'Gempita, kamu sibuk?'Pesan itu dikirimkan Mentari pada Gempita lewat Whatsapp di sore hari saat Feliz sedang tidur. Namun, hingga menjelang malam, tidak ada tanggapan."Dia pasti masih di kantor."Saat ini Gempita bekerja sebagai staf keuangan di salah satu kantor pengacara yang cukup terkenal. Pekerjaan itu didapatnya dari relasi bapaknya. Meskipun begitu, Gempita bekerja dengan giat, sehingga sering lembur hingga malam hari.Makan malam berlangsung lama, disebabkan Feliz yang menolak nasi tim ayam sayur yang dimasak Mentari. Akhirnya Mentari yang menghabiskan makanan itu, sedangkan Feliz dibuatkannya sop ikan.Argan tidak pulang. Padahal Mentari memiliki banyak pertanyaan baginya.Sepuluh juta, untuk apa uang sebanyak itu? Kebutuhan bulanan aku dan Feliz tidak sampai sebanyak itu. Pengeluaran popok Feliz yang paling banyak, tapi tidak sampai sepuluh juta. Memangnya Feliz menggunakan popok dari emas?Pikiran Mentari begitu gelisah sepanjang malam. Dia memikirkan segala kemungkinan
Mentari berusaha menenangkan dirinya setelah pertengkarannya dengan Argan kemarin. Sulit. Rasa sakit itu tetap ada, masih membekas jelas.Kemarin, pipinya merah bertandakan jari-jari Argan. Terasa bengkak setiap kali dia memegang pipinya, dan perih. Berulang kali Feliz menyentuh pipi Mentari, seolah dia mengerti apa yang telah terjadi, seolah dia ikut merasakan kepedihan Mentari.Hari ini bengkak di pipi Mentari sudah turun, namun belum benar-benar pulih. Mentari telah mengompresnya dengan es batu, saran yang ditemukannya lewat mesin pencari internet. Masih terasa perih ketika disentuh, namun sudah lebih baik.Hanya luka di hatinya yang tidak membaik. Semakin dipikirkannya, semakin sakit rasanya.Semarah-marahnya Argan, dia tidak pernah main tangan sebelumnya. Mengapa bisa dia melakukannya? Itulah yang terus dipikirkan Mentari. Tak menyangka Argan akan seberani dan setega itu menyakiti Mentari secara fisik.Dia ingin membela diri, karena yang dituduh adalah dirinya, dan dia tidak menud
Kenekadan Mentari mengantarkannya ke depan rumahnya dua hari kemudian. Feliz yang berada di gendongannya begitu antusias memandangi rumah sederhana neneknya. Dia tahu, orang-orang yang mengasihinya ada di dalam rumah itu.Mentari menurunkan Feliz agar bisa menarik koper dengan bebas. Feliz bergegas memasuki setapak menuju pintu depan yang terbuka."Nene... Nene...." panggil Feliz berpegangan pada kusen rumah. Dia menyeimbangkan tubuhnya untuk menaiki anak tangga kecil.Ibu Mentari seperti bermimpi mendengarkan suara Feliz. Barulah ketika Feliz membuka tirai pintu kamarnya, dia tersadar."Feliz? Benar Feliz?" ucap ibu masih tidak mempercayai penglihatannya.Bayangan Mentari menutupi Feliz yang mulai mendekati neneknya. Ibu berpaling dari Feliz ke bayangan itu."Tari? Tari, kamu sudah pulang?" Ibu bergegas memeluk Feliz kemudian Mentari. Rasanya rindunya terobati.Mentari merasakan aliran kasih sayang yang luar biasa di dalam hatinya, dari pelukan ibunya. Itu yang dibutuhkannya saat ini
Argan membaca catatan pada kertas putih bergaris yang ditempelkan di pintu kulkas. Amarah segera terisi penuh bahkan ke dalam tulang-tulangnya. Dia menarik kertas itu dengan kasar lalu meremasnya dan melemparkannya ke lantai.Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka Whatsapp dan menggulir mencari nama Mentari, lama tapi belum ditemukan juga. Sudah cukup lama dia tidak berkirim pesan pada Mentari. Namanya tenggelam ke bawah. Dia pun mencarinya memakai bantuan pencarian. Diketikkannya nama Mentari, lalu meneleponnya setelah ditemukan.Tidak tersambung.Memang. Ponsel Mentari dalam keadaan mati. Bukan disengaja, tapi setelah tiba di rumah, dia tidak begitu memedulikan ponselnya lagi. Dia bahkan tidak tertarik untuk menggulir Tiktok atau Facebook. Dia sudah bosan dengan kedua aplikasi itu setelah cukup lama berteman akrab dengan mereka selama berada di Jakarta. Dia bahkan tidak tahu kalau paket internetnya telah habis.Argan baru mengetahui kepulangan Mentari dua hari setelah
Bunyi ponsel berdering nyaring. Saking nyaringnya, sampai terdengar ke kamar Cahya."Tari! Itu HP kamu kan? Cepat diangkat, berisik sejak tadi," teriak Cahya dari dalam kamarnya.Ibu yang mendengarkannya menggeleng-gelengkan kepala. Ada saja yang diteriaki Cahya setiap hari dan setiap hari pula ibu menegurnya, namun Cahya tidak pernah berubah."Tari, ponsel kamu berbunyi," panggil ibu pada Tari yang sedang menunaikan kewajiban perutnya yang terisi penuh di kamar mandi. Perut itu ingin dikosongkan."Iya, Bu, sebentar lagi."Tiba-tiba Cahya muncul. Tangan kanannya memegang ponsel."Bu, mana Tari?""Di situ," tunjuk ibu pada arah kamar mandi."Halo! Argan! Tari sedang berada di toilet. Telepon lagi nanti." Buru-buru Cahya mematikan telepon, meskipun suara di seberang sedang mengoceh.Ibu memandangi Cahya."Argan mencari Tari. Dia marah-marah karena Tari pulang tanpa memberitahunya," beber Cahya dengan suara keras agar didengar Mentari.Mentari masih berhutang penjelasan pada ibu dan Cahy
"Hai, Tari, kamu sudah pulang, kan?" sapa Gempita riang dari seberang telepon."Iya, ayo main ke rumah. Aku kangen kamu," ungkap Mentari jujur. Namun, dibalik ajakan itu ada sesuatu yang mendesak ingin ditanyakannya. Kurang pantas kalau dibicarakan lewat telepon."Aku belum tahu kapan bisa mengunjungimu, aku sibuk sekali. Kamu tahu pekerjaanku sekarang, seperti kerja rodi. Menyesal aku meminta dikenalkan pada kenalan Bapak," keluh Gempita terang-terangan.Mendengar pernyataan Gempita, Mentari memberanikan diri untuk bertanya pada Gempita lewat telepon, "Kamu... tahu kalau Argan sakit?""Sakit?" balas Gempita cepat. "Sakit apa?"Jadi, Gempita tidak mengetahuinya. Mentari pun menceritakan apa yang dikatakan Mama Argan padanya."Aku tidak pernah tahu kalau dia menderita suatu penyakit." Gempita mencoba mengorek ingatannya sejak kecil. "Kami sering bermain bersama kalau dia dan keluarganya datang berkunjung ke sini atau aku dan keluargaku yang ke sana. Tapi, tidak pernah aku mendengar kal
Mentari duduk sambil mengangkat kakinya di ruang tamu. Matanya terpaku pada layar ponsel. Dia bahkan tidak mendengar ibu yang memanggilnya."Tari." Ibu menggoyang kaki Mentari pelan.Mentari tersentak. "Oh, Bu.""Sedang apa kamu sedari tadi Ibu panggil tidak menengok?""Aku sedang mencari pekerjaan, Bu."Ibu duduk di dekat Mentari. "Kamu mau kembali bekerja?""Iya, Bu. Feliz sudah dua tahun sekarang, akan lebih banyak lagi pengeluaran untuknya. Apalagi kalau dia sudah sekolah. Aku harus mempersiapkan biayanya sejak sekarang. Lagipula, aku juga perlu biaya hidup, kan? Tidak mungkin aku terus bergantung pada Ibu," ucapnya sambil tersenyum pada ibu."Bagaimana dengan Argan?"Desahan terdengar dari Mentari. "Aku tidak bisa mengandalkannya.""Kamu sudah meneleponnya terkait penyakitnya?""Bu, aku tidak bisa memastikannya dari Argan. Dia tidak lagi banyak bicara seperti dulu. Kalaupun dia membuka mulutnya, hanya omelan atau tuduhan yang tersembur. Kalau dia memang benar sakit, pasti dia aka
Mentari terdiam menatap ibunya. Dia meremas kain celana panjang di pahanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Ibu mendekatinya."Tari, benarkah apa yang kamu katakan?" tanya ibu memastikan pendengarannya.Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Mentari, tidak mengetahui apa yang harus dikatakan. Perasaan gugup bercampur takut berkecamuk di hatinya.Ibu melangkah semakin dekat ke sofa tempat Mentari duduk. Jantung Mentari berdetak tidak karuan."A-aku mau ke toilet, " ucap Mentari seraya bangkit berdiri dan hendak melangkah menjauhi ibu."Tari, duduk! " perintah ibu sebelum Mentari sempat melangkahkan kaki kanannya.Tanpa bantahan, Mentari duduk dengan patuh sambil memegang erat kaosnya yang kebesaran. Dia bisa memprediksikan masa depannya lima menit kemudian dan setelahnya."Ceritakan pada Ibu," ucap ibu dengan lembut namun ada ketegasan di sana.Telapak tangan Mentari semakin lembab saat ibu duduk di samping Mentari, namun mulutnya segersang gurun Sahara. Mata Mentari terpana p