Selamat membaca!
Viola kembali menatap Devan. Pria itu masih kelihatan kesal karena permintaannya tadi. "Kenapa kamu diem aja? Kamu dengar yang saya bilang tadi, ‘kan? Sekarang kamu bisa pergi! Ingat! Rahasiakan apa yang kamu tahu dari semua orang!" Viola mulai memainkan dramanya. Duduk kembali di tempat semula, lalu menangis di depan Devan seolah-olah pria itu sudah sangat menyakitinya. "Pak Devan jahat! Kenapa ngancem saya kaya gini, padahal Bapak yang jahat udah ngilang gitu aja tanpa mikirin perasaan saya? Sekarang begitu saya udah hampir move on, Pak Devan malah muncul lagi. Kenapa hidup saya bisa jadi tragis begini sih karena jatuh cinta sama Bapak? Saya udah nggak mau hidup lagi, lebih baik saya mati aja." Viola sengaja mengeraskan suara tangisannya. Hal itu membuat Devan kalang kabut. Panik? Tentu saja, siapa yang tidak panik jika ada seorang mahasiswi menangis di ruangannya? Apa tanggapan orang yang nanti mendengarnya? Bisa-bisa mereka beranggapan jika Viola sedang meminta pertanggungjawabannya. "Kamu kenapa jadi nangis? Udah jangan nangis! Diam, Viola, Diam!" Viola bukannya menjawab. Gadis itu malah menambah suara tangisannya semakin keras. Aktingnya ternyata berhasil. Devan termakan drama yang dibuatnya meski sulit menahan tawa yang sudah berbaris di ujung lidah. Namun, Viola masih sanggup menahan, walau di dalam hati, tawa kerasnya seakan meraung sambil meledek sang dosen. "Sudah, Viola, jangan nangis!" Dengan suara lembut, Devan mulai merayu Viola untuk diam. "Aduh, kalau ada yang denger Viola nangis kaya gini, bisa-bisa orang malah ngira kalau gue hamilin dia lagi," batin Devan, coba mencari akal agar Viola berhenti menangis. Di tengah ketakutan Devan, tiba-tiba suara langkah kaki kian mendekat di depan ruangannya. "Vi, tolong diem dulu, ya!" Devan terpaksa membungkam mulut Viola dengan kedua tangan. Membuat gadis itu langsung berdiri dan berada dalam dekapan Devan. "Ya Allah, kenapa Pak Devan meluk gue? Jantung gue kan jadi berdebar nggak karuan gini," batin Viola, masih diam tanpa melawan. Terbuai dalam dekapan Devan yang menuntunnya ke sudut ruangan–di sebelahnya terdapat sebuah lemari buku. "Kamu sembunyi dulu di sini!" Devan melepas tangannya dari mulut Viola yang sudah berhenti menangis. "Tapi, Pak Devan mau nikahi saya, ‘kan?" Seolah mengerti posisi Devan saat ini, Viola mengatakan itu dengan berbisik. "Nggak, pokoknya nanti kita bicarakan lagi baiknya gimana, oke!" Baru selesai menjawab pertanyaan Viola, tiba-tiba suara pria yang tentu saja tidak asing bagi Devan terdengar memanggil dari depan ruangan. Pria itu mulai mengetuk pintu. "Ya ampun, itu benar Pak Gunawan," batin Devan semakin panik dan kembali meminta Viola bersembunyi. "Pokoknya, saya nggak akan sembunyi kalau Bapak nggak mau ngabulin permintaan saya, titik!" Viola mengancam. Gadis cantik itu hendak melangkah pergi menuju pintu ruangan. Namun, Devan menahan langkahnya dengan cepat. "Oke, oke, saya akan nikahi kamu, tapi sekarang kamu harus sembunyi dulu sampai Pak Gunawan pergi!" "Benar ya, Pak? Pokoknya hari ini juga Bapak harus ketemu sama orang tua saya buat izin nikahi saya." Devan terdiam sejenak. Berpikir dan semakin tersudut. "Sial, gimana ini?" gerutu Devan merasa kesal dalam hatinya. "Gimana, Pak? Kalau Bapak nggak mau, saya keluar nih!" Sambil menakut-nakuti Devan dengan berlaga seolah ingin melangkah kembali, Viola benar-benar membuat Devan tak punya pilihan selain mengiyakan keinginannya. "Oke, oke, cepat sembunyi dulu!" Dengan sangat terpaksa Devan memutuskan setelah terjadi pergulatan hebat