Share

Bab 5: Lamaran Paksa

Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. 

Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”

Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”

“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”

Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”

Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasang tatapan dingin seperti kulkas dua pintu. “Ho! Mentang-mentang mau jadi istri saya, kamu semakin bersikap kurang ajar ya!”

“Makanya itu, sebenarnya saya mau menguji bapak juga. Bapak beneran bisa mengatasi mahasiswi yang etikanya tidak elit setiap hari atau tidak.” Belinda tertawa ledek sambil memegang perut. 

“Kamu benar-benar!” Brandon mengerang kesal sendiri sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari celananya, kemudian mengambil sebuah cincin berlian dari dalam kotak. “Karena saya melamarmu, maka saya harus memberimu cincin lamaran.” Brandon menyematkan cincin ini di jari manis Belinda. 

Dengan cepat Belinda langsung melepaskan tangannya. “Bapak jangan senang dulu.”

Brandon menaikkan alis kanan. “Senang dari mana? Saya tidak tertarik sama kamu sebenarnya, mau gimana senang?!”

“Saya juga tidak senang menikahi bapak sebenarnya. Makanya itu, saya tidak mau semua orang di kampus tau hubungan kita, Pak.”

Brandon melipat kedua tangan di dada. “Termasuk Yena yang duduk di sampingmu terus?”

“Kecuali Yena mungkin dia harus tau karena dia satu-satunya sahabatku bisa diandalkan.”

“Oke, saya tidak masalah kalo di kampus kita tidak memiliki hubungan spesial. Tapi, saya harap di luar kampus, kamu harus terlihat seperti istri saya!”

Belinda menautkan alis. “Memangnya kenapa?”

“Nanti saya akan cerita. Pulang kuliah, kamu harus ketemu saya.”

*****

Setelah melamar Belinda, Brandon menghubungi keluarganya untuk meminta bertemu di sebuah restoran hotel bintang lima. Wajahnya tampak murka saat duduk berhadapan dengan ayahnya sambil melipat kedua tangan di dada. 

“Putraku–”

“Sebaiknya ayah menyerah saja, tidak perlu mengatur kencan buta lagi untukku!”

“Memangnya kenapa? Bukankah kamu sudah kepala tiga? Seharusnya kamu sudah nikah di usia sekarang,” jawab sang ayah sambil menuangkan segelas teh. 

Brandon berdecak kesal. “Masalahnya semua wanita yang ayah mau jodohkan tidak ada yang beres. Apalagi wanita terakhir itu, kemarin dia bersikap sangat menjijikan di hadapanku.”

“Bukankah lebih condong kamu yang cerewet memilih wanita? Pantesan saja sampai umur 30 masih jomlo.”

Brandon menampakkan senyuman sinis sambil meneguk segelas teh. “Nanti aku akan kenalkan ke ayah, seorang wanita yang sangat manis. Pasti ayah sangat suka.”

“Memangnya kamu sudah pacaran?” 

*****

Saat jam istirahat, Belinda mengajak makan siang bersama Yena di restoran dekat kampus agar perbincangan mereka lebih leluasa. Ia menceritakan semua apa yang dialaminya sampai Yena sendiri juga terkejut hingga mulutnya terbuka lebar terus, sambil menatap sebuah cincin berlian bersinar di jari manis sahabatnya. 

“Jadi, lu seriusan mau nikah sama Pak Brandon?”

Belinda mengangguk lemas sambil mengelus cincinnya lambat laun. “Satu-satunya cara agar aku terbebas dari keluarga itu ya harus nikah sama Pak Brandon. Lagi pula, Pak Brandon juga butuh aku.”

“Tapi lu yakin bisa akur sama Pak Brandon? Lu sendiri saja setiap hari ada saja berantem sama dia.”

“Daripada gue disiksa kayak Cinderella. Gue sih lebih pilih disiksa sama dosen killer itu.”

Yena memanyunkan bibir sambil mengaduk strawberry milk shake miliknya dengan sedotan. “Gue sih setuju saja lu nikah sama Pak Brandon. Tapi, gimana dengan Daniel?”

“Memangnya kenapa si Daniel?”

