Perbincangan Mentari dan Teguh memenuhi kepala Mentari sepanjang perjalanan pulang. Seandainya saja Argan memiliki setengah dari tanggung jawab yang dimiliki Teguh, hidupnya akan lebih mudah. Dia tidak perlu menguatirkan kebutuhan Feliz.
Argan sedang duduk di teras depan ditemani segelas kopi dan rokok saat Mentari tiba di rumah. Langkah Mentari terhenti melihat suaminya masih berada di rumah dan sedang menikmati sore harinya dengan santai. Mentari melewatinya tanpa menyapa.
"Tari," panggil Argan menghentikan langkah Mentari.
Mentari membalasnya dengan gumaman.
"Pinjami aku seratus." Tangan kanan Argan terangkat meminta.
"Tidak ada." Mentari berlalu, namun Argan mengejarnya.
"Kamu sudah gajian, kan? Tidak mungkin tidak punya uang."
Mentari tak menghiraukannya. Dia terus berjalan menuju dapur, haus. Argan mengikutinya.
"Seratus ribu saja, nanti aku ganti."
"Aku tidak punya uang, Argan. Gajiku hanya sedikit karena masih ma
Sebuah kejutan menyambut kepulangan Mentari dari bekerja."Hai, Tari, apa kabar?" Ajeng, kakak Argan duduk di ruang tamu ditemani ibu."Ka Ajeng. Kabarku baik, Kak Ajeng apa kabar?""Aku baik, Tari."Mentari bertanya-tanya dalam hati tujuan kedatangan Ajeng. Ajeng bukan kakak ipar yang akrab dengan Mentari. Mereka tidak bertukar sapa lewat telepon atau Whatsapp.Mata Mentari berkeliaran."Kamu mencari Argan?" Ajeng membaca gerak-gerik Mentari. "Dia tidak ikut, aku datang sendirian. Aku baru saja kembali dari Singapura. Koperku masih di dalam mobil. Cape sekali, tapi aku menyempatkan waktu kemari."Mentari ingat telah melihat sebuah mobil terparkir di jalan seberang rumah. Dipikirnya itu mobil tamu tetangga depan."Aku lupa membelikan kalian oleh-oleh seperti waktu itu saat aku pulang dari Bali, karena aku buru-buru. Pekerjaanku menuntut ketangkasan, jadi kadang hal-hal sepele jadi terlupakan."'Kakak adik sama saja,' batin Mentari. Gaya bicara Ajeng persis seperti gaya bicara adiknya,
"Tari, kenapa kamu bohong pada kak Ajeng? Kamu masih dalam masa percobaan di toko, kenapa kamu bilang sudah dikontrak?"Suara keras Argan terdengar hingga ke teras depan. Ibu yang sedang menyapu di halaman depan, melepaskan sapu dan masuk ke dalam. Tapi, menunggu di ruang tamu."Aku akan dikontrak," ucap Mentari berbohong. Belum ada pembicaraan dari Pak KT tentang kontrak Mentari. Alasan itu tercipta, karena dia benar-benar tidak ingin ikut Argan ke Jakarta."Makanya, sebelum kamu dikontrak segera berhenti. Seminggu lagi aku berangkat, pokoknya kamu sudah harus siap. Aku tidak mau mendengar alasanmu."Argan mengambil sepasang baju bersih dari dalam lemari, memasukkannya ke dalam tas olahraganya dan keluar. Mentari mengejarnya."Untuk apa aku dan Feliz ikut? Apa gunanya kehadiran kami di sana? Bukankah kami hanya akan merepotkanmu? Kenapa tidak pergi sendiri saja?""Kamu istriku. Tentu saja kamu harus ikut suamimu. Tidak masuk akal aku berada di Jakarta sementara kamu tinggal di sini."
Mata Mentari berkaca-kaca menatap ibu dan kakaknya. Tidak bisa lagi menahan, tangisnya pecah. Air mata berlinangan dari kedua matanya."Kabari Ibu kalau sudah tiba di Jakarta, ya?" Ibu merengkuh Mentari ke dalam pelukannya selama yang dia bisa. Pertama kalinya akan berpisah jauh dengan Mentari, terasa berat melepaskannya."Terus kabari kami situasi kamu di sana, jangan sampai hilang kontak!" pesan Cahya bergantian memeluk Mentari.Tak ada kata-kata yang sanggup dikatakan Mentari, tangisnya mulai mereda, namun air mata masih berlinang mengalir di pipinya yang hanya dibedaki tipis."Tari, ayo, nanti kita terlambat," panggil Argan sambil menutup bagasi mobil setelah memasukkan koper terakhir.Argan mendekati ibu dan Cahya, berpamitan pada mereka."Jaga Mentari dan Feliz baik-baik. Hubungi kami kalau ada apa-apa," wanti ibu menepuk lengan atas Argan."Jangan kuatir, Bu. Jakarta aman, tidak akan terjadi apa-apa pada mereka.'Daripada menguatirkan situasi Jakarta, ibu lebih cemas dengan kon
Pekerjaan Argan dimulai besok. Hari ini, dia mengajak Mentari berbelanja bahan makanan ke supermarket."Sempit sekali mobil ini, lihat kakiku yang panjang tidak muat," keluh Argan saat duduk di mobil yang diambilnya semalam."Syukuri saja, setidaknya ada mobil untuk dipakai bekerja dan kemana-mana," ucap Mentari yang duduk di kursi penumpang bersama Feliz. Tidak ada baby car seat, jadi Feliz duduk di pangkuan Mentari."Kenapa fasilitas yang diberikan serba minim seperti ini? Untuk proyek semegah ini, semua fasilitas ini tidak bisa diterima."Omelan Argan membuat Mentari pusing, maka dia membuka kaca jendela. Argan melihatnya."Kenapa kamu buka? Tutup lagi!""Anginnya segar.""Aku pasang AC, Mentari," bentak Argan. Karena Mentari tidak segera menutup jendela, Argan yang melakukannya.Tak ingin bertengkar untuk soal kecil, Mentari bermain-main dengan Feliz. Dia mengajaknya berdendang dan menari."Sakit kepalaku mendengarmu." Argan menghidupkan radio dan mengeraskan volumenya. Lagu metal
Bunyi itu kembali terdengar. Kali ini semakin keras. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali, berulang-ulang.Mentari panik. Dia bingung harus bagaimana. Argan tidak ada. Hanya ada dia dan Feliz yang tidak berdaya.Dengan meneguhkan hatinya, Mentari berdiri menghampiri pintu kamar. Telinganya menempel di pintu, berusaha mendengarkan bunyi dari balik pintu depan.Tiba-tiba sesuatu yang tidak diduganya terdengar."Tari, buka pintunya."Mentari tidak yakin. Perlahan dia membuka pintu kamar agar tidak menimbulkan bunyi, lalu dia mendengarkan."Tarii..."Suara lirih terdengar memanggil dari balik pintu.'Itu bukan suara Argan. SIapa itu?' batin Mentari ketakutan."Tari, ini aku, Argan, bukakan pintunya."Mentari mendekati pintu, mengintip keluar dari balik kelambu.Seorang pria berdiri berpegangan pada kusen pintu. Argan.Segera Mentari membuka kunci pintu. Dia mendapatkan suaminya itu dalam keadaan setengah sadar. Aroma alkohol menguar dari tubuhnya."Tari," ucap Argan dengan nada suara kh
Hari demi hari lewat begitu lambat. Rutinitas Mentari selalu sama. Mengurus Feliz, memasak, mencuci baju, membereskan rumah dan berjam-jam menonton Tiktok. Tak ada kegiatan lain yang bisa dilakukannya dan tak ada siapapun yang bisa diajaknya bicara.Pekerjaan Argan menuntutnya untuk bekerja dari pagi hingga malam hari. Begitulah kata Argan sewaktu ditanyai Mentari. Jadi, seharian penuh Mentari hanya bersama Feliz. Mulanya dia menikmatinya, karena tidak perlu meladeni ocehan Argan. Lama-kelamaan, dia merasa kesepian.Di saat merasa kesepian, dia selalu menelepon ibu atau kakaknya. Namun dia merasa tidak enak hati jika terlalu sering menelepon mereka, mengganggu waktu mereka beraktivitas atau istirahat.Bekerja adalah salah satu jalan keluar yang dipikirkannya. Selain memiliki kesibukan, dia juga bisa menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. Argan belum sebulan bekerja, dia belum mendapatkan gaji, hanya mengandalkan uang yang diberikan kakaknya.Tak sekalipun Mentari meminta uang dari A
Pintu depan terbuka lebar. Mentari menunggui Argan pulang.Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang, tapi Argan belum juga menampakkan diri. Mentari mondar-mandir di teras depan ditemani Feliz yang belum terlelap. Seperti mengerti perasaan ibunya, Feliz menemani Mentari sambil memainkan mobil-mobilan.Lampu mobil tampak dari kejauhan. Mentari yang telah duduk, berdiri hendak menyambut. Mobil semakin mendekat dan melewati rumah. Bukan Argan. Selanjutnya tidak lagi terlihat kendaraan mendekati kompleks perumahan. Angin malam bertiup dingin.Mentari melirik jam dinding. !0.22. Biasanya Argan tiba di rumah sekitar jam sepuluh, sekarang hampir setengah sebelas. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan. Saat jarum panjang berada di angka enam, Mentari mengajak Feliz masuk. Dikuncinya pintu depan dan mematikan lampu ruang tamu, lalu masuk ke kamar.Feliz menguap. Tanpa disusui, Feliz terlelap dengan sendirinya. Ini sudah melewati jam tidur malamnya, dia kelelahan.Pikiran Me
Malam ini, lagi-lagi Argan tidak pulang. Mentari menungguinya hingga larut malam, namun kabar pun tidak kunjung datang pada Mentari yang telah mengiriminya pesan Whatsapp.Sepanjang pagi, pikiran Mentari berkelana akan keberadaan Argan. Tak ada lagi yang dapat dikerjakannya selain menjagai Feliz. Semua tugas rumah telah dikerjakannya. Dia tidak ingin menunda lagi seperti kemarin. Entah dia tidak ingin Argan marah melihat kondisi rumah yang berantakan, atau dia hanya tidak ingin mendengarkan omelan Argan.Selama berada di Jakarta, perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Perasaannya dengan mudah berganti-ganti tatkala sesuatu terjadi. Itu dikarenakan dia tidak memiliki kegiatan lain yang bisa membuatnya sibuk. Pikirannya mengambil alih hidupnya."Kenapa kamu ga menuruti saranku, Tari? Coba saja, coba!" ucap Cahya saat Mentari meneleponnya dan mengeluh tentang perasaannnya."Ga semudah itu, Kak." Kembali Mentari mencari alasan."Kamu tidak akan mengetahui itu akan berhasil atau tidak ji