Bunyi itu kembali terdengar. Kali ini semakin keras. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali, berulang-ulang.Mentari panik. Dia bingung harus bagaimana. Argan tidak ada. Hanya ada dia dan Feliz yang tidak berdaya.Dengan meneguhkan hatinya, Mentari berdiri menghampiri pintu kamar. Telinganya menempel di pintu, berusaha mendengarkan bunyi dari balik pintu depan.Tiba-tiba sesuatu yang tidak diduganya terdengar."Tari, buka pintunya."Mentari tidak yakin. Perlahan dia membuka pintu kamar agar tidak menimbulkan bunyi, lalu dia mendengarkan."Tarii..."Suara lirih terdengar memanggil dari balik pintu.'Itu bukan suara Argan. SIapa itu?' batin Mentari ketakutan."Tari, ini aku, Argan, bukakan pintunya."Mentari mendekati pintu, mengintip keluar dari balik kelambu.Seorang pria berdiri berpegangan pada kusen pintu. Argan.Segera Mentari membuka kunci pintu. Dia mendapatkan suaminya itu dalam keadaan setengah sadar. Aroma alkohol menguar dari tubuhnya."Tari," ucap Argan dengan nada suara kh
Hari demi hari lewat begitu lambat. Rutinitas Mentari selalu sama. Mengurus Feliz, memasak, mencuci baju, membereskan rumah dan berjam-jam menonton Tiktok. Tak ada kegiatan lain yang bisa dilakukannya dan tak ada siapapun yang bisa diajaknya bicara.Pekerjaan Argan menuntutnya untuk bekerja dari pagi hingga malam hari. Begitulah kata Argan sewaktu ditanyai Mentari. Jadi, seharian penuh Mentari hanya bersama Feliz. Mulanya dia menikmatinya, karena tidak perlu meladeni ocehan Argan. Lama-kelamaan, dia merasa kesepian.Di saat merasa kesepian, dia selalu menelepon ibu atau kakaknya. Namun dia merasa tidak enak hati jika terlalu sering menelepon mereka, mengganggu waktu mereka beraktivitas atau istirahat.Bekerja adalah salah satu jalan keluar yang dipikirkannya. Selain memiliki kesibukan, dia juga bisa menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. Argan belum sebulan bekerja, dia belum mendapatkan gaji, hanya mengandalkan uang yang diberikan kakaknya.Tak sekalipun Mentari meminta uang dari A
Pintu depan terbuka lebar. Mentari menunggui Argan pulang.Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang, tapi Argan belum juga menampakkan diri. Mentari mondar-mandir di teras depan ditemani Feliz yang belum terlelap. Seperti mengerti perasaan ibunya, Feliz menemani Mentari sambil memainkan mobil-mobilan.Lampu mobil tampak dari kejauhan. Mentari yang telah duduk, berdiri hendak menyambut. Mobil semakin mendekat dan melewati rumah. Bukan Argan. Selanjutnya tidak lagi terlihat kendaraan mendekati kompleks perumahan. Angin malam bertiup dingin.Mentari melirik jam dinding. !0.22. Biasanya Argan tiba di rumah sekitar jam sepuluh, sekarang hampir setengah sebelas. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan. Saat jarum panjang berada di angka enam, Mentari mengajak Feliz masuk. Dikuncinya pintu depan dan mematikan lampu ruang tamu, lalu masuk ke kamar.Feliz menguap. Tanpa disusui, Feliz terlelap dengan sendirinya. Ini sudah melewati jam tidur malamnya, dia kelelahan.Pikiran Me
Malam ini, lagi-lagi Argan tidak pulang. Mentari menungguinya hingga larut malam, namun kabar pun tidak kunjung datang pada Mentari yang telah mengiriminya pesan Whatsapp.Sepanjang pagi, pikiran Mentari berkelana akan keberadaan Argan. Tak ada lagi yang dapat dikerjakannya selain menjagai Feliz. Semua tugas rumah telah dikerjakannya. Dia tidak ingin menunda lagi seperti kemarin. Entah dia tidak ingin Argan marah melihat kondisi rumah yang berantakan, atau dia hanya tidak ingin mendengarkan omelan Argan.Selama berada di Jakarta, perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Perasaannya dengan mudah berganti-ganti tatkala sesuatu terjadi. Itu dikarenakan dia tidak memiliki kegiatan lain yang bisa membuatnya sibuk. Pikirannya mengambil alih hidupnya."Kenapa kamu ga menuruti saranku, Tari? Coba saja, coba!" ucap Cahya saat Mentari meneleponnya dan mengeluh tentang perasaannnya."Ga semudah itu, Kak." Kembali Mentari mencari alasan."Kamu tidak akan mengetahui itu akan berhasil atau tidak ji
Jalan-jalan pagi dan sore menjadi rutinitas Mentari dan Feliz. Keluar dari rumah sederhana yang mereka tempati dan menikmati udara serta suasana di luar rumah seolah membuatnya hidup di dunia yang berbeda. Rumah itu membuatnya hanya memikirkan Argan. Seolah berada dalam penjara."Feliz, kamu mau jalan-jalan?" tanya Mentari saat mereka telah kembali ke depan rumah setelah jalan-jalan pagi.Tanggapan Feliz adalah anggukan kecil sambil memandangi ibunya."Oke, kita akan pergi ke tempat bermain anak-anak. Kamu pasti menyukainya."Semalam Mentari mencaritahu lingkungan sekitar perumahan mereka lewat aplikasi ponselnya. Tidak jauh dari kompleks perumahan mereka, terdapat sebuah taman bermain anak- anak.Sebuah motor berhenti di depan rumah Mentari. Pengendara motor itu memandangi ponselnya, kemudian memandang berkeliling. Tak seorang pun terlihat di jalan maupun di area pekarangan rumah.Pintu rumah terbuka, Mentari dan Feliz keluar. Setelah memastikan pintu terkunci, dia menghampiri driver
Suara tangisan meraung membahana di taman bermain. Tanpa memikirkan kondisi kayu-kayu yang dipijaknya, Mentari berlari menuju Feliz.Di bawah, di ujung perosotan, tampak anak kecil terkapar di tanah."Dasar nakal. Mama sudah beritahu tadi, jangan lari-larian. Jatuh, kan?"Seorang ibu yang tadi dilihat Mentari berada dalam taman bermain, mendekati anak yang terkapar di tanah. Bajunya kotor dipenuhi debu. Lututnya mengucurkan darah akibat tergores saat terjatuh tadi. Ibu tadi membantu anak itu berdiri dan menariknya ke tepi taman bermain.Pandangan Mentari berpaling pada Feliz yang duduk di ujung perosotan dengan kedua tangan berpegangan erat pada kusen di sampingnya. Tanpa berpikir panjang, Mentari meraih Feliz, lalu menggendongnya."Feliz, Ibu kira kamu yang jatuh." Pelukan Mentari mendekap Feliz semakin erat.Suara tangisan anak yang terjatuh tadi sudah reda. Ibunya menggiring anak itu keluar dari taman bermain. Mentari memperhatikannya mereka menghilang di jalan depan."Ayo, turun,
"Bang, lepasin tangannya."Mentari menoleh. Seorang pria berdiri di sampingnya dan menatap tajam pria yang menyentuh Mentari."Siapa kamu?" tanya pria berkumis."Abang siapa?" pria di samping Mentari balik bertanya.Tidak tahu harus menjawab apa, pria berkumis yang mendekati Mentari, diam dengan tatapan kesal."Ayo!" ajak pria di samping Mentari pada Mentari.Bingung memenuhi pikiran Mentari. Haruskah dia ikut pria yang baru datang ini? Dia pun tidak mengenalnya. Tatapan Mentari menilai pria itu. Penampilannya rapi dan bersih, celana kargo dipadu kaos oblong dan sepatu kets. Wajahnya bening terawat dan rambutnya yang menggunakan styling gel, mengkilap terkena cahaya.'Kelihatannya dia orang baik,' batin Mentari. 'Tunggu, penampilan bisa menipu. Malah mereka lebih berbahaya.' Mentari teringat film Tinder Swindler yang sempat heboh. Dia dan Gempita menonton film itu dengan berbagai komentar antusias.Entah mengapa, kaki Mentari melangkah mengikuti pria elok itu.'Yang penting terlepas d
Langkah Mentari berhenti di setapak menuju rumah. Wajahnya memucat, tangannya menggendong Feliz semakin erat."Aku tanya, darimana kamu?" Kedua tangan Argan berada di panggang membentuk huruf V miring.Alasan demi alasan muncul di benak Mentari. Yang mana yang harus dipilihnya? Dia melangkah mendekati Argan perlahan, dipenuhi rasa takut.'Kenapa kamu takut, Tari? Kamu tidak berbuat salah.' Suara di pikirannya menguatkannya."Jalan-jalan dengan Feliz," ujar Mentari setenang mungkin."Jalan-jalan? Sembarangan sekali kamu, Tari. Memangnya kamu tahu daerah sini? Bagaimana kalau tersesat."Mentari memandangi Argan yang kini tinggal selangkah di depannya. Dia mencari kekuatiran di wajah suaminya."Egois sekali kamu, ya? Tidak memikirkanku. Nanti aku juga yang repot mencari kamu kalau tersesat. Kalau ketahuan ibu dan Kak Cahya, aku juga yang diomeli. Terpikir di kepalamu semua itu?"'Bodoh sekali aku, bagaimana mungkin aku berharap dia kuatir padaku.'Senyum tersungging di wajah Mentari, "Aku