Hidup tidak berjalan sesuai rencana dan harapan Mentari. Lamaran yang telah dikirimkannya tidak mendapat balasan.Seminggu kemudian, dia mengirim lamaran lain lagi pada lima perusahaan dengan lingkup yang lebih luas. Namun tetap tidak mendapat respon positif. Beberapa menjawab bahwa mereka sedang tidak membuka lowongan saat ini, sementara sisanya sama sekali tidak memberikan informasi apapun, yang diartikan Mentari sebagai 'ditolak'.Tidak menyerah, dia mengirimkan beberapa lamaran lagi pada perusahaan yang lokasinya semakin jauh dari tempat tinggalnya. Berdasarkan kalkulasinya, dia masih sanggup pulang-pergi dengan jarak perjalanan selama satu jam. Beberapa minggu berlalu tanpa hasil. Kini, sudah dua bulan sejak dia meninggalkan status mahasiswa dan masih berstatus pengangguran. Mimpinya untuk bekerja di perusahaan konsultan keuangan besar perlahan sirna. Dia telah mengirimkan lamaran pada perusahaan-perusahaan kecil yang bisa dijadikannya batu loncatan, namun hasilnya nihil."Sabar
"Tari, bagaimana perkembangan lamaran pekerjaan kamu?" tanya Feri, suami Cahya saat makan malam."Belum ada kabar dari perusahaan-perusahaan yang terakhir aku kirimi lamaran, Kak," jawab Mentari lesu.Feri berhenti menyuap dan bicara menatap Mentari, "Saudara teman kantorku sedang membutuhkan staf administrasi. Memang hanya sebuah toko elektronik kecil, tapi lumayan untuk mengisi waktu sembari kamu menunggu pekerjaan lain.""Admin apa, Kak?" tanya Mentari tidak bersemangat."Admin umum. Tugasnya seputar pengelolaan dokumen dan stok barang toko, termasuk keuangan juga."Mentari menimbang lalu menjawab, "Boleh juga, Kak.""Oke. Besok aku beritahu temanku, nanti aku kabari kamu lagi bagaimana selanjutnya."Imajinasi Mentari melayang pada sebuah toko kecil dengan sebuah meja di pojok toko di mana dia akan bekerja.'Admin. Ini bukan yang aku inginkan,' batinnya."Boleh juga, Tari, daripada kamu seharian di rumah saja ga ada yang dikerjakan," ucap Cahya sambil menambahkan nasi ke piring Fer
Tiga hari. Itulah waktu yang diperlukan Mentari untuk bertahan di toko elektronik Pak Herman.Dalam perjalanan menuju toko pada hari pertama, dia berpikir mungkin itu adalah awal yang baik, meskipun tidak sesuai harapannya. Setidaknya dia tidak lagi menjadi seorang pengangguran.Namun di hari yang sama, dalam perjalanan pulang, dia berpikir itu bukanlah awal yang baik.Cara Bu Herman mengajarkan tugas yang harus dikerjakan Mentari, lebih seperti pada 'Coba kamu kerjakan sendiri."Dia memberikan Mentari sebuah dokumen dan menyuruhnya membuat laporan penjualan berdasarkan isi dokumen itu. Namun, dia tidak memberitahu bagaimana harus melakukannya."Kamu lulusan universitas, tidak perlu lagi saya mengajarkan bagaimana membuat laporan. Kerjakan dan serahkan secepatnya," perintahnya.Setelah Mentari menyelesaikan laporan berdasarkan pemahamannya, Bu Herman akan mencercanya dengan kata-kata yang tidak pernah didengarnya keluar dari mulut ibunya sendiri.Hal seperti itu terus berulang sepanja
"Kak, apa lagi makanan yang pasti laku untuk dijual dari rumah?" tanya Mentari pada Cahya saat sedang menyiapkan makan malam.Cahya menatapnya, "Kenapa? Kamu mau berjualan?""Iya, daripada menunggu pekerjaan yang belum pasti.""Memangnya kamu bisa masak?" cibir Cahya tertawa.Penuh percaya diri, Mentari menjawab, "Kalau tidak dicoba, mana aku tahu.""Masak nasi saja ga bisa, bagaimana yang lainnya?" ledek Cahya lagi."Rujak tidak perlu dimasak."Suara tinggi Cahya memenuhi dapur, "Enak saja! Itu mata pencaharianku. Bagaimana mungkin serumah berjualan menu yang sama?""Bukan begitu maksudku," elak Mentari, "Ada makanan lain yang tidak perlu dimasak, kan? Seperti salad buah."Kepalan tangan Cahya mengetok kepala Mentari lembut, "Kalau mempunyai jawabannya, kenapa harus bertanya pada kakakmu ini?""Aku minta pendapat Kakak. Kira-kira salah bisa laku ga?""Mungkin bisa kalau kamu menjualnya secara online juga. Bisa dipasarkan di Facebook dan Whatsapp. Dicoba saja dulu.""Kalau jus dan es?
Mentari tidak menyerah, dia kembali mencoba berjualan besok harinya. Sejak pagi, dia telah mengunggah foto jualannya di Facebook dan status Whatsapp.Setelah memandikan Feliz dan memberinya makan, Mentari kembali sibuk dengan jualannya."Bu, siapa kira-kira yang bisa mengantarkan dagangan Tari?" tanya Mentari sambil meletakkan Feliz di lantai. Feliz segera berjalan berkeliling ruang tamu."Mobil..."Sebelum ibu menyelesaikan ucapannya, Mentari telah memotongnya, "Bukan mobil Argan, Bu. Aku hanya perlu ojek saja.""Hmm..." Ibu berpikir, "Anaknya Bu Diah. Kalau tidak salah dia bekerja sebagai ojek online.""Yang ojek biasa siapa aja, Bu? Aku memerlukan yang siap mengantar saat ada pesanan masuk dadakan, yang siap sepanjang hari."Ibu menyebutkan beberapa nama yang ditolak Mentari dengan berbagai alasan."Tidak ada lagi. Mereka saja yang memiliki motor.""Pasang iklan saja di Facebook atau Whatsapp, Tari. Siapa tahu ada yang melihat dan tertarik. Atau mungkin kenalannya ada yang bisa."U
Buku catatan yang terbuka di atas meja kamar Mentari dipenuhi daftar panjang usaha yang bisa dikerjakan dari rumah. Semalam saat Feliz telah terlelap, Mentari mencari referensi dari internet, usaha modal kecil berpenghasilan besar.Setelah sarapan, Mentari membawa buku itu keluar dan membacakannya pada ibu dan Cahya, meminta pendapat mereka. Ibu dan Cahya menanggapi setiap jenis usaha yang diucapkan Mentari."Tari, carilah usaha yang sanggup kamu kerjakan, jangan memaksakan diri untuk menekuni usaha yang ditekuni orang lain," saran ibu."Jangan termakan apa yang kamu baca dari internet. Pikirkan matang-matang dahulu," imbuh Cahya."Dari semua yang aku sebutkan, tidak ada yang sanggup aku kerjakan?" tanya Mentari tidak mengerti. Baginya dia mampu memulai semua bisnis itu, makanya dia mencatatnya dan meminta saran keluarganya mana yang lebih tepat dia tekuni."Semua yang kamu sebutkan adalah usaha menengah dengan modal cukup besar. Modal darimana?"Mentari tertunduk lesu. Menurutnya, bi
Usaha Mentari merugi. Hampir sepuluh baju tidak dibayar lunas. Sekarang dia tidak memiliki modal lagi untuk menambah stok baju di rumah. DI pajangan hanya tergantung dua baju saja."Bu, aku lelah," keluhnya memandangi gantungan baju yang hampir kosong."Jangan menyerah. Jadikan pengalamanmu sebagai pembelajaran. Teruslah berjualan. Hanya saja, kali ini jangan memberikan cicilan. Semua harus dibayar lunas di depan," saran ibu menyemangati Mentari."Ada uang ada barang," celetuk Cahya dari dalam kamarnya. Dia sedang mengejar Feliz yang tiada henti keluar masuk seluruh ruangan di dalam rumah sambil sesekali menyambar barang yang dianggapnya menarik."Feliz, jangan ambil itu!" teriak Cahya dari dalam kamar.Terdengar suara tawa Feliz, diikuti kemunculannya dari dalam kamar."Berikan!" Cahya mengejarnya dan merampas lipstick yang digenggam Feliz. Feliz pernah menggunakan lipstick Cahya untuk menghiasi dinding kamar Mentari dengan lukisan abstrak.Tangisan Feliz pecah. Ibu segera menggendon
