Bu Yenny sudah menduga jika putranya dan Belinda bertemu pasti akan berakhir seperti ini, setelah mendengar curahan hati kedua orang ini yang serupa. Hanya saja hingga sekarang Bu Yenny masih bersikap tidak tahu apa-apa.
Reaksi Belinda dan Brandon masih saling melempar pandangan syok dan mengulurkan jari telunjuk satu sama lain. Keduanya masih penasaran dengan pertemuan aneh ini di luar jam kuliah, apakah mereka sungguh ditakdirkan bertemu terus? “Saya putranya Bu Yenny, makanya saya datang ke sini,” ucap Brandon dengan nada sedikit angkuh. “Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?” “Selama ini saya yang merawat Bu Yenny setiap bapak tidak berkunjung.” Bu Yenny menepuk tangan untuk menghilangkan suasana canggung. “Oh, jadi kalian sudah saling kenal. Jadinya ibu tidak perlu cape-cape memperkenalkan kalian lagi.” Sejenak Brandon menaruh sebuah paper bag berisi kotak-kotak bekal di meja samping ranjang. “Ibu kenapa ga bilang ke aku sih dari awal kalo Belinda yang rawat ibu selama ini?” “Lagian kalo ibu cerita ke kamu, ibu mana tau kalo kamu kenal Belinda? Memangnya hubungan kalian apa sih sampai kaget tadi?” “Aku mahasiswinya Pak Brandon di kelas strategi manajemen, Bu,” jawab Belinda sambil menatap Brandon sekilas. “Oh, jadi dosen yang kamu cerita kemarin….” Bu Yenny tertawa kecil melihat Belinda terus menggeleng pelan. “Memangnya Belinda cerita apa kemarin sampai bikin ibu ketawa?” Brandon menajamkan tatapannya sekilas pada Belinda. Ia punya firasat Belinda menceritakan semua hal buruk yang terjadi pada mereka kemarin. “Tidak apa-apa. Ibu hanya senang saja karena kalian saling mengenal satu sama lain.” Lega mendengar Bu Yenny tidak membocorkan ceritanya ke putranya langsung. Kalau seandainya sungguh diceritakan semuanya, mungkin nyawa Belinda tidak akan selamat di tangan Brandon. “Gimana kencan buta hari ini, Putraku?” Sebenarnya Brandon sedikit malu menceritakan kencan buta yang dilakukannya di hadapan mahasiswi paling dibencinya sepanjang hidupnya. Namun, mustahil ia tidak menjawab pertanyaan ibunya, terpaksa ia menjawabnya sambil menghela napas kasar. “Jawabannya sama seperti biasanya, Bu. Tidak perlu aku ngomong panjang lebar.” “Mendengar nada bicaramu, ibu tau.” Sorot mata Bu Yenny sekilas tertuju pada Belinda yang masih bersikap kaku. “Gimana kalo kalian melanjutkan perbincangan kalian tadi?” Tangan Belinda semakin gemetar sambil menggenggam handuk kecil yang diperasnya. “Aku tidak apa-apa, Bu. Sebentar lagi aku juga mau pulang.” “Aku juga baru sampai, Bu. Masa usir aku sih?” imbuh Brandon dengan nada kecewa. “Kamu bisa mengunjungi ibu besok. Yang penting kalian lanjutkan perbincangan kalian saja.” Brandon melangkahkan kakinya menghampiri Belinda dengan tatapan canggung. “Mau ngobrol di taman?” Belinda mengangguk gugup. “Boleh, Pak. Asalkan bapak tidak sibuk.” ***** Sebenarnya baik Belinda maupun Brandon sangat penasaran terkait apa hubungan mereka dan bagaimana mereka bisa dipertemukan dalam kondisi seperti ini di luar jam kuliah. Udara menjelang malam hari semakin dingin membuat suasana semakin canggung. Belinda dan Brandon duduk di bangku taman dengan jarak sedikit berjauhan sambil menundukkan kepala. Terutama Belinda sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya sambil menghentakkan kakinya tanpa menimbulkan suara. Jika diminta menjelaskan semuanya secara rinci, ia bingung ingin memulai dari mana. “Belinda, terima kasih,” ucap Brandon dengan lirih. “Karena apa?” balas Belinda dengan canggung. “Karena kamu sudah jadi sukarelawan merawat ibu saya selama ini.” Brandon berdeham sejenak. “Kalo boleh tau, kenapa kamu mau jadi sukarelawan? Bukankah pekerjaan itu cukup berat?” Belinda menampakkan senyuman tipis sambil menggeserkan tubuhnya mendekati Brandon. “Karena saya suka menghabiskan waktu luang dengan membantu orang.” “Benarkah? Bukankah anak zaman sekarang demennya hang out sama teman?” “Memang sih saya juga hang out sama Yena. Tapi, entah kenapa saya suka membantu orang saja. Apalagi membantu lansia yang hidup sendirian tanpa ditemani siapa pun. Membayangkan saya di posisi mereka, saya akan sedih juga karena tidak menyenangkan kalo hidup tidak ada hiburannya. Makanya itu, saya memutuskan menjadi sukarelawan Bu Yenny. Melihat karakter Bu Yenny mirip seperti saya dan cocok, saya sangat senang menghibur Bu Yenny setiap waktu luang.” Brandon berdecak kesal sambil menggerakkan bibir kanan kiri. “Sama apanya. Padahal etikamu beda jauh dengan ibu saya.” Belinda melipat kedua tangan di dada. “Lagi-lagi bahas masalah kemarin. Kenapa sih bapak dendam amat sama saya gara-gara kemarin doang? Lalu, di kelas tadi siang, kenapa bapak selalu menargetkan saya mempertanyakan materi?” “Suka-suka saya. Lagi pula, kamu kan mahasiswi teladan. Bukankah sudah wajar kalo saya selalu mengetes kamu di kelas?” bentak Brandon sambil menyilangkan kaki. “Selain itu, sejak awal memang saya tidak menyukai kamu saja.” “Alasannya kenapa? Karena etika lagi?” Rasanya Brandon ingin mengerang, sebenarnya hari ini masalah dialaminya juga karena kencan buta yang terlalu memaksakannya sehingga membuatnya sangat tidak nyaman. Kalau perdebatan ini terus berlanjut, maka ia tidak akan bisa mengendalikan amarahnya. Oleh karena itu, ia memutuskan meredam amarahnya sambil menarik napas dan membuang perlahan. “Hari ini saya malas bertengkar denganmu karena kamu sudah berjasa merawat ibu saya.” Belinda kembali menampakkan lengkungan bibir manis. “Omong-omong, sebenarnya saya penasaran. Kenapa bapak menempatkan Bu Yenny di rumah sakit terpencil ini? Lalu, kenapa saya tidak pernah melihat bapak datang berkunjung sampai saya mengira bapak itu anak durhaka? Apalagi rumah sakit ini bisa dikatakan tempat dimana para lansia hidup sendirian.” Mendengar semua pertanyaan dilontarkan Belinda yang cukup sensitif di telinganya, Brandon menghembuskan napas kasar sambil mengepalkan tangan. “Kamu tidak perlu tau urusan pribadi saya. Yang penting, saya bukan anak durhaka dan selama ini saya memang mengunjungi ibu saya, meskipun tidak setiap hari. Saya menempatkan ibu saya di rumah sakit ini bukan karena saya anak durhaka atau karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit, tapi ini karena sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan ke kamu.” Apa boleh buat, Belinda tidak bisa memaksakan Brandon menceritakan semuanya. Lagi pula, ia tidak punya hak mendengar urusan pribadi dosennya. Adanya dirinya akan dibenci dosen killer ini, baik di jam kuliah maupun luar jam kuliah. Melihat matahari sudah tidak menampakkan batang hidung dan udara semakin dingin, Brandon beranjak dari bangku sambil menatap arloji mewah di pergelangan tangan kiri. “Sudah malam. Saya antarkan kamu pulang saja.” Belinda langsung beranjak. “Tidak apa-apa, saya pulang sendiri saja.” “Pulang sendiri naik apa? Naik bus? Bahaya tau kalo jam segini!” Walaupun dibentak, entah kenapa kalimat sederhana itu membuat Belinda merasakan pipinya hangat. Tidak disangka dosen killer ada sisi perhatian. Brandon memutar bola mata. “Jangan membuat saya merasa sangat berdosa membiarkan kamu pulang naik bus malam-malam begini setelah merawat ibu saya!” ***** Brandon bukan tipe pria yang hanya bicara saja. Ia sungguh mengantarkan Belinda pulang ke rumah. Ia memberhentikan mobil SUV di depan sebuah rumah mewah sambil mematikan navigasi di layar LCD dasbor mobil. Belinda merasa sedikit sungkan karena dosen yang paling dibencinya ini memiliki sisi perhatian cukup berlebihan, walaupun mereka sering bertengkar setiap bertemu. Kepalanya menunduk terus sepanjang perjalanan ke rumah. Dengan tangan gemetar ia memegang gagang pintu mobil. “Terima kasih sudah antar saya pulang, Pak.” “Sebenarnya jarak antara rumah saya dan rumahmu hanya 15 menit. Jadinya saya tidak keberatan antar kamu pulang.” Ting… Mendengar notifikasi pesan masuk, Brandon mengambil ponselnya kemudian membaca sebuah pesan singkat dari wanita sexy yang kencan buta dengannya tadi siang. Membaca pesan itu membuat wajahnya murka. “Kalo sampai Anda tidak setuju menikahi saya, maka saya tidak akan mengampuni Anda! Saya juga akan membuat keluarga Anda bangkrut!” Brandon tidak terlihat takut. Justru ia menampakkan senyuman sinis sambil menatap sekilas pada Belinda dan membalas pesan singkat dengan santai. “Anda tau alasan saya menolak Anda tadi? Karena ada wanita yang ingin saya nikahi. Silakan saja mau buat keluarga saya bangkrut. Saya bisa membuktikan bahwa saya ingin menikahi wanita lain. Jangan menghubungi saya lagi karena masalah ini.” Sementara Belinda bersiap-siap memakai tas ranselnya sambil menggenggam gagang pintu mobil. “Pak Brandon, saya masuk ke rumah dulu ya.” Brandon kembali mengunci pintu mobil dengan rapat. Ia menarik tangan kiri Belinda sehingga membuat Belinda hampir terjatuh dalam dekapan tubuhnya. “Tidak boleh dulu. Saya mau bersikap egois.” Belinda menelan saliva dengan gugup. “Ada apa, Pak? Kenapa bapak