Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba.
Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?” Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.” “Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.” Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!” Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasang tatapan dingin seperti kulkas dua pintu. “Ho! Mentang-mentang mau jadi istri saya, kamu semakin bersikap kurang ajar ya!” “Makanya itu, sebenarnya saya mau menguji bapak juga. Bapak beneran bisa mengatasi mahasiswi yang etikanya tidak elit setiap hari atau tidak.” Belinda tertawa ledek sambil memegang perut. “Kamu benar-benar!” Brandon mengerang kesal sendiri sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari celananya, kemudian mengambil sebuah cincin berlian dari dalam kotak. “Karena saya melamarmu, maka saya harus memberimu cincin lamaran.” Brandon menyematkan cincin ini di jari manis Belinda. Tidak seperti wanita lain yang bahagia saat dipakaikan cincin oleh tunangan, Belinda justru masih menampakkan senyuman usil karena lamaran ini terkesan sangat paksa. Dengan cepat melepaskan tangannya. “Bapak jangan senang dulu.” Brandon menaikkan alis kanan. “Senang dari mana? Saya tidak tertarik sama kamu sebenarnya, mau gimana senang?!” Dalam hati sebenarnya Brandon merasakan hatinya hancur berkeping-keping mendengarkan perkataan itu terucap dari bibir tunangan. “Saya juga tidak senang menikahi bapak sebenarnya. Makanya itu, saya tidak mau semua orang di kampus tau hubungan kita, Pak.” Brandon melipat kedua tangan di dada. “Termasuk Yena yang duduk di sampingmu terus?” “Kecuali Yena mungkin dia harus tau karena dia satu-satunya sahabatku bisa diandalkan.” Apa boleh buat tidak bisa melawan keinginan mahasiswinya. Namun, tentu saja pola pikirnya yang cukup egois juga tidak ingin kalah dari tunangan yang egois. “Oke, saya tidak masalah kalo di kampus kita tidak memiliki hubungan spesial. Tapi, saya harap di luar kampus, kamu harus terlihat seperti istri saya!” Belinda menautkan alis. “Memangnya kenapa?” “Nanti saya akan cerita. Pulang kuliah, kamu harus ketemu saya. Ga pakai tunda!” ***** Setelah melamar Belinda, Brandon menghubungi ayahnya untuk meminta bertemu di sebuah restoran hotel bintang lima. Wajahnya tampak murka saat duduk berhadapan dengan ayahnya sambil melipat kedua tangan di dada. “Putraku–” “Sebaiknya ayah menyerah saja, tidak perlu mengatur kencan buta lagi untuk saya!” “Memangnya kenapa? Bukankah kamu sudah kepala tiga? Seharusnya kamu sudah menikah di usia sekarang,” jawab sang ayah sambil menuangkan segelas teh. Brandon berdecak kesal. “Masalahnya semua wanita yang ayah mau jodohkan tidak ada yang beres. Apalagi wanita terakhir itu, kemarin dia bersikap sangat menjijikan di hadapan saya.” “Bukankah lebih condong kamu yang cerewet memilih wanita? Pantesan saja sampai umur 30 masih jomblo.” Brandon menampakkan senyuman sinis sambil meneguk segelas teh. “Nanti saya akan kenalkan ke ayah, seorang wanita yang sangat manis. Pasti ayah sangat suka.” “Memangnya kamu sudah pacaran?” “Apakah ayah berhak menanyakan hal itu, padahal ayah bukan ayah kandung saya? Tidak perlu sok perhatian pada saya!” ***** Saat jam istirahat, Belinda mengajak makan siang bersama Yena di restoran dekat kampus agar perbincangan mereka lebih leluasa. Menceritakan semua apa yang dialaminya sampai Yena sendiri juga terkejut hingga mulutnya terbuka lebar terus, sambil menatap sebuah cincin berlian bersinar di jari manis sahabatnya. “Jadi, lu seriusan mau nikah sama Pak Brandon?” Belinda mengangguk lemas sambil mengelus cincinnya lambat laun. “Satu-satunya cara agar