"Kak, aku ga mengerti dengan Argan. Dia telah membohongiku selama ini." Mentari mencurahkan isi hatinya pada kakaknya saat sedang membereskan rumah besok harinya.Dengan seksama, Cahya mendengarkan. Dia menunggu Mentari mencurahkan semua yang ingin diungkapkannya sebelum dia menanggapi."Katanya dia tidak merokok. Tapi, semalam dia mengatakan bahwa dia merokok sejak SMA. Tega sekali dia membohongiku, Kak. Apalagi, tidak ada rasa bersalah di wajahnya saat mengucapkannya. Aku benar-benar marah, Kak."Setelah jeda cukup lama, Cahya mengartikan bahwa Mentari telah selesai bercerita."Lalu, kamu mau apa sekarang? Sudah terbukti dia merokok, kamu telah melihatnya dengan matamu sendiri, Argan pun telah mengakuinya."Sejenak Mentari memikirkannya, "Tidak tahu, Kak.""Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah menerima kenyataannya, bahwa dia merokok," ucap Cahya lembut. Cahya membereskan mainan Winar yang bertebaran di atas sofa dan lantai. Dimasukkannya ke dalam kantong besar tempat mainan W
Keheranan Mentari masih berlanjut. Dua hari kemudian Argan menyatakan bahwa dia akan kembali ke rumahnya, rumah orang tuanya. "Di sini juga rumahmu, Argan. Keluargamu juga di sini," kata ibu menyahuti pernyataan Argan. "Istri dan anakmu di sini." Ibu menekankan kata-kata itu. "Aku mendapatkan pekerjaan penting, terlalu jauh dan beresiko kalau harus bolak-balik ke sini." Dengusan Cahya terdengar pelan, seperti hendak disembunyikan. "Proyek jalan tol?" tanya ibu. "Iya, Bu. Ini proyek besar yang memerlukan banyak waktu dan fokusku. Jadi, aku benar-benar harus dalam kondisi terbaikku dan berada dalam lingkungan yang sepenuhnya mendukungku," sahut Argan penuh percaya diri sambil melirik Mentari sebelum memasukkan sesendok ayam bumbu ke dalam mulutnya. Mentari tersindir, namun dia tidak ingin menanggapi. Hanya tersirat keheranan di wajahnya. Apakah mertuanya sudah kembali? "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat itu meluncur begitu saja, padahal dia tidak ingin bicara dengan Ar
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M
Teriakan Mentari membahana hingga ke kamar ibu dan Cahya yang segera keluar, diiringi Feliz dan Winar sambil menenteng mobil-mobilan yang sedang mereka mainkan."Tari, ada apa?" suara panik ibu menyita perhatian Mentari."Di mana Argan?""Ada apa, Tari?" Ada dugaan pada intonasi suara Cahya saat mendengar pertanyaan Mentari.Seperti seorang anak kecil yang ditarik ibunya, Cahya terseret mengikuti tarikan tangan adiknya."Ka, lihat ini," tunjuk Mentari ke arah motornya.Mata Cahya menangkap beberapa garis di badan motor Mentari. Garis-garis itu tidak beraturan seolah memberikan motif baru pada motor Mentari. Cahya berkeliling dan mendapat garis-garis yang sama di bagian motor lainnya.Tak sanggup berkata-kata, Cahya mendongakkan kepalanya memandang Mentari yang dadanya naik-turun.Ibu yang kini juga memandangi motor Mentari pun terdiam."Apa yang dilakukan Argan dengan motorku?"Tanpa menunggu balasan dari ibu dan
