"Tari, bagaimana perkembangan lamaran pekerjaan kamu?" tanya Feri, suami Cahya saat makan malam."Belum ada kabar dari perusahaan-perusahaan yang terakhir aku kirimi lamaran, Kak," jawab Mentari lesu.Feri berhenti menyuap dan bicara menatap Mentari, "Saudara teman kantorku sedang membutuhkan staf administrasi. Memang hanya sebuah toko elektronik kecil, tapi lumayan untuk mengisi waktu sembari kamu menunggu pekerjaan lain.""Admin apa, Kak?" tanya Mentari tidak bersemangat."Admin umum. Tugasnya seputar pengelolaan dokumen dan stok barang toko, termasuk keuangan juga."Mentari menimbang lalu menjawab, "Boleh juga, Kak.""Oke. Besok aku beritahu temanku, nanti aku kabari kamu lagi bagaimana selanjutnya."Imajinasi Mentari melayang pada sebuah toko kecil dengan sebuah meja di pojok toko di mana dia akan bekerja.'Admin. Ini bukan yang aku inginkan,' batinnya."Boleh juga, Tari, daripada kamu seharian di rumah saja ga ada yang dikerjakan," ucap Cahya sambil menambahkan nasi ke piring Fer
Tiga hari. Itulah waktu yang diperlukan Mentari untuk bertahan di toko elektronik Pak Herman.Dalam perjalanan menuju toko pada hari pertama, dia berpikir mungkin itu adalah awal yang baik, meskipun tidak sesuai harapannya. Setidaknya dia tidak lagi menjadi seorang pengangguran.Namun di hari yang sama, dalam perjalanan pulang, dia berpikir itu bukanlah awal yang baik.Cara Bu Herman mengajarkan tugas yang harus dikerjakan Mentari, lebih seperti pada 'Coba kamu kerjakan sendiri."Dia memberikan Mentari sebuah dokumen dan menyuruhnya membuat laporan penjualan berdasarkan isi dokumen itu. Namun, dia tidak memberitahu bagaimana harus melakukannya."Kamu lulusan universitas, tidak perlu lagi saya mengajarkan bagaimana membuat laporan. Kerjakan dan serahkan secepatnya," perintahnya.Setelah Mentari menyelesaikan laporan berdasarkan pemahamannya, Bu Herman akan mencercanya dengan kata-kata yang tidak pernah didengarnya keluar dari mulut ibunya sendiri.Hal seperti itu terus berulang sepanja
"Kak, apa lagi makanan yang pasti laku untuk dijual dari rumah?" tanya Mentari pada Cahya saat sedang menyiapkan makan malam.Cahya menatapnya, "Kenapa? Kamu mau berjualan?""Iya, daripada menunggu pekerjaan yang belum pasti.""Memangnya kamu bisa masak?" cibir Cahya tertawa.Penuh percaya diri, Mentari menjawab, "Kalau tidak dicoba, mana aku tahu.""Masak nasi saja ga bisa, bagaimana yang lainnya?" ledek Cahya lagi."Rujak tidak perlu dimasak."Suara tinggi Cahya memenuhi dapur, "Enak saja! Itu mata pencaharianku. Bagaimana mungkin serumah berjualan menu yang sama?""Bukan begitu maksudku," elak Mentari, "Ada makanan lain yang tidak perlu dimasak, kan? Seperti salad buah."Kepalan tangan Cahya mengetok kepala Mentari lembut, "Kalau mempunyai jawabannya, kenapa harus bertanya pada kakakmu ini?""Aku minta pendapat Kakak. Kira-kira salah bisa laku ga?""Mungkin bisa kalau kamu menjualnya secara online juga. Bisa dipasarkan di Facebook dan Whatsapp. Dicoba saja dulu.""Kalau jus dan es?
Mentari tidak menyerah, dia kembali mencoba berjualan besok harinya. Sejak pagi, dia telah mengunggah foto jualannya di Facebook dan status Whatsapp.Setelah memandikan Feliz dan memberinya makan, Mentari kembali sibuk dengan jualannya."Bu, siapa kira-kira yang bisa mengantarkan dagangan Tari?" tanya Mentari sambil meletakkan Feliz di lantai. Feliz segera berjalan berkeliling ruang tamu."Mobil..."Sebelum ibu menyelesaikan ucapannya, Mentari telah memotongnya, "Bukan mobil Argan, Bu. Aku hanya perlu ojek saja.""Hmm..." Ibu berpikir, "Anaknya Bu Diah. Kalau tidak salah dia bekerja sebagai ojek online.""Yang ojek biasa siapa aja, Bu? Aku memerlukan yang siap mengantar saat ada pesanan masuk dadakan, yang siap sepanjang hari."Ibu menyebutkan beberapa nama yang ditolak Mentari dengan berbagai alasan."Tidak ada lagi. Mereka saja yang memiliki motor.""Pasang iklan saja di Facebook atau Whatsapp, Tari. Siapa tahu ada yang melihat dan tertarik. Atau mungkin kenalannya ada yang bisa."U
Buku catatan yang terbuka di atas meja kamar Mentari dipenuhi daftar panjang usaha yang bisa dikerjakan dari rumah. Semalam saat Feliz telah terlelap, Mentari mencari referensi dari internet, usaha modal kecil berpenghasilan besar.Setelah sarapan, Mentari membawa buku itu keluar dan membacakannya pada ibu dan Cahya, meminta pendapat mereka. Ibu dan Cahya menanggapi setiap jenis usaha yang diucapkan Mentari."Tari, carilah usaha yang sanggup kamu kerjakan, jangan memaksakan diri untuk menekuni usaha yang ditekuni orang lain," saran ibu."Jangan termakan apa yang kamu baca dari internet. Pikirkan matang-matang dahulu," imbuh Cahya."Dari semua yang aku sebutkan, tidak ada yang sanggup aku kerjakan?" tanya Mentari tidak mengerti. Baginya dia mampu memulai semua bisnis itu, makanya dia mencatatnya dan meminta saran keluarganya mana yang lebih tepat dia tekuni."Semua yang kamu sebutkan adalah usaha menengah dengan modal cukup besar. Modal darimana?"Mentari tertunduk lesu. Menurutnya, bi
Usaha Mentari merugi. Hampir sepuluh baju tidak dibayar lunas. Sekarang dia tidak memiliki modal lagi untuk menambah stok baju di rumah. DI pajangan hanya tergantung dua baju saja."Bu, aku lelah," keluhnya memandangi gantungan baju yang hampir kosong."Jangan menyerah. Jadikan pengalamanmu sebagai pembelajaran. Teruslah berjualan. Hanya saja, kali ini jangan memberikan cicilan. Semua harus dibayar lunas di depan," saran ibu menyemangati Mentari."Ada uang ada barang," celetuk Cahya dari dalam kamarnya. Dia sedang mengejar Feliz yang tiada henti keluar masuk seluruh ruangan di dalam rumah sambil sesekali menyambar barang yang dianggapnya menarik."Feliz, jangan ambil itu!" teriak Cahya dari dalam kamar.Terdengar suara tawa Feliz, diikuti kemunculannya dari dalam kamar."Berikan!" Cahya mengejarnya dan merampas lipstick yang digenggam Feliz. Feliz pernah menggunakan lipstick Cahya untuk menghiasi dinding kamar Mentari dengan lukisan abstrak.Tangisan Feliz pecah. Ibu segera menggendon
"Kak, aku ga mengerti dengan Argan. Dia telah membohongiku selama ini." Mentari mencurahkan isi hatinya pada kakaknya saat sedang membereskan rumah besok harinya.Dengan seksama, Cahya mendengarkan. Dia menunggu Mentari mencurahkan semua yang ingin diungkapkannya sebelum dia menanggapi."Katanya dia tidak merokok. Tapi, semalam dia mengatakan bahwa dia merokok sejak SMA. Tega sekali dia membohongiku, Kak. Apalagi, tidak ada rasa bersalah di wajahnya saat mengucapkannya. Aku benar-benar marah, Kak."Setelah jeda cukup lama, Cahya mengartikan bahwa Mentari telah selesai bercerita."Lalu, kamu mau apa sekarang? Sudah terbukti dia merokok, kamu telah melihatnya dengan matamu sendiri, Argan pun telah mengakuinya."Sejenak Mentari memikirkannya, "Tidak tahu, Kak.""Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah menerima kenyataannya, bahwa dia merokok," ucap Cahya lembut. Cahya membereskan mainan Winar yang bertebaran di atas sofa dan lantai. Dimasukkannya ke dalam kantong besar tempat mainan W
Setelah teguran Mentari atas merokoknya Argan tempo hari, Argan lebih jarang berada di rumah. Dia lebih banyak tinggal di rumah orang tuanya. Mentari tidak masalah dengan itu, malah dia menikmatinya. Tidak perlu mendengar protes-protesnya.Mentari membuka portal lowongan kerja dan memeriksa hasil lamarannya. Tidak diterima. Dia pun menggulir Facebook, membaca setiap postingan teman-teman Facebook yang ada di berandanya. Sebagian besar memuat tentang kisah perjalanan hidup mereka yang menyenangkan atau mengesankan.Jarinya terus menggulir ke bawah. Dia berhenti pada sebuah iklan yang menampilkan penerimaan karyawan baru. Sebuah minimarket yang terkenal di seluruh negeri sedang membuka lowongan pekerjaan besar-besaran di hampir semua cabang di Indonesia.Iseng Mentari membaca persyaratannya. Dia memenuhi semua kriteria itu. Dia mencatat alamat email yang tertera pada memo ponselnya."Apa salah mencoba, kudengar gaji yang diberikan juga lumayan." Dia pun mengirimkan lamarannya.Beberapa