dalam dirinya. Selesai mengatakan itu, suara knop pintu terdengar akan dibuka dan selang beberapa detik kemudian, sosok rektor di kampusnya pun masuk. Ya, Devan memang tidak pernah mengunci pintu ruangannya. Namun, siapa pun yang datang pasti akan mengetuk pintu lebih dulu karena menghargai privasinya, sekalipun Gunawan adalah rektor di kampus itu. "Mati gue," gumam Devan reflek memutar tubuhnya yang kini membelakangi sudut ruangan. "Pak Devan, kenapa Anda berdiri di sana?" Gunawan langsung melontarkan sebuah pertanyaan saat melihat Devan hanya menatapnya dengan wajah pucat. "Eh, ini, Pak ... tadi saya mau ngasih tahu mahasiswi saya soal ...." Devan tak jadi melanjutkan perkataannya saat tak lagi melihat Viola yang tadi ada di dekatnya. "Mahasiswi mana?" Sang rektor bertanya saat tak menemukan siapa-siapa selain Devan di ruangan itu. Devan pun masih terdiam. Berpikir untuk mengelak dan di saat pandangannya berhasil menemukan keberadaan Viola, gadis cantik itu malah mengedipkan mata seolah memberi isyarat padanya untuk tidak perlu takut lagi. "Untung Viola udah sembunyi," batin Devan sambil menghela napas kasar. *** Sepulang dari kampus, Viola langsung menagih janji pada Devan untuk datang ke rumahnya. Ya, Viola ingin jika sang dosen langsung bertemu orang tuanya. Setidaknya dengan dinikahi Devan, Viola akan terhindar dari perjodohan yang sewaktu-waktu bisa saja kembali dibahas ayahnya. Tentu saja Viola lebih memilih Devan daripada pria yang belum pernah ia kenal. Jangankan mengenal, untuk sekadar melihat wajahnya saja Viola langsung menolak saat Bimo meminta untuk bertemu dengan pria pilihan ayahnya. "Saya ada satu syarat yang harus kamu setujui," ucap Devan sebelum keluar dari mobil saat baru saja menghentikan kendaraan roda empatnya tepat di halaman rumah Viola. "Syarat apa, Pak?" "Saya tidak ingin ada pernikahan yang besar-besaran. Pernikahan nanti harus dilangsungkan antar keluarga saja. Bagaimana apa kamu setuju?" Viola seketika berpikir. Rasanya ia ingin menuntut lebih. Namun, gadis itu sadar akan posisinya saat ini. Viola mau tak mau harus mengikuti kemauan Devan. "Oke, terserah Pak Devan aja." Keduanya pun keluar dari mobil. Entah kenapa saat melihat rumah Viola, Devan seperti merasa tidak asing. Rasa-Rasanya ia pernah datang ke rumah itu dua minggu lalu. Namun, Devan memilih untuk tak bertanya pada Viola karena tidak begitu yakin dengan ingatannya. "Pak, ayo masuk, ayah sama ibu saya udah nunggu." Devan pun menyusul langkah Viola masuk. Setibanya di ruang tamu, pandangan Devan seketika dibuat terkejut saat dua orang yang pernah ditemuinya duduk di sebuah sofa panjang tengah melihatnya. "Lho, Nak Devan." Bimo sontak saja terkejut. Pria paruh baya itu langsung bangkit dari posisi duduknya. Menghampiri Devan yang hanya mematung diam karena tak menyangka jika ingatan samarnya ternyata benar. "Lah, kok, Ayah kenal sama Pak Devan?" Viola yang sama terkejutnya dengan Bimo pun langsung melontarkan pertanyaan pada sang ayah. Bersambung✍️"Viola, Viola, jadi Nak Devan ini yang mau dikenalin ke ayah buat jadi suami kamu?" Bimo langsung to the point. Sang ayah memang sudah dihubungi Viola saat masih di kampus soal kedatangan Devan ke rumahnya. "Iya, Yah, tapi ... kenapa Ayah udah kenal sama Pak Devan?" Viola masih bingung. Seperti sinyal wifi di saat hujan, ia masih sulit memahami situasi yang terjadi di depan matanya. "Coba waktu itu kamu lihat dulu siapa yang mau Ayah jodohin sama kamu, pasti kamu enggak akan nolak." "Lho, maksud Ayah? Jadi ... Pak Devan yang mau Ayah jodohin sama Viola?" Bimo pun tak kuasa menahan tawa saat mendengar pertanyaan putrinya. "Iya, Viola. Nak Devan ini yang mau dijodohin sama kamu." Dina–sang ibu pun ikut bicara. Menjawab pertanyaan putrinya yang terlihat kebingungan. "Apa?!" "Udah, udah, enggak usah kaget gitu. Namanya jodoh enggak akan ke mana ya, Nak Devan?" Bimo tampak begitu akrab dengan Devan. Bagaimana tidak, Devan adalah putra dari sahabatnya semasa kuliah. Keduanya dulu mema