gua terbebas dari keluarga itu ya harus nikah sama Pak Brandon. Lagi pula, Pak Brandon juga butuh gua.” “Tapi lu yakin bisa akur sama Pak Brandon? Lu sendiri saja selalu berantem sama dia setiap bertemu dia.” “Daripada gua disiksa kayak Cinderella. Gua sih lebih pilih disiksa sama dosen killer itu, dia masih ada hati nurani.” Yena memanyunkan bibir sambil mengaduk strawberry milk shake dengan sedotan. “Gua sih setuju saja lu nikah sama Pak Brandon. Tapi, gimana dengan Daniel?” “Memangnya kenapa si Daniel?” Yena memutar bola mata, memukul kepala sahabatnya dengan sendok. “Inilah dari dulu gua pengen sadarin lu. Daniel tuh jelas-jelas suka sama lu.” Belinda tertawa kecil. “Masa sih?” “Kalo dia ga demen sama lu, ngapain dia bantu lu terus selama ini dan selalu support lu setiap lu kerja jadi sukarelawan rumah sakit Charity.” “Tapi, tetap saja gua ga merasa ada sesuatu yang berbeda dari dia.” Belinda tersenyum sambil menyantap mie ayam. “Yang pasti lu harus rahasiakan hal ini dari Daniel.” “Pokoknya kalau sampai Daniel beneran suka lu, gua bingung endingnya bakal gimana nanti. Gua sih lari dulu ya.” ***** Jam istirahat telah usai. Di saat Belinda dan Yena ingin memasuki kelas berikutnya, langkah kaki mereka terhenti sejenak seketika berpapasan dengan seorang mahasiswa berpenampilan casual dan berwajah tidak kalah tampan dari Brandon. Mahasiswa itu adalah pemuda yang baru diperbincangkan mereka saat makan siang. “Daniel,” sapa Belinda melambaikan tangan. Sebenarnya cukup canggung bertemu teman terdekatnya lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Daniel melambaikan tangan sambil berlari menghampiri sahabatnya dengan senyuman sumringah. “Sudah lama kita ga bertemu. Walaupun hanya dua minggu saja kita ga ketemuan.” Belinda tersenyum malu. “Gimana liburannya?” “Lumayan menyenangkan juga. Wah, sudah lama gua ga merasakan liburan. Biasanya gua sibuk jaga di toko terus.” Sejenak ketiga serangkai ini berjalan memasuki kelas. Posisi Belinda duduk di antara Daniel dan Yena. Melihat wajah tampan Daniel cukup menawan membuat Belinda teringat perkataan Yena. Apakah sosok sahabatnya yang tampan ini menaruh perasaan istimewa padanya? Jika ya, harus berkata apa untuk mengabarkan pernikahannya dengan Brandon? Sementara Daniel belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya selama dirinya berlibur, masih bersikap polos. Satu per satu dikeluarkan buah tangan yang dibelinya saat pergi liburan, kemudian memberikan semuanya untuk dua sahabatnya. Netra Yena berbinar-binar memandang semua snack dan gantungan kunci, tidak menyangka mendapatkan banyak hadiah dari Daniel, padahal selama ini Belinda yang selalu mendapatkan banyak hadiah istimewa. “Tumben lu kasih gua hadiah banyak amat.” “Ya kan ga mungkin gua kasih lu hadiah cuma sebiji. Nanti adanya lu nangis.” Tatapan Daniel sekilas tertuju pada Belinda. “Benar kan, Bel?” Belinda tersentak mendengar Daniel tiba-tiba bertanya, akibat isi pikirannya dipenuhi bagaimana cara memberitahukan kabar ini kepada seorang pria yang kemungkinan menyukainya, karena mendengar pendapat Yena. Seandainya Daniel mengetahui pernikahannya, reaksinya akan seperti apa? Apakah akan langsung kecewa hingga memutus hubungan pertemanan mereka? “Iya memang bener sih lu harus kasih Yena hadiah banyakan. Nanti dia beneran nangis, gua ga mau tanggung jawab!” Daniel memajukan kepalanya mendekati wajah sahabatnya. “Omong-omong, ga biasanya lu melamun terus? Memangnya apa yang terjadi selama gua bepergian?” Banyak mahasiswi bergosip tentang hubungan Belinda dan Daniel semakin dekat, karena melihat Daniel yang cukup agresif terus menempel Belinda setiap ada