Perjalanan pulang kembali diisi keheningan, hanya Feliz yang berseru-seru gembira dengan mainan baru di tangannya. Mentari memutuskan membelikan Feliz mainan baru, karena mainan-mainannya yang di rumah sudah mulai ditinggalkan Feliz.Sesampainya di rumah, Argan mengangkat semua belanjaan mereka dan meletakkannya di atas meja."Puas, kan? Aku sudah membelanjakan jauh lebih banyak dari biasanya untukmu hari ini. Jadi, jangan sampai kamu bicara yang bukan-bukan pada Mama, Kak Ajeng juga ibu dan Kak Cahya."Setelah berkata demikian, Argan kembali menuju mobil dan pergi meninggalkan rumah.Tatapan sedih Mentari mengikuti kepergian Argan. Ternyata Argan mengikuti kemauannya untuk berbelanja hanya untuk menyuapnya agar dia tutup mulut dan tidak mengadu pada keluarga mereka."Pantas saja dia bersikap aneh sepanjang pagi ini."Satu demi satu, Mentari meletakkan semua barang yang mereka beli ke tempat seharusnya mereka berada."Itu kewajibannya untuk membiayai hidupku dan Feliz, bukan kemauanku
Ketokan di pintu depan menyentakkan Mentari yang sedang mengganti popok Feliz. Dia membatin, bertanya-tanya siapakah gerangan yang berada di balik pintu. Tak pernah ada seorang pun yang bertamu ke rumah itu selama dia tinggal di sana. Tidak mungkin itu Argan, ini baru jam sebelas. Kalaupun Argan, dia akan memanggil nama Mentari.Setelah mengganti popok Feliz dan menurunkannya di lantai, Mentari ke pintu depan. Dia mengintip dari jendela. Seorang wanita berambut pendek berdiri membelakangi jendela dan pintu. Siapa itu?Tanpa membuka pintu, Mentari bertanya, "Siapa?"Wanita itu berbalik. Senyuman melebar dari bibirnya."Kak Ajeng," ucap Mentari seraya membuka pintu."Hai, Tari. Bagaimana kabarmu?" sapa Ajeng tanpa pelukan atau sentuhan pipi dan pipi seperti yang biasa dilakukan keluarga yang sudah lama tidak bertemu."Kabarku baik, Kak. Kakak apa kabar? Silakan masuk." Mentari memberikan jalan agar Ajeng bisa lewat.Tanpa mengindahkan pertanyaan Mentari, Ajeng memandangi seluruh bagian
'Gempita, kamu sibuk?'Pesan itu dikirimkan Mentari pada Gempita lewat Whatsapp di sore hari saat Feliz sedang tidur. Namun, hingga menjelang malam, tidak ada tanggapan."Dia pasti masih di kantor."Saat ini Gempita bekerja sebagai staf keuangan di salah satu kantor pengacara yang cukup terkenal. Pekerjaan itu didapatnya dari relasi bapaknya. Meskipun begitu, Gempita bekerja dengan giat, sehingga sering lembur hingga malam hari.Makan malam berlangsung lama, disebabkan Feliz yang menolak nasi tim ayam sayur yang dimasak Mentari. Akhirnya Mentari yang menghabiskan makanan itu, sedangkan Feliz dibuatkannya sop ikan.Argan tidak pulang. Padahal Mentari memiliki banyak pertanyaan baginya.Sepuluh juta, untuk apa uang sebanyak itu? Kebutuhan bulanan aku dan Feliz tidak sampai sebanyak itu. Pengeluaran popok Feliz yang paling banyak, tapi tidak sampai sepuluh juta. Memangnya Feliz menggunakan popok dari emas?Pikiran Mentari begitu gelisah sepanjang malam. Dia memikirkan segala kemungkinan
Mentari berusaha menenangkan dirinya setelah pertengkarannya dengan Argan kemarin. Sulit. Rasa sakit itu tetap ada, masih membekas jelas.Kemarin, pipinya merah bertandakan jari-jari Argan. Terasa bengkak setiap kali dia memegang pipinya, dan perih. Berulang kali Feliz menyentuh pipi Mentari, seolah dia mengerti apa yang telah terjadi, seolah dia ikut merasakan kepedihan Mentari.Hari ini bengkak di pipi Mentari sudah turun, namun belum benar-benar pulih. Mentari telah mengompresnya dengan es batu, saran yang ditemukannya lewat mesin pencari internet. Masih terasa perih ketika disentuh, namun sudah lebih baik.Hanya luka di hatinya yang tidak membaik. Semakin dipikirkannya, semakin sakit rasanya.Semarah-marahnya Argan, dia tidak pernah main tangan sebelumnya. Mengapa bisa dia melakukannya? Itulah yang terus dipikirkan Mentari. Tak menyangka Argan akan seberani dan setega itu menyakiti Mentari secara fisik.Dia ingin membela diri, karena yang dituduh adalah dirinya, dan dia tidak menud
