Benar-benar ingin gila rasanya. Bahkan Belinda tidak memiliki tenaga ingin berbuat onar lagi. Insiden kemarin mereka bertengkar hanya karena permasalahan kecil, sedangkan sekarang diajak menikah tiba-tiba. Sebenarnya dosen killer ini waras atau tidak sih. Belinda masih belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat Brandon berubah pikiran, yang pasti pertanyaan itu sudah membuat darahnya mendidih.
“Bapak bercanda? Bapak mau menikahi saya tiba-tiba? Kenapa?” Tentunya Brandon tidak bisa menjawab alasan kenapa ia ingin menikahi mahasiswinya tiba-tiba. Apalagi mustahil ia berkata bahwa dirinya ingin menikah demi bisa menghindari wanita gila itu. Tangan kanannya terus menggenggam setiran dengan erat sambil menunduk. Belinda memutar bola mata sambil tertawa remeh. “Bapak menyukai saya sebenarnya sampai mau menikahi saya?” “Belinda, soal itu–” “Saya tidak menyangka bapak juga tipe dosen yang suka mempermainkan mahasiswinya. Apa perlu saya lapor ke dekan?” Belinda menepuk jidat. “Saya lupa kalo bapak kerja jadi dosen di kampus lewat jalur orang dalam.” Brandon menghela napas pasrah, dengan tatapan percaya diri ia menyentuh pundak lengan mahasiswinya. “Saya ingin menikahimu karena saya membutuhkanmu, Belinda!” “Membutuhkanku karena apa? Bapak harus jawab pertanyaan saya dulu baru saya bisa kasih jawaban!” “Karena saya butuh kamu merawat ibu saya!” Mendengar alasan Brandon tidak masuk akal, Belinda tertawa puas. “Hanya karena itu? Saya kan bisa rawat beliau setiap hari. Memangnya kenapa sampai harus menikah segala?” Mata Brandon sedikit memerah. Dengan lemas tangan kanannya meraih pipi lembut di hadapannya. “Sebenarnya nyawa ibu saya sedang terancam sejak dulu. Kalo tidak ada yang menjaganya, saya bisa kehilangannya. Tapi, mengetahui kamu adalah sosok penyelamat ibu saya, saya memercayaimu, Belinda. Selamatkan ibu saya.” Belinda tidak bisa berbuat apa pun selain terus menunduk. Mendengar alasan Brandon kali ini, ia justru penasaran. Kenapa nyawa Bu Yenny terancam sedangkan selama ini terlihat baik-baik saja? Sebenarnya apa latar belakang keluarga Brandon? Nada bicara dosen killer ini yang lirih membuat hatinya terasa perih, entah kenapa jika ingin menolak langsung, ia merasa tidak bisa melakukannya. “Beri saya waktu berpikir selama dua hari. Lusa pagi, saya akan kasih jawaban ke bapak.” Brandon mengangguk pelan sambil menekan tombol kunci pintu mobil. “Baiklah, pikirkan yang matang, Belinda. Ini tugas pertama dari saya untukmu. Meskipun tugas pertama, tapi jawaban yang kamu berikan memengaruhi masa depanmu.” ***** Belinda tidak bisa berpikir jernih saat memasuki rumah mewah milik keluarga angkatnya. Dengan lemas berjalan menuju ruang tamu yang dipenuhi anggota keluarga angkat sedang sibuk dengan diri masing-masing. Sang ibu tiri menyambut kedatangan Belinda dengan tatapan dingin. “Kamu habis dari mana?” “Aku habis ke perpus bareng Yena,” jawab Belinda dengan lemas. Ayah tiri langsung beranjak dari sofa tanpa menyambut kedatangan Belinda. “Setiap hari hanya bisa main saja. Tidak memikirkan masa depan!” Belinda mengepalkan tangan dengan erat. “Aku justru hampir setiap hari belajar dengan giat sampai menjadi mahasiswi teladan di kelas. Ayah selalu menganggapku tidak berguna hanya karena sampai sekarang aku tidak pernah pacaran. Sebenarnya mau ayah apa sih?!” Sang ayah berbalik badan memasang tatapan murka. “Kamu itu hanya anak angkat, buat apa belajar yang rajin? Kamu mau kerja di perusahaan ayah? Jadi bos? Kebanyakan mimpi!” Air mata mulai membendung di kelopak mata. “Tega amat ayah berkata seperti itu di hadapanku! Padahal perusahaan itu didirikan ayah kandungku juga!” teriak Belinda dengan suara mulai serak. “Pokoknya tugasmu selama tinggal di keluarga ini, kamu cukup menikah saja dan tinggal sama suamimu saja! Sebenarnya kami lelah mengurusmu selama bertahun-tahun sejak kecelakaan itu!” Cukup lelah berdebat bersama keluarga angkat yang selalu membuat dadanya terasa sesak. Belinda berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kemudian, memasuki kamar dan mengunci pintu dengan rapat. Dalam posisi terbaring di ranjang, Belinda melampiaskan tangisannya sambil memeluk sebuah bingkai foto kecil berisi foto keluarga sewaktu dulu. “Ibu… ayah… aku kangen kalian. Aku cape hidup bersama keluarga paman.” Rasanya kepala ingin pecah memikirkan dua masalah besar yang dihadapinya hari