"Kenapa sih punya suami nyebelin banget, ya? Tapi ... gue enggak boleh nyerah. Gue bakal terus godain Pak Devan biar dia luluh dan akhirnya bisa cinta sama gue." Viola terdengar menggerutu kesal saat baru saja masuk kamar mandi. Masih ingat dengan penolakan Devan tadi. Sementara itu, pria yang sempat merasa kesal dengan sikap Viola tadi terlihat duduk di tepi ranjang. "Cinta? Dulu Renata bilang cinta, tapi dia malah main belakang dan nyakitin gue." Devan berdecih kesal. Menguatkan hati untuk tak begitu saja percaya dengan perkataan Viola. Ya, ingatan pria itu sesaat tertarik ke belakang waktu di mana ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan alasan yang didapat Devan dari wanita bernama Renata itu adalah momen yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Momen di mana sejak saat itu, Devan menderita disfungsi ereksi sampai hari ini. "Cinta itu bulshit! Gue enggak boleh lagi percaya sama yang namanya cinta. Dulu Renata juga bilang cinta sama gue, tapi apa, dia mal
Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi, ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya. "Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta minta dia nikahin gue." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah menuju anak tangga untuk ke ruang makan "Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya. "Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?" "Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan." "Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya. "Kenapa kamu lama? Sa
Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya hingga rasanya sulit melepas Viola meski pernikahan muda sang putri memang sudah ia rencanakan sebelumnya. Namun, melihat sikap Devan saat makan bersama tadi, entah kenapa Bimo jadi merasa curiga jika pria itu terpaksa menikahi putrinya. "Vi, kamu harus jadi istri yang baik buat Nak Devan. Patuhi suami kamu dan kalau sampai dia nyakitin kamu, kamu harus bilang sama Ayah, ya!" Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu. "Ayah kok ngomong gitu. Bukannya Mas Devan itu laki-laki pilihan Ayah buat jadi suami aku? Jadi, Ayah enggak usah mikir aneh-aneh, ya!" Bimo pun tersenyum. Membenarkan apa yang Viola katakan. "Ya, tadinya Ayah
"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini gadis itu kesiangan untuk pergi ke kampus. "Ya Allah, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis. "10 menit, ya! Kalau lebih dari itu, saya akan tinggalin kamu." Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandi bebek apa? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasaan buruknya. "Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari luar k
Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat. "Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya. "Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru lima menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos. Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah." "Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu." "Tapi, Pak—" "Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mulai materi
"Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan." Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang pendek. "Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin weekend." "Ya udah sih, nggak apa-apa, kerjain aja! Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini." "Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo." "Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu." "Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?" Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas. "Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa-bawa Pak Gunaw
Merasa Tari terlalu cerewet dan tidak bisa diajak bicara baik-baik, Viola pun langsung menarik pergelangan tangan sahabatnya itu untuk diajak pergi ke taman karena ia malu sejak tadi menjadi pusat perhatian orang sekantin. "Eh, Vi, lepasin dong, ah! Lo mau bawa gue ke mana sih?" "Ke taman! Habisnya lo itu bikin gue malu tahu nggak! Anak-Anak yang lagi makan di kantin malah jadi ngelihat ke arah kita terus karena lo berisik nggak bisa diem!" Viola menjawab dengan ketus sambil terus menarik tangan Tari keluar dari kantin. Setibanya di taman yang tidak jauh dari kantin, barulah Viola melepaskan genggamannya dari tangan Tari yang seketika menghela napas lega. "Aduh, Vi, lo itu kasar banget sih jadi cewek. Megang tangan gue aja sampai perih begini. Gimana gue mau percaya coba kalau lo sama Pak Devan udah ni—" Lagi dan lagi Viola terpaksa membungkam mulut sahabatnya agar mahasiswa lain yang juga berada di taman tidak mengetahui soal kabar pernikahannya dengan sang dosen. "Tar, lo itu be
Selamat membaca!Viola tampak begitu cemas. Menanti balasan pesan suaminya. Namun, sampai ia mau berangkat pergi ke rumah Arya, Devan tak kunjung membalas. Membuat raut wajahnya semakin murung. Gadis itu pun mulai berpikir jika suaminya itu memang sudah tak lagi peduli."Apa ini akhir dari rumah tanggu gue?" Kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Satu persatu terbesit jelas dalam pikirannya. Membuat air mata tak sanggup lagi Viola tahan untuk tak menetes. Gadis itu coba menguatkan hati. Memaksa isak tangisnya mereda saat panggilan dari sang ibu terdengar di depan kamar."Vi, ada temen kamu datang.""Iya, Bu, bentar." Sebelum keluar dari kamar, Viola sejenak mematutkan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata yang tertinggal di wajahnya. Tentu saja ia tidak ingin jika Arya sampai tahu bahwa ia habis menangis karena menunggu balasan pesan dari Devan yang tak kunjung datang."Vi, apa kamu sudah izin sama suami kamu kalau mau pergi sama Arya?" tanya Dina begitu melihat Viola
Selamat membaca!Di dalam mobil, Viola dan Devan masih diam tak saling bicara, padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan pulang."Ngapain diajak bareng kalau cuma didiemin doang. Tahu gitu kan mending tadi pulang sendiri aja." Kesal Viola menggerutu dalam hati. Masih menatap ke luar jendela tanpa pernah melihat Devan sejak dirinya berada di dalam mobil."Saya minta maaf ya, Vi."Akhirnya, kata-kata itu terdengar dari mulut Devan. Viola pun tersenyum. Namun, sengaja ia tahan karena tak ingin terlalu kelihatan bahagia di depan Devan."Kenapa minta maaf, Pak?" Viola menatap wajah Devan yang sesekali melihatnya karena harus fokus dengan kemudi."Saya udah salah. Nggak seharusnya beberapa hari ini saya menyalahkan kamu dan bersikap tidak baik sama kamu."Viola masih diam. Hatinya merasa sangat lega karena akhirnya Devan menyadari kesalahannya."Kalau saya nggak mau maafin gimana?" Viola yang masih ingin melihat Devan lebih berusaha, berpura-pura dingin meski di dalam hati, dirinya
Selamat membaca!"Berarti bokap lo bisa terlibat kecelakaan setelah nganterin bokapnya William ke rumah sakit?" tanya Viola setelah mendengar cerita dari Tari di jam istirahat. Ya, setelah mata kuliah pertama selesai, keduanya kini tampak sudah berada di kantin."Iya, Vi. Ternyata begitu ceritanya. Pantes aja di lokasi kejadian nggak ada motor bokap gue, bokap gue naik ojek online saat itu.""Sekarang lo udah nggak ngerasa bersalah lagi, kan?""Iya, gue lega sekarang, tapi gue sebenarnya keberatan dengan niat William mau nikahin gue. Gue udah bilang dia nggak harus ngelakuin itu kalau dia nggak mau, cuma dia tetap mau nikahin gue karena itu keinginan yang terakhir dari bokapnya sebelum meninggal.""Oh, bokapnya William meninggal, bukannya bokap lo udah bawa dia ke rumah sakit?""Bokap gue emang udah nyelametin bokapnya William, tapi satu bulan kemudian, bokap William meninggal.""Oh gue ngerti sekarang. Jadi, William dan ibunya ngerasa berutang budi sama bokap lo karena bokap lo mereka
Selamat membaca!Devan menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar saja, pagi ini ia bangun kesiangan setelah semalam sulit sekali memejamkan mata meski sudah menyalakan alarm pada ponselnya."Bi, tolong panggilin Viola! Bilang sarapan di kampus aja karena saya udah telat." Setibanya di lantai bawah, Devan langsung memerintahkan Retno yang terlihat sedang menyapu lantai di ruang tengah."Tapi, Mas, Mbak Viola udah jalan dari 15 menit yang lalu." Retno tampak bingung. Merasa heran karena Devan bisa tidak tahu akan hal itu."Dia udah jalan ...?" Devan seketika terdiam. Teringat perdebatan semalam di mana keduanya sampai harus pisah kamar."Bibi pikir Mas Devan tahu. Apa Mas Devan lagi ada masalah sama Mbak Viola?" Meski tak enak hati menanyakan itu, tetapi Retno penasaran karena mencemaskan kedua majikannya. Terlebih Retno tahu jika mereka baru saja bahagia setelah hubungan keduanya sempat diguncang karena kedatangan Renata."Oh, nggak apa-apa, Bi. Mungkin karena saya k
Selamat membaca!"Ini semua salah kamu, Devan! Harusnya kamu temui Audrey saat dia sakit, kenapa kamu malah nggak percaya kalau dia sakit? Kenapa?" Renata langsung mencengkram erat kerah kemeja Devan dengan kasar saat melihat kedatangan pria itu bersama Viola yang seketika langsung berusaha melepaskan tangan Renata dari suaminya."Jangan seperti ini, Renata! Lagi pula kematian Audrey bukan kesalahan Devan. Ini sudah takdir, kamu harus bisa terima."Renata menatap nyalang. Penuh dendam dengan sorot mata yang tajam. "Lebih baik kalian pergi dari sini! Aku nggak sudi kalian datang, cepat pergi!" Dengan mendorong tubuh Devan, Renata mengusir paksa keduanya agar pergi.Suara wanita itu sampai membuat beberapa orang jadi menatap sinis ke arah Devan dan Viola yang seketika merasa tidak nyaman berada di sana."Mas, lebih baik kita pulang aja! Percuma kita datang, niat baik kita nggak dihargai di sini!"Devan menatap sendu. Masih tak mengalihkan pandangannya. Pria itu terus melihat jenazah anak
Selamat membaca!Sejak mengakhiri sambungan teleponnya dengan Viola, Devan kembali pergi, padahal pria itu baru saja tiba di rumah beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa ia merasa tidak tenang. Memikirkan Viola yang baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tetapi sudah pergi keluar rumah seorang diri."Apa sebaiknya gue jemput Viola dulu, ya?" Setelah cukup lama bergelut dalam keraguan, Devan pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju cafe tempat di mana Viola berada. "Lebih baik gue jemput Viola dulu. Setelah itu, baru gue bisa nemuin Elmer. Lagian kenapa juga Viola harus pergi segala, padahal dia baru dibolehin pulang dari rumah sakit."Devan merasa cemas. Menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di cafe yang berada dekat dari kampus tempatnya mengajar.Tak butuh waktu yang lama, Devan sudah berbelok ke jalan di mana tempat tujuannya berada. Cafe Brewbee ada di sisi kanan dari jalan yang dilaluinya. Artinya, Devan harus memutar dulu di pertigaan yang berada di ujung depan sana
