Bu Yenny sudah menduga jika putranya dan Belinda bertemu pasti akan berakhir seperti ini, setelah mendengar curahan hati kedua orang ini yang serupa. Hanya saja hingga sekarang Bu Yenny masih bersikap tidak tahu apa-apa.
Reaksi Belinda dan Brandon masih saling melempar pandangan syok dan mengulurkan jari telunjuk satu sama lain. Keduanya masih penasaran dengan pertemuan aneh ini di luar jam kuliah, apakah mereka sungguh ditakdirkan bertemu terus? “Saya putranya Bu Yenny, makanya saya datang ke sini,” ucap Brandon dengan nada sedikit angkuh. “Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?” “Selama ini saya yang merawat Bu Yenny setiap bapak tidak berkunjung.” Bu Yenny menepuk tangan untuk menghilangkan suasana canggung. “Oh, jadi kalian sudah saling kenal. Jadinya ibu tidak perlu cape-cape memperkenalkan kalian lagi.” Sejenak Brandon menaruh sebuah paper bag berisi kotak-kotak bekal di meja samping ranjang. “Ibu kenapa ga bilang ke aku sih dari awal kalo Belinda yang rawat ibu selama ini?” “Memangnya hubungan kalian apa sih sampai kaget tadi?” “Aku mahasiswinya Pak Brandon di kelas strategi manajemen, Bu,” jawab Belinda sambil menatap Brandon sekilas. “Oh, jadi dosen yang kamu cerita kemarin….” Bu Yenny tertawa kecil melihat Belinda terus menggeleng pelan. “Memangnya Belinda cerita apa kemarin sampai bikin ibu ketawa?” Brandon menajamkan tatapannya sekilas pada Belinda, punya firasat Belinda menceritakan semua hal buruk yang terjadi pada mereka kemarin. “Tidak apa-apa. Ibu hanya senang saja karena akhirnya kalian saling mengenal satu sama lain.” Lega mendengar Bu Yenny tidak membocorkan ceritanya ke putranya langsung. Kalau seandainya sungguh diceritakan semuanya, mungkin nyawa Belinda tidak akan selamat di tangan Brandon. “Gimana kencan buta hari ini, Putraku?” Sebenarnya Brandon sedikit malu menceritakan kencan buta yang dilakukannya di hadapan mahasiswi paling dibencinya sepanjang hidupnya. Namun, mustahil tidak menjawab pertanyaan ibunya, terpaksa menjawabnya sambil menghela napas kasar. “Jawabannya sama seperti biasanya, Bu. Tidak perlu aku ngomong panjang lebar.” “Mendengar nada bicaramu, ibu tau.” Sorot mata Bu Yenny sekilas tertuju pada Belinda yang masih bersikap kaku. “Gimana kalo kalian melanjutkan perbincangan kalian tadi?” Tangan Belinda semakin gemetar sambil menggenggam handuk kecil yang diperasnya. “Aku tidak apa-apa, Bu. Sebentar lagi aku juga mau pulang.” “Aku juga baru sampai, Bu. Masa usir aku sih?” imbuh Brandon dengan nada kecewa. “Kamu bisa mengunjungi ibu besok. Yang penting kalian lanjutkan perbincangan kalian saja.” Brandon melangkahkan kakinya menghampiri Belinda dengan tatapan canggung. “Mau ngobrol di taman?” Belinda mengangguk gugup. “Boleh, Pak. Asalkan bapak tidak sibuk.” ***** Sebenarnya baik Belinda maupun Brandon sangat penasaran terkait apa hubungan mereka dan bagaimana mereka bisa dipertemukan dalam kondisi seperti ini di luar jam kuliah. Udara menjelang malam hari semakin dingin membuat suasana semakin canggung. Belinda dan Brandon duduk di bangku taman dengan jarak sedikit berjauhan sambil menundukkan kepala. Terutama Belinda sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya sambil menghentakkan kakinya tanpa menimbulkan suara. Jika diminta menjelaskan semuanya secara rinci, bingung ingin memulai dari mana. “Belinda, terima kasih,” ucap Brandon dengan lirih. “Karena apa?” balas Belinda dengan canggung. “Karena kamu sudah jadi sukarelawan merawat ibu saya selama ini.” Brandon berdeham sejenak. “Kalo boleh tau, kenapa kamu mau jadi sukarelawan? Bukankah pekerjaan itu cukup berat?” Belinda menampakkan senyuman tipis sambil menggeserkan tubuhnya mendekati Brandon. “Karena saya suka menghabiskan waktu luang dengan membantu orang.” “Benarkah? Bukankah anak zaman sekarang demennya hang out sama teman?” “Memang sih saya juga hang out sama Yena. Tapi, entah kenapa saya suka membantu orang saja. Apalagi membantu lansia yang hidup sendirian tanpa ditemani siapa pun. Membayangkan saya di posisi mereka, saya akan sedih juga karena tidak menyenangkan kalo hidup tidak ada hiburannya. Makanya itu, saya memutuskan menjadi sukarelawan Bu Yenny. Melihat karakter Bu Yenny mirip seperti saya dan cocok, saya sangat senang menghibur Bu Yenny setiap waktu luang.” Brandon berdecak kesal sambil menggerakkan bibir kanan kiri. “Sama apanya. Padahal etikamu beda jauh dengan ibu saya.” Belinda melipat kedua tangan di dada. “Lagi-lagi bahas masalah kemarin. Kenapa sih bapak dendam amat sama saya gara-gara kemarin doang? Lalu, di kelas tadi siang, kenapa bapak selalu menargetkan saya mempertanyakan materi?” “Suka-suka saya. Lagi pula, kamu kan mahasiswi teladan. Bukankah sudah wajar kalo saya selalu mengetes kamu di kelas?” bentak Brandon sambil menyilangkan kaki. “Selain itu, sejak awal memang saya tidak menyukai kamu saja.” “Alasannya kenapa? Karena etika lagi?” Rasanya Brandon ingin mengerang, sebenarnya hari ini masalah dialaminya juga karena kencan buta yang terlalu memaksakannya sehingga membuatnya sangat tidak nyaman. Kalau perdebatan ini terus berlanjut, maka ia tidak akan bisa mengendalikan amarahnya. Oleh karena itu, ia memutuskan meredam amarahnya sambil menarik napas dan membuang perlahan. “Hari ini saya malas bertengkar denganmu karena kamu sudah berjasa merawat ibu saya.” Belinda kembali menampakkan lengkungan bibir manis. “Omong-omong, sebenarnya saya penasaran. Kenapa bapak menempatkan Bu Yenny di rumah sakit terpencil ini? Lalu, kenapa saya tidak pernah melihat bapak datang berkunjung sampai saya mengira bapak itu anak durhaka? Apalagi rumah sakit ini bisa dikatakan tempat dimana para lansia hidup sendirian.” Mendengar semua pertanyaan dilontarkan Belinda yang cukup sensitif di telinganya, Brandon menghembuskan napas kasar sambil mengepalkan tangan. “Kamu tidak perlu tau urusan pribadi saya. Yang penting, saya bukan anak durhaka dan selama ini saya memang mengunjungi ibu saya, meskipun tidak setiap hari. Saya menempatkan ibu saya di rumah sakit ini bukan karena saya anak durhaka atau karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit, tapi ini karena sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan ke kamu.” Apa boleh buat, Belinda tidak bisa memaksakan Brandon menceritakan semuanya. Lagi pula, tidak punya hak mendengar urusan pribadi dosennya. Adanya dirinya akan dibenci dosen killer ini, baik di jam kuliah maupun luar jam kuliah. Melihat matahari sudah tidak menampakkan batang hidung dan udara semakin dingin, Brandon beranjak dari bangku sambil menatap arloji mewah di pergelangan tangan kiri. “Sudah malam. Saya antarkan kamu pulang saja.” Belinda