kesempatan. Gosip itu sampai tersebar luas di luar kelas karena kebetulan kelas belum dimulai. Di sisi lain, Brandon kebetulan berjalan melewati koridor mendengar gosip-gosip tentang hubungan Belinda dengan seorang pria tidak dikenalnya. Langkah kakinya terhenti, kemudian berbalik badan berjalan mendekati sebuah pintu kelas, tempat sang tunangan ingin mengikuti kelas lain. Melihat tunangannya dengan seorang pria sangat dekat, raut wajahnya berubah menjadi murka sambil menggenggam tas laptop dengan erat. Sudah pasti murka, baru menyetujui lamaran sudah berniat berselingkuh dengan pria lain. “Siap-siap aja, Belinda. Saya tidak akan mengampunimu.”Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun sudah tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gua ga?” tanya Daniel dengan antusias. Mendengar ajakan Daniel hanya untuk Belinda, Yena memanyunkan bibir. “Kok lu ga ajak gua sih? Gua kecewa nih!” Belinda menampakkan senyuman anggun. “Gua–” Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!” Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!” Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?” Harus bagaimana
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?” Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!” Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!” Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mba Lina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!” “Tapi aku–” Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lu menikahi orang yang salah! Memang kami minta lu cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!” “Tapi gua memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gua.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Selain itu, merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?” Di sisi lain, Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang b
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah barunya, Belinda terus menunduk malu akibat tangan kirinya digenggam tangan sang tunangan tampan. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata sejak meninggalkan rumah bagaikan penjara itu, hanya karena perlakuan sederhana ini sudah berhasil membuat hatinya mulai luluh. Apalagi ia sangat menyukai aksi penyelamatan sang tunangan dari neraka, meskipun ia tidak meminta pertolongan. “Terima kasih, Pak.” Tatapan Brandon masih terfokus pada kaca depan. “Kenapa kamu ga nanya dulu?” “Nanya apa?” “Saya tau kamu dikurung di kamar dari mana.” Belinda menghela napas dengan lemas. “Pasti tau dari Yena, kemudian Yena merengek minta bapak tolong saya.” Brandon tertawa kecil. “Kamu dapat nilai 50.” Bola mata Belinda membulat mendengar tunangannya lagi-lagi mulai mempermainkannya. “Kenapa saya dapat 50? Kan memang benar saya sempat teleponan sama Yena.” “Iya, kamu dapat 50 karena saya tau informasi kamu dikurung di kamar dari Yena. Tapi Yena tidak minta b
Usai makan malam dan membersihkan diri, Belinda kembali duduk sendirian di sofa ruang tamu sambil menghabiskan cokelat yang masih tersisa. Masih merasa seperti di dunia mimpi. Tinggal di sebuah rumah mewah tanpa disiksa siapa pun, sedangkan tinggal di sini diperlakukan seperti princess. Masih tidak menyangka juga dosen kulkas itu seharian memperlakukannya sangat manis. Apakah dosen itu memperlakukannya seperti itu karena merasa kasihan saja melihat fakta secara langsung? drrt…drrt… Melihat sosok sahabatnya menghubunginya tiba-tiba, menampakkan senyuman lebar sambil menggeser layar ponsel. “Lu sudah boleh pegang hp emangnya?” “Justru gua sekarang sudah ga tinggal di sana.” “Lho terus lu tinggal di mana sekarang? Orang tua lu kali ini beneran usir lu?” Belinda tertawa kikuk. “Gua tinggal di rumah Pak Brandon sekarang.” “What?!” Spontan Belinda langsung menjauhkan ponselnya dari daun telinga. “Ga perlu pake teriak kali!” “Lu seriusan tinggal bareng dosen killer itu?” “Sebenar
