Sepanjang mengajar di kelas, Devan masih tak menyadari keberadaan Viola. Pria itu sangat fokus dengan materi yang tengah dibawakannya dan itu sudah menjadi hal biasa bagi gadis yang sampai detik ini masih terus memandangi tanpa teralihkan. Wajah itu sejujurnya sangat ia rindukan. Sering datang ke dalam mimpi dan masih begitu jelas terlihat di sana.
"Vi, lo kenapa ngeliatin Pak Devan terus? Jangan bilang lo naksir ya sama dia," celetuk Tari sambil menyenggol siku Viola hingga gadis itu langsung menoleh ke arahnya. "Gue emang udah naksir dia dari dulu." "Maksudnya?" Raut wajah Tari tampak bingung. Masih dengan berbisik, ia bertanya pada Viola yang saat ini juga melihatnya. "Jadi, gue itu udah kenal Pak Devan sejak dia ngajar di kampus lama gue yang dulu." "Oh, begitu ...." "Iya, terus ... entah kenapa dia pindah kampus gitu aja dan sejak itu juga gue udah nggak pernah lagi ngeliat dia." Pikiran Viola seketika tertarik jauh ke belakang. Waktu di mana ia tanpa sengaja mendengar percakapan Devan di telepon. "Kayanya gue udah nggak mau lagi deh ngobatin penyakit impoten gue, No. Gue udah capek ah! Lagian juga kayanya gue nggak bakal nikah kok." Viola yang baru saja tiba di depan ruangan Devan seketika membeku. Diam tak bergerak. Mematung tanpa suara. "Jadi, Pak Devan impoten ...." Viola berkata dalam hati. Ragu, apa niatnya bertemu Devan harus diteruskan atau pergi dan pura-pura tidak mendengar rahasia sang dosen. Di tengah lamunannya, tiba-tiba pundaknya ditepuk hingga gadis itu terperanjat dan bersuara keras sampai membuat Devan sadar bahwa ada orang lain di depan ruangannya. "Vi, lo ngapain diem doang? Emang Pak Devan enggak ada di dalam?" "Ah, enggak tahu gue. Gue mau ke kantin dulu, kayanya hp gue ketinggalan di sana deh." Dengan gugup Viola pergi. Gadis itu memutuskan untuk tak menemui Devan seperti jadwal yang sudah ditentukan sang dosen. Viola memang sengaja datang lebih awal karena ingin berlama-lama bertemu Devan. Namun siapa sangka, gadis itu harus mendengar rahasia besar sang dosen. Siapa pun pasti tidak akan ada yang menyangka jika pria sesempurna Devan ternyata memiliki kekurangan. Ya, impoten atau bahasa kedokterannya disebut Disfungsi Ereksi. Sambil terus bergegas pergi, Viola sesekali masih menoleh ke belakang. Terlihat Devan sudah keluar dari ruangan dengan sorot mata yang begitu tajam menatap ke arahnya. "Vi, kok malah bengong sih?" tanya Tari memanggil. Panggilan Tari membuyarkan lamunan Viola. Menyadarkan gadis itu dari ingatan masa lalunya. Viola pun kembali menoleh. Melihat Tari yang ada di sebelahnya tengah menatap heran. "Nggak apa-apa. Gue cuma keingetan aja, apa mungkin Pak Devan pindah kampus itu gara-gara gue, ya?" Viola tampak berpikir. Raut wajahnya begitu serius. Kedua alisnya pun saling bertaut. "Kok gara-gara lo, emang lo kenapa?" "Gara-gara apa?" Devan tiba-tiba menggebrak meja cukup keras hingga membuat Tari langsung berdiri. Tanpa mereka sadari sang dosen ternyata sudah ada di dekat mereka dengan sorot mata yang tajam. "Enggak ada apa-apa, Pak. Saya janji nggak akan ngobrol lagi di kelas." Setelah mengatakan itu, Tari langsung mengambil tas dan sebuah buku miliknya yang ada di atas meja. "Eh, Tar, lo mau ke mana?" Tari kembali menoleh. Melihat Viola yang masih duduk nyaman di kursinya seolah tak terintimidasi dengan keberadaan Devan yang baru saja membentaknya. "Keluar dari kelaslah, emang ke mana lagi, Vi, masa ke warteg. Udah ayo!" Dengan nada berbisik, Tari mengatakan itu sambil melirik Devan yang masih melihat wajahnya dengan sorot tajam. "Lho, ngapain keluar?" "Tahu ah." Tari pun kembali melangkah menuju pintu kelas dan keluar begitu saja tanpa menunggu jawaban Viola. "Kamu kenapa masih di