langsung beranjak. “Tidak apa-apa, saya pulang sendiri saja.” “Pulang sendiri naik apa? Naik bus? Bahaya tau kalo jam segini!” Walaupun dibentak, entah kenapa kalimat sederhana itu membuat Belinda merasakan pipinya hangat. Tidak disangka dosen killer ada sisi perhatian. Brandon memutar bola mata. “Jangan membuat saya merasa sangat berdosa membiarkan kamu pulang naik bus malam-malam begini setelah merawat ibu saya!” ***** Brandon bukan tipe pria yang hanya bicara saja, sungguh mengantarkan Belinda pulang ke rumah. Memberhentikan mobil SUV di depan sebuah rumah mewah sambil mematikan navigasi di layar LCD dasbor mobil. Belinda merasa sedikit sungkan karena dosen yang paling dibencinya ini memiliki sisi perhatian cukup berlebihan, walaupun mereka sering bertengkar setiap bertemu. Kepalanya menunduk terus sepanjang perjalanan ke rumah. Dengan tangan gemetar ia memegang gagang pintu mobil. “Terima kasih sudah antar saya pulang, Pak.” “Sebenarnya jarak antara rumah saya dan rumahmu hanya 15 menit. Jadinya saya tidak keberatan antar kamu pulang.” Ting… Mendengar notifikasi pesan masuk, Brandon mengambil ponselnya kemudian membaca sebuah pesan singkat dari wanita sexy yang kencan buta dengannya tadi siang. Membaca pesan itu membuat wajahnya murka. “Kalo sampai Anda tidak setuju menikahi saya, maka saya tidak akan mengampuni Anda! Saya juga akan membuat keluarga Anda bangkrut!” Brandon tidak terlihat takut. Justru menampakkan senyuman sinis sambil menatap sekilas pada Belinda dan membalas pesan singkat dengan santai. “Anda tau alasan saya menolak Anda tadi? Karena ada wanita yang ingin saya nikahi. Silakan saja mau buat keluarga saya bangkrut. Saya bisa membuktikan bahwa saya ingin menikahi wanita lain. Jangan menghubungi saya lagi karena masalah ini.” Sementara Belinda bersiap-siap memakai tas ranselnya sambil menggenggam gagang pintu mobil. “Pak Brandon, saya masuk ke rumah dulu ya.” Brandon kembali mengunci pintu mobil dengan rapat. Menarik tangan kiri Belinda sehingga membuat Belinda hampir terjatuh dalam dekapan tubuhnya. “Tidak boleh dulu. Saya mau bersikap egois.” Belinda menelan saliva dengan gugup. “Ada apa, Pak? Kenapa bapak tiba-tiba bersikap begini?” “Menikahlah dengan saya, Belinda.” Belinda membulatkan mata. “Apa?!” “Deadlinenya dua hari, kamu harus kasih saya jawaban.”Benar-benar ingin gila rasanya. Bahkan Belinda tidak memiliki tenaga ingin berbuat onar lagi. Insiden kemarin mereka bertengkar hanya karena permasalahan kecil, sedangkan sekarang diajak menikah tiba-tiba. Sebenarnya dosen killer ini waras atau tidak sih. Belinda masih belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat Brandon berubah pikiran, yang pasti pertanyaan itu sudah membuat darahnya mendidih. “Bapak bercanda? Bapak mau menikahi saya tiba-tiba? Kenapa?” Tentunya Brandon tidak bisa menjawab alasan kenapa ingin menikahi mahasiswinya tiba-tiba. Apalagi mustahil berkata bahwa dirinya ingin menikah demi bisa menghindari wanita gila itu. Tangan kanannya terus menggenggam setiran dengan erat sambil menunduk. Belinda memutar bola mata sambil tertawa remeh. “Bapak menyukai saya sebenarnya sampai mau menikahi saya?” “Belinda, soal itu–” “Saya tidak menyangka bapak juga tipe dosen yang suka mempermainkan mahasiswinya. Apa perlu saya lapor ke dekan?” Belinda menepuk jidat.
Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasan
Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun ia tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gue ga?” tanya Daniel dengan antusias. Belinda menampakkan senyuman anggun. “Aku–”Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!”Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!”Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?”Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil ia berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, ia sendiri juga sang
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman s
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal ia sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mbak Tina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!”“Tapi aku–”Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lo menikahi orang yang salah! Memang kami minta lo cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!”“Tapi gue memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gue.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Apalagi ia merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika ia menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak ia menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?”Di sisi lain Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah barunya, Belinda terus menunduk malu akibat tangan kirinya digenggam tangan sang tunangan tampan. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata sejak meninggalkan rumah bagaikan penjara itu, hanya karena perlakuan sederhana ini sudah berhasil membuat hatinya mulai luluh. Apalagi ia sangat menyukai aksi penyelamatan sang tunangan dari neraka, meskipun ia tidak meminta pertolongan. “Terima kasih, Pak.”Tatapan Brandon masih terfokus pada kaca depan. “Kenapa kamu ga nanya dulu?”“Nanya apa?”“Saya tau kamu dikurung di kamar dari mana.”Belinda menghela napas dengan lemas. “Pasti tau dari Yena, kemudian Yena merengek minta bapak tolong saya.”Brandon tertawa kecil. “Kamu dapat nilai 50.”Bola mata Belinda membulat mendengar tunangannya lagi-lagi mulai mempermainkannya. “Kenapa saya dapat 50? Kan memang benar saya sempat teleponan sama Yena.”“Iya, kamu dapat 50 karena saya tau informasi kamu dikurung di kamar dari Yena. Tapi Yena tidak minta bantuan
Usai makan malam dan membersihkan diri, Belinda kembali duduk sendirian di sofa ruang tamu sambil menghabiskan cokelat yang masih tersisa. Ia masih merasa ini seperti di dunia mimpi. Tinggal di sebuah rumah mewah tanpa disiksa siapa pun, sedangkan tinggal di sini diperlakukan seperti princess. Masih tidak menyangka juga dosen kulkas itu seharian memperlakukannya sangat manis. Apakah dosen itu memperlakukannya seperti itu karena merasa kasihan saja melihat fakta secara langsung? drrt…drrt… Melihat sosok sahabatnya menghubunginya tiba-tiba, ia menampakkan senyuman lebar sambil menggeser layar ponsel. “Lu sudah boleh pegang hp emangnya?”“Justru gue sekarang sudah ga tinggal di sana.”“Lho terus lu tinggal di mana sekarang? Orang tua lu kali ini beneran usir lu?”Belinda tertawa kikuk. “Gue tinggal di rumah Pak Brandon sekarang.”“What?!”Spontan Belinda langsung menjauhkan ponselnya dari daun telinga. “Ga perlu pake teriak kali!”“Lu seriusan tinggal bareng dosen killer itu?”“Sebena
Brandon tidak akan membiarkan istrinya terus ditindas selama di kampus. Saat jam makan siang berpisah dari istrinya dan memilih makan siang bersama William dan Isabella. William juga turut prihatin pada Belinda yang ditindas oleh mahasiswa satu kampus hanya karena berita hoax. “Wil, kalo ga salah lu punya anggota tim yang bisa melacak IP user anonim kan?” tanya Brandon. “Ada sih. Gua nanti coba bujuk dia dengan cara traktiran. Pasti dia langsung mau.”Isabella terus memainkan kuku menari-nari di atas meja. Kebiasaannya setiap berpikir kritis pasti melakukan hal seperti ini. “Sebenarnya gua agak ragu Celine ini adalah pelakunya.”“Gua curiganya David itu pelakunya,” sanggah William. Brandon mengangguk-angguk. “Apalagi forum mahasiswa itu kan setau gua ga bisa sembarangan orang akses.”Isabella menghembuskan napas dengan kesal. “Tapi, lu pada mau sembarangan nuduh dia dulu?” Brandon dan William menggeleng serentak. “Yang pasti gua mesti buruan minta teman gua lacak IP itu deh. Gua
Brandon masih menunjukkan sisi galak selama mengajar di kelas. Terutama murka mengingat Belinda terkena masalah dua kali berturut-turut. Pertama saat ujian tengah semester hampir dicontek, lalu untuk sekarang berita hoax tersebar di seluruh kampus. Walaupun Daniel sudah kenal dekat dengan Brandon, tetapi masih ketakutan sampai kakinya gemetar mendengar nada bicara Brandon sangat ketus sejak Belinda difitnah habis-habisan. “Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, saya paling tidak suka mahasiswa menyontek terang-terangan saat ujian. Makanya itu, jangan heran salah satu teman kalian sudah dikeluarkan dari kelas saya mulai hari ini!”Sekarang semua mahasiswa di kelas ini sibuk bergosip pada salah satu mahasiswa yang berusaha menyontek Belinda saat itu. Brandon sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar Belinda tidak terus disoroti selama dirinya mengajar. Saat kelas telah berakhir, semua mahasiswa keluar dari ruang kelas dalam kondisi terdiam. Sebenarnya mereka membisu karena sempa
Hari Senin pagi masih terlihat manis untuk pasangan suami istri sedang bersiap-siap berangkat ke kampus. Seperti biasa, Brandon memarkirkan mobil SUV di basement kampus agar bisa berduaan bersama istrinya lebih lama lagi. Dari bangun tidur Belinda masih belum membuka ponselnya sama sekali. Karena sejak menikah, lebih mementingkan menghabiskan waktu bersama pujaan hatinya. “Omong-omong, kenapa sesekali kamu ga mau menurunkan aku di depan gerbang kampus saja?” tanya Belinda bernada malu. “Padahal kita sudah menikah lumayan lama. Aku ga mau memperlakukanmu sebagai orang asing!” protes Brandon mengerucutkan bibir. “Tapi, tetap saja … kalo suatu hari nanti ada dosen lain melihat aku keluar dari mobilmu tiba-tiba … kamu ga takut?”Brandon tertawa kecil sambil mengelus kepala istrinya lambat laun. “Kalo sesama dosen untuk apa takut? Mereka juga ga akan berani membocorkan pernikahan kita. Pola pikir mereka jauh lebih dewasa dibandingkan anak remaja yang bermulut ember semua.”“Jadi bisa d
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Isabella dan William, seperti biasa Brandon dan Belinda mengunjungi Bu Yenny di hari libur. Namun, siapa sangka sebenarnya ada yang mengikuti mobil mereka diam-diam dari belakang. Mobil sedan putih ini tidak terlihat siapa pengendara mobil ini karena kaca mobil sengaja dipasang kaca tidak tembus pandang. Brandon dan Belinda masih belum menyadari mereka diikuti seseorang. Bahkan mereka masih bersikap santai mengunjungi Bu Yenny seolah-olah tidak terjadi apa pun. Karena hari ini udara terasa segar dan sinar matahari tidak terlalu menyengat, mereka mengajak Bu Yenny berjalan-jalan di taman rumah sakit, meskipun Bu Yenny harus duduk di kursi roda. Sejenak Brandon menghentikan aksinya mendorong kursi roda. Berjongkok di hadapan sang ibu sambil merapikan kain tipis menyelimuti tubuh ibunya. “Ibu kangen aku belakangan ini?”Bu Yenny memanyunkan bibir. “Ibu justru kangen kalian berdua. Sejak Belinda magang di tempatmu, dia jarang menghabiskan waktu b
Lebih condong Isabella mengajak double date dengan pasangan Daniel dan Yena dulu. Karena satu-satunya yang dekat dengan sosok rekan kerja Isabella yang mencurigakan adalah sepasang teman ini. Isabella ingin mengumpulkan bukti dulu walaupun secara tidak langsung, agar bisa memberanikan diri memberitahukan yang sebenarnya kepada Brandon dan Belinda. Sepasang teman ini diajak berdiskusi di cafe library. Kebetulan Daniel dan Yena juga ingin berjalan-jalan ke lokasi ini. Sebenarnya mereka juga penasaran alasan Isabella memanggil mereka berdua di hari libur karena apa. “Maaf ya aku mengganggu kalian berdua di hari libur,” ucap Isabella menunduk sopan. “Tidak apa-apa, Kak.” Sejenak Daniel menyesap kopi. “Kak Isabella panggil kami ada apa ya? Apa ada tugas kantor tambahan?”Isabella tertawa kecil sambil menggeleng cepat. “Tidak kok. Tenang saja, Pak Brandon tidak akan kasih kalian tugas di hari libur walaupun dia itu atasan galak.”“Kalo bukan masalah pekerjaan, lalu ada apa?” lanjut Yena