Selamat membaca!"Mau bagaimanapun gue harus pastiin apa Dokter Elmer itu bener-bener sahabat suami gue. Kalau memang bener, berarti dia adalah mantan suami Renata dan pastinya dia tahu soal status Audrey."Taksi yang ditumpangi Viola pun tiba di sebuah cafe. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan Arya. Viola merasa tidak tenang saat membaca pesan dari suaminya. Pesan di mana Devan ternyata datang menemui Renata tanpa melihat Audrey yang sedang sakit hanya karena beranggapan jika Renata berbohong soal status anak perempuan itu."Arya, maaf ya gue telat, tadi jalanan lumayan macet." Sambil tersenyum, Viola menyapa saat melihat Arya sudah datang lebih dulu darinya."Nggak apa-apa kok, gue juga baru 5 menit duduk. Lo kenapa mau ketemu gue?""Ini ada yang mau gue tanyain sama lo, soal dokter ini?" Viola menyodorkan ponselnya. Menampilkan wajah pria berjas putih yang seketika membuat kening Arya mengerut dalam."Kenapa sama cowok ini?""Lo kenal dia, kan?""Pastilah, dia paman gue!""Berarti
Selamat membaca!Devan terlihat sudah berada di dalam mobil lagi setelah mengantar Viola ke rumah. Meski tidak ingin meninggalkan istrinya. Namun, Viola memaksanya untuk tetap pergi karena tidak tega jika harus melarang Devan bertemu dengan putrinya, terlebih saat Renata mengatakan jika Audrey sedang sakit dan terus memanggil-manggil ayahnya. Tidak hanya itu, Viola juga ingin jika Devan membawa bukti soal foto di atas ranjang itu memang bagian dari rencana Renata. Viola tentu tidak akan lupa akan hal itu, walau hubungannya dengan Devan sudah kembali baik seperti biasa. Bahkan bisa dikatakan saat ini menjadi fase terbaik dalam hubungan keduanya sejak menikah kontrak."Apa ini juga bagian dari rencana Renata? Apa Audrey benar-benar sakit? Sekarang gue makin ragu soal hasil tes DNA itu, apa benar Audrey anak gue?" Devan terus memacu kecepatan mobilnya. Mengingat betapa mudah ia memercayai Renata membuatnya sangat kesal. Walaupun awalnya saat itu ia memang ragu, tetapi air mata dan juga
Selamat membaca!Suasana di ruang rawat tak lagi tegang. Lewat kata-katanya Devan mampu meyakinkan Viola untuk percaya, meski gadis itu tetap dengan pendiriannya bahwa mau bagaimanapun harus ada bukti yang ditunjukkan Devan. Bukti di mana pria itu tidak mengkhianati pernikahan yang sebenarnya baru akan mereka mulai ke jenjang yang lebih serius. Bukan hanya karena perkataan Devan saja. Namun, Viola juga mempertimbangkan sosok Renata yang pernah memanipulasi seolah dirinya menyakiti wanita itu di depan Audrey hingga membuat Devan pun terperdaya saat itu. Dari kejadian itu, Viola bisa berasumsi jika apa yang dilakukan Renata pasti bertujuan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan Devan."Terus kapan Pak Devan mau nemuin Renata lagi?" Viola mengunyah makanan setelah Devan menyuapinya makan. Ya, meski ibunya meminta Viola untuk mengusir Devan pergi, tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Viola tetap mengizinkan Devan ada di dekatnya, walau terkadang bayangan foto mesra Devan dan Renata seri