sini?" Suara lantang itu terdengar menakutkan hingga masih dapat didengar Tari yang baru saja keluar dari kelas. Namun, sejak tadi Viola masih menundukkan kepala hingga Devan tak bisa melihat wajahnya. "Ya ampun, baru aja ketemu lagi, tapi gue malah buat masalah," batin Viola mulai menengadahkan kepala, melihat Devan dengan malu-malu. "Hai, Pak, apa kabar?" Kedua mata Devan membulat sempurna. Tentu saja ia sangat terkejut saat melihat Viola. Gadis yang menjadi alasannya pindah ke Jakarta dan meninggalkan Surabaya–kota kelahirannya. "Kamu ...." Viola tersenyum canggung saat melihat Devan. Memang tak ada yang berubah dari penampilan Viola selain hijab yang kini menutupi rambutnya. Namun meski begitu, Devan masih bisa mengenalinya. "Kamu juga keluar dari ruangan saya! Cepat!" Baru saja merasa senang, suara lantang Devan terdengar mengejutkan. Viola pun langsung bangkit dari posisi duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa, gadis itu melangkah pergi menuju pintu ruangan di mana Tari tampak mengintip, melihat apa yang terjadi dengannya. "Nah, kan udah gue bilang, sebelum diusir mending keluar aja." Tari menutup pintu yang sempat dibukanya sedikit, lalu berdiri di sebelah pintu dan bersandar pada dinding sambil menghela napas dengan kasar. Ini pertama kali baginya mendapatkan hukuman dari Devan, padahal selama ini, ia selalu bersikap baik karena tahu jika dosennya itu memang terkenal killer. Sementara Viola masih terus berjalan sambil sesekali memandangi teman sekelas di ruangan itu yang tengah melihat rendah ke arahnya. Namun, Viola tampak cuek dengan pandangan mereka. "Pak Devan nggak pernah berubah ya, dari dulu tetap aja killer, tapi nggak tahu kenapa, gue jadi makin cinta sama dia," batin Viola yang baru saja keluar dari ruangan. "Gimana rasanya diomelin, Pak Devan?" Tari menanyakan itu saat Viola tiba tepat di sampingnya dan bersandar pada dinding ruangan sama sepertinya. "Gue udah biasa ngeliat dia kaya gitu." "Berarti lo juga tahu dong gimana caranya bisa dapat nilai bagus dari doi." "Enggak tahu, gue cuma tahu gimana cara mengagumi, Pak Devan?" "Dosen killer gitu lo kagumi. Mending Arya tuh anak kelas sebelah, udah ganteng, baik, tajir lagi." "Arya?" "Iya, yang rambutnya wangi itu. Semua cewek di kampus pasti tergila-gila sama dia. Kalaupun ada yang nggak suka, mungkin cuma orang yang nggak waras aja." "Wangi? Itu rambut apa minyak wangi? Tapi tetap aja, mau sewangi atau setampan apa pun si Arya itu, gue nggak akan suka sama dia. Gue cuma suka sama Pak Devan aja." "Ya, itu karena lo belum ketemu sama Arya, coba nanti kalau lo udah lihat tuh cowok, pasti naksir deh." Di tengah perdebatan sengit keduanya, tiba-tiba pintu terbuka. Sosok Devan pun muncul dengan wajah yang penuh amarah. "Kalian ini, udah dihukum, tapi masih aja berisik! Sekarang lebih baik kalian ke lapangan aja, di sana kalian bisa ngobrol sesuka hati tanpa mengganggu yang lain." "Tapi, Pak, kan panas siang-siang begini?" Dengan raut cemberut, Tari coba menolak perintah Devan. "Berani kamu bantah saya!" Suara Devan semakin lantang. Tak terelakkan lagi jika pria itu benar-benar geram dengan Tari dan juga Viola. "Udah ayo, Tar! Percuma aja kita ngebantah perintah dosen killer ini, yang ada nanti kita dikasih nilai jelek sama dia. Benar kata Pak Devan, lebih baik kita ke lapangan, lagi pula gue punya cerita yang seru kok buat diceritain soal doi." Viola pun melangkah sambil menarik lengan Tari setelah melirik Devan yang tampak berang dengan jawaban itu. "Cerita apaan tuh, Vi?" Tari terdengar bertanya saat mau tak mau harus mengikuti Viola yang memaksanya untuk pergi. "Jangan-jangan dia mau cerita soal rahasia ….” Devan yang tiba-tiba takut, merasa harus bertindak sebelum dugaannya menjadi kenyataan. Tanpa menunggu lama, Devan pun masuk ke dalam ruang kelas dan beberapa detik kemudian, pria itu kembali keluar dengan terburu-buru. Bersambung✍️"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu. "Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita. "Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?" Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!" Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya. "Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir. "Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu." Tari diam beberapa saat. Semakin m
Selamat membaca! Viola kembali menatap Devan. Pria itu masih kelihatan kesal karena permintaannya tadi. "Kenapa kamu diem aja? Kamu dengar yang saya bilang tadi, ‘kan? Sekarang kamu bisa pergi! Ingat! Rahasiakan apa yang kamu tahu dari semua orang!" Viola mulai memainkan dramanya. Duduk kembali di tempat semula, lalu menangis di depan Devan seolah-olah pria itu sudah sangat menyakitinya. "Pak Devan jahat! Kenapa ngancem saya kaya gini, padahal Bapak yang jahat udah ngilang gitu aja tanpa mikirin perasaan saya? Sekarang begitu saya udah hampir move on, Pak Devan malah muncul lagi. Kenapa hidup saya bisa jadi tragis begini sih karena jatuh cinta sama Bapak? Saya udah nggak mau hidup lagi, lebih baik saya mati aja." Viola sengaja mengeraskan suara tangisannya. Hal itu membuat Devan kalang kabut. Panik? Tentu saja, siapa yang tidak panik jika ada seorang mahasiswi menangis di ruangannya? Apa tanggapan orang yang nanti mendengarnya? Bisa-bisa mereka beranggapan jika Viola sedang memint
"Viola, Viola, jadi Nak Devan ini yang mau dikenalin ke ayah buat jadi suami kamu?" Bimo langsung to the point. Sang ayah memang sudah dihubungi Viola saat masih di kampus soal kedatangan Devan ke rumahnya. "Iya, Yah, tapi ... kenapa Ayah udah kenal sama Pak Devan?" Viola masih bingung. Seperti sinyal wifi di saat hujan, ia masih sulit memahami situasi yang terjadi di depan matanya. "Coba waktu itu kamu lihat dulu siapa yang mau Ayah jodohin sama kamu, pasti kamu enggak akan nolak." "Lho, maksud Ayah? Jadi ... Pak Devan yang mau Ayah jodohin sama Viola?" Bimo pun tak kuasa menahan tawa saat mendengar pertanyaan putrinya. "Iya, Viola. Nak Devan ini yang mau dijodohin sama kamu." Dina–sang ibu pun ikut bicara. Menjawab pertanyaan putrinya yang terlihat kebingungan. "Apa?!" "Udah, udah, enggak usah kaget gitu. Namanya jodoh enggak akan ke mana ya, Nak Devan?" Bimo tampak begitu akrab dengan Devan. Bagaimana tidak, Devan adalah putra dari sahabatnya semasa kuliah. Keduanya dulu mema
"Kenapa sih punya suami nyebelin banget, ya? Tapi ... gue enggak boleh nyerah. Gue bakal terus godain Pak Devan biar dia luluh dan akhirnya bisa cinta sama gue." Viola terdengar menggerutu kesal saat baru saja masuk kamar mandi. Masih ingat dengan penolakan Devan tadi. Sementara itu, pria yang sempat merasa kesal dengan sikap Viola tadi terlihat duduk di tepi ranjang. "Cinta? Dulu Renata bilang cinta, tapi dia malah main belakang dan nyakitin gue." Devan berdecih kesal. Menguatkan hati untuk tak begitu saja percaya dengan perkataan Viola. Ya, ingatan pria itu sesaat tertarik ke belakang waktu di mana ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan alasan yang didapat Devan dari wanita bernama Renata itu adalah momen yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Momen di mana sejak saat itu, Devan menderita disfungsi ereksi sampai hari ini. "Cinta itu bulshit! Gue enggak boleh lagi percaya sama yang namanya cinta. Dulu Renata juga bilang cinta sama gue, tapi apa, dia mal
Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi, ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya. "Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta minta dia nikahin gue." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah menuju anak tangga untuk ke ruang makan "Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya. "Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?" "Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan." "Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya. "Kenapa kamu lama? Sa
Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya hingga rasanya sulit melepas Viola meski pernikahan muda sang putri memang sudah ia rencanakan sebelumnya. Namun, melihat sikap Devan saat makan bersama tadi, entah kenapa Bimo jadi merasa curiga jika pria itu terpaksa menikahi putrinya. "Vi, kamu harus jadi istri yang baik buat Nak Devan. Patuhi suami kamu dan kalau sampai dia nyakitin kamu, kamu harus bilang sama Ayah, ya!" Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu. "Ayah kok ngomong gitu. Bukannya Mas Devan itu laki-laki pilihan Ayah buat jadi suami aku? Jadi, Ayah enggak usah mikir aneh-aneh, ya!" Bimo pun tersenyum. Membenarkan apa yang Viola katakan. "Ya, tadinya Ayah
"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini gadis itu kesiangan untuk pergi ke kampus. "Ya Allah, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis. "10 menit, ya! Kalau lebih dari itu, saya akan tinggalin kamu." Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandi bebek apa? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasaan buruknya. "Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari luar k
Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat. "Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya. "Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru lima menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos. Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah." "Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu." "Tapi, Pak—" "Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mulai materi
Selamat membaca!Viola tampak begitu cemas. Menanti balasan pesan suaminya. Namun, sampai ia mau berangkat pergi ke rumah Arya, Devan tak kunjung membalas. Membuat raut wajahnya semakin murung. Gadis itu pun mulai berpikir jika suaminya itu memang sudah tak lagi peduli."Apa ini akhir dari rumah tanggu gue?" Kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Satu persatu terbesit jelas dalam pikirannya. Membuat air mata tak sanggup lagi Viola tahan untuk tak menetes. Gadis itu coba menguatkan hati. Memaksa isak tangisnya mereda saat panggilan dari sang ibu terdengar di depan kamar."Vi, ada temen kamu datang.""Iya, Bu, bentar." Sebelum keluar dari kamar, Viola sejenak mematutkan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata yang tertinggal di wajahnya. Tentu saja ia tidak ingin jika Arya sampai tahu bahwa ia habis menangis karena menunggu balasan pesan dari Devan yang tak kunjung datang."Vi, apa kamu sudah izin sama suami kamu kalau mau pergi sama Arya?" tanya Dina begitu melihat Viola
Selamat membaca!Di dalam mobil, Viola dan Devan masih diam tak saling bicara, padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan pulang."Ngapain diajak bareng kalau cuma didiemin doang. Tahu gitu kan mending tadi pulang sendiri aja." Kesal Viola menggerutu dalam hati. Masih menatap ke luar jendela tanpa pernah melihat Devan sejak dirinya berada di dalam mobil."Saya minta maaf ya, Vi."Akhirnya, kata-kata itu terdengar dari mulut Devan. Viola pun tersenyum. Namun, sengaja ia tahan karena tak ingin terlalu kelihatan bahagia di depan Devan."Kenapa minta maaf, Pak?" Viola menatap wajah Devan yang sesekali melihatnya karena harus fokus dengan kemudi."Saya udah salah. Nggak seharusnya beberapa hari ini saya menyalahkan kamu dan bersikap tidak baik sama kamu."Viola masih diam. Hatinya merasa sangat lega karena akhirnya Devan menyadari kesalahannya."Kalau saya nggak mau maafin gimana?" Viola yang masih ingin melihat Devan lebih berusaha, berpura-pura dingin meski di dalam hati, dirinya
Selamat membaca!"Berarti bokap lo bisa terlibat kecelakaan setelah nganterin bokapnya William ke rumah sakit?" tanya Viola setelah mendengar cerita dari Tari di jam istirahat. Ya, setelah mata kuliah pertama selesai, keduanya kini tampak sudah berada di kantin."Iya, Vi. Ternyata begitu ceritanya. Pantes aja di lokasi kejadian nggak ada motor bokap gue, bokap gue naik ojek online saat itu.""Sekarang lo udah nggak ngerasa bersalah lagi, kan?""Iya, gue lega sekarang, tapi gue sebenarnya keberatan dengan niat William mau nikahin gue. Gue udah bilang dia nggak harus ngelakuin itu kalau dia nggak mau, cuma dia tetap mau nikahin gue karena itu keinginan yang terakhir dari bokapnya sebelum meninggal.""Oh, bokapnya William meninggal, bukannya bokap lo udah bawa dia ke rumah sakit?""Bokap gue emang udah nyelametin bokapnya William, tapi satu bulan kemudian, bokap William meninggal.""Oh gue ngerti sekarang. Jadi, William dan ibunya ngerasa berutang budi sama bokap lo karena bokap lo mereka
Selamat membaca!Devan menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar saja, pagi ini ia bangun kesiangan setelah semalam sulit sekali memejamkan mata meski sudah menyalakan alarm pada ponselnya."Bi, tolong panggilin Viola! Bilang sarapan di kampus aja karena saya udah telat." Setibanya di lantai bawah, Devan langsung memerintahkan Retno yang terlihat sedang menyapu lantai di ruang tengah."Tapi, Mas, Mbak Viola udah jalan dari 15 menit yang lalu." Retno tampak bingung. Merasa heran karena Devan bisa tidak tahu akan hal itu."Dia udah jalan ...?" Devan seketika terdiam. Teringat perdebatan semalam di mana keduanya sampai harus pisah kamar."Bibi pikir Mas Devan tahu. Apa Mas Devan lagi ada masalah sama Mbak Viola?" Meski tak enak hati menanyakan itu, tetapi Retno penasaran karena mencemaskan kedua majikannya. Terlebih Retno tahu jika mereka baru saja bahagia setelah hubungan keduanya sempat diguncang karena kedatangan Renata."Oh, nggak apa-apa, Bi. Mungkin karena saya k
Selamat membaca!"Ini semua salah kamu, Devan! Harusnya kamu temui Audrey saat dia sakit, kenapa kamu malah nggak percaya kalau dia sakit? Kenapa?" Renata langsung mencengkram erat kerah kemeja Devan dengan kasar saat melihat kedatangan pria itu bersama Viola yang seketika langsung berusaha melepaskan tangan Renata dari suaminya."Jangan seperti ini, Renata! Lagi pula kematian Audrey bukan kesalahan Devan. Ini sudah takdir, kamu harus bisa terima."Renata menatap nyalang. Penuh dendam dengan sorot mata yang tajam. "Lebih baik kalian pergi dari sini! Aku nggak sudi kalian datang, cepat pergi!" Dengan mendorong tubuh Devan, Renata mengusir paksa keduanya agar pergi.Suara wanita itu sampai membuat beberapa orang jadi menatap sinis ke arah Devan dan Viola yang seketika merasa tidak nyaman berada di sana."Mas, lebih baik kita pulang aja! Percuma kita datang, niat baik kita nggak dihargai di sini!"Devan menatap sendu. Masih tak mengalihkan pandangannya. Pria itu terus melihat jenazah anak
Selamat membaca!Sejak mengakhiri sambungan teleponnya dengan Viola, Devan kembali pergi, padahal pria itu baru saja tiba di rumah beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa ia merasa tidak tenang. Memikirkan Viola yang baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tetapi sudah pergi keluar rumah seorang diri."Apa sebaiknya gue jemput Viola dulu, ya?" Setelah cukup lama bergelut dalam keraguan, Devan pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju cafe tempat di mana Viola berada. "Lebih baik gue jemput Viola dulu. Setelah itu, baru gue bisa nemuin Elmer. Lagian kenapa juga Viola harus pergi segala, padahal dia baru dibolehin pulang dari rumah sakit."Devan merasa cemas. Menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di cafe yang berada dekat dari kampus tempatnya mengajar.Tak butuh waktu yang lama, Devan sudah berbelok ke jalan di mana tempat tujuannya berada. Cafe Brewbee ada di sisi kanan dari jalan yang dilaluinya. Artinya, Devan harus memutar dulu di pertigaan yang berada di ujung depan sana
Selamat membaca!"Mau bagaimanapun gue harus pastiin apa Dokter Elmer itu bener-bener sahabat suami gue. Kalau memang bener, berarti dia adalah mantan suami Renata dan pastinya dia tahu soal status Audrey."Taksi yang ditumpangi Viola pun tiba di sebuah cafe. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan Arya. Viola merasa tidak tenang saat membaca pesan dari suaminya. Pesan di mana Devan ternyata datang menemui Renata tanpa melihat Audrey yang sedang sakit hanya karena beranggapan jika Renata berbohong soal status anak perempuan itu."Arya, maaf ya gue telat, tadi jalanan lumayan macet." Sambil tersenyum, Viola menyapa saat melihat Arya sudah datang lebih dulu darinya."Nggak apa-apa kok, gue juga baru 5 menit duduk. Lo kenapa mau ketemu gue?""Ini ada yang mau gue tanyain sama lo, soal dokter ini?" Viola menyodorkan ponselnya. Menampilkan wajah pria berjas putih yang seketika membuat kening Arya mengerut dalam."Kenapa sama cowok ini?""Lo kenal dia, kan?""Pastilah, dia paman gue!""Berarti
Selamat membaca!Devan terlihat sudah berada di dalam mobil lagi setelah mengantar Viola ke rumah. Meski tidak ingin meninggalkan istrinya. Namun, Viola memaksanya untuk tetap pergi karena tidak tega jika harus melarang Devan bertemu dengan putrinya, terlebih saat Renata mengatakan jika Audrey sedang sakit dan terus memanggil-manggil ayahnya. Tidak hanya itu, Viola juga ingin jika Devan membawa bukti soal foto di atas ranjang itu memang bagian dari rencana Renata. Viola tentu tidak akan lupa akan hal itu, walau hubungannya dengan Devan sudah kembali baik seperti biasa. Bahkan bisa dikatakan saat ini menjadi fase terbaik dalam hubungan keduanya sejak menikah kontrak."Apa ini juga bagian dari rencana Renata? Apa Audrey benar-benar sakit? Sekarang gue makin ragu soal hasil tes DNA itu, apa benar Audrey anak gue?" Devan terus memacu kecepatan mobilnya. Mengingat betapa mudah ia memercayai Renata membuatnya sangat kesal. Walaupun awalnya saat itu ia memang ragu, tetapi air mata dan juga
Selamat membaca!Suasana di ruang rawat tak lagi tegang. Lewat kata-katanya Devan mampu meyakinkan Viola untuk percaya, meski gadis itu tetap dengan pendiriannya bahwa mau bagaimanapun harus ada bukti yang ditunjukkan Devan. Bukti di mana pria itu tidak mengkhianati pernikahan yang sebenarnya baru akan mereka mulai ke jenjang yang lebih serius. Bukan hanya karena perkataan Devan saja. Namun, Viola juga mempertimbangkan sosok Renata yang pernah memanipulasi seolah dirinya menyakiti wanita itu di depan Audrey hingga membuat Devan pun terperdaya saat itu. Dari kejadian itu, Viola bisa berasumsi jika apa yang dilakukan Renata pasti bertujuan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan Devan."Terus kapan Pak Devan mau nemuin Renata lagi?" Viola mengunyah makanan setelah Devan menyuapinya makan. Ya, meski ibunya meminta Viola untuk mengusir Devan pergi, tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Viola tetap mengizinkan Devan ada di dekatnya, walau terkadang bayangan foto mesra Devan dan Renata seri