Suara tangisan meraung membahana di taman bermain. Tanpa memikirkan kondisi kayu-kayu yang dipijaknya, Mentari berlari menuju Feliz.Di bawah, di ujung perosotan, tampak anak kecil terkapar di tanah."Dasar nakal. Mama sudah beritahu tadi, jangan lari-larian. Jatuh, kan?"Seorang ibu yang tadi dilihat Mentari berada dalam taman bermain, mendekati anak yang terkapar di tanah. Bajunya kotor dipenuhi debu. Lututnya mengucurkan darah akibat tergores saat terjatuh tadi. Ibu tadi membantu anak itu berdiri dan menariknya ke tepi taman bermain.Pandangan Mentari berpaling pada Feliz yang duduk di ujung perosotan dengan kedua tangan berpegangan erat pada kusen di sampingnya. Tanpa berpikir panjang, Mentari meraih Feliz, lalu menggendongnya."Feliz, Ibu kira kamu yang jatuh." Pelukan Mentari mendekap Feliz semakin erat.Suara tangisan anak yang terjatuh tadi sudah reda. Ibunya menggiring anak itu keluar dari taman bermain. Mentari memperhatikannya mereka menghilang di jalan depan."Ayo, turun,
"Bang, lepasin tangannya."Mentari menoleh. Seorang pria berdiri di sampingnya dan menatap tajam pria yang menyentuh Mentari."Siapa kamu?" tanya pria berkumis."Abang siapa?" pria di samping Mentari balik bertanya.Tidak tahu harus menjawab apa, pria berkumis yang mendekati Mentari, diam dengan tatapan kesal."Ayo!" ajak pria di samping Mentari pada Mentari.Bingung memenuhi pikiran Mentari. Haruskah dia ikut pria yang baru datang ini? Dia pun tidak mengenalnya. Tatapan Mentari menilai pria itu. Penampilannya rapi dan bersih, celana kargo dipadu kaos oblong dan sepatu kets. Wajahnya bening terawat dan rambutnya yang menggunakan styling gel, mengkilap terkena cahaya.'Kelihatannya dia orang baik,' batin Mentari. 'Tunggu, penampilan bisa menipu. Malah mereka lebih berbahaya.' Mentari teringat film Tinder Swindler yang sempat heboh. Dia dan Gempita menonton film itu dengan berbagai komentar antusias.Entah mengapa, kaki Mentari melangkah mengikuti pria elok itu.'Yang penting terlepas d
Langkah Mentari berhenti di setapak menuju rumah. Wajahnya memucat, tangannya menggendong Feliz semakin erat."Aku tanya, darimana kamu?" Kedua tangan Argan berada di panggang membentuk huruf V miring.Alasan demi alasan muncul di benak Mentari. Yang mana yang harus dipilihnya? Dia melangkah mendekati Argan perlahan, dipenuhi rasa takut.'Kenapa kamu takut, Tari? Kamu tidak berbuat salah.' Suara di pikirannya menguatkannya."Jalan-jalan dengan Feliz," ujar Mentari setenang mungkin."Jalan-jalan? Sembarangan sekali kamu, Tari. Memangnya kamu tahu daerah sini? Bagaimana kalau tersesat."Mentari memandangi Argan yang kini tinggal selangkah di depannya. Dia mencari kekuatiran di wajah suaminya."Egois sekali kamu, ya? Tidak memikirkanku. Nanti aku juga yang repot mencari kamu kalau tersesat. Kalau ketahuan ibu dan Kak Cahya, aku juga yang diomeli. Terpikir di kepalamu semua itu?"'Bodoh sekali aku, bagaimana mungkin aku berharap dia kuatir padaku.'Senyum tersungging di wajah Mentari, "Aku
"Bu, mam aci."Tangan kecil Feliz menarik-narik gaun tidur Mentari. Tanpa disadari Feliz, jari-jari kecilnya membentuk cubitan kecil di paha ibunya."Aww," teriak Mentari terkejut. Sedari tadi pikirannya menerawang, tidak fokus pada telur di wajan yang mulai berubah warna kehitaman."Aduuuh." Penciuman Mentari dipenuhi sengat aroma gosong. "Aduh, Feliz, telur kita gosong."Dipindahkannya kedua telur mata sapi itu ke piring yang telah disiapkannya di atas meja, kemudian membaliknya. "Masih bisa dimakan. Nanti Ibu makan yang gosong."Feliz berpindah dari lantai ke kursi di samping Mentari. Dia masih makan disuapi ibunya. Pernah diajarkan makan sendiri oleh Mentari, namun Mentari lebih memilih untuk menyuapi Feliz. Dengan begitu, meringankan tugasnya untuk membersihkan bekas makanan Feliz yang bertebaran di sekitarnya."Bu, aci. Aci!" Suara Feliz kembali membuyarkan lamunan Mentari.Sedari tadi Mentari memikirkan mimpinya semalam. Mimpinya aneh. Dia bermimpi sedang bersama pria yang meng
