"Bu, mam aci."Tangan kecil Feliz menarik-narik gaun tidur Mentari. Tanpa disadari Feliz, jari-jari kecilnya membentuk cubitan kecil di paha ibunya."Aww," teriak Mentari terkejut. Sedari tadi pikirannya menerawang, tidak fokus pada telur di wajan yang mulai berubah warna kehitaman."Aduuuh." Penciuman Mentari dipenuhi sengat aroma gosong. "Aduh, Feliz, telur kita gosong."Dipindahkannya kedua telur mata sapi itu ke piring yang telah disiapkannya di atas meja, kemudian membaliknya. "Masih bisa dimakan. Nanti Ibu makan yang gosong."Feliz berpindah dari lantai ke kursi di samping Mentari. Dia masih makan disuapi ibunya. Pernah diajarkan makan sendiri oleh Mentari, namun Mentari lebih memilih untuk menyuapi Feliz. Dengan begitu, meringankan tugasnya untuk membersihkan bekas makanan Feliz yang bertebaran di sekitarnya."Bu, aci. Aci!" Suara Feliz kembali membuyarkan lamunan Mentari.Sedari tadi Mentari memikirkan mimpinya semalam. Mimpinya aneh. Dia bermimpi sedang bersama pria yang meng
Pakaian kotor Argan di keranjang menarik perhatian Mentari. Diangkatnya celana panjang dan kemeja dari dalamnya. Tidak biasanya Argan meletakkan pakaian kantornya di keranjang baju kotor. BIasanya dia akan membawanya ke laundry.Mentari mempertimbangkan akan mencucinya atau membiarkannya tergeletak di situ."Kucuci saja," putusnya kemudian membawanya ke kamar mandi. Diliriknya Feliz di ranjang sebelum dia meninggalkan kamar. Feliz terlelap.Sebelum Mentari memasukkan celana panjang itu ke dalam ember besar, dia memeriksa kantong celananya terlebih dahulu. Itu yang diajarkan ibu Mentari, untuk memeriksa setiap saku baju sebelum dicuci. Tangan Mentari menyentuh sesuatu, ditariknya keluar.Sebuah kertas berwarna putih hijau terlipat tidak rapi. Dibukanya kertas itu dan membaca tulisan menggunakan tinta hitam yang tercantum pada kuitansi itu.Itu kuitansi pembayaran gaji Argan, dengan jumlah tujuh juta rupiah. Diliriknya tanggal pada bagian atas tanda tangan. Seminggu yang lalu.Satu per
Argan keluar dari kamar dengan tas olahraga bergelantungan di bahunya. Tas itu terlihat padat berisi. PIntu depan dibuka dan ditutup dengan kasar. Mata Mentari tidak memandangi Argan, hanya saat mobil meninggalkan rumah baru dia melirik ke arah jendela.Dalam hati Mentari bersyukur Argan meninggalkan rumah. Dia benar-benar tidak ingin melihat pria itu.Dua hari berlalu, Argan tidak kunjung pulang. Persediaan makanan di kulkas semakin menipis. Begitupun popok, minyak telon dan makanan Feliz. Mentari bisa makan apa saja yang ada, dia bisa memasak nasi goreng berbumbukan bawang putih dan bawang merah saja. Tapi, tidak untuk Feliz."Bagaimana ini?" Mentari memegangi popok Feliz yang tersisa empat buah. "Hanya cukup sampai besok."Setelah menimbang cukup lama, Mentari menetapkan hatinya untuk pergi berbelanja.Sinar matahari menyengat kulit Mentari ketika dia keluar ke halaman depan. Dia hendak memeriksa ojek online yang dipesannya. Belum terlihat, padahal aplikasi menunjukkan bahwa motor
"Feliz! Sayang, kamu di mana? Feliz!" Mentari mencari di lahan parkir, namun tidak menemukan anak itu. Dengan wajah dipenuhi ketakutan, Mentari kembali ke tempatnya semula, berpikir mungkin Feliz sudah berada di sana. Tidak ada.Pengendara ojek turun dari motornya dan memandangi sekitarnya tanpa meninggalkan motor. Tidak terlihat anak kecil di jarak pandangnya.Mentari memasuki toko dengan gusar. Pintu kaca dibukanya dengan keras, lalu dibiarkan membanting. Keringat mulai mengucur dari dahinya, pandangannya tidak fokus. Dia mengingat kaos putih dan jaket biru muda Feliz, itulah yang terus dicarinya. Dia melewati setiap rak jualan yang hanya berisi orang-orang dewasa. Saat tiba di tangga, dia memandanginya. Tidak mungkin Feliz naik ke tangga itu.Mentari mengitari toko sekali lagi, namun Feliz masih tidak terlihat. Para pengunjung toko memandanginya sambil bertanya-tanya. Seorang wanita muda berseragam oranye mendekatinya."Mbak? Ada yang bisa kami bantu?"
Argan duduk berpangku kaki di sofa ruang tamu sembari mengirimkan pesan Whatsapp. Mentari heran. Ini hari minggu, biasanya Argan akan keluar bertemu teman-temannya atau ke gym.Tak ada pertanyaan keluar dari mulut Mentari, meskipun ada rasa penasaran. Pertengkaran terakhir mereka masih membekas di benak Mentari. Kalau dia lebih dulu bicara pada Argan, artinya dia kalah. Begitulah yang dipikir Mentari.Persediaan makanan di kulkas cukup untuk makan Feliz selama beberapa hari ke depan, tapi tidak untuk Mentari. Dia hanya berbelanja sedikit sebelumnya untuk menghemat uang. Semalam dia telah memikirkan akan memasak apa untuk dimakannya hari ini.Dia mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat nugget tahu-ikan buat Feliz, tapi matanya tertumbuk pada nugget beku di dalam freezer saat mengambil ikan. Dia menimbang-nimbang akan membuat nugget sendiri atau menggoreng nugget beku saja."Ini saja," putus Mentari meletakkan bungkusan nugget ke atas meja.Setelah menanak nasi, Mentari mulai menggoreng
Mobil sepi, tak ada yang berbicara, bahkan Feliz. Feliz duduk manis di pangkuan Mentari sambil memandangi kaca depan.Saat berada di lampu merah, Argan menghidupkan radio yang memutarkan tembang-tembang bersemangat. Feliz menggoyang-goyangkan badannya mengikuti irama musik yang terdengar, meskipun gerakannya tidak seirama.Jalan yang mereka lewati berbeda dari jalan yang biasa mereka lewati saat berbelanja. Mentari mengingatnya."Argan, kita mau ke mana?""Kamu kan yang minta untuk berbelanja.""Ini bukan arah menuju swalayan yang biasa," ujar Mentari memperhatikan area sekitar yang dilewati."Hari ini kita ke swalayan lain. Yang itu belum buka jam segini."Mentari tak ingin bertanya lagi, tidak ingin membuat Argan kesal yang bisa menyulut omelan tanpa akhir.Setelah berkendara selama hampir setengah jam, mereka tiba di sebuah swalayan besar lainnya yang tidak kalah besar dengan swalayan yang biasa mereka kunjungi. Mobil-mobil terparkir di area parkirnya yang sangat luas.Udara panas
Perjalanan pulang kembali diisi keheningan, hanya Feliz yang berseru-seru gembira dengan mainan baru di tangannya. Mentari memutuskan membelikan Feliz mainan baru, karena mainan-mainannya yang di rumah sudah mulai ditinggalkan Feliz.Sesampainya di rumah, Argan mengangkat semua belanjaan mereka dan meletakkannya di atas meja."Puas, kan? Aku sudah membelanjakan jauh lebih banyak dari biasanya untukmu hari ini. Jadi, jangan sampai kamu bicara yang bukan-bukan pada Mama, Kak Ajeng juga ibu dan Kak Cahya."Setelah berkata demikian, Argan kembali menuju mobil dan pergi meninggalkan rumah.Tatapan sedih Mentari mengikuti kepergian Argan. Ternyata Argan mengikuti kemauannya untuk berbelanja hanya untuk menyuapnya agar dia tutup mulut dan tidak mengadu pada keluarga mereka."Pantas saja dia bersikap aneh sepanjang pagi ini."Satu demi satu, Mentari meletakkan semua barang yang mereka beli ke tempat seharusnya mereka berada."Itu kewajibannya untuk membiayai hidupku dan Feliz, bukan kemauanku
Ketokan di pintu depan menyentakkan Mentari yang sedang mengganti popok Feliz. Dia membatin, bertanya-tanya siapakah gerangan yang berada di balik pintu. Tak pernah ada seorang pun yang bertamu ke rumah itu selama dia tinggal di sana. Tidak mungkin itu Argan, ini baru jam sebelas. Kalaupun Argan, dia akan memanggil nama Mentari.Setelah mengganti popok Feliz dan menurunkannya di lantai, Mentari ke pintu depan. Dia mengintip dari jendela. Seorang wanita berambut pendek berdiri membelakangi jendela dan pintu. Siapa itu?Tanpa membuka pintu, Mentari bertanya, "Siapa?"Wanita itu berbalik. Senyuman melebar dari bibirnya."Kak Ajeng," ucap Mentari seraya membuka pintu."Hai, Tari. Bagaimana kabarmu?" sapa Ajeng tanpa pelukan atau sentuhan pipi dan pipi seperti yang biasa dilakukan keluarga yang sudah lama tidak bertemu."Kabarku baik, Kak. Kakak apa kabar? Silakan masuk." Mentari memberikan jalan agar Ajeng bisa lewat.Tanpa mengindahkan pertanyaan Mentari, Ajeng memandangi seluruh bagian