"Viola nggak mau dijodohin, Ayah. Ini kan bukan jaman Siti Nurbaya, emang masih jaman apa dijodohin?"
"Kamu harus tetep menikah sama pilihan Ayah! Pokoknya, Ayah nggak mau tahu." "Nggak, Ayah! Viola nggak mau dijodohin, titik!" Baru kali Viola sampai berucap dengan suara tinggi. Biasanya, dalam hal apa pun Viola selalu menuruti keinginan sang ayah. Hanya saja, tidak kali ini. Viola benar-benar tidak bisa. Menikah muda di usia 21 tahun tentu saja bukan rencana hidupnya. Impian untuk menjadi wanita karir setelah lulus kuliah seolah buyar. Bagaimana mungkin, mimpinya itu harus pupus dengan menjadi ibu rumah tangga di usia muda. "Memang apa sih yang bikin kamu enggak mau? Udah kamu turuti saja kemauan Ayah kamu, Vi! Kamu coba kenalan dulu aja! Nanti kalau udah kenal kamu pasti nggak akan nolak." Dina–ibu Viola coba meyakinkan putrinya bahwa pilihan suaminya tidak mungkin salah. Lagi pula tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang sembarangan memilih jodoh untuk anak-anak mereka. Semua orang tua mau yang terbaik. "Tapi, Bu–" "Viola, tolong jangan ngebantah perintah Ayah!" "Pokoknya Viola nggak mau!" Tanpa menunggu jawaban Bimo–ayahnya, Viola pergi begitu saja. Gadis itu langsung masuk kamar. Menutup dengan keras dan tak memedulikan panggilan ayah dan ibunya. Viola bahkan sampai menguncinya. Tak membiarkan orang tuanya masuk meski mereka sudah berulang kali meminta agar Viola mau menemui pria yang akan dijodohkan olehnya. Ya, pria itu dan keluarganya sudah tiba di rumah Viola dari beberapa menit lalu. Namun, Viola tetap tidak ingin menemuinya. *** Dua minggu sejak kejadian itu, Viola memilih untuk tak bertanya pada orang tuanya perihal perjodohan yang sempat disampaikan sang ayah. Aksinya dengan mengurung diri di kamar selama satu Minggu sukses membuat orang tuanya tak lagi memaksa. Bahkan, baik Bimo dan Dina sama sekali tak membahas masalah perjodohan itu. "Viola, kamu sudah bangun, 'kan?" Suara panggilan itu terdengar dari depan kamar Viola yang baru saja terjaga setelah sempat memimpikan cinta pertamanya. Ya, gadis itu punya kenangan manis di masa lalu. Cinta pertama pada sang dosen. Meski cintanya belum sempat terbalas. Namun, Viola merasa suatu saat nanti ada hari di mana ia pasti akan bertemu kembali dengan pria yang merupakan dosen di kampus lamanya. Itulah alasan kenapa Viola menolak keras perjodohan yang sempat diatur orang tuanya. "Sudah, Bu. Kenapa?" tanya Viola saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu kamar. "Ayo cepat mandi, terus sarapan! Bukannya ini hari pertama kamu masuk kuliah di kampus baru kamu?" Viola menepuk dahi. Ia benar-benar lupa bahwa hari ini sudah mulai masuk kampus. "Oh iya, kok aku bisa lupa, ya?" Viola pun bergegas bangkit, lalu duduk di tepi ranjang sambil melipat selimut yang jatuh teronggok di lantai. "Makanya, jangan kebanyakan begadang nonton drakor terus!" "Iya, Bu, iya, habis seru, Bu." Viola hanya menanggapi dengan senyumnya yang lebar. "Udah sana cepat mandi!" "Ya udah, Viola mandi dulu." "Jangan nyanyi-nyanyi di kamar mandi, nanti kalau lama, Ayah nggak mau nganterin kamu lho." "Nasib-nasib, jadi anak Ayah. Selalu pindah-pindah. Makanya, aku sampai enggak punya teman. Please, Bu, kota ini terakhir, ya!" "Ya, Ibu juga maunya gitu, Vi. Tapi, tergantung dari kantor Ayah kamu." Begitulah kehidupan Viola. Gadis itu terpaksa harus pindah kuliah dari kota satu ke kota lain mengikuti ayahnya yang masih sering dipindahtugaskan oleh kantornya. "Ya, semoga aja Ayah enggak dipindahkan lagi." Viola menghela napas kasar, lalu bangkit, dan mulai melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar. Kamar baru yang ukurannya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk Viola tempati. Sebuah rumah yang didapat ayahnya sebagai fasilitas kantor untuk mereka tempati selama bertugas di Jakarta. *** "Kamu hati-hati ya, Vi. Pokoknya, harus bisa pilih-pilih teman, terutama laki-laki." Begitulah nasihat Bimo setibanya di depan kampus. Pria paruh baya yang usianya sudah memasuki 42 tahun. "Iya, Yah. Lagi pula aku juga enggak pintar bergaul, apalagi yang aku tahu anak-anak di kota ini kalau berteman suka ngelihat status keluarganya." "Enggak semuanya kok. Nanti pasti kamu bisa dapat temen yang baik di sini, tapi saran Ayah sih kamu lebih baik fokus aja belajar. Kejar nilai biar kamu dapat IP yang tinggi apalagi kamu pindah sebenarnya tanggung banget karena kamu udah semester akhir. Ingat! Janji yang pernah kamu bilang ke Ayah saat kamu menolak perjodohan kemarin itu!" Tentu saja Viola ingat akan hal itu. Janji yang ia ucapkan pada sang ayah saat mengurung diri di kamar. "Iya, Ayah, makasih Ayah enggak maksa Viola lagi. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir, ya! Viola janji, Viola nggak akan ngecewain Ayah. Ya udah, Viola masuk dulu ya, Yah." Viola meraih dan mencium punggung tangan Bimo sebelum berlalu meninggalkan ayahnya yang kembali masuk ke mobil, lalu pergi dari pelataran kampus. Setelah melepas kepergian Bimo, Viola pun masuk ke lobi. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah lift di mana ia harus sudah tiba di lantai dua dengan cepat karena kelas pertamanya akan segera dimulai dalam beberapa menit. Beruntung, kemarin ayahnya sudah mengurus semua administrasi dan keperluan Viola untuk bisa kuliah di kampus barunya. Jadi hari ini, Viola bisa langsung mengikuti kelas pertamanya tanpa harus direpotkan dengan masalah administrasi dan hal lain yang memang paling enggan dilakukannya. Setibanya di dalam ruang kelas, Viola mendapatkan kursi paling belakang di barisan tengah. Pandangannya langsung tertuju pada mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kiri juga kanannya. "Hai, lo baru pindah, ya? Kayanya ini pertama kalinya gue ngelihat lo." Seorang wanita yang kelihatan cantik dengan rambut pendek sebahu tampak menegurnya. Wanita itu terlihat baik dengan senyum ramah menyapa Viola. "Iya, ini hari pertama gue masuk. Kenalin, nama gue, Viola. Lo siapa?" Wanita yang duduk tepat di sampingnya itu mulai mengulurkan tangan, lalu keduanya pun saling berjabat tangan. "Salam kenal juga ya, gue Karen Oktavia, panggil aja gue, Tari." "Tari? Kok bisa dipanggil Tari." Viola merasa heran. Raut wajahnya tampak penuh tanda tanya saat menatap wanita yang baru mengurai jabatan tangannya. "Iya, jadi Tari itu nama kecil gue." "Oh gitu … berarti semua teman-teman di sini manggil lo Tari ya?" Wanita itu diam sejenak. Lalu, tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya. "Ya enggak juga sih, kebanyakan malah tahunya Karen." "Terus kenapa gue harus manggil lo, Tari?" "Ya, biar akrab aja." Wanita yang ingin dipanggil Tari itu pun terkekeh singkat sebelum akhirnya ia kembali mengunci bibirnya untuk diam saat pintu ruangan terdengar dibuka. "Ingat, ya! Kelas hari ini dosennya killer banget. Jangan sampai lo enggak dengerin dia ngomong, nanti lo bakal kena masalah. Pokoknya, mata lo tuh harus terus ngelihat dia, nggak boleh berpaling sedikit pun." "Apa semenakutkan itu?" Penasaran dengan sosok dosen yang baru saja masuk ke ruangan itu, akhirnya Viola mulai mengarahkan pandangan matanya ke arah depan. "Pak Devan …." Sulit rasanya mengucapkan