ini. Pertama, dilamar oleh dosen paling dibencinya tiba-tiba. Kedua, orang tua angkatnya terus mendesaknya menikah agar bisa melepaskannya. Apakah tawaran diberikan Brandon sebelumnya, ia ingin memanfaatkannya saja agar bisa terbebas dari neraka? Sejenak ia memposisikan tubuhnya duduk bersandar di sandaran ranjang, sambil membuka daftar kontak mencari nama dosen menyebalkan itu. Saat menemukan nama kontak “Dosen Killer”, rasanya jempol ingin menekan tombol memulai panggilan telepon. Namun, apakah mungkin bisa langsung menjawab tawaran itu? Suara hati saja sebenarnya masih bimbang, karena ia masih membenci Brandon walaupun merupakan putranya Bu Yenny. ***** Keesokan harinya… Belinda pergi ke kampus dengan penampilan kusut akibat sepanjang malam terus menangis dan tidak bisa tidur nyenyak. Hari ini kebetulan tidak ada kelas strategi manajemen, sehingga waktu yang pas untuk mematangkan keputusannya tanpa harus campur aduk dengan suasana belajar di kelas. Sepanjang hari Belinda terus menampakkan wajah cemberut, membuat Yena juga turut lesu karena ia selalu peka setiap sahabatnya mengalami masalah. Sebenarnya tidak kali ini saja Belinda terlihat lesu, sering kali ia melihat pemandangan seperti ini, hanya saja sebagai sahabatnya juga ia tidak ingin ikut campur urusan keluarga juga. Hanya bisa menghibur dengan cara apa pun agar bisa membuat Belinda kembali bersinar. “Bel, mau baca manga di toko buku ga?” Belinda menggeleng. “Gue lagi ga mood baca manga.” “Tumben. Biasanya kalo lagi ada jam kosong, lu selalu ajak ke toko buku buat baca manga.” “Gue lagi bosen saja.” Yena memutar bola mata, kemudian merentangkan kedua tangannya tepat di hadapan sahabatnya. “Pasti lu kena masalah lagi kan sama keluarga lu. Mau gue peluk ga?” Melihat tingkah Yena sudah cukup membuat Belinda sedikit tersenyum sambil berpelukan dengan erat. “Thank you sudah selalu kasih pelukan untukku.” “Seandainya Daniel sudah masuk kuliah, dia pasti bakal kasih masukan ke lu juga. Dia sih pakai acara berlibur sampai sekarang.” “Tidak apa-apa. Biarkan dia berlibur saja, dia kan selama ini capek kerja di toko florist ibunya. Jadikan ini sebagai hadiah untuk dia.” Sejenak Belinda melepas pelukan, kembali berjalan dengan semangat menuju gerbang kampus. “Aku jadi pengen baca manga.” Yena tertawa kecil sambil merangkul tangan. “Tuh kan memang aku tau kamu memang mau baca manga.” Baru menginjak kaki di gerbang kampus, langkah kaki Belinda terhenti saat melihat sosok kakak tirinya sudah menunggunya. Yena sendiri juga takut melihat rupa wajah kakak tiri Belinda yang membuatnya semakin ingin mempererat genggaman tangan sahabatnya. Karena ia juga sangat tahu hubungan antara Belinda dan kakaknya tidak akur. “Ada apa kak Natasha kemari?” Natasha membuka kacamata hitam sambil menghampiri saudara tirinya. “Ya, kebetulan gue sedang lewat kampus lo jadinya sekalian mampir.” Belinda melipat kedua tangan di dada. “Kakak mau ngapain sebenarnya?” Natasha melihat kamera CCTV gerbang kampus sejenak, kemudian mendekatkan bibirnya menuju daun telinga di hadapannya. “Gue dengar percakapan lo dengan ayah kemarin. Pokoknya kalo sampai lo berani macam-macam dengan ayah gue, gue tidak akan mengampuni lo!” “Kakak sebaiknya ngaca deh! Bukankah kakak juga pembuat onar? Kakak kan mau ajuin perceraian sama kakak ipar.” “Lebih baik gue jadi janda daripada lo anak tidak tau diri. Lo membuat keluarga gue repot mengurus lo, sedangkan lo adalah penyebab keluarga lo tewas.” Belinda memelototi kakaknya sambil mengepalkan tangan dengan erat. “Buktinya apa sampai kakak berani menuduhku?” “Mari kita lihat saja. Keluarga gue sudah tidak tahan menerima lo dari dulu sebenarnya. Kita lihat, kalo lo belum menikah tahun ini, apa lo akan diusir atau ga.” Mendengar ancaman dari kakak tirinya, Belinda semakin mematangkan pikirannya dan ingin memberikan jawaban untuk Brandon mengenai tawaran sebelumnya. Disiksa selama bertahun-tahun dan difitnah, rasanya ingin terbebas dari neraka yang mencekiknya setiap saat. ***** Tidak terasa hari ini adalah deadline memberikan jawaban tugas pertama dari Brandon. Belinda meminta Brandon bertemu di area taman kampus yang cukup sepi apalagi mereka datang lebih awal, sama seperti pada saat hari pertama masuk kuliah. Dengan tatapan penuh percaya diri, Belinda berdiri berhadapan dengan dosen killer tampan ini. “Kamu sudah siap kasih jawabannya untukku?” tanya Brandon. “Selamatkan saya dari neraka, Pak. Jadilah pangeran saya.”Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasan
Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun ia tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gue ga?” tanya Daniel dengan antusias. Belinda menampakkan senyuman anggun. “Aku–”Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!”Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!”Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?”Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil ia berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, ia sendiri juga sang
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman s
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal ia sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mbak Tina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!”“Tapi aku–”Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lo menikahi orang yang salah! Memang kami minta lo cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!”“Tapi gue memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gue.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Apalagi ia merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika ia menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak ia menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?”Di sisi lain Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah barunya, Belinda terus menunduk malu akibat tangan kirinya digenggam tangan sang tunangan tampan. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata sejak meninggalkan rumah bagaikan penjara itu, hanya karena perlakuan sederhana ini sudah berhasil membuat hatinya mulai luluh. Apalagi ia sangat menyukai aksi penyelamatan sang tunangan dari neraka, meskipun ia tidak meminta pertolongan. “Terima kasih, Pak.”Tatapan Brandon masih terfokus pada kaca depan. “Kenapa kamu ga nanya dulu?”“Nanya apa?”“Saya tau kamu dikurung di kamar dari mana.”Belinda menghela napas dengan lemas. “Pasti tau dari Yena, kemudian Yena merengek minta bapak tolong saya.”Brandon tertawa kecil. “Kamu dapat nilai 50.”Bola mata Belinda membulat mendengar tunangannya lagi-lagi mulai mempermainkannya. “Kenapa saya dapat 50? Kan memang benar saya sempat teleponan sama Yena.”“Iya, kamu dapat 50 karena saya tau informasi kamu dikurung di kamar dari Yena. Tapi Yena tidak minta bantuan
Usai makan malam dan membersihkan diri, Belinda kembali duduk sendirian di sofa ruang tamu sambil menghabiskan cokelat yang masih tersisa. Ia masih merasa ini seperti di dunia mimpi. Tinggal di sebuah rumah mewah tanpa disiksa siapa pun, sedangkan tinggal di sini diperlakukan seperti princess. Masih tidak menyangka juga dosen kulkas itu seharian memperlakukannya sangat manis. Apakah dosen itu memperlakukannya seperti itu karena merasa kasihan saja melihat fakta secara langsung? drrt…drrt… Melihat sosok sahabatnya menghubunginya tiba-tiba, ia menampakkan senyuman lebar sambil menggeser layar ponsel. “Lu sudah boleh pegang hp emangnya?”“Justru gue sekarang sudah ga tinggal di sana.”“Lho terus lu tinggal di mana sekarang? Orang tua lu kali ini beneran usir lu?”Belinda tertawa kikuk. “Gue tinggal di rumah Pak Brandon sekarang.”“What?!”Spontan Belinda langsung menjauhkan ponselnya dari daun telinga. “Ga perlu pake teriak kali!”“Lu seriusan tinggal bareng dosen killer itu?”“Sebena
Biasanya saat berpapasan dengan Daniel secara tidak sengaja, Belinda bersikap santai, sedangkan sekarang ia bingung harus bersikap apa. Apalagi Daniel tidak boleh tahu rahasia hubungan Belinda dengan Brandon. Mungkin Daniel akan sakit hati mengetahui wanita yang disukainya sejak lama menikahi pria lain. Brandon sebenarnya tahu alasan sikap tunangannya berubah drastis karena bertemu sahabat pria secara tidak sengaja di pusat perbelanjaan. Ia jadi teringat sewaktu di kampus mendengar gosip mengenai hubungan tunangannya dengan pria lain membuatnya ingin marah. Kali ini melihat secara langsung pria itu terlihat manis, rasanya ingin menyingkirkan pria itu dari hadapannya. “Niel, lu sendirian?” sapa Belinda menghampiri sahabatnya sambil membawa beberapa paper bag. “Ya, hari ini kan aturannya gue mau nongki bareng teman gue, tapi mereka tiba-tiba ga bisa.” Sorot mata Daniel tertuju pada sosok pria yang berdiri di belakang sahabatnya. “Yang di belakang lu itu siapa?”Belinda menampakkan se