tiba-tiba bersikap begini?” “Menikahlah dengan saya, Belinda.” Belinda membulatkan mata. “Apa?!” “Deadlinenya dua hari, kamu harus kasih saya jawaban.”Benar-benar ingin gila rasanya. Bahkan Belinda tidak memiliki tenaga ingin berbuat onar lagi. Insiden kemarin mereka bertengkar hanya karena permasalahan kecil, sedangkan sekarang diajak menikah tiba-tiba. Sebenarnya dosen killer ini waras atau tidak sih. Belinda masih belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat Brandon berubah pikiran, yang pasti pertanyaan itu sudah membuat darahnya mendidih. “Bapak bercanda? Bapak mau menikahi saya tiba-tiba? Kenapa?”Tentunya Brandon tidak bisa menjawab alasan kenapa ia ingin menikahi mahasiswinya tiba-tiba. Apalagi mustahil ia berkata bahwa dirinya ingin menikah demi bisa menghindari wanita gila itu. Tangan kanannya terus menggenggam setiran dengan erat sambil menunduk. Belinda memutar bola mata sambil tertawa remeh. “Bapak menyukai saya sebenarnya sampai mau menikahi saya?”“Belinda, soal itu–”“Saya tidak menyangka bapak juga tipe dosen yang suka mempermainkan mahasiswinya. Apa perlu saya lapor ke dekan?” Belinda menepuk jidat
Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasan
Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun ia tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gue ga?” tanya Daniel dengan antusias. Belinda menampakkan senyuman anggun. “Aku–”Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!”Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!”Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?”Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil ia berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, ia sendiri juga sang
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman s
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal ia sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mbak Tina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!”“Tapi aku–”Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lo menikahi orang yang salah! Memang kami minta lo cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!”“Tapi gue memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gue.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Apalagi ia merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika ia menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak ia menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?”Di sisi lain Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah barunya, Belinda terus menunduk malu akibat tangan kirinya digenggam tangan sang tunangan tampan. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata sejak meninggalkan rumah bagaikan penjara itu, hanya karena perlakuan sederhana ini sudah berhasil membuat hatinya mulai luluh. Apalagi ia sangat menyukai aksi penyelamatan sang tunangan dari neraka, meskipun ia tidak meminta pertolongan. “Terima kasih, Pak.”Tatapan Brandon masih terfokus pada kaca depan. “Kenapa kamu ga nanya dulu?”“Nanya apa?”“Saya tau kamu dikurung di kamar dari mana.”Belinda menghela napas dengan lemas. “Pasti tau dari Yena, kemudian Yena merengek minta bapak tolong saya.”Brandon tertawa kecil. “Kamu dapat nilai 50.”Bola mata Belinda membulat mendengar tunangannya lagi-lagi mulai mempermainkannya. “Kenapa saya dapat 50? Kan memang benar saya sempat teleponan sama Yena.”“Iya, kamu dapat 50 karena saya tau informasi kamu dikurung di kamar dari Yena. Tapi Yena tidak minta bantuan
Usai makan malam dan membersihkan diri, Belinda kembali duduk sendirian di sofa ruang tamu sambil menghabiskan cokelat yang masih tersisa. Ia masih merasa ini seperti di dunia mimpi. Tinggal di sebuah rumah mewah tanpa disiksa siapa pun, sedangkan tinggal di sini diperlakukan seperti princess. Masih tidak menyangka juga dosen kulkas itu seharian memperlakukannya sangat manis. Apakah dosen itu memperlakukannya seperti itu karena merasa kasihan saja melihat fakta secara langsung? drrt…drrt… Melihat sosok sahabatnya menghubunginya tiba-tiba, ia menampakkan senyuman lebar sambil menggeser layar ponsel. “Lu sudah boleh pegang hp emangnya?”“Justru gue sekarang sudah ga tinggal di sana.”“Lho terus lu tinggal di mana sekarang? Orang tua lu kali ini beneran usir lu?”Belinda tertawa kikuk. “Gue tinggal di rumah Pak Brandon sekarang.”“What?!”Spontan Belinda langsung menjauhkan ponselnya dari daun telinga. “Ga perlu pake teriak kali!”“Lu seriusan tinggal bareng dosen killer itu?”“Sebena