nama itu di tengah keterkejutannya saat ini. Kedua matanya tampak berkedip berulang kali sambil terus mengusap dengan jemarinya. "Ternyata benar, dia Pak Devan, cinta pertama gue. Ya Allah, akhirnya gue bisa ketemu lagi sama dia. Apa ini memang udah takdir?" Viola terus memperhatikan Devan yang kelihatan masih sama dengan yang terakhir kali dilihatnya. Ingatannya seketika tertarik jauh ke belakang. Tepat saat itu, waktu Viola menyatakan cinta pada sang dosen tampan yang terkenal killer di kampus lamanya. "Pak, saya suka sama Bapak." Viola dengan berani mengatakannya. Gadis itu seolah tidak takut, padahal selama ini dosen yang kerap di bilang killer oleh teman-temannya itu memang sangat menyebalkan di mata semua mahasiswa dan mahasiswi di kampus. Siapa yang tidak tahu, Devan Alvaro. Pria blesteran Belanda itu benar-benar sangat dingin saat mengajar. Tak hanya di kelas, bahkan saat di luar pun, Devan terbilang tak bersahabat. Minim bicara dan seperti enggan membalas sapaan mereka. Namun, dari semua hal itu, Viola tak peduli. Cintanya sudah kadung besar untuk sang dosen. Tepatnya di saat Devan menolongnya dari perundungan saat gadis itu di-ospek oleh para senior. Sejak hari itu, rasa kagum dan cintanya terus tumbuh tanpa sedikit pun pudar. "Kamu enggak boleh suka sama saya! Lupakan!" "Tapi, Pak, saya serius." Viola kembali menghalangi jalan Devan yang hendak melewatinya. "Saya juga serius!" "Enggak, Bapak pasti bohong, kan? Orang Bapak sering ngelihatin saya kok pas ngajar di kelas. Pasti Bapak juga suka sama saya, kan? Bapak itu cuma gengsi, makanya enggak mau ngaku." Devan tersenyum kecut. Baru kali ini dalam hidupnya bertemu dengan mahasiswi yang begitu kepedean, padahal Devan sering melihat Viola karena memang gadis itu kerap sekali bicara dengan teman di sampingnya saat pria itu mengajar. "Minggir! Saya enggak punya waktu buat nanggepin cinta-cintaan kamu!" Devan pun melengos dengan cepat ke sisi kiri. Namun, secara sigap Viola berhasil berpindah ke sisi yang sama hingga langkah Devan kembali terhenti. "Bapak enggak boleh pergi dulu! Bapak harus jujur sama saya. Pak, Bapak tenang aja, kita bisa backstreet dari semua orang. Saya enggak akan comel, kita bisa rahasiain hubungan kita." Sejak tadi menahan kesal, Devan pun merasa tak sanggup. Pria itu terlihat menghela napas. Lalu, tanpa memedulikan Viola, Devan berpura-pura ke sisi lain, kemudian melangkah ke sisi sebaliknya mirip seperti pemainan galasin yang sering dimainkannya semasa kecil. "Sial, dia bohongin gue." Keseimbangan Viola terganggu, gadis cantik itu jatuh ke samping. Menahan sakit karena benturan dengan lantai di bagian kakinya. Ingatan yang tak pernah sedikit pun Viola lupakan meski sudah berlalu tiga tahun lalu. Bersambung ✍️Sepanjang mengajar di kelas, Devan masih tak menyadari keberadaan Viola. Pria itu sangat fokus dengan materi yang tengah dibawakannya dan itu sudah menjadi hal biasa bagi gadis yang sampai detik ini masih terus memandangi tanpa teralihkan. Wajah itu sejujurnya sangat ia rindukan. Sering datang ke dalam mimpi dan masih begitu jelas terlihat di sana. "Vi, lo kenapa ngeliatin Pak Devan terus? Jangan bilang lo naksir ya sama dia," celetuk Tari sambil menyenggol siku Viola hingga gadis itu langsung menoleh ke arahnya. "Gue emang udah naksir dia dari dulu." "Maksudnya?" Raut wajah Tari tampak bingung. Masih dengan berbisik, ia bertanya pada Viola yang saat ini juga melihatnya. "Jadi, gue itu udah kenal Pak Devan sejak dia ngajar di kampus lama gue yang dulu." "Oh, begitu ...." "Iya, terus ... entah kenapa dia pindah kampus gitu aja dan sejak itu juga gue udah nggak pernah lagi ngeliat dia." Pikiran Viola seketika tertarik jauh ke belakang. Waktu di mana ia tanpa sengaja mendengar perc
