Hari demi hari lewat begitu lambat. Rutinitas Mentari selalu sama. Mengurus Feliz, memasak, mencuci baju, membereskan rumah dan berjam-jam menonton Tiktok. Tak ada kegiatan lain yang bisa dilakukannya dan tak ada siapapun yang bisa diajaknya bicara.Pekerjaan Argan menuntutnya untuk bekerja dari pagi hingga malam hari. Begitulah kata Argan sewaktu ditanyai Mentari. Jadi, seharian penuh Mentari hanya bersama Feliz. Mulanya dia menikmatinya, karena tidak perlu meladeni ocehan Argan. Lama-kelamaan, dia merasa kesepian.Di saat merasa kesepian, dia selalu menelepon ibu atau kakaknya. Namun dia merasa tidak enak hati jika terlalu sering menelepon mereka, mengganggu waktu mereka beraktivitas atau istirahat.Bekerja adalah salah satu jalan keluar yang dipikirkannya. Selain memiliki kesibukan, dia juga bisa menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. Argan belum sebulan bekerja, dia belum mendapatkan gaji, hanya mengandalkan uang yang diberikan kakaknya.Tak sekalipun Mentari meminta uang dari A
Pintu depan terbuka lebar. Mentari menunggui Argan pulang.Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang, tapi Argan belum juga menampakkan diri. Mentari mondar-mandir di teras depan ditemani Feliz yang belum terlelap. Seperti mengerti perasaan ibunya, Feliz menemani Mentari sambil memainkan mobil-mobilan.Lampu mobil tampak dari kejauhan. Mentari yang telah duduk, berdiri hendak menyambut. Mobil semakin mendekat dan melewati rumah. Bukan Argan. Selanjutnya tidak lagi terlihat kendaraan mendekati kompleks perumahan. Angin malam bertiup dingin.Mentari melirik jam dinding. !0.22. Biasanya Argan tiba di rumah sekitar jam sepuluh, sekarang hampir setengah sebelas. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan. Saat jarum panjang berada di angka enam, Mentari mengajak Feliz masuk. Dikuncinya pintu depan dan mematikan lampu ruang tamu, lalu masuk ke kamar.Feliz menguap. Tanpa disusui, Feliz terlelap dengan sendirinya. Ini sudah melewati jam tidur malamnya, dia kelelahan.Pikiran Me
Malam ini, lagi-lagi Argan tidak pulang. Mentari menungguinya hingga larut malam, namun kabar pun tidak kunjung datang pada Mentari yang telah mengiriminya pesan Whatsapp.Sepanjang pagi, pikiran Mentari berkelana akan keberadaan Argan. Tak ada lagi yang dapat dikerjakannya selain menjagai Feliz. Semua tugas rumah telah dikerjakannya. Dia tidak ingin menunda lagi seperti kemarin. Entah dia tidak ingin Argan marah melihat kondisi rumah yang berantakan, atau dia hanya tidak ingin mendengarkan omelan Argan.Selama berada di Jakarta, perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Perasaannya dengan mudah berganti-ganti tatkala sesuatu terjadi. Itu dikarenakan dia tidak memiliki kegiatan lain yang bisa membuatnya sibuk. Pikirannya mengambil alih hidupnya."Kenapa kamu ga menuruti saranku, Tari? Coba saja, coba!" ucap Cahya saat Mentari meneleponnya dan mengeluh tentang perasaannnya."Ga semudah itu, Kak." Kembali Mentari mencari alasan."Kamu tidak akan mengetahui itu akan berhasil atau tidak ji
Jalan-jalan pagi dan sore menjadi rutinitas Mentari dan Feliz. Keluar dari rumah sederhana yang mereka tempati dan menikmati udara serta suasana di luar rumah seolah membuatnya hidup di dunia yang berbeda. Rumah itu membuatnya hanya memikirkan Argan. Seolah berada dalam penjara."Feliz, kamu mau jalan-jalan?" tanya Mentari saat mereka telah kembali ke depan rumah setelah jalan-jalan pagi.Tanggapan Feliz adalah anggukan kecil sambil memandangi ibunya."Oke, kita akan pergi ke tempat bermain anak-anak. Kamu pasti menyukainya."Semalam Mentari mencaritahu lingkungan sekitar perumahan mereka lewat aplikasi ponselnya. Tidak jauh dari kompleks perumahan mereka, terdapat sebuah taman bermain anak- anak.Sebuah motor berhenti di depan rumah Mentari. Pengendara motor itu memandangi ponselnya, kemudian memandang berkeliling. Tak seorang pun terlihat di jalan maupun di area pekarangan rumah.Pintu rumah terbuka, Mentari dan Feliz keluar. Setelah memastikan pintu terkunci, dia menghampiri driver
Suara tangisan meraung membahana di taman bermain. Tanpa memikirkan kondisi kayu-kayu yang dipijaknya, Mentari berlari menuju Feliz.Di bawah, di ujung perosotan, tampak anak kecil terkapar di tanah."Dasar nakal. Mama sudah beritahu tadi, jangan lari-larian. Jatuh, kan?"Seorang ibu yang tadi dilihat Mentari berada dalam taman bermain, mendekati anak yang terkapar di tanah. Bajunya kotor dipenuhi debu. Lututnya mengucurkan darah akibat tergores saat terjatuh tadi. Ibu tadi membantu anak itu berdiri dan menariknya ke tepi taman bermain.Pandangan Mentari berpaling pada Feliz yang duduk di ujung perosotan dengan kedua tangan berpegangan erat pada kusen di sampingnya. Tanpa berpikir panjang, Mentari meraih Feliz, lalu menggendongnya."Feliz, Ibu kira kamu yang jatuh." Pelukan Mentari mendekap Feliz semakin erat.Suara tangisan anak yang terjatuh tadi sudah reda. Ibunya menggiring anak itu keluar dari taman bermain. Mentari memperhatikannya mereka menghilang di jalan depan."Ayo, turun,
"Bang, lepasin tangannya."Mentari menoleh. Seorang pria berdiri di sampingnya dan menatap tajam pria yang menyentuh Mentari."Siapa kamu?" tanya pria berkumis."Abang siapa?" pria di samping Mentari balik bertanya.Tidak tahu harus menjawab apa, pria berkumis yang mendekati Mentari, diam dengan tatapan kesal."Ayo!" ajak pria di samping Mentari pada Mentari.Bingung memenuhi pikiran Mentari. Haruskah dia ikut pria yang baru datang ini? Dia pun tidak mengenalnya. Tatapan Mentari menilai pria itu. Penampilannya rapi dan bersih, celana kargo dipadu kaos oblong dan sepatu kets. Wajahnya bening terawat dan rambutnya yang menggunakan styling gel, mengkilap terkena cahaya.'Kelihatannya dia orang baik,' batin Mentari. 'Tunggu, penampilan bisa menipu. Malah mereka lebih berbahaya.' Mentari teringat film Tinder Swindler yang sempat heboh. Dia dan Gempita menonton film itu dengan berbagai komentar antusias.Entah mengapa, kaki Mentari melangkah mengikuti pria elok itu.'Yang penting terlepas d
Langkah Mentari berhenti di setapak menuju rumah. Wajahnya memucat, tangannya menggendong Feliz semakin erat."Aku tanya, darimana kamu?" Kedua tangan Argan berada di panggang membentuk huruf V miring.Alasan demi alasan muncul di benak Mentari. Yang mana yang harus dipilihnya? Dia melangkah mendekati Argan perlahan, dipenuhi rasa takut.'Kenapa kamu takut, Tari? Kamu tidak berbuat salah.' Suara di pikirannya menguatkannya."Jalan-jalan dengan Feliz," ujar Mentari setenang mungkin."Jalan-jalan? Sembarangan sekali kamu, Tari. Memangnya kamu tahu daerah sini? Bagaimana kalau tersesat."Mentari memandangi Argan yang kini tinggal selangkah di depannya. Dia mencari kekuatiran di wajah suaminya."Egois sekali kamu, ya? Tidak memikirkanku. Nanti aku juga yang repot mencari kamu kalau tersesat. Kalau ketahuan ibu dan Kak Cahya, aku juga yang diomeli. Terpikir di kepalamu semua itu?"'Bodoh sekali aku, bagaimana mungkin aku berharap dia kuatir padaku.'Senyum tersungging di wajah Mentari, "Aku
"Bu, mam aci."Tangan kecil Feliz menarik-narik gaun tidur Mentari. Tanpa disadari Feliz, jari-jari kecilnya membentuk cubitan kecil di paha ibunya."Aww," teriak Mentari terkejut. Sedari tadi pikirannya menerawang, tidak fokus pada telur di wajan yang mulai berubah warna kehitaman."Aduuuh." Penciuman Mentari dipenuhi sengat aroma gosong. "Aduh, Feliz, telur kita gosong."Dipindahkannya kedua telur mata sapi itu ke piring yang telah disiapkannya di atas meja, kemudian membaliknya. "Masih bisa dimakan. Nanti Ibu makan yang gosong."Feliz berpindah dari lantai ke kursi di samping Mentari. Dia masih makan disuapi ibunya. Pernah diajarkan makan sendiri oleh Mentari, namun Mentari lebih memilih untuk menyuapi Feliz. Dengan begitu, meringankan tugasnya untuk membersihkan bekas makanan Feliz yang bertebaran di sekitarnya."Bu, aci. Aci!" Suara Feliz kembali membuyarkan lamunan Mentari.Sedari tadi Mentari memikirkan mimpinya semalam. Mimpinya aneh. Dia bermimpi sedang bersama pria yang meng
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa