Usaha Mentari merugi. Hampir sepuluh baju tidak dibayar lunas. Sekarang dia tidak memiliki modal lagi untuk menambah stok baju di rumah. DI pajangan hanya tergantung dua baju saja."Bu, aku lelah," keluhnya memandangi gantungan baju yang hampir kosong."Jangan menyerah. Jadikan pengalamanmu sebagai pembelajaran. Teruslah berjualan. Hanya saja, kali ini jangan memberikan cicilan. Semua harus dibayar lunas di depan," saran ibu menyemangati Mentari."Ada uang ada barang," celetuk Cahya dari dalam kamarnya. Dia sedang mengejar Feliz yang tiada henti keluar masuk seluruh ruangan di dalam rumah sambil sesekali menyambar barang yang dianggapnya menarik."Feliz, jangan ambil itu!" teriak Cahya dari dalam kamar.Terdengar suara tawa Feliz, diikuti kemunculannya dari dalam kamar."Berikan!" Cahya mengejarnya dan merampas lipstick yang digenggam Feliz. Feliz pernah menggunakan lipstick Cahya untuk menghiasi dinding kamar Mentari dengan lukisan abstrak.Tangisan Feliz pecah. Ibu segera menggendon
"Kak, aku ga mengerti dengan Argan. Dia telah membohongiku selama ini." Mentari mencurahkan isi hatinya pada kakaknya saat sedang membereskan rumah besok harinya.Dengan seksama, Cahya mendengarkan. Dia menunggu Mentari mencurahkan semua yang ingin diungkapkannya sebelum dia menanggapi."Katanya dia tidak merokok. Tapi, semalam dia mengatakan bahwa dia merokok sejak SMA. Tega sekali dia membohongiku, Kak. Apalagi, tidak ada rasa bersalah di wajahnya saat mengucapkannya. Aku benar-benar marah, Kak."Setelah jeda cukup lama, Cahya mengartikan bahwa Mentari telah selesai bercerita."Lalu, kamu mau apa sekarang? Sudah terbukti dia merokok, kamu telah melihatnya dengan matamu sendiri, Argan pun telah mengakuinya."Sejenak Mentari memikirkannya, "Tidak tahu, Kak.""Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah menerima kenyataannya, bahwa dia merokok," ucap Cahya lembut. Cahya membereskan mainan Winar yang bertebaran di atas sofa dan lantai. Dimasukkannya ke dalam kantong besar tempat mainan W
Setelah teguran Mentari atas merokoknya Argan tempo hari, Argan lebih jarang berada di rumah. Dia lebih banyak tinggal di rumah orang tuanya. Mentari tidak masalah dengan itu, malah dia menikmatinya. Tidak perlu mendengar protes-protesnya.Mentari membuka portal lowongan kerja dan memeriksa hasil lamarannya. Tidak diterima. Dia pun menggulir Facebook, membaca setiap postingan teman-teman Facebook yang ada di berandanya. Sebagian besar memuat tentang kisah perjalanan hidup mereka yang menyenangkan atau mengesankan.Jarinya terus menggulir ke bawah. Dia berhenti pada sebuah iklan yang menampilkan penerimaan karyawan baru. Sebuah minimarket yang terkenal di seluruh negeri sedang membuka lowongan pekerjaan besar-besaran di hampir semua cabang di Indonesia.Iseng Mentari membaca persyaratannya. Dia memenuhi semua kriteria itu. Dia mencatat alamat email yang tertera pada memo ponselnya."Apa salah mencoba, kudengar gaji yang diberikan juga lumayan." Dia pun mengirimkan lamarannya.Beberapa
Suara teriakan Mentari mengagetkan Feliz di gendongan ibu. Cahya memandangi ibu yang balas menatapnya. Kemudian mereka menuju sumber teriakan."Tari, ada apa?" Wajah cemas ibu tampak dari balik tirai. Cahya berdiri di belakang ibu.Ibu yang mengira sesuatu yang buruk terjadi pada Mentari, terpana melihat anaknya itu berdiri tersenyum di tengah kamarnya."Kenapa kamu teriak?" tanya Cahya memegangi tirai."Bu, Kak, aku diterima." Mentari melonjak riang mendekati keluarganya. Dia mencium pipi Feliz dengan gemas bercampur antusias."Diterima apa?""Aku diterima bekerja di Sunmart," jerit Mentari gembira. Feliz yang sedari tadi memperhatikan ibunya, ikut menjerit girang.Kabar itu menimbulkan senyum di wajah ibu dan Cahya. Mereka menyelamati Mentari."Kapan mulai bekerja?" tanya Cahya yang duduk di sofa. Kini mereka berada di ruang tamu."Belum tahu. Besok aku harus wawancara ke toko.""Katamu diterima kerja, kenapa baru mau wawancara besok?" Cahya bingung."Tadi staf HRD meneleponku dan b
