi sebelum menyiapkan makan malam.Makan malam telah siap, dan mereka berdua seperti biasa makan da
Alya bangun lebih pagi hari ini karena semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya. Ia masih berpikir bahwa semua ini salah, tetapi ia tidak bisa berbuat apapun. Gadis itu mendekati jendela dan menyibak tirainya, diluar langit masih terlihat gelap dengan bintang yang saling berkerlip meski suara kokok ayam terdengar bersahutan. Matanya memanas teringat akan ibunya, andai wanita itu masih ada tentu ia tak akan gelisah seperti ini.Gadis itu memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa keputusan menerima pernikahan pura-pura ini salah. Namun, ia mempunya pemikiran lain. Ia menerima imbalan yang diberikan Adrian, gadis itu berniat mengubah nasibnya. Ia akan menggunakan uang itu nanti sebagai modal memulai kehidupan baru di tempat lain. Setelah kontrak pernikahan mereka selesai, gadis itu berencana pergi jauh meninggalkan kota ini dan memulai usaha baru, dimana tak
Hingar-bingar pernikahan cucu di keluarga Hadinata telah berakhir, runah bergaya klasik modern itu kembali pada rutinitasnya semula. Bibi Marina sudah pulang beberapa saat setelah pesta selesai. Ia tidak bisa meninggalkan villa terlalu lama. Meski sedikit terkejut dan tidak menyangka tentang pernikahan ini, tetapi wanita itu memberi wejangan pada Alya bagaimana bersikap sebagai seorang istri. Ia juga berpesan pada gadis itu untuk lebih menjaga sikap karena ada nama besar Hadinata yang harus ia bawa mulai dari sekarang.Mama Merline Wijaya juga sudah meninggalkan Indonesia beberapa jam yang lalu. Sama halnya dengan Bibi Marina, sebelum pergi wanita yang masih terlihat cantik itu juga memberikan beberapa wejangan untuk Alya. Ia juga memberitahu bagaiman sifat putranya yang harus dipahami gadis itu dan apa makanan kesukaannya. Wanita itu juga berharap agar keduanya tidak menunda memberinya
Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan berpamitan yang sedikit drama dengan Kakek Hadinata Alya dan Adrian akhirnya meninggalkan rumah besar itu. Kakek Hadinata sebenarnya berat melepas mereka kembali ke apartemen."Kalian yakin benar-benar ingin meninggalkan pria tua ini?" Tanyanya saat keduanya bersiap hendak pergi."Kek, please. Sudah kubilang kami ingin privasi." Adrian sebenarnya merasa bersalah juga, tapi jika tetap disini bisa-bisa kebohongan pernikahan mereka akan terbongkar."Baiklah, tapi lekas beri Kakek kalian ini cicit. Sekarang pergilah!" Pria tua itu meninggalkan mereka dan mengambil sebuah buku besar di meja dan membawanya ke kursi yang berada di balkon kamarnya.Mereka berdua meninggalkan pria tua itu, dalam hati Adrian berjanji jika waktunya sudah tepat ia akan membahagiakan sang kakek. Bagaimanapun juga pria tua itu orang yang paling berarti dalam hidupnya. Dua buah koper sudah dim
Sinar mentari pagi perlahan mulai menyapa, meninggalkan jejak tetesan embun di dedaunan. Pagi yang cerah secerah suasana hati Alya. Hari ini adalah hari pertama gadis itu akan memulai kelas menasaknya. Meski kelas akan dilaksanakan nanti tepat pukul satu siang, tetapi gadis itu sudah menunjukkan semangatnya sejak ia membuka mata.Kelas yang akan ia ikuti nanti berlangsung selama empat jam dalam tiga hari saja, yaitu setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Gadis itu menyiapkan sarapan pagi dengan sesekali bersenandung, setelah selesai memasak sambil menunggu Adrian keluar dari kamarnya, ia membersihkan rumah dan mencuci baju. Ia mengerjakan semuanya dengan cepat, berharap tak ada yang terlewat saat akan ditinggal nantinya.Beberapa saat kemudian Adrian keluar dari kamarnya. Kali ini ia mengenakan kemeja slimfit berwarna abu-abu dengan da