Hasil dari pemeriksaan dokter pada kaki Argan adalah dia sudah sembuh total. Begitulah penuturan ibu berdasarkan ucapan dokter. Itulah inti yang ingin didengar Mentari, bukan kronologi pemeriksaan Argan yang disertai bumbu-bumbu pemanis yang berkesan sombong. Argan hanya keseleo, itulah yang tersimpan di benak Mentari sejak mendengar berita Argan kecelakaan.Tak ada lagi bangun tengah malam untuk mengantarkan Argan ke toilet dan tidak ada lagi peran asisten rumah tangga yang harus selalu siap melayani tuan besarnya.Begitulah sangka Mentari."Tari, besok aku ke rumah temanku, ada bisnis yang harus kami diskusikan. Kamu tahu 'kan Dani?"Setengah hati Mentari mendengarkan. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab di wajahnya dan hendak bersiap untuk makan malam.Ketika Mentari dengan acuhnya melangkah ke arah pintu, Argan menghentikannya dengan sebuah berkata, "Kamu harus mengantarkanku."Mentari melirik Argan."Kamu tahu sendiri mobilku tidak di sini, jadi kamu yang harus mengantarka
"Maaf mendadak, Pak. Iya, benar. Iya, Pak. Iya." Mentari meletakkan ponselnya di meja dapur setelah dengan patuh menerima ceramah penuh konsekuensi dari kepala toko akan ketidakhadirannya hari ini. Kepala Cahya menyembul dari balik pintu dapur. Tangannya ditarik Winar hendak menuju kamar "Kamu dimarahi?" Hanya anggukan sebagai jawaban dari Mentari. "Apa kata kepala toko?" Sebenarnya Mentari tidak ingin membahasnya, tapi dia mengerti benar kalau pertanyaan kakaknya menuntut jawaban. "Gajiku dipotong," kata-kata itu berat mengalir dari mulut Mentari. "Berapa?" Dahi Cahya mengernyit. "Ibu, ayo cepat, nanti kita terlambat." Kali ini tarikan keras dari Winar melenyapkan wajah Cahya dari balik pintu. Ada kelegaan hinggap di wajah Mentari. Namun, dalam hati dia meringis. Dua ratus ribu. Tatapan jengkel Mentari melepas kepergian Argan bersama ibu. Tak henti-hentinya dia menyalahkan Argan akan keputusan sembrono kepala toko. 'Keputusan apa itu? Bagaimana mungkin gajinya dipotong du
"Antarkan aku ke dokter besok." Bukan permintaan, tapi sebuah perintah yang keluar dari mulut Argan membuat darah mengalir deras ke kepala Mentari. Mentari hendak beranjak keluar kamar untuk berangkat kerja, namun langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap kata-kata Argan. Setelah menghela napas, Mentari berbalik menghadap Argan yang sedang duduk di tepi ranjang berusaha mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam kantong celananya. "Aku tidak bisa." Jawaban singkat Mentari disambut amarah oleh Argan. "Pikirmu aku bisa sendirian ke dokter?" Suara bungkus rokok menyentuh kasur terdengar cukup keras. "Aku harus kerja." Mentari menambahkan. "Pekerjaan terus yang kamu urusi, suamimu tidak kamu urusi." Argan kini berdiri menghadap Mentari. Seolah telah menunggu saat Argan mengucapkan kalimat ini, Mentari menyahut menyeringai, "Kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai kebutuhan Feliz?" Sebelum menyambung, Mentari melirik rokok yang tergeletak di atas ranjang, "Dan itu,
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq