Malam ini, lagi-lagi Argan tidak pulang. Mentari menungguinya hingga larut malam, namun kabar pun tidak kunjung datang pada Mentari yang telah mengiriminya pesan Whatsapp.Sepanjang pagi, pikiran Mentari berkelana akan keberadaan Argan. Tak ada lagi yang dapat dikerjakannya selain menjagai Feliz. Semua tugas rumah telah dikerjakannya. Dia tidak ingin menunda lagi seperti kemarin. Entah dia tidak ingin Argan marah melihat kondisi rumah yang berantakan, atau dia hanya tidak ingin mendengarkan omelan Argan.Selama berada di Jakarta, perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Perasaannya dengan mudah berganti-ganti tatkala sesuatu terjadi. Itu dikarenakan dia tidak memiliki kegiatan lain yang bisa membuatnya sibuk. Pikirannya mengambil alih hidupnya."Kenapa kamu ga menuruti saranku, Tari? Coba saja, coba!" ucap Cahya saat Mentari meneleponnya dan mengeluh tentang perasaannnya."Ga semudah itu, Kak." Kembali Mentari mencari alasan."Kamu tidak akan mengetahui itu akan berhasil atau tidak ji
Jalan-jalan pagi dan sore menjadi rutinitas Mentari dan Feliz. Keluar dari rumah sederhana yang mereka tempati dan menikmati udara serta suasana di luar rumah seolah membuatnya hidup di dunia yang berbeda. Rumah itu membuatnya hanya memikirkan Argan. Seolah berada dalam penjara."Feliz, kamu mau jalan-jalan?" tanya Mentari saat mereka telah kembali ke depan rumah setelah jalan-jalan pagi.Tanggapan Feliz adalah anggukan kecil sambil memandangi ibunya."Oke, kita akan pergi ke tempat bermain anak-anak. Kamu pasti menyukainya."Semalam Mentari mencaritahu lingkungan sekitar perumahan mereka lewat aplikasi ponselnya. Tidak jauh dari kompleks perumahan mereka, terdapat sebuah taman bermain anak- anak.Sebuah motor berhenti di depan rumah Mentari. Pengendara motor itu memandangi ponselnya, kemudian memandang berkeliling. Tak seorang pun terlihat di jalan maupun di area pekarangan rumah.Pintu rumah terbuka, Mentari dan Feliz keluar. Setelah memastikan pintu terkunci, dia menghampiri driver
Suara tangisan meraung membahana di taman bermain. Tanpa memikirkan kondisi kayu-kayu yang dipijaknya, Mentari berlari menuju Feliz.Di bawah, di ujung perosotan, tampak anak kecil terkapar di tanah."Dasar nakal. Mama sudah beritahu tadi, jangan lari-larian. Jatuh, kan?"Seorang ibu yang tadi dilihat Mentari berada dalam taman bermain, mendekati anak yang terkapar di tanah. Bajunya kotor dipenuhi debu. Lututnya mengucurkan darah akibat tergores saat terjatuh tadi. Ibu tadi membantu anak itu berdiri dan menariknya ke tepi taman bermain.Pandangan Mentari berpaling pada Feliz yang duduk di ujung perosotan dengan kedua tangan berpegangan erat pada kusen di sampingnya. Tanpa berpikir panjang, Mentari meraih Feliz, lalu menggendongnya."Feliz, Ibu kira kamu yang jatuh." Pelukan Mentari mendekap Feliz semakin erat.Suara tangisan anak yang terjatuh tadi sudah reda. Ibunya menggiring anak itu keluar dari taman bermain. Mentari memperhatikannya mereka menghilang di jalan depan."Ayo, turun,
"Bang, lepasin tangannya."Mentari menoleh. Seorang pria berdiri di sampingnya dan menatap tajam pria yang menyentuh Mentari."Siapa kamu?" tanya pria berkumis."Abang siapa?" pria di samping Mentari balik bertanya.Tidak tahu harus menjawab apa, pria berkumis yang mendekati Mentari, diam dengan tatapan kesal."Ayo!" ajak pria di samping Mentari pada Mentari.Bingung memenuhi pikiran Mentari. Haruskah dia ikut pria yang baru datang ini? Dia pun tidak mengenalnya. Tatapan Mentari menilai pria itu. Penampilannya rapi dan bersih, celana kargo dipadu kaos oblong dan sepatu kets. Wajahnya bening terawat dan rambutnya yang menggunakan styling gel, mengkilap terkena cahaya.'Kelihatannya dia orang baik,' batin Mentari. 'Tunggu, penampilan bisa menipu. Malah mereka lebih berbahaya.' Mentari teringat film Tinder Swindler yang sempat heboh. Dia dan Gempita menonton film itu dengan berbagai komentar antusias.Entah mengapa, kaki Mentari melangkah mengikuti pria elok itu.'Yang penting terlepas d