"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu. "Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita. "Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?" Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!" Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya. "Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir. "Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu." Tari diam beberapa saat. Semakin m
Selamat membaca! Viola kembali menatap Devan. Pria itu masih kelihatan kesal karena permintaannya tadi. "Kenapa kamu diem aja? Kamu dengar yang saya bilang tadi, ‘kan? Sekarang kamu bisa pergi! Ingat! Rahasiakan apa yang kamu tahu dari semua orang!" Viola mulai memainkan dramanya. Duduk kembali di tempat semula, lalu menangis di depan Devan seolah-olah pria itu sudah sangat menyakitinya. "Pak Devan jahat! Kenapa ngancem saya kaya gini, padahal Bapak yang jahat udah ngilang gitu aja tanpa mikirin perasaan saya? Sekarang begitu saya udah hampir move on, Pak Devan malah muncul lagi. Kenapa hidup saya bisa jadi tragis begini sih karena jatuh cinta sama Bapak? Saya udah nggak mau hidup lagi, lebih baik saya mati aja." Viola sengaja mengeraskan suara tangisannya. Hal itu membuat Devan kalang kabut. Panik? Tentu saja, siapa yang tidak panik jika ada seorang mahasiswi menangis di ruangannya? Apa tanggapan orang yang nanti mendengarnya? Bisa-bisa mereka beranggapan jika Viola sedang memint
"Viola, Viola, jadi Nak Devan ini yang mau dikenalin ke ayah buat jadi suami kamu?" Bimo langsung to the point. Sang ayah memang sudah dihubungi Viola saat masih di kampus soal kedatangan Devan ke rumahnya. "Iya, Yah, tapi ... kenapa Ayah udah kenal sama Pak Devan?" Viola masih bingung. Seperti sinyal wifi di saat hujan, ia masih sulit memahami situasi yang terjadi di depan matanya. "Coba waktu itu kamu lihat dulu siapa yang mau Ayah jodohin sama kamu, pasti kamu enggak akan nolak." "Lho, maksud Ayah? Jadi ... Pak Devan yang mau Ayah jodohin sama Viola?" Bimo pun tak kuasa menahan tawa saat mendengar pertanyaan putrinya. "Iya, Viola. Nak Devan ini yang mau dijodohin sama kamu." Dina–sang ibu pun ikut bicara. Menjawab pertanyaan putrinya yang terlihat kebingungan. "Apa?!" "Udah, udah, enggak usah kaget gitu. Namanya jodoh enggak akan ke mana ya, Nak Devan?" Bimo tampak begitu akrab dengan Devan. Bagaimana tidak, Devan adalah putra dari sahabatnya semasa kuliah. Keduanya dulu mema
"Kenapa sih punya suami nyebelin banget, ya? Tapi ... gue enggak boleh nyerah. Gue bakal terus godain Pak Devan biar dia luluh dan akhirnya bisa cinta sama gue." Viola terdengar menggerutu kesal saat baru saja masuk kamar mandi. Masih ingat dengan penolakan Devan tadi. Sementara itu, pria yang sempat merasa kesal dengan sikap Viola tadi terlihat duduk di tepi ranjang. "Cinta? Dulu Renata bilang cinta, tapi dia malah main belakang dan nyakitin gue." Devan berdecih kesal. Menguatkan hati untuk tak begitu saja percaya dengan perkataan Viola. Ya, ingatan pria itu sesaat tertarik ke belakang waktu di mana ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan alasan yang didapat Devan dari wanita bernama Renata itu adalah momen yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Momen di mana sejak saat itu, Devan menderita disfungsi ereksi sampai hari ini. "Cinta itu bulshit! Gue enggak boleh lagi percaya sama yang namanya cinta. Dulu Renata juga bilang cinta sama gue, tapi apa, dia mal
Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi, ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya. "Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta minta dia nikahin gue." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah menuju anak tangga untuk ke ruang makan "Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya. "Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?" "Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan." "Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya. "Kenapa kamu lama? Sa
Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya hingga rasanya sulit melepas Viola meski pernikahan muda sang putri memang sudah ia rencanakan sebelumnya. Namun, melihat sikap Devan saat makan bersama tadi, entah kenapa Bimo jadi merasa curiga jika pria itu terpaksa menikahi putrinya. "Vi, kamu harus jadi istri yang baik buat Nak Devan. Patuhi suami kamu dan kalau sampai dia nyakitin kamu, kamu harus bilang sama Ayah, ya!" Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu. "Ayah kok ngomong gitu. Bukannya Mas Devan itu laki-laki pilihan Ayah buat jadi suami aku? Jadi, Ayah enggak usah mikir aneh-aneh, ya!" Bimo pun tersenyum. Membenarkan apa yang Viola katakan. "Ya, tadinya Ayah
"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini gadis itu kesiangan untuk pergi ke kampus. "Ya Allah, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis. "10 menit, ya! Kalau lebih dari itu, saya akan tinggalin kamu." Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandi bebek apa? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasaan buruknya. "Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari luar k
Selamat membaca!Viola tampak begitu cemas. Menanti balasan pesan suaminya. Namun, sampai ia mau berangkat pergi ke rumah Arya, Devan tak kunjung membalas. Membuat raut wajahnya semakin murung. Gadis itu pun mulai berpikir jika suaminya itu memang sudah tak lagi peduli."Apa ini akhir dari rumah tanggu gue?" Kenangan demi kenangan mulai bermunculan. Satu persatu terbesit jelas dalam pikirannya. Membuat air mata tak sanggup lagi Viola tahan untuk tak menetes. Gadis itu coba menguatkan hati. Memaksa isak tangisnya mereda saat panggilan dari sang ibu terdengar di depan kamar."Vi, ada temen kamu datang.""Iya, Bu, bentar." Sebelum keluar dari kamar, Viola sejenak mematutkan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata yang tertinggal di wajahnya. Tentu saja ia tidak ingin jika Arya sampai tahu bahwa ia habis menangis karena menunggu balasan pesan dari Devan yang tak kunjung datang."Vi, apa kamu sudah izin sama suami kamu kalau mau pergi sama Arya?" tanya Dina begitu melihat Viola
Selamat membaca!Di dalam mobil, Viola dan Devan masih diam tak saling bicara, padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan pulang."Ngapain diajak bareng kalau cuma didiemin doang. Tahu gitu kan mending tadi pulang sendiri aja." Kesal Viola menggerutu dalam hati. Masih menatap ke luar jendela tanpa pernah melihat Devan sejak dirinya berada di dalam mobil."Saya minta maaf ya, Vi."Akhirnya, kata-kata itu terdengar dari mulut Devan. Viola pun tersenyum. Namun, sengaja ia tahan karena tak ingin terlalu kelihatan bahagia di depan Devan."Kenapa minta maaf, Pak?" Viola menatap wajah Devan yang sesekali melihatnya karena harus fokus dengan kemudi."Saya udah salah. Nggak seharusnya beberapa hari ini saya menyalahkan kamu dan bersikap tidak baik sama kamu."Viola masih diam. Hatinya merasa sangat lega karena akhirnya Devan menyadari kesalahannya."Kalau saya nggak mau maafin gimana?" Viola yang masih ingin melihat Devan lebih berusaha, berpura-pura dingin meski di dalam hati, dirinya
Selamat membaca!"Berarti bokap lo bisa terlibat kecelakaan setelah nganterin bokapnya William ke rumah sakit?" tanya Viola setelah mendengar cerita dari Tari di jam istirahat. Ya, setelah mata kuliah pertama selesai, keduanya kini tampak sudah berada di kantin."Iya, Vi. Ternyata begitu ceritanya. Pantes aja di lokasi kejadian nggak ada motor bokap gue, bokap gue naik ojek online saat itu.""Sekarang lo udah nggak ngerasa bersalah lagi, kan?""Iya, gue lega sekarang, tapi gue sebenarnya keberatan dengan niat William mau nikahin gue. Gue udah bilang dia nggak harus ngelakuin itu kalau dia nggak mau, cuma dia tetap mau nikahin gue karena itu keinginan yang terakhir dari bokapnya sebelum meninggal.""Oh, bokapnya William meninggal, bukannya bokap lo udah bawa dia ke rumah sakit?""Bokap gue emang udah nyelametin bokapnya William, tapi satu bulan kemudian, bokap William meninggal.""Oh gue ngerti sekarang. Jadi, William dan ibunya ngerasa berutang budi sama bokap lo karena bokap lo mereka
Selamat membaca!Devan menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Wajar saja, pagi ini ia bangun kesiangan setelah semalam sulit sekali memejamkan mata meski sudah menyalakan alarm pada ponselnya."Bi, tolong panggilin Viola! Bilang sarapan di kampus aja karena saya udah telat." Setibanya di lantai bawah, Devan langsung memerintahkan Retno yang terlihat sedang menyapu lantai di ruang tengah."Tapi, Mas, Mbak Viola udah jalan dari 15 menit yang lalu." Retno tampak bingung. Merasa heran karena Devan bisa tidak tahu akan hal itu."Dia udah jalan ...?" Devan seketika terdiam. Teringat perdebatan semalam di mana keduanya sampai harus pisah kamar."Bibi pikir Mas Devan tahu. Apa Mas Devan lagi ada masalah sama Mbak Viola?" Meski tak enak hati menanyakan itu, tetapi Retno penasaran karena mencemaskan kedua majikannya. Terlebih Retno tahu jika mereka baru saja bahagia setelah hubungan keduanya sempat diguncang karena kedatangan Renata."Oh, nggak apa-apa, Bi. Mungkin karena saya k
Selamat membaca!"Ini semua salah kamu, Devan! Harusnya kamu temui Audrey saat dia sakit, kenapa kamu malah nggak percaya kalau dia sakit? Kenapa?" Renata langsung mencengkram erat kerah kemeja Devan dengan kasar saat melihat kedatangan pria itu bersama Viola yang seketika langsung berusaha melepaskan tangan Renata dari suaminya."Jangan seperti ini, Renata! Lagi pula kematian Audrey bukan kesalahan Devan. Ini sudah takdir, kamu harus bisa terima."Renata menatap nyalang. Penuh dendam dengan sorot mata yang tajam. "Lebih baik kalian pergi dari sini! Aku nggak sudi kalian datang, cepat pergi!" Dengan mendorong tubuh Devan, Renata mengusir paksa keduanya agar pergi.Suara wanita itu sampai membuat beberapa orang jadi menatap sinis ke arah Devan dan Viola yang seketika merasa tidak nyaman berada di sana."Mas, lebih baik kita pulang aja! Percuma kita datang, niat baik kita nggak dihargai di sini!"Devan menatap sendu. Masih tak mengalihkan pandangannya. Pria itu terus melihat jenazah anak
