Mentari sudah bisa mengikuti ritme kerjanya sekarang. Meskipun ada saja kesalahan kecil yang dilakukannya, namun Teguh terus memberinya tips untuk menghadapi kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya. Dalam sebulan, Mentari telah menguasai pekerjaannya. Kini dia tidak merasa kikuk dan takut jika ditinggalkan sendirian.Gaji pertama Mentari telah masuk ke rekening banknya. Sepulang kerja, dia mampir ke ATM dan menarik sejumlah uang."Bu, ini sedikit uang untuk tambahan belanja." Mentari menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu pada ibu yang berada di kamarnya.Ibu menolaknya, "Kamu tidak perlu memberikan uang pada Ibu. Belikan saja kebutuhanmu dan Feliz. Memangnya berapa miliar gajimu?"Ucapan ibu menyebabkan tawa."Ibu masih memiliki uang, gaji kamu buat kamu saja, ya?"Mentari memang memerlukan uang itu. Dia telah menghitung keperluannya dan Feliz untuk sebulan ke depan hingga saat gajian berikutnya, namun gaji pertamanya tidak cukup. Untung saja dia mulai bekerja di awal bu
Pakaian yang Argan kenakan berbeda dari yang biasa dilihat Mentari sehari-hari. Argan masuk ke dalam rumah mengenakan kemeja biru dipadu celana kain dan sepatu pantovel hitam.Melihat dirinya dipandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki, Argan bertanya, "Ganteng, ya?"Mentari segera memalingkan kepalanya mendengar ucapan Argan.Tanpa diminta, Argan menerangkan dengan bangga, "Hari ini ada acara pertemuan keluarga besar Papa di hotel bintang lima, makanya aku berpakaian resmi begini. Keluarga Papa bukan orang-orang biasa. Mereka semua memiliki jabatan tinggi maupun pengusaha sukses, jadi acaranya pun spesial, kelas atas."'Keluarganya saja yang tidak memiliki jabatan tinggi dan sukses,' batin Mentari."Kata Papa dan Mama kamu harus hadir, karena semua menanyakan keberadaan istriku. Ayo, siap-siap!" suruh Argan sambil masuk ke kamar.Mentari bergeming. Dia terus bermain dengan Feliz. Argan yang telah menunggu beberapa lama di dalam kamar, menyibakkan tirai pintu dan memanggil Mentari
Perbincangan Mentari dan Teguh memenuhi kepala Mentari sepanjang perjalanan pulang. Seandainya saja Argan memiliki setengah dari tanggung jawab yang dimiliki Teguh, hidupnya akan lebih mudah. Dia tidak perlu menguatirkan kebutuhan Feliz.Argan sedang duduk di teras depan ditemani segelas kopi dan rokok saat Mentari tiba di rumah. Langkah Mentari terhenti melihat suaminya masih berada di rumah dan sedang menikmati sore harinya dengan santai. Mentari melewatinya tanpa menyapa."Tari," panggil Argan menghentikan langkah Mentari.Mentari membalasnya dengan gumaman."Pinjami aku seratus." Tangan kanan Argan terangkat meminta."Tidak ada." Mentari berlalu, namun Argan mengejarnya."Kamu sudah gajian, kan? Tidak mungkin tidak punya uang."Mentari tak menghiraukannya. Dia terus berjalan menuju dapur, haus. Argan mengikutinya."Seratus ribu saja, nanti aku ganti.""Aku tidak punya uang, Argan. Gajiku hanya sedikit karena masih ma
Sebuah kejutan menyambut kepulangan Mentari dari bekerja."Hai, Tari, apa kabar?" Ajeng, kakak Argan duduk di ruang tamu ditemani ibu."Ka Ajeng. Kabarku baik, Kak Ajeng apa kabar?""Aku baik, Tari."Mentari bertanya-tanya dalam hati tujuan kedatangan Ajeng. Ajeng bukan kakak ipar yang akrab dengan Mentari. Mereka tidak bertukar sapa lewat telepon atau Whatsapp.Mata Mentari berkeliaran."Kamu mencari Argan?" Ajeng membaca gerak-gerik Mentari. "Dia tidak ikut, aku datang sendirian. Aku baru saja kembali dari Singapura. Koperku masih di dalam mobil. Cape sekali, tapi aku menyempatkan waktu kemari."Mentari ingat telah melihat sebuah mobil terparkir di jalan seberang rumah. Dipikirnya itu mobil tamu tetangga depan."Aku lupa membelikan kalian oleh-oleh seperti waktu itu saat aku pulang dari Bali, karena aku buru-buru. Pekerjaanku menuntut ketangkasan, jadi kadang hal-hal sepele jadi terlupakan."'Kakak adik sama saja,' batin Mentari. Gaya bicara Ajeng persis seperti gaya bicara adiknya,
"Tari, kenapa kamu bohong pada kak Ajeng? Kamu masih dalam masa percobaan di toko, kenapa kamu bilang sudah dikontrak?"Suara keras Argan terdengar hingga ke teras depan. Ibu yang sedang menyapu di halaman depan, melepaskan sapu dan masuk ke dalam. Tapi, menunggu di ruang tamu."Aku akan dikontrak," ucap Mentari berbohong. Belum ada pembicaraan dari Pak KT tentang kontrak Mentari. Alasan itu tercipta, karena dia benar-benar tidak ingin ikut Argan ke Jakarta."Makanya, sebelum kamu dikontrak segera berhenti. Seminggu lagi aku berangkat, pokoknya kamu sudah harus siap. Aku tidak mau mendengar alasanmu."Argan mengambil sepasang baju bersih dari dalam lemari, memasukkannya ke dalam tas olahraganya dan keluar. Mentari mengejarnya."Untuk apa aku dan Feliz ikut? Apa gunanya kehadiran kami di sana? Bukankah kami hanya akan merepotkanmu? Kenapa tidak pergi sendiri saja?""Kamu istriku. Tentu saja kamu harus ikut suamimu. Tidak masuk akal aku berada di Jakarta sementara kamu tinggal di sini."
Mata Mentari berkaca-kaca menatap ibu dan kakaknya. Tidak bisa lagi menahan, tangisnya pecah. Air mata berlinangan dari kedua matanya."Kabari Ibu kalau sudah tiba di Jakarta, ya?" Ibu merengkuh Mentari ke dalam pelukannya selama yang dia bisa. Pertama kalinya akan berpisah jauh dengan Mentari, terasa berat melepaskannya."Terus kabari kami situasi kamu di sana, jangan sampai hilang kontak!" pesan Cahya bergantian memeluk Mentari.Tak ada kata-kata yang sanggup dikatakan Mentari, tangisnya mulai mereda, namun air mata masih berlinang mengalir di pipinya yang hanya dibedaki tipis."Tari, ayo, nanti kita terlambat," panggil Argan sambil menutup bagasi mobil setelah memasukkan koper terakhir.Argan mendekati ibu dan Cahya, berpamitan pada mereka."Jaga Mentari dan Feliz baik-baik. Hubungi kami kalau ada apa-apa," wanti ibu menepuk lengan atas Argan."Jangan kuatir, Bu. Jakarta aman, tidak akan terjadi apa-apa pada mereka.'Daripada menguatirkan situasi Jakarta, ibu lebih cemas dengan kon
Pekerjaan Argan dimulai besok. Hari ini, dia mengajak Mentari berbelanja bahan makanan ke supermarket."Sempit sekali mobil ini, lihat kakiku yang panjang tidak muat," keluh Argan saat duduk di mobil yang diambilnya semalam."Syukuri saja, setidaknya ada mobil untuk dipakai bekerja dan kemana-mana," ucap Mentari yang duduk di kursi penumpang bersama Feliz. Tidak ada baby car seat, jadi Feliz duduk di pangkuan Mentari."Kenapa fasilitas yang diberikan serba minim seperti ini? Untuk proyek semegah ini, semua fasilitas ini tidak bisa diterima."Omelan Argan membuat Mentari pusing, maka dia membuka kaca jendela. Argan melihatnya."Kenapa kamu buka? Tutup lagi!""Anginnya segar.""Aku pasang AC, Mentari," bentak Argan. Karena Mentari tidak segera menutup jendela, Argan yang melakukannya.Tak ingin bertengkar untuk soal kecil, Mentari bermain-main dengan Feliz. Dia mengajaknya berdendang dan menari."Sakit kepalaku mendengarmu." Argan menghidupkan radio dan mengeraskan volumenya. Lagu metal
Bunyi itu kembali terdengar. Kali ini semakin keras. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali, berulang-ulang.Mentari panik. Dia bingung harus bagaimana. Argan tidak ada. Hanya ada dia dan Feliz yang tidak berdaya.Dengan meneguhkan hatinya, Mentari berdiri menghampiri pintu kamar. Telinganya menempel di pintu, berusaha mendengarkan bunyi dari balik pintu depan.Tiba-tiba sesuatu yang tidak diduganya terdengar."Tari, buka pintunya."Mentari tidak yakin. Perlahan dia membuka pintu kamar agar tidak menimbulkan bunyi, lalu dia mendengarkan."Tarii..."Suara lirih terdengar memanggil dari balik pintu.'Itu bukan suara Argan. SIapa itu?' batin Mentari ketakutan."Tari, ini aku, Argan, bukakan pintunya."Mentari mendekati pintu, mengintip keluar dari balik kelambu.Seorang pria berdiri berpegangan pada kusen pintu. Argan.Segera Mentari membuka kunci pintu. Dia mendapatkan suaminya itu dalam keadaan setengah sadar. Aroma alkohol menguar dari tubuhnya."Tari," ucap Argan dengan nada suara kh