Bekerja di Sunmart membuat Mentari cepat lelah. Setiap kali pulang bekerja, tanpa diinginkannya dia akan tertidur pulas."Tari, Tari!" Ibu mengguncang tubuh Mentari yang berbaring telentang.Mata Mentari terbuka perlahan, "Oahem, sudah pagi, Bu?""Ini masih sore, Tari. Feliz minta ASI. Ayo, bangun dan minum air putih."Mata Mentari berat, begitu juga anggota tubuhnya yang lain. Tak terasa sudah seminggu dia bekerja di Sunmart, namun tak diduga pekerjaan itu sangat menguras tenaganya.Hanya ada tiga karyawan di cabang tempatnya bekerja, termasuk kepala toko. Jika salah satu karyawan libur, kepala toko yang menggantikan tugas bawahannya. Karena itulah kelelahan Mentari menumpuk. Dia dituntut untuk segera menguasai semuanya dengan cepat agar operasional toko berjalan lancar.Seminggu pertama ini, dia diberikan shift pagi bersama kepala toko agar bisa belajar. Pagi hingga siang hari, tidak banyak pelanggan yang berkunjung ke Sunmart, jadi Mentari memiliki waktu untuk menguasai tugasnya ta
Yang ditakutkan Mentari menjadi kenyataan.Jam sembilan kurang lima menit, tapi Mentari masih belum menyelesaikan pekerjaannya. Dia panik menghitung uang yang telah dikeluarkan dari mesin kasir. Jumlah uangnya berbeda dengan jumlah penjualan dari mesin kasir. Sudah tiga kali dia menghitungnya, tapi tidak bisa menemukan letak kesalahannya.Jam sembilan lewat lima menit, dia menutup toko, namun kembali menghitung total uang tunai dan jumlah dari mesin EDC, lalu membandingkannya dengan total hasil mesin kasir. Tetap berbeda. Uang tunai kurang lima puluh dua ribu rupiah.Pikiran Mentari mengembara pada setiap transaksi yang terjadi sepanjang hari. Dia mencari kira-kira dengan pelanggan yang mana dia salah menghitung atau mengembalikan uang. Dia tidak menemukannya."Sudah tiba," suara tukang ojek mengingatkan.Tanpa disadarinya, motor yang ditumpanginya telah berhenti tepat di depan rumahnya."Oh, iya, Pak. Terima kasih." Mentari memberikan sejumlah uang untuk membayar ojek, lalu masuk ke
Mentari sudah bisa mengikuti ritme kerjanya sekarang. Meskipun ada saja kesalahan kecil yang dilakukannya, namun Teguh terus memberinya tips untuk menghadapi kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya. Dalam sebulan, Mentari telah menguasai pekerjaannya. Kini dia tidak merasa kikuk dan takut jika ditinggalkan sendirian.Gaji pertama Mentari telah masuk ke rekening banknya. Sepulang kerja, dia mampir ke ATM dan menarik sejumlah uang."Bu, ini sedikit uang untuk tambahan belanja." Mentari menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu pada ibu yang berada di kamarnya.Ibu menolaknya, "Kamu tidak perlu memberikan uang pada Ibu. Belikan saja kebutuhanmu dan Feliz. Memangnya berapa miliar gajimu?"Ucapan ibu menyebabkan tawa."Ibu masih memiliki uang, gaji kamu buat kamu saja, ya?"Mentari memang memerlukan uang itu. Dia telah menghitung keperluannya dan Feliz untuk sebulan ke depan hingga saat gajian berikutnya, namun gaji pertamanya tidak cukup. Untung saja dia mulai bekerja di awal bu
Pakaian yang Argan kenakan berbeda dari yang biasa dilihat Mentari sehari-hari. Argan masuk ke dalam rumah mengenakan kemeja biru dipadu celana kain dan sepatu pantovel hitam.Melihat dirinya dipandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki, Argan bertanya, "Ganteng, ya?"Mentari segera memalingkan kepalanya mendengar ucapan Argan.Tanpa diminta, Argan menerangkan dengan bangga, "Hari ini ada acara pertemuan keluarga besar Papa di hotel bintang lima, makanya aku berpakaian resmi begini. Keluarga Papa bukan orang-orang biasa. Mereka semua memiliki jabatan tinggi maupun pengusaha sukses, jadi acaranya pun spesial, kelas atas."'Keluarganya saja yang tidak memiliki jabatan tinggi dan sukses,' batin Mentari."Kata Papa dan Mama kamu harus hadir, karena semua menanyakan keberadaan istriku. Ayo, siap-siap!" suruh Argan sambil masuk ke kamar.Mentari bergeming. Dia terus bermain dengan Feliz. Argan yang telah menunggu beberapa lama di dalam kamar, menyibakkan tirai pintu dan memanggil Mentari
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa