“Belinda Belinda, kamu itu satu-satunya anak muda yang belum menikah lho. Masa kamu mau jomblo terus seumur hidupmu?”
Seharusnya acara keluarga diselimuti suasana hangat, Belinda merasakan tubuhnya kaku mendengar kalimat ejekan itu yang sudah diucapkan sekian banyak kali. Muak rasanya diadopsi oleh keluarga mapan, tetapi banyak tuntutannya. Karena ia tidak terlalu menyukai keluarganya, ia lebih menyukai hidup dengan gayanya sendiri. Namun, mau sampai kapan terus diejek seperti ini? Semua saudara sepupu sudah menikah dan memiliki anak, sedangkan ia sendiri bahkan belum pernah berpacaran, bagaimana ia bisa menikah? Belinda mengepalkan tangannya sambil menggenggam gelas kaca dengan erat. “Duh, kenapa sih keluarga gue demen amat lihat anaknya nikah!” “Mau dijodohin sama cowok mapan dan tampan tapi kamu tetap tidak mau. Sebenarnya mau kamu itu apa sih, Belinda?!” bentak sang ayah angkat membuat tensi darah Belinda semakin meningkat. Belinda melipat kedua tangan di dada. “Mau cowoknya ganteng atau jelek, aku tidak peduli! Aku kan masih kuliah, masa iya aku nikah di usia sekarang!” “Dasar anak tidak tau terima kasih! Masih baik kami mengadopsimu dari dulu! Kalau tidak, kamu mati kelaparan di tengah jalan!” Belinda berdecak kesal. “Kenapa sih ayah lebih pentingin aku nikah daripada aku dapat prestasi yang baik justru bikin ayah bangga?” “Emangnya kamu yakin seratus persen bakal bisa bikin ayah bangga,hah? Semester lalu saja kamu gagal dapat beasiswa. Padahal kamu sudah janji.” “Tapi itu kan karena–” “Ayah tidak peduli kamu mau dapat beasiswa atau tidak. Pokoknya ayah maunya kamu cepetan keluar dari keluarga ini!” Sang ayah menggenggam gelas kaca dengan erat seolah-olah ingin melemparnya ke putri tirinya. “Kalo kamu masih keras kepala, ayah akan menjodohkanmu dengan pria tua!” ***** Suasana hati Belinda terpuruk akibat bertengkar dengan ayah tirinya sepanjang malam. Akibatnya, ia ingin melampiaskan amarahnya kepada seseorang agar hatinya sedikit lega. Apalagi kalau sampai ada orang yang membuatnya marah pagi-pagi begini, ia sudah bertekad tidak akan mengampuni orang itu yang memperburuk suasana hatinya. Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah. Belinda merupakan seorang mahasiswi semester 5 yang dikenal sebagai salah satu mahasiswi cukup cerdas di kelas, walaupun ia gagal meraih beasiswa. Selain dikenal sebagai salah satu anak cerdas, ia juga merupakan mahasiswi paling rajin yang selalu mendatangi kampus paling awal. Sebenarnya karena tidak ingin menetap di rumah keluarga angkatnya yang membuat napasnya selalu sesak. Karena biasanya selalu tiba di kampus di saat tidak banyak mobil berlalu lalang, dengan santainya Belinda berjalan di tengah jalan parkiran kampus sambil mendengarkan lagu menggunakan earbuds, sengaja menyetel lagu K-pop sambil berputar-putar untuk menghibur hatinya. “Emangnya dikira enak hidup sama pria tua bangka? Aku sih ga mau ya suamiku itu seorang sugar daddy! Mendingan aku ga usah nikah!” gerutunya sambil menari-nari. Tin…tin… Siapa sangka kalau ada mobil SUV hitam juga memasuki area parkiran di waktu yang cukup pagi. Pengendara mobil itu terus membunyikan klakson, tetapi karena gadis ini terlalu asyik mendengarkan lagu hingga tidak menyadari bahwa dirinya menghalangi jalan. Tin…tin… Lagi-lagi pengendara mobil itu membunyikan klakson yang kali ini terdengar lebih keras dibandingkan sebelumnya. Cukup bersabar menghadapi gadis ini sampai rasanya tensi darah ingin meledak. Belinda yang masih belum tahu apa yang terjadi sebenarnya, ia masih menari-nari dan menggerutu sendiri sambil bermain ponsel. “Woi!” Masih belum menyadari ada suara teriakan seseorang. Belinda masih bersikap cuek sambil berjalan menuju lobby kampus. Di saat Belinda ingin melangkahkan kakinya menuju pintu utama lobby kampus, ia merasakan pundak kanannya ditepuk seseorang. Terpaksa ia mematikan iPod sambil membalikkan tubuhnya ke belakang dengan malas. Awalnya Belinda mengira yang menepuk pundaknya adalah sahabatnya, tetapi justru seorang pemuda tampan membuat tubuhnya membeku di tempat dan bola matanya membulat. Pemuda tampan ini berhasil membuat hatinya bermekaran di saat dirinya sedang terpuruk, terutama penampilan pemuda ini memakai balutan kemeja dengan lengan disisingkan dan memiliki tubuh kekar. Dalam hati terus memuji kegagahan pemuda ini sekaligus menganggap pemuda ini bagaikan pangeran berkuda putih. Di satu sisi, pemuda ini juga tampak terkejut memandang gadis ini sampai matanya melotot. Ia menatap penampilan gadis ini walaupun kasual, tetapi membuat tubuhnya membeku. “Anda siapa?” tanya Belinda dengan nada gugup sambil melepaskan earbuds. Lama-lama gugup juga berdiri di hadapan pria tampan. Pemuda itu membulatkan mata mengulurkan jari telunjuk menunjuk dirinya sendiri. “Kamu tidak mengenal saya?” Belinda menatap penampilan pemuda tampan ini dari ujung kepala hingga kaki dengan mata menyipit. “Kelihatannya Anda itu kakak tingkat saya.” Mendengar jawaban gadis ini, tensi darah pemuda ini langsung meluap. Jawaban yang didengarnya berbeda jauh dari ekspektasi membuatnya ingin berbalas dendam pada gadis ini sampai dirinya puas. Ia tertawa remeh sambil berkacak pinggang. “Mahasiswi zaman sekarang kurang ajar sekali ya. Sudah diklakson berkali-kali masih saja ga mau minggir!” Belinda memutar bola mata sambil melipat kedua tangan di dada. “Kalo mau negur saya kan bisa ngomong baik-baik. Ini kenapa malahan pake gas segala?” “Kalau jalan itu lihat pakai mata, kuping jangan disumbat! Kuliah di kampus elit, tapi etika tidak elit!” Jika perdebatan semakin dilanjutkan, Belinda benar-benar tidak bisa mengendalikan amarahnya yang sudah terbawa dari semalam. Ia menghentakkan kaki dengan kesal meninggalkan pemuda itu. “Mau ke mana kamu?!” pekik pemuda itu membuat Belinda berbalik badan spontan. “Mau ke kelas lah! Emangnya mau ke taman bermain?! Dasar aneh!” Belinda melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki gedung kampus. Melihat tingkah gadis ini membuatnya semakin jengkel, pemuda ini mengepalkan tangan dan memasang tatapan menyeringai. “Awas saja kalo sampai kita ketemuan lagi!” Di sisi Belinda, dirinya terus merutuk sambil menolehkan kepala sekilas dan menekan tombol lift. “Buat apa punya modal muka ganteng tapi sikapnya kayak monster! Amit-amit deh kalo punya suamiku kayak gitu.” ***** Sebelum mulai kelas, Belinda menceritakan apa yang dialaminya sepanjang malam hingga bertengkar dengan seorang pemuda di tempat parkir kepada sahabatnya bernama Yena. Mendengar cerita sahabatnya saat adegan tempat parkir, Yena kurang setuju terhadap sikap sahabatnya dan menasihatinya jika sampai pemuda itu adalah dosen, maka sahabatnya tidak akan diampuni. Di saat waktu menunjukkan pukul 8 pagi, pintu kelas terbuka lebar. Seorang pemuda memasuki ruang kelas sambil membawa tas laptop, buku pelajaran setebal kamus, beserta buku absensi kelas. Semua mahasiswi bersorak meriah menyambut kedatangan dosen itu, termasuk Yena yang terkejut sampai mulutnya terbuka lebar sambil menepuk-nepuk pundak Belinda. Awalnya Belinda masih terlihat muram, kini dirinya juga syok sampai hampir batuk tersedak. Belum apa-apa di pertemuan pertama mereka sudah bersikap kurang ajar. “Mateng deh gue.” Pemuda itu menampakkan senyuman menawan di depan kelas. Semua mata mahasiswi berbinar memandang pemuda itu, tidak berlaku Belinda yang sedikit gugup melihat senyuman itu. “Sebelum mulai kelas, saya mau perkenalkan diri dulu. Saya Brandon Jonathan, yang akan mengajar kalian di mata kuliah strategi manajemen. Memang saya baru mulai mengajar di kampus ini sekarang, saya harap kalian akan mengikuti kelas dengan baik.” Belinda merasakan kakinya mulai kram. Entah kenapa nada bicara lembut itu justru membuatnya merinding. Karena sudah sekian banyak dosen yang terlihat lembut, tetapi sebenarnya merupakan dosen killer. “Oh ya, sebelum itu, saya mau kasih tahu peraturan kelas dulu. Sebenarnya sederhana peraturannya. Karena saya menyukai mahasiswa yang disiplin dan teladan, maka kalian dilarang datang telat. Telat satu menit, nilai kalian akan dipotong 1 poin. Jadinya nilai kalian akan dipotong per menit.” Awalnya semua mahasiswi berbinar-binar memandang dosen tampan ini, sekarang mereka memalingkan pandangan dengan sibuk membaca buku, meski sebenarnya mereka sedang bermain ponsel untuk bergosip di grup chat. Terutama Belinda yang ketakutan juga mendengarnya karena baru pertama kali ada aturan aneh itu, meskipun tidak akan melanggarnya. Brandon membuka buku absensi kelas. “Belinda Felicia.” Spontan Belinda langsung mengangkat tangan dengan cepat. “Hadir.” Mengingat adegan tadi di parkiran kampus, Brandon menampakkan senyuman sinis sambil menatap Belinda dengan fokus. “Jadi namamu Belinda.” Belinda menelan saliva dengan gugup sambil berusaha menahan kakinya semakin gemetar. “Iya, Pak.” Brandon menutup buku absensi sejenak sambil menatap arloji. “Saat jam istirahat nanti, temui saya di ruang dosen.”Baru hari pertama masuk kuliah, suasana sedikit canggung. Sepanjang perjalanan menuju ruang dosen, Belinda tidak henti-hentinya terus mendesah. Sudah pasti, karena pertama kali ia dipanggil ke ruang dosen dengan nada bicara dosen yang ingin menerkamnya seolah-olah, terutama sudah berbuat onar di pertemuan pertama mereka. Brandon mengganti lokasi pertemuan di tangga darurat. Entah kenapa Belinda merasakan temperatur udara cukup dingin walaupun tidak ada pendingin ruangan, akibat melihat wajah dosen ini yang awalnya masih menampakkan senyuman manis, kini menjadi dosen killer sedingin kulkas sungguhan. “Gimana rasanya pas tau saya adalah dosen yang mengajarmu?” tanya Brandon dengan nada mulai judes. “Anu… tentu saja saya sedikit terkejut karena pertama kali diajar dosen masih muda.” “Bukan kaget karena kamu ketemu pemuda yang bertengkar denganmu di parkiran, kemudian kamu baru tau aku adalah dosen?” Nada bicara Brandon semakin meninggi membuat Belinda merasakan kakinya semakin geme
Bu Yenny sudah menduga jika putranya dan Belinda bertemu pasti akan berakhir seperti ini, setelah mendengar curahan hati kedua orang ini yang serupa. Hanya saja hingga sekarang Bu Yenny masih bersikap tidak tahu apa-apa. Reaksi Belinda dan Brandon masih saling melempar pandangan syok dan mengulurkan jari telunjuk satu sama lain. Keduanya masih penasaran dengan pertemuan aneh ini di luar jam kuliah, apakah mereka sungguh ditakdirkan bertemu terus? “Saya putranya Bu Yenny, makanya saya datang ke sini,” ucap Brandon dengan nada sedikit angkuh. “Lalu, kenapa kamu bisa ada di sini?”“Selama ini saya yang merawat Bu Yenny setiap bapak tidak berkunjung.”Bu Yenny menepuk tangan untuk menghilangkan suasana canggung. “Oh, jadi kalian sudah saling kenal. Jadinya ibu tidak perlu cape-cape memperkenalkan kalian lagi.”Sejenak Brandon menaruh sebuah paper bag berisi kotak-kotak bekal di meja samping ranjang. “Ibu kenapa ga bilang ke aku sih dari awal kalo Belinda yang rawat ibu selama ini?”“Lag
Benar-benar ingin gila rasanya. Bahkan Belinda tidak memiliki tenaga ingin berbuat onar lagi. Insiden kemarin mereka bertengkar hanya karena permasalahan kecil, sedangkan sekarang diajak menikah tiba-tiba. Sebenarnya dosen killer ini waras atau tidak sih. Belinda masih belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat Brandon berubah pikiran, yang pasti pertanyaan itu sudah membuat darahnya mendidih. “Bapak bercanda? Bapak mau menikahi saya tiba-tiba? Kenapa?”Tentunya Brandon tidak bisa menjawab alasan kenapa ia ingin menikahi mahasiswinya tiba-tiba. Apalagi mustahil ia berkata bahwa dirinya ingin menikah demi bisa menghindari wanita gila itu. Tangan kanannya terus menggenggam setiran dengan erat sambil menunduk. Belinda memutar bola mata sambil tertawa remeh. “Bapak menyukai saya sebenarnya sampai mau menikahi saya?”“Belinda, soal itu–”“Saya tidak menyangka bapak juga tipe dosen yang suka mempermainkan mahasiswinya. Apa perlu saya lapor ke dekan?” Belinda menepuk jidat
Brandon cukup terkejut mendengar jawaban diberikan Belinda di luar dugaannya. Terutama jelas-jelas ia mengingat adegan terakhir mereka lakukan saat di mobil adalah mereka bertengkar dahsyat karena lamaran dadakan itu. Namun, melihat ekspresi wajah Belinda sangat percaya diri, ia mulai penasaran hal apa yang berhasil mengubah pikiran Belinda tiba-tiba. Dosen killer ini menampakkan lengkungan bibir manis sambil melipat kedua tangan di dada. “Bukankah sekarang ini kamu juga berhadapan dengan neraka?”Belinda memalingkan mata. “Neraka juga sih, tapi saya yakin bapak bisa menjaga saya.”“Memangnya kenapa saya harus jadi pangeranmu? Brandon tertawa kecil. “Pola pikirmu masih seperti anak kecil.”Sudah tidak bisa menahan kesabarannya, Belinda menendang kaki lawan bicaranya dengan tatapan melotot. “Memang bapak tidak bisa dipercaya. Masih baik saya menerima lamaran bapak. Apa perlu saya berubah pikiran dan menolak lamaran bapak?!”Awalnya Brandon ingin bersikap manis, kini ia kembali memasan
Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun ia tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda. “Bel, lu mau makan bareng gue ga?” tanya Daniel dengan antusias. Belinda menampakkan senyuman anggun. “Aku–”Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!”Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!”Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?”Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil ia berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, ia sendiri juga sang
Pertanyaan macam apa ini? Bisa-bisanya seorang dosen menanyakan mahasiswinya terkait urusan asmara. Tentunya Belinda terkejut mendengarnya sekaligus ingin protes. “Kenapa bapak tiba-tiba nanya?” tanya Belinda mengangkat kepala angkuh. “Saya harus tau dulu dong sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum!” balas Brandon dengan nada judes. Mendengar nada bicara sang dosen tampan seperti terbakar api cemburu, Belinda memiliki ide usil. Jari jemarinya mengelus pipi lembut di hadapannya dan menampakkan senyuman manja. “Emangnya kenapa kalo saya sudah punya pacar?”Brandon memasang tatapan melotot. “Jadi kamu beneran sudah pacaran?!”Belinda mengerang kesal sambil mendorong tubuh tunangannya sekuat tenaga. “Bapak ini kenapa sih? Bapak dengar gosip dari mana kalo saya punya pacar!”Sebenarnya Brandon ingin berkata sejujurnya apa yang dilihatnya saat di kampus. Jelas-jelas ia mengintip di pintu kelas menyaksikan adegan tunangannya bermesraan dengan mahasiswa tampan. Ditambah gosip teman s
Butiran air mata membendung di bawah kelopak mata. Sebenarnya sudah sering Belinda disiksa keluarga tirinya seperti ini, tetapi kali ini disiksa lebih parah dari biasanya. Isi kamar tidurnya yang terlihat sederhana padahal keluarga tirinya merupakan keluarga kalangan atas. Sudah pasti keluarga tirinya tidak menyayanginya selama ini dan menganggapnya sebagai anak buangan saja. Hatinya terasa perih ketika disuruh renungkan apa yang dilakukannya. Padahal ia sudah melakukan hal yang benar, apa lagi yang salah sekarang? “Renungkan perbuatanmu! Ayah akan minta mbak Tina memberimu makan seperti biasa, tapi kamu tidak boleh keluar rumah sampai kamu sadar!”“Tapi aku–”Natasha tertawa jahat sambil melipat kedua tangan di dada. “Rasakan akibat lo menikahi orang yang salah! Memang kami minta lo cepetan nikah, tapi bukan berarti nikah sama Brandon!”“Tapi gue memang mau nikah sama Brandon, Kak! Lalu, Brandon setuju nikah sama gue.” Belinda merengek-rengek sambil menarik lengan kemeja Natasha.
Untungnya hari ini tidak ada kelas karena dosen bersangkutan berhalangan hadir, sehingga Belinda tidak perlu khawatir harus bolos kelas atau mencari alasan masuk kelas hari ini absen karena apa. Namun, di satu sisi sangat bosan dari semalam sampai sekarang tidak melakukan apa-apa selain membaca buku catatan kuliah. Apalagi ia merindukan Bu Yenny yang selalu menjadi pendengar yang baik. Hari ini suasana di dalam rumah terasa suram, diselimuti keheningan yang membuat Belinda ingin cepat terbebas dari rumah ini. Namun, jika ia menikahi Brandon apakah bisa berakhir bahagia? Apalagi mendengar cerita dari sisi Natasha, seolah-olah dirinya berperan sebagai simpanan Brandon sekarang. Di tengah suasana yang hening, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tidak asing baginya. Sejenak ia menghapus air mata dengan lengan bajunya. “Bukankah itu suara Pak Brandon?”Di sisi lain Brandon memasuki rumah mewah ini mengikuti asisten rumah tangga itu. Di ruang tamu, terlihat Natasha sedang