Langkah Mentari berhenti di setapak menuju rumah. Wajahnya memucat, tangannya menggendong Feliz semakin erat."Aku tanya, darimana kamu?" Kedua tangan Argan berada di panggang membentuk huruf V miring.Alasan demi alasan muncul di benak Mentari. Yang mana yang harus dipilihnya? Dia melangkah mendekati Argan perlahan, dipenuhi rasa takut.'Kenapa kamu takut, Tari? Kamu tidak berbuat salah.' Suara di pikirannya menguatkannya."Jalan-jalan dengan Feliz," ujar Mentari setenang mungkin."Jalan-jalan? Sembarangan sekali kamu, Tari. Memangnya kamu tahu daerah sini? Bagaimana kalau tersesat."Mentari memandangi Argan yang kini tinggal selangkah di depannya. Dia mencari kekuatiran di wajah suaminya."Egois sekali kamu, ya? Tidak memikirkanku. Nanti aku juga yang repot mencari kamu kalau tersesat. Kalau ketahuan ibu dan Kak Cahya, aku juga yang diomeli. Terpikir di kepalamu semua itu?"'Bodoh sekali aku, bagaimana mungkin aku berharap dia kuatir padaku.'Senyum tersungging di wajah Mentari, "Aku
"Bu, mam aci."Tangan kecil Feliz menarik-narik gaun tidur Mentari. Tanpa disadari Feliz, jari-jari kecilnya membentuk cubitan kecil di paha ibunya."Aww," teriak Mentari terkejut. Sedari tadi pikirannya menerawang, tidak fokus pada telur di wajan yang mulai berubah warna kehitaman."Aduuuh." Penciuman Mentari dipenuhi sengat aroma gosong. "Aduh, Feliz, telur kita gosong."Dipindahkannya kedua telur mata sapi itu ke piring yang telah disiapkannya di atas meja, kemudian membaliknya. "Masih bisa dimakan. Nanti Ibu makan yang gosong."Feliz berpindah dari lantai ke kursi di samping Mentari. Dia masih makan disuapi ibunya. Pernah diajarkan makan sendiri oleh Mentari, namun Mentari lebih memilih untuk menyuapi Feliz. Dengan begitu, meringankan tugasnya untuk membersihkan bekas makanan Feliz yang bertebaran di sekitarnya."Bu, aci. Aci!" Suara Feliz kembali membuyarkan lamunan Mentari.Sedari tadi Mentari memikirkan mimpinya semalam. Mimpinya aneh. Dia bermimpi sedang bersama pria yang meng
Pakaian kotor Argan di keranjang menarik perhatian Mentari. Diangkatnya celana panjang dan kemeja dari dalamnya. Tidak biasanya Argan meletakkan pakaian kantornya di keranjang baju kotor. BIasanya dia akan membawanya ke laundry.Mentari mempertimbangkan akan mencucinya atau membiarkannya tergeletak di situ."Kucuci saja," putusnya kemudian membawanya ke kamar mandi. Diliriknya Feliz di ranjang sebelum dia meninggalkan kamar. Feliz terlelap.Sebelum Mentari memasukkan celana panjang itu ke dalam ember besar, dia memeriksa kantong celananya terlebih dahulu. Itu yang diajarkan ibu Mentari, untuk memeriksa setiap saku baju sebelum dicuci. Tangan Mentari menyentuh sesuatu, ditariknya keluar.Sebuah kertas berwarna putih hijau terlipat tidak rapi. Dibukanya kertas itu dan membaca tulisan menggunakan tinta hitam yang tercantum pada kuitansi itu.Itu kuitansi pembayaran gaji Argan, dengan jumlah tujuh juta rupiah. Diliriknya tanggal pada bagian atas tanda tangan. Seminggu yang lalu.Satu per
Argan keluar dari kamar dengan tas olahraga bergelantungan di bahunya. Tas itu terlihat padat berisi. PIntu depan dibuka dan ditutup dengan kasar. Mata Mentari tidak memandangi Argan, hanya saat mobil meninggalkan rumah baru dia melirik ke arah jendela.Dalam hati Mentari bersyukur Argan meninggalkan rumah. Dia benar-benar tidak ingin melihat pria itu.Dua hari berlalu, Argan tidak kunjung pulang. Persediaan makanan di kulkas semakin menipis. Begitupun popok, minyak telon dan makanan Feliz. Mentari bisa makan apa saja yang ada, dia bisa memasak nasi goreng berbumbukan bawang putih dan bawang merah saja. Tapi, tidak untuk Feliz."Bagaimana ini?" Mentari memegangi popok Feliz yang tersisa empat buah. "Hanya cukup sampai besok."Setelah menimbang cukup lama, Mentari menetapkan hatinya untuk pergi berbelanja.Sinar matahari menyengat kulit Mentari ketika dia keluar ke halaman depan. Dia hendak memeriksa ojek online yang dipesannya. Belum terlihat, padahal aplikasi menunjukkan bahwa motor