Baru hari pertama masuk kuliah, suasana sedikit canggung. Sepanjang perjalanan menuju ruang dosen, Belinda tidak henti-hentinya terus mendesah. Sudah pasti, karena pertama kali ia dipanggil ke ruang dosen dengan nada bicara dosen yang ingin menerkamnya seolah-olah, terutama sudah berbuat onar di pertemuan pertama mereka.
Brandon mengganti lokasi pertemuan di tangga darurat. Entah kenapa Belinda merasakan temperatur udara cukup dingin walaupun tidak ada pendingin ruangan, akibat melihat wajah dosen ini yang awalnya masih menampakkan senyuman manis, kini menjadi dosen killer sedingin kulkas sungguhan. “Gimana rasanya pas tau saya adalah dosen yang mengajarmu?” tanya Brandon dengan nada mulai judes. “Anu… tentu saja saya sedikit terkejut karena pertama kali diajar dosen masih muda.” “Bukan kaget karena kamu ketemu pemuda yang bertengkar denganmu di parkiran, kemudian kamu baru tau aku adalah dosen?” Nada bicara Brandon semakin meninggi membuat Belinda merasakan kakinya semakin gemetar. “Itu–” Brandon melangkah perlahan mendekati Belinda, sedangkan Belinda semakin mundur hingga akhirnya kakinya menempel pada tembok. Brandon menempelkan telapak tangan kanan di tembok sambil memajukan kepalanya mendekati wajah mahasiswinya. “Saya membiarkanmu menjadi ketua kelas di kelas saya. Tapi, asalkan kamu tau saja. Saya paling membenci orang yang bersikap kurang ajar pada saya, terutama di pertemuan pertama kita.” Mata Belinda mulai berkaca-kaca. “Maaf, Pak. Saat itu saya beneran tidak tau kalau bapak adalah dosen.” Brandon tertawa remeh. “Minta maaf tidak cukup bagi saya. Saya juga tidak suka orang yang hanya berbicara saja.” Ia memasang tatapan elang. “Saya yakin melihat etikamu tidak elit, kamu tidak akan bisa menikahi siapa pun.” “Bapak lancang sekali!” bentak Belinda sambil mengepalkan tangan. “Pria mana pun tidak akan tertarik dengan gadis yang sembrono dan tidak mengakui kesalahannya. Saya sendiri pun sangat membenci kamu!” “Apakah ini kutukan untuk saya?” Belinda menghembuskan napas kasar. “Terima kasih lho, Pak. Asalkan tau saja, orang yang suka mengutuk itu juga tidak akan bisa menikah.” “Pokoknya saya akan mengawasimu terus. Kalau sampai kamu membuat saya marah lagi, saya tidak akan mengampunimu dan mengutukmu sepanjang hidupku!” ***** Meskipun berpura-pura tegar di hadapan dosen killer itu, isi pikiran Belinda sepanjang hari dipenuhi semua kutukan diucapkan di tangga darurat. Sepanjang hari ia tidak fokus belajar dan tidak biasanya ia ditegur dosen di hari pertama kelas akibat sering melamun. Untuk menghilangkan isi pikiran negatif, ia memutuskan pergi ke sebuah rumah sakit. Namun, rumah sakit itu tidak terletak di pusat kota, melainkan di pesisir kota. Rumah sakit tersebut berisi semua pasien lansia yang hidup sendirian dan membutuhkan sukarelawan yang merawat mereka sepanjang hidup mereka. Belinda adalah sukarelawan rumah sakit itu. Ia selalu merawat seorang wanita paruh baya yang sudah dirawat di rumah sakit selama bertahun-tahun akibat kecelakaan. Tidak hanya merawat dan memberi makan saja, Belinda juga sering mencurahkan isi hatinya, baik sedang mengalami hal buruk maupun baik. Namun, kali ini ia menampakkan wajah cemberut sambil menceritakan apa yang dialaminya sepanjang hari. “Jadi begitulah, Bu. Aku apes amat semester ini ketemu dosen yang super galak dan tidak tau diri.” Wanita paruh baya itu tersenyum tipis sambil menyentuh pundak Belinda. “Tapi dosen itu ada benarnya juga. Kamu memang tidak boleh sembarangan bersikap kurang ajar ke dia.” “Habisnya dia yang mulai duluan ajak ribut di parkiran.” “Walaupun dia ajak ribut, tapi bukan berarti kamu menambahkan minyak. Kalau kamu bertengkar dengan dosen, dia akan membencimu sepanjang hidupmu.” Belinda menghela napas lemas. “Gimana ya agar dia tidak membenciku lagi? Siap-siap deh dia bakal kasih nilaiku jelek.” Wanita paruh baya itu mengelus tangan Belinda lambat laun. “Kamu harus memenangkan hatinya. Kalau kamu berhasil membuat dosen sedingin kulkas itu tersenyum di hadapanmu, ibu yakin dia tidak akan berani macam-macam denganmu.” “Tapi apa bisa? Temperamennya saja buruk,” bisik Belinda. “Ibu yakin kamu bisa, Belinda. Buktinya saja kamu berhasil memenangkan hati ibu.” Mendengar hiburan wanita paruh baya ini, Belinda kembali tersenyum sambil memeluk tubuh hangat ini dengan manja. “Ibu memang yang terbaik. Seharusnya ibu adopsi aku saja.” ***** Sebenarnya tidak hanya Belinda yang berkunjung ke rumah sakit. Sosok dosen killer tampan juga berkunjung sambil