"Feliz! Sayang, kamu di mana? Feliz!" Mentari mencari di lahan parkir, namun tidak menemukan anak itu. Dengan wajah dipenuhi ketakutan, Mentari kembali ke tempatnya semula, berpikir mungkin Feliz sudah berada di sana. Tidak ada.
Pengendara ojek turun dari motornya dan memandangi sekitarnya tanpa meninggalkan motor. Tidak terlihat anak kecil di jarak pandangnya.
Mentari memasuki toko dengan gusar. Pintu kaca dibukanya dengan keras, lalu dibiarkan membanting. Keringat mulai mengucur dari dahinya, pandangannya tidak fokus. Dia mengingat kaos putih dan jaket biru muda Feliz, itulah yang terus dicarinya. Dia melewati setiap rak jualan yang hanya berisi orang-orang dewasa. Saat tiba di tangga, dia memandanginya. Tidak mungkin Feliz naik ke tangga itu.
Mentari mengitari toko sekali lagi, namun Feliz masih tidak terlihat. Para pengunjung toko memandanginya sambil bertanya-tanya. Seorang wanita muda berseragam oranye mendekatinya.
"Mbak? Ada yang bisa kami bantu?"
Argan duduk berpangku kaki di sofa ruang tamu sembari mengirimkan pesan Whatsapp. Mentari heran. Ini hari minggu, biasanya Argan akan keluar bertemu teman-temannya atau ke gym.Tak ada pertanyaan keluar dari mulut Mentari, meskipun ada rasa penasaran. Pertengkaran terakhir mereka masih membekas di benak Mentari. Kalau dia lebih dulu bicara pada Argan, artinya dia kalah. Begitulah yang dipikir Mentari.Persediaan makanan di kulkas cukup untuk makan Feliz selama beberapa hari ke depan, tapi tidak untuk Mentari. Dia hanya berbelanja sedikit sebelumnya untuk menghemat uang. Semalam dia telah memikirkan akan memasak apa untuk dimakannya hari ini.Dia mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat nugget tahu-ikan buat Feliz, tapi matanya tertumbuk pada nugget beku di dalam freezer saat mengambil ikan. Dia menimbang-nimbang akan membuat nugget sendiri atau menggoreng nugget beku saja."Ini saja," putus Mentari meletakkan bungkusan nugget ke atas meja.Setelah menanak nasi, Mentari mulai menggoreng
Mobil sepi, tak ada yang berbicara, bahkan Feliz. Feliz duduk manis di pangkuan Mentari sambil memandangi kaca depan.Saat berada di lampu merah, Argan menghidupkan radio yang memutarkan tembang-tembang bersemangat. Feliz menggoyang-goyangkan badannya mengikuti irama musik yang terdengar, meskipun gerakannya tidak seirama.Jalan yang mereka lewati berbeda dari jalan yang biasa mereka lewati saat berbelanja. Mentari mengingatnya."Argan, kita mau ke mana?""Kamu kan yang minta untuk berbelanja.""Ini bukan arah menuju swalayan yang biasa," ujar Mentari memperhatikan area sekitar yang dilewati."Hari ini kita ke swalayan lain. Yang itu belum buka jam segini."Mentari tak ingin bertanya lagi, tidak ingin membuat Argan kesal yang bisa menyulut omelan tanpa akhir.Setelah berkendara selama hampir setengah jam, mereka tiba di sebuah swalayan besar lainnya yang tidak kalah besar dengan swalayan yang biasa mereka kunjungi. Mobil-mobil terparkir di area parkirnya yang sangat luas.Udara panas
Perjalanan pulang kembali diisi keheningan, hanya Feliz yang berseru-seru gembira dengan mainan baru di tangannya. Mentari memutuskan membelikan Feliz mainan baru, karena mainan-mainannya yang di rumah sudah mulai ditinggalkan Feliz.Sesampainya di rumah, Argan mengangkat semua belanjaan mereka dan meletakkannya di atas meja."Puas, kan? Aku sudah membelanjakan jauh lebih banyak dari biasanya untukmu hari ini. Jadi, jangan sampai kamu bicara yang bukan-bukan pada Mama, Kak Ajeng juga ibu dan Kak Cahya."Setelah berkata demikian, Argan kembali menuju mobil dan pergi meninggalkan rumah.Tatapan sedih Mentari mengikuti kepergian Argan. Ternyata Argan mengikuti kemauannya untuk berbelanja hanya untuk menyuapnya agar dia tutup mulut dan tidak mengadu pada keluarga mereka."Pantas saja dia bersikap aneh sepanjang pagi ini."Satu demi satu, Mentari meletakkan semua barang yang mereka beli ke tempat seharusnya mereka berada."Itu kewajibannya untuk membiayai hidupku dan Feliz, bukan kemauanku
Ketokan di pintu depan menyentakkan Mentari yang sedang mengganti popok Feliz. Dia membatin, bertanya-tanya siapakah gerangan yang berada di balik pintu. Tak pernah ada seorang pun yang bertamu ke rumah itu selama dia tinggal di sana. Tidak mungkin itu Argan, ini baru jam sebelas. Kalaupun Argan, dia akan memanggil nama Mentari.Setelah mengganti popok Feliz dan menurunkannya di lantai, Mentari ke pintu depan. Dia mengintip dari jendela. Seorang wanita berambut pendek berdiri membelakangi jendela dan pintu. Siapa itu?Tanpa membuka pintu, Mentari bertanya, "Siapa?"Wanita itu berbalik. Senyuman melebar dari bibirnya."Kak Ajeng," ucap Mentari seraya membuka pintu."Hai, Tari. Bagaimana kabarmu?" sapa Ajeng tanpa pelukan atau sentuhan pipi dan pipi seperti yang biasa dilakukan keluarga yang sudah lama tidak bertemu."Kabarku baik, Kak. Kakak apa kabar? Silakan masuk." Mentari memberikan jalan agar Ajeng bisa lewat.Tanpa mengindahkan pertanyaan Mentari, Ajeng memandangi seluruh bagian
'Gempita, kamu sibuk?'Pesan itu dikirimkan Mentari pada Gempita lewat Whatsapp di sore hari saat Feliz sedang tidur. Namun, hingga menjelang malam, tidak ada tanggapan."Dia pasti masih di kantor."Saat ini Gempita bekerja sebagai staf keuangan di salah satu kantor pengacara yang cukup terkenal. Pekerjaan itu didapatnya dari relasi bapaknya. Meskipun begitu, Gempita bekerja dengan giat, sehingga sering lembur hingga malam hari.Makan malam berlangsung lama, disebabkan Feliz yang menolak nasi tim ayam sayur yang dimasak Mentari. Akhirnya Mentari yang menghabiskan makanan itu, sedangkan Feliz dibuatkannya sop ikan.Argan tidak pulang. Padahal Mentari memiliki banyak pertanyaan baginya.Sepuluh juta, untuk apa uang sebanyak itu? Kebutuhan bulanan aku dan Feliz tidak sampai sebanyak itu. Pengeluaran popok Feliz yang paling banyak, tapi tidak sampai sepuluh juta. Memangnya Feliz menggunakan popok dari emas?Pikiran Mentari begitu gelisah sepanjang malam. Dia memikirkan segala kemungkinan
Mentari berusaha menenangkan dirinya setelah pertengkarannya dengan Argan kemarin. Sulit. Rasa sakit itu tetap ada, masih membekas jelas.Kemarin, pipinya merah bertandakan jari-jari Argan. Terasa bengkak setiap kali dia memegang pipinya, dan perih. Berulang kali Feliz menyentuh pipi Mentari, seolah dia mengerti apa yang telah terjadi, seolah dia ikut merasakan kepedihan Mentari.Hari ini bengkak di pipi Mentari sudah turun, namun belum benar-benar pulih. Mentari telah mengompresnya dengan es batu, saran yang ditemukannya lewat mesin pencari internet. Masih terasa perih ketika disentuh, namun sudah lebih baik.Hanya luka di hatinya yang tidak membaik. Semakin dipikirkannya, semakin sakit rasanya.Semarah-marahnya Argan, dia tidak pernah main tangan sebelumnya. Mengapa bisa dia melakukannya? Itulah yang terus dipikirkan Mentari. Tak menyangka Argan akan seberani dan setega itu menyakiti Mentari secara fisik.Dia ingin membela diri, karena yang dituduh adalah dirinya, dan dia tidak menud
Kenekadan Mentari mengantarkannya ke depan rumahnya dua hari kemudian. Feliz yang berada di gendongannya begitu antusias memandangi rumah sederhana neneknya. Dia tahu, orang-orang yang mengasihinya ada di dalam rumah itu.Mentari menurunkan Feliz agar bisa menarik koper dengan bebas. Feliz bergegas memasuki setapak menuju pintu depan yang terbuka."Nene... Nene...." panggil Feliz berpegangan pada kusen rumah. Dia menyeimbangkan tubuhnya untuk menaiki anak tangga kecil.Ibu Mentari seperti bermimpi mendengarkan suara Feliz. Barulah ketika Feliz membuka tirai pintu kamarnya, dia tersadar."Feliz? Benar Feliz?" ucap ibu masih tidak mempercayai penglihatannya.Bayangan Mentari menutupi Feliz yang mulai mendekati neneknya. Ibu berpaling dari Feliz ke bayangan itu."Tari? Tari, kamu sudah pulang?" Ibu bergegas memeluk Feliz kemudian Mentari. Rasanya rindunya terobati.Mentari merasakan aliran kasih sayang yang luar biasa di dalam hatinya, dari pelukan ibunya. Itu yang dibutuhkannya saat ini
Argan membaca catatan pada kertas putih bergaris yang ditempelkan di pintu kulkas. Amarah segera terisi penuh bahkan ke dalam tulang-tulangnya. Dia menarik kertas itu dengan kasar lalu meremasnya dan melemparkannya ke lantai.Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka Whatsapp dan menggulir mencari nama Mentari, lama tapi belum ditemukan juga. Sudah cukup lama dia tidak berkirim pesan pada Mentari. Namanya tenggelam ke bawah. Dia pun mencarinya memakai bantuan pencarian. Diketikkannya nama Mentari, lalu meneleponnya setelah ditemukan.Tidak tersambung.Memang. Ponsel Mentari dalam keadaan mati. Bukan disengaja, tapi setelah tiba di rumah, dia tidak begitu memedulikan ponselnya lagi. Dia bahkan tidak tertarik untuk menggulir Tiktok atau Facebook. Dia sudah bosan dengan kedua aplikasi itu setelah cukup lama berteman akrab dengan mereka selama berada di Jakarta. Dia bahkan tidak tahu kalau paket internetnya telah habis.Argan baru mengetahui kepulangan Mentari dua hari setelah