Pakaian kotor Argan di keranjang menarik perhatian Mentari. Diangkatnya celana panjang dan kemeja dari dalamnya. Tidak biasanya Argan meletakkan pakaian kantornya di keranjang baju kotor. BIasanya dia akan membawanya ke laundry.Mentari mempertimbangkan akan mencucinya atau membiarkannya tergeletak di situ."Kucuci saja," putusnya kemudian membawanya ke kamar mandi. Diliriknya Feliz di ranjang sebelum dia meninggalkan kamar. Feliz terlelap.Sebelum Mentari memasukkan celana panjang itu ke dalam ember besar, dia memeriksa kantong celananya terlebih dahulu. Itu yang diajarkan ibu Mentari, untuk memeriksa setiap saku baju sebelum dicuci. Tangan Mentari menyentuh sesuatu, ditariknya keluar.Sebuah kertas berwarna putih hijau terlipat tidak rapi. Dibukanya kertas itu dan membaca tulisan menggunakan tinta hitam yang tercantum pada kuitansi itu.Itu kuitansi pembayaran gaji Argan, dengan jumlah tujuh juta rupiah. Diliriknya tanggal pada bagian atas tanda tangan. Seminggu yang lalu.Satu per
Argan keluar dari kamar dengan tas olahraga bergelantungan di bahunya. Tas itu terlihat padat berisi. PIntu depan dibuka dan ditutup dengan kasar. Mata Mentari tidak memandangi Argan, hanya saat mobil meninggalkan rumah baru dia melirik ke arah jendela.Dalam hati Mentari bersyukur Argan meninggalkan rumah. Dia benar-benar tidak ingin melihat pria itu.Dua hari berlalu, Argan tidak kunjung pulang. Persediaan makanan di kulkas semakin menipis. Begitupun popok, minyak telon dan makanan Feliz. Mentari bisa makan apa saja yang ada, dia bisa memasak nasi goreng berbumbukan bawang putih dan bawang merah saja. Tapi, tidak untuk Feliz."Bagaimana ini?" Mentari memegangi popok Feliz yang tersisa empat buah. "Hanya cukup sampai besok."Setelah menimbang cukup lama, Mentari menetapkan hatinya untuk pergi berbelanja.Sinar matahari menyengat kulit Mentari ketika dia keluar ke halaman depan. Dia hendak memeriksa ojek online yang dipesannya. Belum terlihat, padahal aplikasi menunjukkan bahwa motor
"Feliz! Sayang, kamu di mana? Feliz!" Mentari mencari di lahan parkir, namun tidak menemukan anak itu. Dengan wajah dipenuhi ketakutan, Mentari kembali ke tempatnya semula, berpikir mungkin Feliz sudah berada di sana. Tidak ada.Pengendara ojek turun dari motornya dan memandangi sekitarnya tanpa meninggalkan motor. Tidak terlihat anak kecil di jarak pandangnya.Mentari memasuki toko dengan gusar. Pintu kaca dibukanya dengan keras, lalu dibiarkan membanting. Keringat mulai mengucur dari dahinya, pandangannya tidak fokus. Dia mengingat kaos putih dan jaket biru muda Feliz, itulah yang terus dicarinya. Dia melewati setiap rak jualan yang hanya berisi orang-orang dewasa. Saat tiba di tangga, dia memandanginya. Tidak mungkin Feliz naik ke tangga itu.Mentari mengitari toko sekali lagi, namun Feliz masih tidak terlihat. Para pengunjung toko memandanginya sambil bertanya-tanya. Seorang wanita muda berseragam oranye mendekatinya."Mbak? Ada yang bisa kami bantu?"
Argan duduk berpangku kaki di sofa ruang tamu sembari mengirimkan pesan Whatsapp. Mentari heran. Ini hari minggu, biasanya Argan akan keluar bertemu teman-temannya atau ke gym.Tak ada pertanyaan keluar dari mulut Mentari, meskipun ada rasa penasaran. Pertengkaran terakhir mereka masih membekas di benak Mentari. Kalau dia lebih dulu bicara pada Argan, artinya dia kalah. Begitulah yang dipikir Mentari.Persediaan makanan di kulkas cukup untuk makan Feliz selama beberapa hari ke depan, tapi tidak untuk Mentari. Dia hanya berbelanja sedikit sebelumnya untuk menghemat uang. Semalam dia telah memikirkan akan memasak apa untuk dimakannya hari ini.Dia mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat nugget tahu-ikan buat Feliz, tapi matanya tertumbuk pada nugget beku di dalam freezer saat mengambil ikan. Dia menimbang-nimbang akan membuat nugget sendiri atau menggoreng nugget beku saja."Ini saja," putus Mentari meletakkan bungkusan nugget ke atas meja.Setelah menanak nasi, Mentari mulai menggoreng