Hanya dengan menatap wajah tampan pujaan hatinya sudah berhasil membuatnya tidak takut pada petir sekarang. Seiring berjalannya waktu, rasa takut itu perlahan menghilang berkat teknik pelukan istimewa yang diberikan suaminya setiap hujan petir. Brandon lega melihat istrinya bisa tenang walaupun masih terdengar suara petir. Tangan kanannya mengelus pipi perlahan. “Seandainya sekarang aku masih belum pulang, kamu pasti akan menangis.”“Selain menangis, aku akan kesal padamu karena kamu lebih mementingkan pekerjaan daripada istri sendiri!” “Benarkah? Kalo begitu, apa perlu mulai hari Senin nanti aku harus pulang lebih awal?”Belinda memutar bola mata melihat suaminya bersikap sangat polos. “Kamu terlalu polos. Kalo sampai kamu diomelin, aku kabur dulu ya.”“Aku rela diomelin demi kamu. Aku ga mau kamu tidur sendirian lagi seperti kemarin, sarapan sendirian, berangkat kerja bersama orang lain. Aku ga mau kamu melakukan semua hal seolah-olah kamu belum menikah.”Kepalanya menunduk dan p
Hari ini adalah pertama kalinya Belinda mempresentasikan hasil karyanya di kantor. Belinda sangat berharap Brandon juga menyaksikan presentasi ini sebagai atasannya. Namun, sampai detik ini Brandon masih belum menampakkan batang hidung, ia berusaha tetap tegar dan bersikap profesional di hadapan Isabella, Celine, dan dua sahabatnya. Belinda tidak presentasi sendiri, ia didampingi David juga merupakan rekan timnya. Lima menit lagi presentasi akan dimulai. Semua orang masih menunggu kehadiran Brandon. Isabella hanya bisa pasrah karena dirinya juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Sepertinya kita mulai dulu saja tanpa Pak Brandon,” ujar Isabella. Belinda menunduk sambil membuka file materi yang sudah dibuatnya bersama David. Tok…tok… Saat bersamaan, Brandon memasuki ruang rapat ini tergesa-gesa. Belinda membulatkan mata, tidak menyangka Brandon menghadiri rapat sederhana ini padahal sudah sempat diberitahukan Isabella sebelumnya tadi pagi bahwa sepanjang hari Brandon akan menghadiri rap
Belinda menyadari suaminya sedang menyaksikan adegan tidak terduga ini. Langsung menggeleng pelan memberikan isyarat tidak melakukan apa pun bersama David. Brandon tetap bersikap profesional selama di kantor, kali ini tidak ingin mudah terbawa suasana. Di saat salah satu pegawai keluar dari lift bermaksud mengalah, Brandon langsung mengangkat tangan dengan angkuh. “Tidak perlu keluar dari lift, saya naik lift eksekutif saja,” ucapnya dengan nada dingin sambil berbalik badan. Di saat pintu lift tertutup, Belinda kembali bersikap gugup di hadapan David, terus membuang pandangan karena dalam hati merasa sangat berdosa membuat suaminya kecewa kali ini. Selama berbelanja di kafe, Belinda hanya bisa melamun merenungkan apa yang diperbuatnya selama di lift. Sebenarnya bisa dikatakan tanpa dirinya, David bisa membawa semua gelas kopi itu sendirian. Apakah David bersikap seperti ini lagi karena masih belum menyerah walaupun sudah ditolak?Saat melangkah keluar dari lift bersama David, tanpa
Belinda masih bingung situasi yang dihadapinya saat ini diperebutkan tiga pria. Makan malam tim yang harusnya diselimuti suasana hangat, kini merasakan hawa ketegangan di antara tiga pria ini. Apalagi Belinda sangat gugup duduk di antara Daniel dan David, ingin bertukar tempat duduk dengan Isabella yang duduk bersebelahan dengan Brandon. Yena juga sebenarnya tidak nyaman suasana makan malam tim saat ini. Awalnya ingin makan banyak, sekarang tidak bisa menikmatinya dan berusaha mencari segala ide untuk terbebas dari suasana tegang ini. “Omong-omong Pak Brandon, terima kasih atas traktirannya,” ucapnya dengan tawa kikuk. Brandon tersenyum tipis sambil menatap Yena dengan akrab. “Makan sepuasnya ya, Yena.”David mengambilkan beberapa daging tempura untuk Belinda secara spontan, membuat tubuh Brandon langsung kepanasan melihatnya. Di sisi Belinda sangat cemas suaminya akan cemburu lagi akibat melihat adegan tidak terduga ini. Langsung berinisiatif mengembalikan beberapa daging tempura