Yena memutar bola mata, memukul kepala sahabatnya dengan sendok. “Inilah dari dulu gue pengen sadarin lu. Daniel tuh jelas-jelas suka sama lu.”

Belinda tertawa kecil. “Masa sih?”

“Kalo dia ga demen sama lu, ngapain dia bantu lu terus selama ini dan selalu support lu setiap lu kerja jadi sukarelawan rumah sakit Charity.”

“Tapi, tetap saja gue ga merasa ada sesuatu yang berbeda dari dia.” Belinda tersenyum sambil menyantap mie ayam. “Yang pasti lu harus rahasiakan hal ini dari Daniel.”

*****

Jam istirahat telah usai. Di saat Belinda dan Yena ingin memasuki kelas berikutnya, langkah kaki mereka terhenti sejenak seketika berpapasan dengan seorang mahasiswa berpenampilan casual dan berwajah tidak kalah tampan dari Brandon. 

“Daniel,” sapa Belinda melambaikan tangan. Sebenarnya cukup canggung bertemu teman terdekatnya lagi setelah sekian lama tidak bertemu. 

Daniel melambaikan tangan sambil berlari menghampiri sahabatnya dengan senyuman sumringah. “Sudah lama kita ga ketemu. Walaupun hanya dua minggu saja kita ga ketemuan.”

Belinda tersenyum malu. “Gimana liburannya?”

“Lumayan menyenangkan juga. Wah, sudah lama gue ga merasakan liburan. Biasanya gue sibuk jaga di toko terus.” Sejenak ketiga serangkai ini berjalan memasuki kelas. 

Posisi Belinda duduk di antara Daniel dan Yena. Melihat wajah tampan Daniel cukup menawan membuat Belinda teringat perkataan Yena. Apakah sosok sahabatnya yang tampan ini menaruh perasaan istimewa padanya? Jika ya, harus berkata apa untuk mengabarkan pernikahannya dengan Brandon? 

Sementara Daniel belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya selama dirinya berlibur, ia masih bersikap polos. Satu per satu dikeluarkan buah tangan yang dibelinya saat pergi liburan, kemudian ia memberikan semuanya untuk dua sahabatnya. 

Netra Yena berbinar-binar memandang semua snack dan gantungan kunci, tidak menyangka mendapatkan banyak hadiah dari Daniel, padahal selama ini Belinda yang selalu mendapatkan banyak hadiah istimewa. 

“Tumben lu kasih gue hadiah banyak amat.”

“Ya kan ga mungkin gue kasih lu hadiah cuma sebiji. Nanti adanya lu nangis.” Tatapan Daniel sekilas tertuju pada Belinda. “Benar kan, Bel?”

Belinda tersentak mendengar Daniel tiba-tiba bertanya, akibat isi pikirannya dipenuhi bagaimana cara memberitahukan kabar ini kepada seorang pria yang kemungkinan menyukainya, karena mendengar pendapat Yena. 

“Iya memang bener sih lu harus kasih Yena hadiah banyakan. Nanti dia beneran nangis, gue ga mau tanggung jawab!”

Daniel memajukan kepalanya mendekati wajah sahabatnya. “Omong-omong, ga biasanya lu melamun terus? Memangnya apa yang terjadi selama gue bepergian?”

Banyak mahasiswi bergosip tentang hubungan Belinda dan Daniel semakin dekat, karena melihat Daniel yang cukup agresif terus menempel Belinda setiap ada kesempatan. Gosip itu sampai tersebar luas di luar kelas karena kebetulan kelas belum dimulai. 

Di sisi lain, Brandon kebetulan berjalan melewati koridor mendengar gosip-gosip tentang hubungan Belinda dengan seorang pria tidak dikenalnya. Langkah kakinya terhenti, kemudian berbalik badan berjalan mendekati sebuah pintu kelas, tempat sang tunangan ingin mengikuti kelas lain. 

Melihat tunangannya dengan seorang pria sangat dekat, entah kenapa raut wajahnya berubah menjadi murka sambil menggenggam tas laptop dengan erat. 

“Siap-siap aja, Belinda. Saya tidak akan mengampunimu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status