Selamat membaca!Sejak mengakhiri sambungan teleponnya dengan Viola, Devan kembali pergi, padahal pria itu baru saja tiba di rumah beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa ia merasa tidak tenang. Memikirkan Viola yang baru diizinkan pulang dari rumah sakit, tetapi sudah pergi keluar rumah seorang diri."Apa sebaiknya gue jemput Viola dulu, ya?" Setelah cukup lama bergelut dalam keraguan, Devan pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju cafe tempat di mana Viola berada. "Lebih baik gue jemput Viola dulu. Setelah itu, baru gue bisa nemuin Elmer. Lagian kenapa juga Viola harus pergi segala, padahal dia baru dibolehin pulang dari rumah sakit."Devan merasa cemas. Menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di cafe yang berada dekat dari kampus tempatnya mengajar.Tak butuh waktu yang lama, Devan sudah berbelok ke jalan di mana tempat tujuannya berada. Cafe Brewbee ada di sisi kanan dari jalan yang dilaluinya. Artinya, Devan harus memutar dulu di pertigaan yang berada di ujung depan sana
Selamat membaca!"Mau bagaimanapun gue harus pastiin apa Dokter Elmer itu bener-bener sahabat suami gue. Kalau memang bener, berarti dia adalah mantan suami Renata dan pastinya dia tahu soal status Audrey."Taksi yang ditumpangi Viola pun tiba di sebuah cafe. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan Arya. Viola merasa tidak tenang saat membaca pesan dari suaminya. Pesan di mana Devan ternyata datang menemui Renata tanpa melihat Audrey yang sedang sakit hanya karena beranggapan jika Renata berbohong soal status anak perempuan itu."Arya, maaf ya gue telat, tadi jalanan lumayan macet." Sambil tersenyum, Viola menyapa saat melihat Arya sudah datang lebih dulu darinya."Nggak apa-apa kok, gue juga baru 5 menit duduk. Lo kenapa mau ketemu gue?""Ini ada yang mau gue tanyain sama lo, soal dokter ini?" Viola menyodorkan ponselnya. Menampilkan wajah pria berjas putih yang seketika membuat kening Arya mengerut dalam."Kenapa sama cowok ini?""Lo kenal dia, kan?""Pastilah, dia paman gue!""Berarti
Selamat membaca!Devan terlihat sudah berada di dalam mobil lagi setelah mengantar Viola ke rumah. Meski tidak ingin meninggalkan istrinya. Namun, Viola memaksanya untuk tetap pergi karena tidak tega jika harus melarang Devan bertemu dengan putrinya, terlebih saat Renata mengatakan jika Audrey sedang sakit dan terus memanggil-manggil ayahnya. Tidak hanya itu, Viola juga ingin jika Devan membawa bukti soal foto di atas ranjang itu memang bagian dari rencana Renata. Viola tentu tidak akan lupa akan hal itu, walau hubungannya dengan Devan sudah kembali baik seperti biasa. Bahkan bisa dikatakan saat ini menjadi fase terbaik dalam hubungan keduanya sejak menikah kontrak."Apa ini juga bagian dari rencana Renata? Apa Audrey benar-benar sakit? Sekarang gue makin ragu soal hasil tes DNA itu, apa benar Audrey anak gue?" Devan terus memacu kecepatan mobilnya. Mengingat betapa mudah ia memercayai Renata membuatnya sangat kesal. Walaupun awalnya saat itu ia memang ragu, tetapi air mata dan juga
Selamat membaca!Suasana di ruang rawat tak lagi tegang. Lewat kata-katanya Devan mampu meyakinkan Viola untuk percaya, meski gadis itu tetap dengan pendiriannya bahwa mau bagaimanapun harus ada bukti yang ditunjukkan Devan. Bukti di mana pria itu tidak mengkhianati pernikahan yang sebenarnya baru akan mereka mulai ke jenjang yang lebih serius. Bukan hanya karena perkataan Devan saja. Namun, Viola juga mempertimbangkan sosok Renata yang pernah memanipulasi seolah dirinya menyakiti wanita itu di depan Audrey hingga membuat Devan pun terperdaya saat itu. Dari kejadian itu, Viola bisa berasumsi jika apa yang dilakukan Renata pasti bertujuan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan Devan."Terus kapan Pak Devan mau nemuin Renata lagi?" Viola mengunyah makanan setelah Devan menyuapinya makan. Ya, meski ibunya meminta Viola untuk mengusir Devan pergi, tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Viola tetap mengizinkan Devan ada di dekatnya, walau terkadang bayangan foto mesra Devan dan Renata seri