Share

Bab 2: Kutukan

Baru hari pertama masuk kuliah, suasana sedikit canggung. Sepanjang perjalanan menuju ruang dosen, Belinda tidak henti-hentinya terus mendesah. Sudah pasti, karena pertama kali ia dipanggil ke ruang dosen dengan nada bicara dosen yang ingin menerkamnya seolah-olah, terutama sudah berbuat onar di pertemuan pertama mereka. 

Brandon mengganti lokasi pertemuan di tangga darurat. Entah kenapa Belinda merasakan temperatur udara cukup dingin walaupun tidak ada pendingin ruangan, akibat melihat wajah dosen ini yang awalnya masih menampakkan senyuman manis, kini menjadi dosen killer sedingin kulkas sungguhan. 

“Gimana rasanya pas tau saya adalah dosen yang mengajarmu?” tanya Brandon dengan nada mulai judes. 

“Anu… tentu saja saya sedikit terkejut karena pertama kali diajar dosen masih muda.”

“Bukan kaget karena kamu ketemu pemuda yang bertengkar denganmu di parkiran, kemudian kamu baru tau aku adalah dosen?” Nada bicara Brandon semakin meninggi membuat Belinda merasakan kakinya semakin gemetar. 

“Itu–”

Brandon melangkah perlahan mendekati Belinda, sedangkan Belinda semakin mundur hingga akhirnya kakinya menempel pada tembok. Brandon menempelkan telapak tangan kanan di tembok sambil memajukan kepalanya mendekati wajah mahasiswinya. 

“Saya membiarkanmu menjadi ketua kelas di kelas saya. Tapi, asalkan kamu tau saja. Saya paling membenci orang yang bersikap kurang ajar pada saya, terutama di pertemuan pertama kita.”

Mata Belinda mulai berkaca-kaca. “Maaf, Pak. Saat itu saya beneran tidak tau kalau bapak adalah dosen.”

Brandon tertawa remeh. “Minta maaf tidak cukup bagi saya. Saya juga tidak suka orang yang hanya berbicara saja.” Ia memasang tatapan elang. “Saya yakin melihat etikamu tidak elit, kamu tidak akan bisa menikahi siapa pun.”

“Bapak lancang sekali!” bentak Belinda sambil mengepalkan tangan. 

“Pria mana pun tidak akan tertarik dengan gadis yang sembrono dan tidak mengakui kesalahannya. Saya sendiri pun sangat membenci kamu!”

“Apakah ini kutukan untuk saya?” Belinda menghembuskan napas kasar. “Terima kasih lho, Pak. Asalkan tau saja, orang yang suka mengutuk itu juga tidak akan bisa menikah.”

“Pokoknya saya akan mengawasimu terus. Kalau sampai kamu membuat saya marah lagi, saya tidak akan mengampunimu dan mengutukmu sepanjang hidupku!”

*****

Meskipun berpura-pura tegar di hadapan dosen killer itu, isi pikiran Belinda sepanjang hari dipenuhi semua kutukan diucapkan di tangga darurat. Sepanjang hari ia tidak fokus belajar dan tidak biasanya ia ditegur dosen di hari pertama kelas akibat sering melamun. 

Untuk menghilangkan isi pikiran negatif, ia memutuskan pergi ke sebuah rumah sakit. Namun, rumah sakit itu tidak terletak di pusat kota, melainkan di pesisir kota. Rumah sakit tersebut berisi semua pasien lansia yang hidup sendirian dan membutuhkan sukarelawan yang merawat mereka sepanjang hidup mereka. 

Belinda adalah sukarelawan rumah sakit itu. Ia selalu merawat seorang wanita paruh baya yang sudah dirawat di rumah sakit selama bertahun-tahun akibat kecelakaan. Tidak hanya merawat dan memberi makan saja, Belinda juga sering mencurahkan isi hatinya, baik sedang mengalami hal buruk maupun baik.

Namun, kali ini ia menampakkan wajah cemberut sambil menceritakan apa yang dialaminya sepanjang hari. “Jadi begitulah, Bu. Aku apes amat semester ini ketemu dosen yang super galak dan tidak tau diri.”

Wanita paruh baya itu tersenyum tipis sambil menyentuh pundak Belinda. “Tapi dosen itu ada benarnya juga. Kamu memang tidak boleh sembarangan bersikap kurang ajar ke dia.”

“Habisnya dia yang mulai duluan ajak ribut di parkiran.”

“Walaupun dia ajak ribut, tapi bukan berarti kamu menambahkan minyak. Kalau kamu bertengkar dengan dosen, dia akan membencimu sepanjang hidupmu.”

Belinda menghela napas lemas. “Gimana ya agar dia tidak membenciku lagi? Siap-siap deh dia bakal kasih nilaiku jelek.”

Wanita paruh baya itu mengelus tangan Belinda lambat laun. “Kamu harus memenangkan hatinya. Kalau kamu berhasil membuat dosen sedingin kulkas itu tersenyum di hadapanmu, ibu yakin dia tidak akan berani macam-macam denganmu.”

“Tapi apa bisa? Temperamennya saja buruk,” bisik Belinda. 

“Ibu yakin kamu bisa, Belinda. Buktinya saja kamu berhasil memenangkan hati ibu.”

Mendengar hiburan wanita paruh baya ini, Belinda kembali tersenyum sambil memeluk tubuh hangat ini dengan manja. “Ibu memang yang terbaik. Seharusnya ibu adopsi aku saja.”

*****

Sebenarnya tidak hanya Belinda yang berkunjung ke rumah sakit. Sosok dosen killer tampan juga berkunjung sambil membawa buket bunga dan keranjang berisi buah-buahan. Ia memasuki kamar inap wanita paruh baya itu, hanya saja Belinda sudah tidak menampakkan batang hidung. 