Biasanya saat berpapasan dengan Daniel secara tidak sengaja, Belinda bersikap santai, sedangkan sekarang bingung harus bersikap apa. Apalagi Daniel tidak boleh tahu rahasia hubungan Belinda dengan Brandon. Mungkin Daniel akan sakit hati mengetahui wanita yang disukainya sejak lama menikahi pria lain. Brandon sebenarnya tahu alasan sikap tunangannya berubah drastis karena bertemu sahabat pria secara tidak sengaja di pusat perbelanjaan. Teringat sewaktu di kampus mendengar gosip mengenai hubungan tunangannya dengan pria lain membuatnya ingin marah. Kali ini melihat secara langsung pria itu terlihat manis, rasanya ingin menyingkirkan pria itu dari hadapannya. “Niel, lu sendirian?” sapa Belinda menghampiri sahabatnya sambil membawa beberapa paper bag. “Ya, hari ini kan aturannya gua mau nongki bareng teman gua, tapi mereka tiba-tiba ga bisa.” Sorot mata Daniel tertuju pada sosok pria yang berdiri di belakang sahabatnya. “Yang di belakang lu itu siapa?” Belinda menampakkan senyuman k
Belinda sudah menduga tunangannya akan sembarangan menuduh lagi tanpa melihat fakta. Terutama dilihat raut wajah dosen tampan ini seperti ingin menerkamnya, membuatnya mulai canggung sambil menggenggam paper bag. “Aku tidak kencan sama Daniel. Kenapa kamu main sembarangan nuduh sih?” “Lalu, kenapa kamu menyita waktu hampir satu jam hanya karena ngobrol bareng sahabatmu saja?” tukas Brandon semakin meninggikan nada bicaranya. “Itu karena–” Brandon mengambil paper bag tunangannya sedikit kasar sambil membuang muka. “Aku tidak suka calon istriku bersama pria lain terlalu lama.” Mendengar perkataan dosen killer ini, Belinda tertawa kikuk sambil sengaja menyenggol lengan kekar. “Kamu cemburu ya?” Brandon membulatkan mata. “Cemburu apanya? Aku masih benci sama kamu, mana mungkin aku cemburu hanya karena masalah sepele.” “Ya walaupun kamu tidak ngaku, tapi aku tau kamu cemburu.” “Berisik! Mau aku kasih hukuman supaya kamu takut?” ***** Agenda hari libur ini tidak hanya belanja di
Bicara soal perayaan tahun baru, sewaktu masih kecil Belinda merayakan tahun baru bersama keluarga Brandon. Meskipun saat itu mereka baru berteman baik, Brandon langsung memperkenalkan Belinda ke orang tuanya. Memperkenalkan bukan berarti dengan tujuan pernikahan, mengingat usia Belinda saat itu masih kurang dari sepuluh tahun.“Wah, ternyata kalau dilihat secara langsung, Belinda sangat manis ya!” puji Yenny dengan pandangan berbinar-binar mengelus pipi mungil Belinda.Brandon memutar bola mata. “Manis-manis tapi aslinya nakal!”Belinda mendengkus dan menendang kaki Brandon di bawah meja. “Padahal kakak juga nakal! Aku mau minta beli cokelat, tapi kakak ga kasih aku kemarin.”“Lama-lama kan gigimu bisa berlubang kalau keseringan makan cokelat!” “Dasar kakak ga ngaca!”Para orang tua hanya bisa menggeleng-geleng menatap tingkah anak mereka seperti tom and jerry. Terutama Yenny mengelus dada, tidak menyangka sikap putranya juga kekanak-kanakan padahal sudah remaja.“Maaf ya kalau putr