Kenekadan Mentari mengantarkannya ke depan rumahnya dua hari kemudian. Feliz yang berada di gendongannya begitu antusias memandangi rumah sederhana neneknya. Dia tahu, orang-orang yang mengasihinya ada di dalam rumah itu.Mentari menurunkan Feliz agar bisa menarik koper dengan bebas. Feliz bergegas memasuki setapak menuju pintu depan yang terbuka."Nene... Nene...." panggil Feliz berpegangan pada kusen rumah. Dia menyeimbangkan tubuhnya untuk menaiki anak tangga kecil.Ibu Mentari seperti bermimpi mendengarkan suara Feliz. Barulah ketika Feliz membuka tirai pintu kamarnya, dia tersadar."Feliz? Benar Feliz?" ucap ibu masih tidak mempercayai penglihatannya.Bayangan Mentari menutupi Feliz yang mulai mendekati neneknya. Ibu berpaling dari Feliz ke bayangan itu."Tari? Tari, kamu sudah pulang?" Ibu bergegas memeluk Feliz kemudian Mentari. Rasanya rindunya terobati.Mentari merasakan aliran kasih sayang yang luar biasa di dalam hatinya, dari pelukan ibunya. Itu yang dibutuhkannya saat ini
Argan membaca catatan pada kertas putih bergaris yang ditempelkan di pintu kulkas. Amarah segera terisi penuh bahkan ke dalam tulang-tulangnya. Dia menarik kertas itu dengan kasar lalu meremasnya dan melemparkannya ke lantai.Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka Whatsapp dan menggulir mencari nama Mentari, lama tapi belum ditemukan juga. Sudah cukup lama dia tidak berkirim pesan pada Mentari. Namanya tenggelam ke bawah. Dia pun mencarinya memakai bantuan pencarian. Diketikkannya nama Mentari, lalu meneleponnya setelah ditemukan.Tidak tersambung.Memang. Ponsel Mentari dalam keadaan mati. Bukan disengaja, tapi setelah tiba di rumah, dia tidak begitu memedulikan ponselnya lagi. Dia bahkan tidak tertarik untuk menggulir Tiktok atau Facebook. Dia sudah bosan dengan kedua aplikasi itu setelah cukup lama berteman akrab dengan mereka selama berada di Jakarta. Dia bahkan tidak tahu kalau paket internetnya telah habis.Argan baru mengetahui kepulangan Mentari dua hari setelah
Bunyi ponsel berdering nyaring. Saking nyaringnya, sampai terdengar ke kamar Cahya."Tari! Itu HP kamu kan? Cepat diangkat, berisik sejak tadi," teriak Cahya dari dalam kamarnya.Ibu yang mendengarkannya menggeleng-gelengkan kepala. Ada saja yang diteriaki Cahya setiap hari dan setiap hari pula ibu menegurnya, namun Cahya tidak pernah berubah."Tari, ponsel kamu berbunyi," panggil ibu pada Tari yang sedang menunaikan kewajiban perutnya yang terisi penuh di kamar mandi. Perut itu ingin dikosongkan."Iya, Bu, sebentar lagi."Tiba-tiba Cahya muncul. Tangan kanannya memegang ponsel."Bu, mana Tari?""Di situ," tunjuk ibu pada arah kamar mandi."Halo! Argan! Tari sedang berada di toilet. Telepon lagi nanti." Buru-buru Cahya mematikan telepon, meskipun suara di seberang sedang mengoceh.Ibu memandangi Cahya."Argan mencari Tari. Dia marah-marah karena Tari pulang tanpa memberitahunya," beber Cahya dengan suara keras agar didengar Mentari.Mentari masih berhutang penjelasan pada ibu dan Cahy
"Hai, Tari, kamu sudah pulang, kan?" sapa Gempita riang dari seberang telepon."Iya, ayo main ke rumah. Aku kangen kamu," ungkap Mentari jujur. Namun, dibalik ajakan itu ada sesuatu yang mendesak ingin ditanyakannya. Kurang pantas kalau dibicarakan lewat telepon."Aku belum tahu kapan bisa mengunjungimu, aku sibuk sekali. Kamu tahu pekerjaanku sekarang, seperti kerja rodi. Menyesal aku meminta dikenalkan pada kenalan Bapak," keluh Gempita terang-terangan.Mendengar pernyataan Gempita, Mentari memberanikan diri untuk bertanya pada Gempita lewat telepon, "Kamu... tahu kalau Argan sakit?""Sakit?" balas Gempita cepat. "Sakit apa?"Jadi, Gempita tidak mengetahuinya. Mentari pun menceritakan apa yang dikatakan Mama Argan padanya."Aku tidak pernah tahu kalau dia menderita suatu penyakit." Gempita mencoba mengorek ingatannya sejak kecil. "Kami sering bermain bersama kalau dia dan keluarganya datang berkunjung ke sini atau aku dan keluargaku yang ke sana. Tapi, tidak pernah aku mendengar kal
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa