Abidzar tampan?
Jelas jawabannya adalah ya! Pria itu lahir dari pasangan suami-istri berwajah rupawan. Ayahnya tampan khas pria Asia Tenggara, berbadan tegap, dengan mata gelap memesona. Ibunya pula berkulit putih, hidung mancung khas wanita Timur Tengah, serta senyum indah menenangkan dengan dagu terbelah. Gen terbaik dari dua orang itu, menyatu dengan sempurna sehingga visual Abidzar sukses memabukkan mata kaum hawa. Sayangnya, sinyal ketampanan yang demikian sama sekali tak berpengaruh lebih pada Zayra. Memang, gadis itu mengakui wajah suaminya jauh di atas rata-rata, tapi baginya, ketampanan wajah bukan prioritas untuk membuatnya terpana. Buktinya, Zayra tetap bisa memasang lipstik dengan benar meski penampilan Abidzar tampak paripurna dari bayangan yang dipantulkan cermin tempatnya berhias. “Tolong ambilkan parfum berbotol lonjong itu, Istriku.” “Panggilan yang anda sematkan untuk saya barusan terdengar ambigu, Tuan. Salah-salah, orang akan berpikir bahwa anda benar-benar menganggap saya sebagai istri tercinta,” balas Zayra seraya menyerahkan benda nan diminta sang suami. Abidzar pula hanya terkekeh sambil menyemprotkan cairan wangi yang dimintanya tadi ke pergelangan tangan, lalu menggesekkan pergelangan tersebut dengan lembut ke kulit lehernya sendiri. Zayra yang sudah selesai berdandan dan hendak pergi dari tempatnya, terpaksa mengurungkan niat lantaran Abidzar melangkah ke depan. Artinya, memperpendek jarak antara mereka. Tanpa bertanya atau menduga-duga, wanita itu duduk dengan tenang di kursinya. “Kali ini kau keliru, Nona Perfeksionis,” ujar Abidzar mengundang tanda tanya besar di kepala Zayra. “Maksud anda?” Zayra bertanya sambil matanya tak lepas memandang kedua lengan Abidzar—yang melintasi dua lengannya dengan jarak tak sampai dua centimeter, untuk menaruh kembali si botol kaca lonjong ke tempat semula. “Jika seorang pria benar-benar mencintai istrinya, maka dia akan seperti ini,” ucapan Abidzar dijeda oleh si empunya mulut, yang lebih memilih menggunakan sepasang bibir tersebut untuk mengecup pipi wanita cantik di bawah kungkungannya lalu berkata, “Kau sangat cantik, Sayang. Terima kasih karena tadi sudah mengambilkan parfum untukku. Sekarang kau bebas menciumku sepuasnya, wangiku adalah untukmu.” “Jangan mengada-ada!” Zayra pun mendorong kuat kursi hiasnya. Dia tak peduli bahwa dada Abidzar—yang sedikit membungkuk, masih berada persis di belakang kepalanya. Juga, gadis itu hanya menatap sekilas pada sang suami yang meringis meratapi lututnya terhantuk kursi dengan keras. “Kau salah paham, Sialan!” seru Abidzar dengan susah payah melawan nyeri di lutut untuk mengejar Zayra. Tak sia-sia, dia berhasil mencekal tangan sang istri sebelum wanita itu meninggalkan kamar mereka. “Tadi itu hanya gambaran bagaimana sebenarnya jika seorang pria benar-benar mencintai istrinya, bukan berarti saya benar-benar mencintaimu. Ingat, hanya gambaran. Apa yang saya lakukan tadi hanya gambaran, tak lebih. Jadi, jangan kau masukkan dalam hati.” “Termasuk ciuman di pipi tadi?” tanya Zayra menatap nyalang manik mata Abidzar. Tanpa gentar, Abidzar mengangguk. Namun, sedetik berikutnya satu gagasan bersarang dalam otak si tuan muda sehingga langsung bertanya, “Jangan bilang kau terbawa perasaan karena itu?” “jelas tidak, saya hanya tidak suka dicium sembarangan,” jelas Zayra kemudian melanjutkan langkah. Malam ini, mereka akan menunaikan undangan makan malam bersama Tuan dan Nyonya Daneswara. Anggotanya memang itu-itu saja, tapi kali ini tempatnya yang berbeda, pasti juga lebih istimewa. Maka apapun yang terjadi, Zayra tak akan mengacaukan acara malam ini. Sayang sekali, Abidzar tak peduli pada Zayra yang sekuat tenaga menahan diri. Dengan masa bodohnya, dia berlari menyusul langkah sang istri yang lebih memilih menuruni anakan tangga daripada menggunakan lift. Abidzar mengirim tanya, “Kau marah?” Tak dijawab. “Ayolah, itu hanya hal sepele.” Zayra tetap diam. “Atau mungkin kau sedang PMS makanya sensitif sekali?” “Eh tidak, kau bahkan salat sebelum bersiap tadi.” “Hei, jawab, Sialan!” “Apa kau tuli?” Zayra membalik tubuh tiba-tiba. “Astaga!” seru Abidzar terkejut. “Orang bilang, ‘terlalu sering marah membuat wajah lebih cepat tua.’ Ayolah, sadar diri sebentar, kau—” Detik itu juga, Abidzar mengunci mulut lantaran Zayra menatapnya tajam dan dingin. Si Tuan Muda berdiri mematung persis seperti sebuah belati mematikan sedang bertengger di urat nadi lehernya. Zayra lantas berdesis dengan aura jahanam seolah mengelilinginya, “Sekali lagi kau bicara omong kosong, lihat saja apa yang akan kaudapatkan!” Tinggallah Abidzar menatap punggung berbalut gaun a line biru tua yang telah keluar dari pintu utama mansion mereka itu dengan tatapan ngeri. “Padahal yang tadi baru kecupan, belum ciuman. Tak terbayangkan bagaimana reaksinya jika nanti kuajak French kiss, tadi saj—” “Siapa yang akan kamu ajak melakukan itu, Abi?” Nyonya Ruhi bertanya menggoda. Jelas dari kerlingan matanya. Sementara Tuan Sam menepuk bahu sang putra sambil berkata, “Jangan terburu-buru, boy. Gadis seperti Zayra itu memang sulit dijinakkan, tapi percayalah, dia tak akan mengecewakanmu. Ambil dulu hatinya, maka dia tak akan menolak permintaanmu. Tapi jangan sekali-kali kamu mencoba memanfaatkan Zayra, Abidzar, karena Papa tak akan tinggal diam jika itu terjadi.” Kontan, Abidzar sebal. Pertama, orangtuanya pasti berpikir bahwa dia mulai tertarik pada Zayra, yang mana itu tidaklah benar. Kedua, orangtuanya masih saja menunjukkan kasih sayang mereka yang lebih besar pada Zayra, daripada terhadapnya. “Seolah Zayra lah anak kalian, Ma, Pa!” ••• Meski Abidzar sempat memasang raut masam, tetapi acara makan malam keluarga tetap berlangsung hangat. Suasana itu terbentuk sebab tuan dan nyonya Daneswara yang getol sekali memuji putra semata wayang mereka. “MasyaAllah, anak Mama tampan sekali,” ujar sang nyonya. Seketika, Abidzar berdecih. “Mama pikir aku ini bocah SD yang luluh karena pujian palsu begitu?” “Siapa bilang itu pujian palsu?” nyonya Ruhi balas bertanya, lalu mencolek lengan Zayra yang duduk tepat di sisi. “Kalau tidak percaya, tanya saja pada Zayra. Benar kan, Zayra, Abidzar itu tampan?” “Ya,” balas Zayra pendek. Tuan Sam yang melihat wajah Abidzar makin sebal, lantas menyerahkan seekor udang dari piringnya pada sang putra. “Kamu tahu sudah bukan anak SD lagi, tapi masih saja suka merajuk. Kamu tahu kan, kenapa kita makan malam di sini?” Nyinya Ruhi kembali berkata, “Sebenarnya, kami senang sekali mendengar tekadmu, Abi. Mama dan Papa tidak menuntut banyak, kami hanya ingin kamu menjadi pria yang bertanggung jawab. Minimal pada diri sendiri, dan pekerjaan kamu. Kamu putra tinggal kami, kami jelas tak senang jika kamu diremehkan oleh siapa pun.” Mendengar itu, hati Abidzar tersentil. Dia pun menatap ibunya dan tersenyum. “Baiklah, Abi akan berusaha. Tentunya dengan si perfeksionis yang rakus, tapi cantik ini.” Zayra yang ditunjuk tak memasukkan ucapan Abidzar ke dalam hati, tetapi dia dengan cepat memasukkan sepotong tomat ceri dari saladnya ke mulut Abidzar, supaya kalimat pria itu tak sampai membuat mood-nya ikut berantakan. “Tomat ceri bagus untuk menangkal radikal bebas, Tuan Muda. Kau harus banyak makan itu, selmu membutuhkannya,” ujar Zayra seolah istri perhatian. Dia juga memilah menu untuk suaminya itu, berdasarkan apa yang Abidzar suka dan tubuhnya butuh. Ketelatenan Zayra membuat Tuan dan Nyonya Daneswara puas. Mereka pun lanjut menikmati malam sambil membuat lelucon sehingga derai tawa selalu terdengar di sana. ••• Esok harinya di jam istirahat kantor, Zayra memeriksa Abidzar yang tak kunjung keluar ruangan. Semula, wanita itu pikir si tuan muda terlalu fokus bekerja. Rupanya, dia keliru. “Yah, Sialan!” umpat Abidzar seraya menaruh ponselnya dengan kasar ke atas meja. Zayra yang kemudian ditatap kesal, lekas bertanya, “Kenapa?” “Kedatanganmu membuat fokus saya terpecah. Karenanya cacing saya yang sudah panjang dan besar mati, menabrak cacing kecil yang baru saja lahir, harusnya saya masih sempat menghindar. Padahal saya sudah sangat hati-hati, yang barusan adalah cacing terpanjang saya setelah tiga jam bermain,” balas Abidzar panjang lebar. “Tiga jam bermain? Anda bercanda bukan?” Jelas, Zayra terkejut mendengar fakta itu. “Tidak, saya serius. Dan kau, pengganggu!” Tanpa peduli, Abidzar berjalan begitu saja melewati Zayra yang melongo. Saat tersadar, barulah Zayra mengejar langkah Abidzar dan bertanya, “Tuan, bukannya anda sudah berkomitmen aka—” “Akan mengerjakan jobdesk pekerjaan ini dengan otak dan tangan sendiri? Ayolah, tanpa bersusah-payah begitu, perusahaan ini tetap akan jatuh ke tangan saya. Mau dewan direksi setuju atau tidak, saya lah Putra Mahkota Daneswara Group!” Tanpa bisa berkata-kata lagi, Zayra mengembuskan napas berat. Abidzar memang tampan, tetapi persentase seblengnya lah yang dominan.Pukul sebelas malam, Zayra tiba di mansion mewah bertingkat lima yang tak lain adalah kediaman orang paling berjasa dalam pencapaian kariernya. Wanita muda itu menyeret koper begitu turun dari taxi, dan disambut oleh salah satu petugas keamanan untuk diantarkan sampai ke depan pintu utama.Sembari menunggu pintu dibukakan, Zayra merapikan kerah cardingan-nya yang sedikit melorot. Tepat setelah penampilannya kembali baik, gadis itu balik badan sebab mendengar daun pintu telah dibukakan.“Selamat ma—” Zayra terdiam seketika. Dia pikir, yang membukakan pintu adalah maid, rupanya bukan. Segera, gadis itu memasang senyum sopan pada sosok jangkung berwajah rupawan yang kini berdiri persis di hadapan. “Selamat malam, Tuan Muda. Maaf sudah merepotkan anda membukakan pintu.” Ah, basa-basi, Zayra sebenarnya kurang menyukai hal tersebut, tetapi harus dilakukannya demi kenyamanan bersama. Gadis itu masih tak beranjak, sekadar sopan santun menunggu balasan dari putra sang pemilik rumah. Namun, ap
“Selamat malam, Tuan,” sapa Zayra begitu dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Besar Daneswara yang berada di lantai tiga. “Akhirnya kamu datang juga, Zayra. Maaf membuatmu ke mari malam-malam begini.” Tuan Abrisam pun mengajak Zayra duduk ke sofa, semata supaya perbincangan mereka berjalan lebih santai. Saat Zayra mengangguk atas ucapan maafnya, beliau pun menyambung kata, “Saya benar-benar tak bisa tidur rasanya. Kali ini, kelakuan Abidzar membuat saya hampir mati berdiri. Kamu sudah mendengar ceritanya, bukan?""Ya," Zayra menjawab singkat. Sehingga Tuan Sam tak mampu menahan lidahnya untuk membeberkan, "Bisa-bisanya anak itu tidak jadi merilis produk terbaru kita yang sudah disiapkan dengan sempurna dari segala aspek, hanya karena istri sekretarisnya melahirkan dadakan. Ya Tuhan, padahal dia hanya tinggal—ah, sudahlah. Memikirkan hal itu lagi, membuat saya malu menampakkan wajah di hadapan dewan direksi perusahaan."“Saya turut menyayangkan hal tersebut, Tuan,” ucap Zayra pela
Tak bisa menolak, tak bisa mengelak. Itulah keadaann Abidzar dan Zayra yang kini duduk bersisian di ranjang luas dalam kamar sang Tuan Muda Daneswara. Mereka hanya diam sambil menghela napas lantaran masih di tahap coba menerima keadaan, di mana keduanya telah sah menjadi sepasang suami-istri sejak setengah jam lalu.Ya, keinginan Tuan Sam berjalan mulus dan secepat kilat. Hanya berselang sehari saja sejak berhasil membuat Zayra berkata setuju, pernikahan pun digelar meski ala kadarnya. Jelas, itu bukan karena mereka yang tak mampu, melainkan sebab syarat dari sang putra yang sulit sekali dijinakkan. Dalam otak tuan dan nyonya Daneswara kala itu hanya pernikahan sah di mata agama dan negara lah yang jadi prioritas. Masalah mengumumkan pernikahan, bisa dilakukan belakangan. Sadar bahwa diam-diaman tak menyelesaikan masalah, Zayra meminta atensi Abidzar lantaran ingin memastikan masa depan. “Bagaimana jalannya pernikahan ini nantinya, Tuan Muda?” “Sudah jelas, status kita hanya seba
“Whoa!” Abidzar berseru keras. Matanya mengerling pada Zayra dan berucap, “Kau beringas sekali, Sayang!” Jelas, si suami hanya menyindir. “Sudah saya katakan, dilarang minta berhu—” PletakZayra menjitak kening Abidzar kencang. “Nyonya Ruhi yang bilang, anda selalu tidur hanya dengan bokser. Saya tidak mau anda sembarang lagi menaruh celana seperti kemeja tadi. Jadi, tak perlu bertingkah seolah naga anda itu menggiurkan. Ukurannya pun kecil, anda tak usah terlalu bangga.”“Sembarangan sekali kau bilang kecil. Tahu dari mana memangnya? Lihat saja tak pernah!” “Tak perlu melihat langsung, nanti saya muntah!” “Awas saja kau ketagihan!”“Tidak akan!”Sudah lah, Abidzar hilang akal. Dia langsung saja membuka celananya di hadapan Zayra, bahkan berniat menunjukkan naganya supaya tak lagi diejek.Namun, gerakan pria itu terhenti begitu Zayra bertanya, “Bagaimana rasanya ludah sendiri?” Saraf-saraf otak Abidzar kembali tersambung dan dia mengumpat begitu sadar telah dibodohi. Zayra pun be
Tawaran damai dari Zayra ditolak mentah-mentah oleh Abidzar. Itu pula nan menjadi alasan mengapa Zayra kembali ke setelan awal hubungannya dengan sang tuan muda, tak lain dan tak bukan, layaknya anjing dan kucing. Saling menggonggong-mengeong dengan nada tinggi tak berkesudahan, serta saling cakar melampiaskan amarah juga pembalasan dari kekalahan di waktu yang lalu. Persis seperti yang terjadi di ruang kerja nan ditempati Manager Pemasaran Perusahan Raksasa Dantex Group a.k.a Abidzar Khafi Daneswara. “Kau, kenapa kau ada di sini?” tanya Abidzar syok, sekaligus merasakan aura tak mengenakkan terhadap kehadiran Zayra di hadapannya. Satu pekan tinggal bersama, tentu membuat Abidzar hafal di luar kepala bagaimana tabiat si istri sementara. “Menumpang BAB,” balas Zayra berwajah datar. Namun, ekspresi tersebut berubah murka secepat kilat kala si wanita melihat Abidzar mengangguk seolah percaya. “Tentu saja bekerja!” Zayra membanting tumpukan berkas di tangannya ke meja kerja san
Abidzar tampan? Jelas jawabannya adalah ya! Pria itu lahir dari pasangan suami-istri berwajah rupawan. Ayahnya tampan khas pria Asia Tenggara, berbadan tegap, dengan mata gelap memesona. Ibunya pula berkulit putih, hidung mancung khas wanita Timur Tengah, serta senyum indah menenangkan dengan dagu terbelah. Gen terbaik dari dua orang itu, menyatu dengan sempurna sehingga visual Abidzar sukses memabukkan mata kaum hawa. Sayangnya, sinyal ketampanan yang demikian sama sekali tak berpengaruh lebih pada Zayra. Memang, gadis itu mengakui wajah suaminya jauh di atas rata-rata, tapi baginya, ketampanan wajah bukan prioritas untuk membuatnya terpana. Buktinya, Zayra tetap bisa memasang lipstik dengan benar meski penampilan Abidzar tampak paripurna dari bayangan yang dipantulkan cermin tempatnya berhias. “Tolong ambilkan parfum berbotol lonjong itu, Istriku.”“Panggilan yang anda sematkan untuk saya barusan terdengar ambigu, Tuan. Salah-salah, orang akan berpikir bahwa anda benar-benar me
Tawaran damai dari Zayra ditolak mentah-mentah oleh Abidzar. Itu pula nan menjadi alasan mengapa Zayra kembali ke setelan awal hubungannya dengan sang tuan muda, tak lain dan tak bukan, layaknya anjing dan kucing. Saling menggonggong-mengeong dengan nada tinggi tak berkesudahan, serta saling cakar melampiaskan amarah juga pembalasan dari kekalahan di waktu yang lalu. Persis seperti yang terjadi di ruang kerja nan ditempati Manager Pemasaran Perusahan Raksasa Dantex Group a.k.a Abidzar Khafi Daneswara. “Kau, kenapa kau ada di sini?” tanya Abidzar syok, sekaligus merasakan aura tak mengenakkan terhadap kehadiran Zayra di hadapannya. Satu pekan tinggal bersama, tentu membuat Abidzar hafal di luar kepala bagaimana tabiat si istri sementara. “Menumpang BAB,” balas Zayra berwajah datar. Namun, ekspresi tersebut berubah murka secepat kilat kala si wanita melihat Abidzar mengangguk seolah percaya. “Tentu saja bekerja!” Zayra membanting tumpukan berkas di tangannya ke meja kerja san
“Whoa!” Abidzar berseru keras. Matanya mengerling pada Zayra dan berucap, “Kau beringas sekali, Sayang!” Jelas, si suami hanya menyindir. “Sudah saya katakan, dilarang minta berhu—” PletakZayra menjitak kening Abidzar kencang. “Nyonya Ruhi yang bilang, anda selalu tidur hanya dengan bokser. Saya tidak mau anda sembarang lagi menaruh celana seperti kemeja tadi. Jadi, tak perlu bertingkah seolah naga anda itu menggiurkan. Ukurannya pun kecil, anda tak usah terlalu bangga.”“Sembarangan sekali kau bilang kecil. Tahu dari mana memangnya? Lihat saja tak pernah!” “Tak perlu melihat langsung, nanti saya muntah!” “Awas saja kau ketagihan!”“Tidak akan!”Sudah lah, Abidzar hilang akal. Dia langsung saja membuka celananya di hadapan Zayra, bahkan berniat menunjukkan naganya supaya tak lagi diejek.Namun, gerakan pria itu terhenti begitu Zayra bertanya, “Bagaimana rasanya ludah sendiri?” Saraf-saraf otak Abidzar kembali tersambung dan dia mengumpat begitu sadar telah dibodohi. Zayra pun be
Tak bisa menolak, tak bisa mengelak. Itulah keadaann Abidzar dan Zayra yang kini duduk bersisian di ranjang luas dalam kamar sang Tuan Muda Daneswara. Mereka hanya diam sambil menghela napas lantaran masih di tahap coba menerima keadaan, di mana keduanya telah sah menjadi sepasang suami-istri sejak setengah jam lalu.Ya, keinginan Tuan Sam berjalan mulus dan secepat kilat. Hanya berselang sehari saja sejak berhasil membuat Zayra berkata setuju, pernikahan pun digelar meski ala kadarnya. Jelas, itu bukan karena mereka yang tak mampu, melainkan sebab syarat dari sang putra yang sulit sekali dijinakkan. Dalam otak tuan dan nyonya Daneswara kala itu hanya pernikahan sah di mata agama dan negara lah yang jadi prioritas. Masalah mengumumkan pernikahan, bisa dilakukan belakangan. Sadar bahwa diam-diaman tak menyelesaikan masalah, Zayra meminta atensi Abidzar lantaran ingin memastikan masa depan. “Bagaimana jalannya pernikahan ini nantinya, Tuan Muda?” “Sudah jelas, status kita hanya seba
“Selamat malam, Tuan,” sapa Zayra begitu dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Besar Daneswara yang berada di lantai tiga. “Akhirnya kamu datang juga, Zayra. Maaf membuatmu ke mari malam-malam begini.” Tuan Abrisam pun mengajak Zayra duduk ke sofa, semata supaya perbincangan mereka berjalan lebih santai. Saat Zayra mengangguk atas ucapan maafnya, beliau pun menyambung kata, “Saya benar-benar tak bisa tidur rasanya. Kali ini, kelakuan Abidzar membuat saya hampir mati berdiri. Kamu sudah mendengar ceritanya, bukan?""Ya," Zayra menjawab singkat. Sehingga Tuan Sam tak mampu menahan lidahnya untuk membeberkan, "Bisa-bisanya anak itu tidak jadi merilis produk terbaru kita yang sudah disiapkan dengan sempurna dari segala aspek, hanya karena istri sekretarisnya melahirkan dadakan. Ya Tuhan, padahal dia hanya tinggal—ah, sudahlah. Memikirkan hal itu lagi, membuat saya malu menampakkan wajah di hadapan dewan direksi perusahaan."“Saya turut menyayangkan hal tersebut, Tuan,” ucap Zayra pela
Pukul sebelas malam, Zayra tiba di mansion mewah bertingkat lima yang tak lain adalah kediaman orang paling berjasa dalam pencapaian kariernya. Wanita muda itu menyeret koper begitu turun dari taxi, dan disambut oleh salah satu petugas keamanan untuk diantarkan sampai ke depan pintu utama.Sembari menunggu pintu dibukakan, Zayra merapikan kerah cardingan-nya yang sedikit melorot. Tepat setelah penampilannya kembali baik, gadis itu balik badan sebab mendengar daun pintu telah dibukakan.“Selamat ma—” Zayra terdiam seketika. Dia pikir, yang membukakan pintu adalah maid, rupanya bukan. Segera, gadis itu memasang senyum sopan pada sosok jangkung berwajah rupawan yang kini berdiri persis di hadapan. “Selamat malam, Tuan Muda. Maaf sudah merepotkan anda membukakan pintu.” Ah, basa-basi, Zayra sebenarnya kurang menyukai hal tersebut, tetapi harus dilakukannya demi kenyamanan bersama. Gadis itu masih tak beranjak, sekadar sopan santun menunggu balasan dari putra sang pemilik rumah. Namun, ap