membawa buket bunga dan keranjang berisi buah-buahan. Ia memasuki kamar inap wanita paruh baya itu, hanya saja Belinda sudah tidak menampakkan batang hidung. Brandon disambut senyuman hangat wanita paruh baya itu yang membuat mimik wajahnya juga tersenyum sambil memeluk. “Apa aku terlambat hari ini, Bu?” Wanita paruh baya itu menggeleng. “Tidak, Nak. Ibu tau hari ini adalah hari pertama kamu bekerja sebagai dosen. Gimana hari pertamamu?” “Cukup menyenangkan juga jadi dosen daripada kerja di perusahaan. Aku jadi teringat masa kuliah.” Membayangkan adegan di saat dirinya bertengkar dengan mahasiswinya di parkiran dan tangga darurat, bibirnya memanyun. “Tapi baru pertama kali aku ketemu mahasiswi yang tidak tau malu dan kurang ajar amat.” Wanita paruh baya itu tertawa kecil. Entah kenapa ia merasa kisah yang dialami Belinda dan putranya sangat cocok. Firasatnya, apakah jangan-jangan mereka sudah bertemu tanpa sepengetahuannya? Ia hanya bisa berpura-pura tidak tahu agar putranya tidak syok. “Ibu juga baru pertama kali dengar kamu mengeluh ada cewek yang kurang ajar padamu. Biasanya kan kamu mengeluh mereka justru mengejarmu terus karena kamu tampan.” “Yang cewek satu ini justru agak lain, Bu. Bahkan aku ga bisa toleransi sikapnya dan aku sempat mengutuk dia. Pagi-pagi saja sudah bikin darahku naik.” “Putraku, ibu mengerti perasaanmu. Tapi kalau kamu benci dia terus, maka dia akan membencimu juga. Kamu mau hubungan kalian begini terus sampai akhir semester?” ***** Keesokan harinya… Belinda tidak berani berbuat macam-macam selama di kelas setelah mendengar nasihat dari Bu Yenny, meskipun setiap menatap wajah Brandon dari kejauhan membuatnya muak. Namun, ia berusaha untuk fokus di kelas agar perasaan pribadi tidak dilibatkan dalam penilaian keaktifan kelas dan etika. “Belinda, kamu paham kan apa yang saya jelaskan dari tadi?” tanya Brandon tiba-tiba di saat mengakhiri presentasinya membuat Belinda hampir serangan jantung. Belinda langsung mengangguk. “Saya paham, Pak.” Brandon tertawa sinis sambil membuka buku teks. “Karena kamu ketua kelas, jadinya saya akan banyak bertanya padamu selama di kelas.” Mendengar ucapan sang dosen semakin menyebalkan, Belinda mengepalkan tangan rasanya ingin menghajar dosen itu. “Kayaknya dia dendam amat sama aku sampai tanya melulu dari tadi!” Tiba-tiba Brandon memiliki ide usil sambil menatap semua mahasiswa di kelas ini. “Karena bab 1 sudah selesai, maka saya akan memberikan kalian tugas.” Semua mahasiswa langsung mengeluh. Brandon memukul-mukul meja. “Kalian jangan banyak ngeluh! Tugas kalian sederhana, hanya meringkas apa yang kalian pelajari di bab 1 dan menjawab soal pertanyaan di buku teks.” Yena langsung menyenggol lengan sahabatnya. “Gue curiga dia tiba-tiba kasih tugas gara-gara masih kesal sama lu.” ***** Setelah kelas berakhir, Brandon melakukan kencan buta dengan putri konglomerat di sebuah hotel. Sebenarnya cukup muak melakukan kencan buta setiap minggu yang membuatnya ingin cepat mengakhirinya, meskipun wanita itu terlihat sexy di matanya. Melihat wanita itu mulai menunjukkan sikap kurang ajar dengan membuka satu kancing dan mengeluarkan kartu akses kamar hotel, Brandon langsung beranjak dari kursi dengan tatapan dingin. “Saya tidak bisa melanjutkan perbincangan kita.” “Kenapa? Bukankah pria hot seperti Anda menyukai penampilan wanita sexy begini?” bentak wanita itu sambil ingin meraba dada Brandon. Dengan sigap Brandon menangkis tangan wanita itu sebelum tubuhnya dinodai. “Jangan menilai saya hanya dari penampilan saja. Saya peringatkan dulu! Saya tidak menyukai wanita murahan seperti Anda yang suka menggoda pria dengan cara murahan! Selain itu, saya tidak tertarik menikahi Anda walaupun Anda adalah putri dari Pak Presdir Xavier. Silakan saja mau mengadu saya ke keluarga saya. Saya tidak takut!” ***** Kali ini Belinda menemani Bu Yenny hingga hari menjelang malam, mengingat Bu Yenny mengatakan kalau putranya hari ini sedikit terlambat karena ada kencan buta. Belinda tidak pernah bertemu putra Bu Yenny dan tidak pernah penasaran sosok pemuda itu seperti apa. Yang penting, ia hanya fokus merawat Bu Yenny dan merawat sampai bahagia. “Kamu tidak pulang saja, Nak? Nanti orang tuamu mencarimu.” Belinda menggeleng. “Justru aku mau di sini demi bisa bermanja dengan ibu.