Tiga belas tahun lalu… Sejak bertemu Brandon pertama kali di perpustakaan, Belinda menjadi semakin rajin pergi ke perpustakaan setiap hari. Terutama sengaja menempati kursi yang ditempati Brandon supaya Brandon bisa menjadi guru les matematika setiap ada PR. Apalagi hari ini Belinda mendapatkan banyak PR lagi, sudah pasti ia mengincar pangeran tampan mendatanginya untuk membantu mengerjakan PR. Sudah bermenit-menit menunggu sambil mengayunkan kaki dengan gesit, tetapi tidak ada tanda-tanda dosen itu akan mendatanginya, sehingga membuat bibirnya memanyun. “Kok kak Brandon lama amat ya datangnya? Padahal aku mau dia yang kerjain PR.” Pada saat bersamaan, Brandon menampakkan batang hidung sambil membawa sebuah paper bag berukuran besar. Senyumannya terlihat sumringah, berbeda dari biasanya membuat Belinda penasaran apa yang ada di benak Brandon. “Benar tebakanku. Pasti hari ini kamu pergi ke perpustakaan lagi dan duduk di tempatku,” ucap Brandon sambil menaruh paper bag di meja
Tidak terasa sang buah hati akhirnya hadir dalam kehidupan rumah tangga Belinda dan Brandon. Mereka dikaruniai bayi perempuan diberi nama Gabriella. Brandon sangat bersyukur memiliki anak perempuan, karena ia masih trauma melihat putranya William selalu berbuat onar yang menyebabkan William dan Isabella berdebat karena masalah anak hampir setiap hari. Namun, mengurus anak tentunya bukan hal yang mudah bagi mereka juga. Walaupun sebelumnya sempat percaya diri ingin punya anak perempuan, yang namanya masih bayi pasti susah diurus juga, apalagi mereka tidak mau punya pengasuh. Sejak sudah punya anak, Belinda memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan dan ingin fokus mengurus anak saja. Lagi pula, tidak mungkin terus bekerja di bawah suaminya sedangkan dirinya sendiri masih punya perusahaan perlu diurus. Perusahaan milik orang tuanya yang kini diserahkan pada semua saudara sepupunya. Selama menjadi ibu rumah tangga, Belinda bangun lebih awal demi mengurus
Saat memasuki usia kandungan tujuh bulan, Belinda tidak diperbolehkan bekerja oleh Brandon. Selain itu, untuk menemani istrinya di rumah, Brandon juga berinisiatif bekerja dari rumah kalau tidak ada agenda penting agar istri tidak cepat bosan dan tidak ada jadwal mengajar di kampus. Sejak mengajar mata kuliah akuntansi, Brandon semakin sibuk mereview tugas mahasiswa. Tidak seperti dulu hanya mengajar mata kuliah strategi manajemen yang tugasnya hanya menjawab pertanyaan di buku teks dan membuat materi presentasi. Akibat lagi banyak pekerjaan kantor belakangan ini, Brandon memiliki ide usil setiap mahasiswanya berbuat ulah di kelas. Sering mengadakan ujian tiba-tiba dengan memberikan soal ujian yang sulit, sehingga para mahasiswa di kampus semakin membencinya.Sekarang pekerjaannya semakin bertumpuk di rumah. Baru memeriksa sebagian tugas mahasiswa sudah membuat kepalanya sakit. Rambut terlihat tidak beraturan akibat keseringan mengacak-acak rambutnya.
Sejak Belinda memasuki masa mengandung anaknya, sikap Brandon sebagai suami dan bos semakin ketat. Ia tidak membiarkan istrinya pulang malam atau diberikan pekerjaan kantor yang berlebihan. Bahkan ia sudah memperingatkan semua pegawainya untuk tidak membuat Belinda merasa repot selama bekerja. Akibat sikap Brandon yang sangat berlebihan, selama bekerja di kantor Belinda cepat bosan. Tidak seperti saat sebelum hamil, ia diberikan pekerjaan cukup banyak, sedangkan sekarang pekerjaan banyak itu dilimpahkan ke Yena. Belinda merasa segan karena secara tidak langsung menghambat Yena yang ingin berkencan dengan Daniel setiap pulang kerja. Selain itu, setiap pulang kerja, Brandon berinisiatif mendatangi Belinda bermaksud untuk mengajak pulang bersama. Tidak peduli semua pegawainya iri melihat sikapnya yang romantis pada istri, nomor satu dalam pikirannya adalah memastikan istri selalu sehat di matanya. Gara-gara setiap hari dimanjakan suami, Belinda semakin ing
Urusan ingin memiliki sang buah hati, Belinda tidak ingin mengambil pusing lagi. Entah akan ditanyakan seperti apa, tidak peduli. Apalagi tidak melakukannya hanya sekali. Hanya bisa berharap keajaiban mendatangi kehidupan rumah tangga mereka walaupun sudah berbulan-bulan berlalu. Namun, entah kenapa Belinda merasakan tubuhnya sejak bangun tidur seperti ingin memuntahkan seisi perutnya. Meskipun begitu, tetap berusaha tegar di hadapan Brandon supaya diperbolehkan pergi bekerja hari ini. Seperti biasa, Brandon selalu memanjakannya. Tidak enak badan sedikit langsung dibilang tidak usah bekerja. Walaupun diberikan nasi omelet merupakan makanan favoritnya, Belinda ingin memuntahkan seisi perutnya. Terpaksa menghabiskan nasi omelet buatan suaminya, entah nanti berakhir di kamar mandi atau tidak, daripada menyinggung perasaan suami di pagi hari. Sebenarnya Brandon mulai curiga melihat sikap Belinda belakangan ini tidak seperti biasanya. Padahal biasanya sarapa
Pertanyaan soal keinginan memiliki keturunan masih menghantui pikiran Belinda, walaupun acara makan-makan sederhana telah berakhir. Pergi kencan bersama suami saja sampai tidak tenang. Suaminya mengajak menonton di bioskop, tetapi pikirannya sedang tidak fokus. Dalam hati terus mengatakan apakah sebenarnya Brandon berubah pikiran tidak ingin memiliki anak bersamanya. Sejak ditanyakan pertanyaan sulit itu, Brandon juga terus berdiam. Dalam hati justru menginginkan anak, tetapi cemas istrinya tidak mau punya anak karena usianya masih tergolong muda. Walaupun film yang ditonton mereka merupakan film romantis, mereka terlihat gugup saat menyaksikan sebuah adegan ciuman di depan mata. Terutama Belinda terlalu gugup sampai batuk tersedak saat memakan sepotong cookies. Spontan Brandon langsung mengelus punggung lentik sang pujaan hati lambat laun sambil memberikan botol air. “Makannya pelan-pelan.”Belinda mengangguk kaku sambil menyesap air. Betapa m
Enam bulan kemudian….Setelah berbulan-bulan berjuang mengerjakan skripsi hingga ujian komprehensif, akhirnya Belinda bisa melepaskan statusnya sebagai mahasiswa. Upacara wisuda dihadiri oleh Brandon, William, dan Isabella. Sambil menunggu giliran Belinda menaiki panggung, Brandon berbincang santai dengan dua sahabatnya terlebih dahulu. “Omong-omong, menurut kalian berdua, gua boleh ekspos hubungan gua sama istri gua ga sih hari ini?”Isabella mengernyitkan alis. “Lu kayaknya sudah ga sabaran amat. Emangnya istri lu sudah setuju?”“Istri gua sih selalu bilang gua mesti rahasiakan pernikahan kami sampai dia lulus. Hari ini kan dia sudah lulus, seharusnya gua sudah boleh memamerkan hubungan kamu terang-terangan.”William menyunggingkan senyuman usil merangkul pundak istrinya dengan mesra. “Makanya kalau cari istri itu jangan masih di bawah umur. Kan jadinya ga bisa pacaran terang-terangan kayak kami.”“Ish gua kan dari dulu cuma c
Tantangan utama yang harus dihadapi Belinda sekarang adalah harus terbiasa hidup sendirian tanpa kehadiran suaminya, meskipun suaminya bepergian hanya tiga hari. Tugas skripsi tetap berjalan, walaupun sebelumnya hasilnya memuaskan bagi Brandon. Selama tiga hari itu, siapa yang akan memberikan masukan untuknya? Sejak Brandon berangkat ke bandara pagi-pagi sekali, Belinda sudah mulai merasakan kesepian dan merindukan Brandon. Untuk menghilangkan rasa kesepian, mengundang dua sahabatnya mengerjakan skripsi bersama di rumahnya. Lagi pula, ide ini berasal dari Brandon yang sebelumnya menyarankan mengundang Daniel dan Yena jika merasa kesepian di rumah. Brandon juga membelikan banyak camilan untuk dua tamu istimewanya sebelum bepergian. Tujuannya agar Daniel dan Yena betah menemani Belinda sepanjang hari di rumah. Sebenarnya baru kali ini mengundang dua tamunya itu, demi istrinya tidak kesepian di saat dirinya sedang melakukan perjalanan bisnis. “Pak Brandon