Share

Bab 7: Kesepakatan

Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. 

“Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. 

“Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. 

Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”

Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”

Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”

Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman sekelas yang sangat heboh di luar kelas, entah kenapa Brandon tidak suka mendengar gosip itu. Seolah-olah hatinya tidak mengizinkan dirinya bertindak sebagai perebut laki orang atau tidak ingin tunangannya direbut pria lain. Namun, jika berkata sejujurnya, apakah harga dirinya akan jatuh? Lagi pula, hatinya belum bisa menaruh perasaan istimewa terhadap mahasiswinya ini semakin menyebalkan di matanya. 

“Ya coba kamu bayangkan saja! Kalo seandainya kamu beneran sudah punya pacar, berarti saya ini pebinor dong! Saya tidak mau jadi pebinor ya, nanti saya dipecat!”

Mendengar alasan dosen killer ini di luar nalar, Belinda tertawa puas sambil memegang perut hingga wajahnya memerah. Melihat gaya tawa tunangannya seperti sedang mengejeknya membuat tensi darah dosen tampan ini meluap. 

“Kenapa ketawa? Memangnya ada yang lucu?!”

“Ga nyangka dosen kulkas dua pintu bisa cemburu.” Belinda semakin melampiaskan tawa sambil berguling-guling di sofa. 

Rona merah menyala pada pipi Brandon. “Enak saja saya cemburu!”

Belinda memposisikan tubuhnya duduk dengan anggun sambil merapikan rambut indahnya sedikit kusut. “Saya belum punya pacar, Pak. Kalo saya sudah pacaran, mustahil saya mau menikahi Pak Brandon.”

Mendengar jawaban itu membuat Brandon sedikit lega. Namun, di sisi lain, ia masih penasaran apakah tunangannya sungguh berkata jujur atau tidak. Lalu, siapakah mahasiswa yang dilihatnya tadi siang? Jika hanya sebatas teman, kenapa kelihatannya hubungan mereka sangat dekat seolah-olah melebihi sahabat? 

Melihat raut wajah dosen killer tidak biasanya gelisah, Belinda ingin mencoba menghiburnya, meskipun tidak mengetahui apa yang menjadi faktor utama tiba-tiba sang dosen bisa menampakkan sisi kegelisahan. Ia menampilkan senyuman manis sambil mengulurkan tangan kanannya yang disematkan cincin lamaran. 

“Bapak tidak usah cemburu. Tenang, saya tidak bohong kok. Justru saya menantikan pernikahan kita.”

Awalnya ingin membentak lagi, hatinya sedikit luluh menatap senyuman manis ditampilkan tunangannya. Brandon merasakan pipinya sedikit hangat sambil mengendalikan detak jantungnya berpacu cepat. 

Namun, tetap saja sikapnya seperti kulkas masih membara. Ia menampakkan senyuman sinis sambil menggenggam tangan sang tunangan. “Karena kamu sudah percaya diri dan tidak sabar menantikan pernikahan kita, gimana kalo kita bikin kesepakatan?”

Belinda menampakkan wajah cemberut sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah tadi pagi bapak sendiri bilang ga mau nikah pakai kontrak segala? Maunya bapak apa sih?”

“Bikin kesepakatan itu kan ga mesti tertulis kali! Kan bisa secara verbal sudah cukup!”

“Galak amat sih!” Belinda membuang pandangannya dengan kesal. “Apa kesepakatannya?”

“Kamu tidak boleh sembarangan berduaan bersama pria lain!”

Belinda memutar bola sambil menahan tawa. “Lagi-lagi bapak cemburu.”

“Saya tidak cemburu ya! Ini demi kebaikan saya dan kamu. Kalo sampai kamu selingkuh dan hubungan kita ketahuan di kampus, kamu mau digosipkan selingkuh dari dosen? Apalagi dosen yang ngajar kamu itu keponakan dekan.”

Belinda membuang pandangannya lagi. “Tenang, saya tidak akan berduaan bersama pria lain.”

“Baiklah, lalu kesepakatan berikutnya adalah kamu harus merawat ibuku dengan ketat. Jangan sampai ada yang tau identitas ibuku. Hanya kamu dan aku yang tau.”

Berbicara soal alasan Brandon ingin menikah demi bisa menjaga ibunya dari ancaman, Belinda menjadi kembali penasaran latar belakang keluarga Brandon sesungguhnya. Kenapa Bu Yenny yang memiliki sikap penyayang ingin dibunuh seseorang? Lalu kenapa Brandon mati-matian menyembunyikan ibu kandungnya di rumah sakit terpencil? Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah nyawanya sendiri juga akan terancam suatu hari nanti demi menjadi malaikat pelindung Bu Yenny? 

“Saya bisa jaga rahasia, percaya pada saya saja.” Belinda memperagakkan bibirnya diseleting dengan rapat. 

Brandon tertawa kecil. “Oke, saya percaya kamu, Belinda. Lalu, sekarang giliranmu. Kamu mau apa dari saya?”

Belinda tersenyum licik sambil memeluk bantal kecil dengan erat. “Saya mau kita tidur terpisah setelah menikah.”

“Siapa bilang kita tidur sekamar? Jangan harap! Saya akan siapkan kamar tidur spesial untuk kamu.”

“Jangan lupa ranjang empuk, meja belajar, meja rias, bantalnya yang empuk juga, oh sama rak buku dan semuanya sudah disediakan pokoknya.”

Mendengar permintaan tunangannya cukup banyak ternyata membuat Brandon ingin melampiaskan kekesalannya. Mata tajamnya sudah mencerminkan dirinya kesal dengan tunangannya yang banyak meminta darinya. 

“Ini mah sama saja seolah-olah saya mengadopsi bocil banyak maunya!”

“Bapak kan mau nikah sama saya. Sudah pasti harusnya bapak sudah mempertimbangkan hal itu dong!”

Brandon memutar bola mata. “Iya deh, saya akan siapin semuanya, Princess.”

Tiba-tiba Brandon memiliki ide cemerlang terlintas dalam pikirannya. Ia menjentikkan jari menampakkan senyuman cerdas. “Belinda, sebenarnya–”

“Sudah malam, Pak! Besok saja baru bahas lagi!” potong Belinda sambil menatap jam dinding menunjukkan jam sembilan malam. 

Apa boleh buat, Brandon juga tidak ingin membiarkan tunangannya pulang larut malam. Dengan inisiatif Brandon mengantarkan tunangannya pulang ke rumah, meskipun ia kecewa harus menunda satu hal penting belum sempat dibahas. 

*****

Belinda melangkahkan kakinya dengan berat memasuki rumah mewah keluarga tirinya, setelah berpamitan singkat dengan tunangannya. Baru menginjak kaki di ruang tamu, sudah disambut kakak tirinya sedang minum sebotol wine. 

“Lo sudah pulang akhirnya,” sambut sang kakak tiri dengan nada mulai tidak karuan, membuat Belinda tersentak. 

“Gimana sidang cerai hari ini, Kak Natasha?” balas Belinda dengan datar, sebenarnya ia tidak ingin berbincang dengan kakak tirinya. 

Natasha menuangkan segelas wine dengan senyuman tidak waras. “Akhirnya gue bisa terbebas dari si berengsek itu.” Sejenak tatapannya terfokus pada adik tirinya. “Omong-omong ga biasanya lo pulang malam amat belakangan ini. Lo ngapain saja sih?”

Belinda membuang pandangan. “Soal itu kakak ga perlu tau. Gue mau istirahat.”

Netra Natasha terfokus pada sebuah cincin berlian yang bersinar di jari manis adik tirinya. Ia langsung menaruh botol wine, kemudian berlari dan menarik tangan kanan adik tirinya dengan kasar. 

“Apa yang kakak lakukan?!”

“Sejak kapan lo pakai cincin mahal ini? Lo nyuri?”

Belinda memasang tatapan melotot. “Enak saja gue nyuri! Ini sesuai keinginan keluarga kakak, gue dilamar!”

Natasha membulatkan mata sambil menutup mulutnya yang bau wine dengan anggun. “Beneran nih? Akhirnya lo nurut juga! Gimana keluarga itu? Lo nikah sama keluarga kaya?” Sejenak menjentikkan jari. “Tunggu sebentar! Dilihat karakter lo yang kutu buku, mustahil orang kaya mau nikah sama gadis kaku kayak lo.”

Belinda menampakkan senyuman percaya diri. Justru ia ingin menertawakan Natasha karena sudah meremehkannya terlebih dahulu. Kalau sampai Natasha tahu fakta sesungguhnya, mungkin akan jatuh pingsan, itulah gambaran dalam benak Belinda. 

“Kakak jangan meremehkan gue dulu. Justru gue nikah sama pria kaya dan matang.”

Natasha mengangkat kepala dengan angkuh. “Coba sebutin namanya. Siapa tau gue kenal. Gue kan kenal hampir semua pria kaya.”

“Brandon.”

Mendengar nama itu tidak asing dan merasa baru bertemu beberapa saat lalu, Natasha menyipitkan mata. “Tunggu! Brandon siapa namanya?”

“Kalo gua sebutin nama panjangnya, emangnya kakak kenal?”

“Sebutin saja nama lengkapnya!!”

“Brandon Jonathan.”

“Arrghh!!”

Mendengar suara jeritan Natasha menggelegar seisi rumah, sang ayah dan ibunya keluar dari kamar mereka langsung menghampiri putri kandung mereka. Mereka masih belum tahu hal apa yang membuat putrinya menggila di malam hari. 

“Kamu kenapa sih, Natasha?” tanya sang ibu dengan tatapan cemas. 

Natasha memasang tatapan tajam sambil mengulurkan jari telunjuk menunjuk adik tirinya. “Dia rebut Brandon dariku, Bu.”

Sang ibu mengerutkan dahi. “Kamu ngomong apa sih? Ngomong yang jelas!”

“Belinda mau nikah sama Brandon, Bu! Pria yang sempat ayah atur kencan butanya beberapa hari lalu!”

Tatapan sang ayah langsung memelototi Belinda yang mulai ketakutan sampai keringat dingin. “Ayah minta kamu menikah. Tapi bukan berarti merebut pria itu dari kakakmu sendiri!”

Belinda berusaha menahan tangisannya hingga matanya memerah. “Sumpah aku tidak tau kalo Brandon itu pria yang mau dijodohkan dengan kakak.”

“Dasar anak tidak tau diri! Kami sudah memberimu banyak hal selama ini, tapi kamu sangat egois merebut milik kakakmu!”

“Tapi–”

Tanpa basa-basi, Natasha menarik tangan kanan adik tirinya menaiki tangga menuju lantai. Menyeret adiknya dengan kasar memasuki kamar sambil melempar tas ransel. 

“Lo ga boleh keluar dari kamar sampai lo ngaku kesalahan lo!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status