Brandon disambut senyuman hangat wanita paruh baya itu yang membuat mimik wajahnya juga tersenyum sambil memeluk. “Apa aku terlambat hari ini, Bu?”

Wanita paruh baya itu menggeleng. “Tidak, Nak. Ibu tau hari ini adalah hari pertama kamu bekerja sebagai dosen. Gimana hari pertamamu?”

“Cukup menyenangkan juga jadi dosen daripada kerja di perusahaan. Aku jadi teringat masa kuliah.” Membayangkan adegan di saat dirinya bertengkar dengan mahasiswinya di parkiran dan tangga darurat, bibirnya memanyun. “Tapi baru pertama kali aku ketemu mahasiswi yang tidak tau malu dan kurang ajar amat.”

Wanita paruh baya itu tertawa kecil. Entah kenapa ia merasa kisah yang dialami Belinda dan putranya sangat cocok. Firasatnya, apakah jangan-jangan mereka sudah bertemu tanpa sepengetahuannya? Ia hanya bisa berpura-pura tidak tahu agar putranya tidak syok. 

“Ibu juga baru pertama kali dengar kamu mengeluh ada cewek yang kurang ajar padamu. Biasanya kan kamu mengeluh mereka justru mengejarmu terus karena kamu tampan.”

“Yang cewek satu ini justru agak lain, Bu. Bahkan aku ga bisa toleransi sikapnya dan aku sempat mengutuk dia. Pagi-pagi saja sudah bikin darahku naik.”

“Putraku, ibu mengerti perasaanmu. Tapi kalau kamu benci dia terus, maka dia akan membencimu juga. Kamu mau hubungan kalian begini terus sampai akhir semester?”

*****

Keesokan harinya… 

Belinda tidak berani berbuat macam-macam selama di kelas setelah mendengar nasihat dari Bu Yenny, meskipun setiap menatap wajah Brandon dari kejauhan membuatnya muak. Namun, ia berusaha untuk fokus di kelas agar perasaan pribadi tidak dilibatkan dalam penilaian keaktifan kelas dan etika. 

“Belinda, kamu paham kan apa yang saya jelaskan dari tadi?” tanya Brandon tiba-tiba di saat mengakhiri presentasinya membuat Belinda hampir serangan jantung. 

Belinda langsung mengangguk. “Saya paham, Pak.”

Brandon tertawa sinis sambil membuka buku teks. “Karena kamu ketua kelas, jadinya saya akan banyak bertanya padamu selama di kelas.” 

Mendengar ucapan sang dosen semakin menyebalkan, Belinda mengepalkan tangan rasanya ingin menghajar dosen itu. “Kayaknya dia dendam amat sama aku sampai tanya melulu dari tadi!”

Tiba-tiba Brandon memiliki ide usil sambil menatap semua mahasiswa di kelas ini. “Karena bab 1 sudah selesai, maka saya akan memberikan kalian tugas.”

Semua mahasiswa langsung mengeluh. 

Brandon memukul-mukul meja. “Kalian jangan banyak ngeluh! Tugas kalian sederhana, hanya meringkas apa yang kalian pelajari di bab 1 dan menjawab soal pertanyaan di buku teks.”

Yena langsung menyenggol lengan sahabatnya. “Gue curiga dia tiba-tiba kasih tugas gara-gara masih kesal sama lu.”

***** 

Setelah kelas berakhir, Brandon melakukan kencan buta dengan putri konglomerat di sebuah hotel. Sebenarnya cukup muak melakukan kencan buta setiap minggu yang membuatnya ingin cepat mengakhirinya, meskipun wanita itu terlihat sexy di matanya. 

Melihat wanita itu mulai menunjukkan sikap kurang ajar dengan membuka satu kancing dan mengeluarkan kartu akses kamar hotel, Brandon langsung beranjak dari kursi dengan tatapan dingin. “Saya tidak bisa melanjutkan perbincangan kita.”

“Kenapa? Bukankah pria hot seperti Anda menyukai penampilan wanita sexy begini?” bentak wanita itu sambil ingin meraba dada Brandon. 

Dengan sigap Brandon menangkis tangan wanita itu sebelum tubuhnya dinodai. “Jangan menilai saya hanya dari penampilan saja. Saya peringatkan dulu! Saya tidak menyukai wanita murahan seperti Anda yang suka menggoda pria dengan cara murahan! Selain itu, saya tidak tertarik menikahi Anda walaupun Anda adalah putri dari Pak Presdir Xavier. Silakan saja mau mengadu saya ke keluarga saya. Saya tidak takut!”

*****

Kali ini Belinda menemani Bu Yenny hingga hari menjelang malam, mengingat Bu Yenny mengatakan kalau putranya hari ini sedikit terlambat karena ada kencan buta. Belinda tidak pernah bertemu putra Bu Yenny dan tidak pernah penasaran sosok pemuda itu seperti apa. Yang penting, ia hanya fokus merawat Bu Yenny dan merawat sampai bahagia. 

“Kamu tidak pulang saja, Nak? Nanti orang tuamu mencarimu.”

Belinda menggeleng. “Justru aku mau di sini demi bisa bermanja dengan ibu.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka pintu kamar inap ini. Sosok Brandon baru menampakkan batang hidung, terkejut melihat mahasiswi yang selalu menyebalkan di matanya mengunjungi ibunya juga. 

Belinda juga terkejut sampai matanya melotot menatap dosen killer itu hingga tubuhnya berdiri secara spontan. “Bapak gimana bisa?”

“Sedangkan kamu ngapain di sini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status