Sudah beberapa Minggu berlalu sejak Alya mengikuti kelas memasak, Adrian merasa banyak perubahan pada gadis itu. Menu yang disajikan untuknya tiap hari juga semakin beragam, selain itu Alya juga terlihat semakin ceria. Setiap hari ada saja yang ia ceritakan, mulai dari materi yang diterimanya, teman-teman sekelasnya bahkan guru memasaknya."Pria yang waktu itu ngobrol sama kamu siapa namanya?" Tanya Adrian saat mereka sedang menikmati makan malam."Yang mana?" Alya mencoba mengingat siapa yang dimaksud Adrian. Di kelasnya hanya ada tiga murid pria, dan mereka semua juga baik terhadap Alya."Yang kamu bilang dia mentor di kelasmu." Adrian membantu gadis itu mengingat pria yang dimaksud."Oh, namanya Chef Julian. Sela
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.šššAdrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan
Alya mematut dirinya di cermin, celana pensil berwarna krem dengan paduan blouse warna putih tampak cantik di badannya. Ia menyapukan bedak tipis-tipis di wajahnya, menambahkan blush on berwarna peach lalu mengoleskan lipstik warna nude. Alya lalu beranjak dari meja riasnya setelah dirasa penampilannya sudah cukup sempurna. Mengambil ponsel yang ditinggalkannya di atas kasur dan mengecek jam, sudah waktunya Adrian pulang kerja.Alya kemudian menunggu suaminya pulang di sofa ruang tamu sambil memainkan handphonenya. Sesekali Alya menengok ke depan, barangkali Adrian sudah pulang dan ia yang tidak mendengar suaranya. Tetapi nihil, garasi masih tetap kosong dan Adrian memang belum pulang.Satu jam, dua jam, bahkan sampai menjelang malam Adrian belum datang juga. Bahkan Alya sengaja melewatkan makan malam agar dia bisa mengajak Adrian makan nasi Padang. Entah kenapa seharian ini Alya begitu ingin makan nasi Padang. Apalagi ketika membayangkan sa
Adrian merasa kepalanya pusing, setelah kepergian Natasha pria itu dihadapkan dengan masalah perusahaan. Dimulai dari investor yang beberapa waktu lalu ia temui ternyata batal untuk menjalin kerjasama dengan perusahaannya. Belum lagi masalah internal di bagian keuangan yang salah menginput data. Bisa dipastikan perusahaan mengalami kekacauan.Untungnya masalah bisa segera diatasi, meski begitu Adrian berencana untuk melakukan evaluasi kerja lebih cepat untuk semua karyawannya.Waktu sudah semakin sore, sudah waktunya untuk pulang kerja. Adrian masih membereskan berkas-berkas di mejanya saat ia mendengar bunyi pintu diketuk lalu kemudian dibuka."Masih lembur, Bos." tanya David sambil memasuki ruangan Adrian."Sebentar lagi mau pulang, ada apa?" Adrian menjawab pertanyaan David sambil tetap melanjutkan aktivitasnya."Hari ini sungguh melelahkan, bagaimana kalau kita mi
"Apa! Hamil?" Alya tak percaya dengan usulan yang diutarakan oleh Adrian. Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat reaksi Alya, ia pun meninggalkan wanita itu menuju ke kamar setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Alya.Alya berdecak sebal melihat kelakuan Alya, tetapi kemudian dia meraba perutnya. Ia ingat jika sempat memikirkan hal yang serupa beberapa waktu lalu. Dan sekarang Adrian berkata seperti tadi, meski dirinya tahu jika pria itu berkata dengan nada bercanda.Alya melamun hingga beberapa saat sambil tetap memegangi perutnya. Ia tak menyadari jika Adrian sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas yang rapi dan bersiap untuk berangkat kerja. Melihat Alya yang tak segera beranjak dari duduknya, pria itu memeluknya dari belakang."Masih ada waktu untuk membuatmu bisa hamil." Bisik Adrian di telinga Alya yang membuat perempuan itu tersipu."Ish, kamu kira bisa segampang itu. Yang sudah me