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka pintu kamar inap ini. Sosok Brandon baru menampakkan batang hidung, terkejut melihat mahasiswi yang selalu menyebalkan di matanya mengunjungi ibunya juga. Belinda juga terkejut sampai matanya melotot menatap dosen killer itu hingga tubuhnya berdiri secara spontan. “Bapak gimana bisa?” “Sedangkan kamu ngapain di sini?”Bu Yenny sudah menduga jika putranya dan Belinda bertemu pasti akan berakhir seperti ini, setelah mendengar curahan hati kedua orang ini yang serupa. Hanya saja hingga sekarang Bu Yenny masih bersikap tidak tahu apa-apa. Reaksi Belinda dan Brandon masih saling melempar pandangan syok dan mengulurkan jari telunjuk satu sama lain. Keduanya masih penasaran dengan pertemuan aneh ini di luar jam kuliah, apakah mereka sungguh ditakdirkan bertemu terus? “Saya putranya Bu Yenny, makanya saya datang ke sini,” ucap Brandon dengan nada sedikit angkuh. “Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?”“Selama ini saya yang merawat Bu Yenny setiap bapak tidak berkunjung.”Bu Yenny menepuk tangan untuk menghilangkan suasana canggung. “Oh, jadi kalian sudah saling kenal. Jadinya ibu tidak perlu cape-cape memperkenalkan kalian lagi.”Sejenak Brandon menaruh sebuah paper bag berisi kotak-kotak bekal di meja samping ranjang. “Ibu kenapa ga bilang ke aku sih dari awal kalo Belinda yang rawat ibu selama ini?”“Lag
Benar-benar ingin gila rasanya. Bahkan Belinda tidak memiliki tenaga ingin berbuat onar lagi. Insiden kemarin mereka bertengkar hanya karena permasalahan kecil, sedangkan sekarang diajak menikah tiba-tiba. Sebenarnya dosen killer ini waras atau tidak sih. Belinda masih belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat Brandon berubah pikiran, yang pasti pertanyaan itu sudah membuat darahnya mendidih. “Bapak bercanda? Bapak mau menikahi saya tiba-tiba? Kenapa?”Tentunya Brandon tidak bisa menjawab alasan kenapa ia ingin menikahi mahasiswinya tiba-tiba. Apalagi mustahil ia berkata bahwa dirinya ingin menikah demi bisa menghindari wanita gila itu. Tangan kanannya terus menggenggam setiran dengan erat sambil menunduk. Belinda memutar bola mata sambil tertawa remeh. “Bapak menyukai saya sebenarnya sampai mau menikahi saya?”“Belinda, soal itu–”“Saya tidak menyangka bapak juga tipe dosen yang suka mempermainkan mahasiswinya. Apa perlu saya lapor ke dekan?” Belinda menepuk jidat
Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasan
Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun ia tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gue ga?” tanya Daniel dengan antusias. Belinda menampakkan senyuman anggun. “Aku–”Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!”Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!”Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?”Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil ia berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, ia sendiri juga sang
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman s
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal ia sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mbak Tina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!”“Tapi aku–”Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lo menikahi orang yang salah! Memang kami minta lo cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!”“Tapi gue memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gue.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Apalagi ia merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika ia menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak ia menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?”Di sisi lain Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah barunya, Belinda terus menunduk malu akibat tangan kirinya digenggam tangan sang tunangan tampan. Meskipun mereka tidak mengucapkan sepatah kata sejak meninggalkan rumah bagaikan penjara itu, hanya karena perlakuan sederhana ini sudah berhasil membuat hatinya mulai luluh. Apalagi ia sangat menyukai aksi penyelamatan sang tunangan dari neraka, meskipun ia tidak meminta pertolongan. “Terima kasih, Pak.”Tatapan Brandon masih terfokus pada kaca depan. “Kenapa kamu ga nanya dulu?”“Nanya apa?”“Saya tau kamu dikurung di kamar dari mana.”Belinda menghela napas dengan lemas. “Pasti tau dari Yena, kemudian Yena merengek minta bapak tolong saya.”Brandon tertawa kecil. “Kamu dapat nilai 50.”Bola mata Belinda membulat mendengar tunangannya lagi-lagi mulai mempermainkannya. “Kenapa saya dapat 50? Kan memang benar saya sempat teleponan sama Yena.”“Iya, kamu dapat 50 karena saya tau informasi kamu dikurung di kamar dari Yena. Tapi Yena tidak minta bantuan