“Seharusnya kamu yang mati malam itu, Viona.”
Suara serak Padma bergema dalam ruangan, menebar ketakutan yang merayap di tubuh Viona. Dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, dia menatap sosok tinggi yang berdiri di hadapannya, tangan terlipat di dada, mata penuh amarah.
Padma, kakak ipar yang telah menikahi Yuanita selama enam tahun—satu-satunya saudara dan keluarga yang dimiliki Viona.
“Maafkan aku, Mas,” bisik Viona, suaranya pecah. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tubuhnya bergetar. “Aku benar-benar minta maaf.”
Empat puluh hari yang lalu, Yuanita yang tengah hamil tua mengalami pendarahan hebat. Viona, satu-satunya orang yang menemani saat itu, tak punya pilihan lain selain bertindak cepat.
Padma sedang dalam perjanjian pulang dari luar kota, mustahil menunggunya untuk mengantar Yuanita ke rumah sakit.
Dengan segenap keberanian yang tersisa, Viona membawa sang kakak ke rumah sakit terdekat, mengabaikan rasa takutnya demi memastikan nyawa Yuanita dan bayi yang dinantikan bisa terselamatkan. Ia terus berbisik, meyakinkan kakaknya.
“Tarik napas dalam-dalam, Kak! Semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi Kakak akan bertemu dengan Sabda.”
Sabda—nama yang Yuanita dan Padma pilih, calon putra yang telah mereka tunggu selama enam tahun pernikahan mereka. Namun takdir berkata lain.
Di ambang rumah sakit, Viona kehilangan kendali mobil, menabrak pohon besar dan pagar beton. Yuanita tetap sadar ketika ambulans membawanya ke rumah sakit, tetapi hidupnya berakhir di meja operasi. Bayinya lahir dengan selamat, tapi Yuanita tak terselamatkan.
Viona, meski luka-luka, selamat dari kecelakaan itu. Namun keselamatannya hanya mengundang murka Padma yang tak terhingga.
Padma tertawa getir, sepasang mata kelamnya menyorotkan kebencian tajam. “Kamu pikir maaf bisa membuat Yuanita hidup kembali? Membuat Sabda bisa menikmati kasih sayang ibunya?”
Viona bergidik, tubuhnya terpojok di sudut ruangan. Bau alkohol menyengat dari napas Padma, membuat mualnya semakin menjadi. Tatapannya menghunjam Viona, menyudutkannya tanpa belas kasih.
“Hukuman apa yang pantas untuk seorang pembunuh sepertimu, Viona? Kematian terlalu mudah untukmu.”
Tertegun, Viona menatap pria di depannya, matanya memerah dan air mata mulai menggenang. “Aku tidak ingin kehilangan dia, Mas. Yuanita adalah hidupku... Aku mencintai kakakku lebih dari siapa pun. Kalau bisa, aku ingin menukar nyawaku dengan nyawanya! Apa pun yang Mas Padma inginkan, aku akan lakukan. Jika membunuhku adalah penebusan, lakukanlah.”
Viona berlutut, tubuhnya terguncang dalam penyesalan, kesedihan, dan ketakutan yang memenuhi seluruh wajahnya.
Padma memukul dinding dengan kepalan tangannya lalu melempar tatapan tajam pada Viona, "Aku benar-benar ingin kamu mati. Tapi kematian terlalu ringan untukmu. Aku harus membiarkanmu merasakan sakit yang sama sepertiku!"
Tiba-tiba Padma mencengkeram leher Viona lalu mendorongnya ke lantai.
Viona sontak menutup kedua matanya. Dia pikir kematian sedang menjemputnya, tetapi bunyi koyakan terdengar di udara. Dan berikutnya, pakaian sudah terlepas dari tubuhnya.
Kulitnya yang putih menyentuh lantai yang dingin dan membuatnya menggigil. Viona membuka matanya dan melihat pria itu berlutut di atasnya seperti binatang buas.
Ketika dia menyadari apa yang akan dia lakukan, Viona berteriak, "Tidak! Jangan, Mas!"
Pria itu sepertinya tidak mendengar teriakan Viona, akal sehatnya telah dipenuhi dengan amarah. "Viona, kamu membuatku kehilangan hal terpentingku, dan aku akan mengambil hal terpentingmu."
Viona berusaha melawan dengan sekuat tenaga.
Dia menendang, mencakar, menampar, memukul, menjambak sampai menggigit Padma untuk menghentikan tindakan pria itu. Hingga akhirnya sesuatu yang keras memaksa masuk ke bagian paling pribadinya.
"Aaargh!"
Rasa sakit karena robekan itu membuat Viona hampir pingsan, Padma berhenti sebentar lalu menundukkan kepalanya dan terkesiap saat melihat bercak kemerahan yang berada di antara kaki Viona.
Bukankah Viona memiliki pacar dan telah berpacaran selama beberapa tahun? Bagaimana dia masih perawan?
"Tolong hentikan, Mas!" Viona memohon.
Viona tahu bahwa keperawanannya telah direnggut oleh seorang pria dan dia hanya berharap bahwa pria itu akan mendapatkan kembali kewarasannya dan berhenti melanjutkan.
Namun, jelas Padma tidak peduli dengan permohonan Viona Sebaliknya, permohonan perempuan itu membuatnya menjadi lebih bersemangat.
"Ini adalah kesalahanmu sebagai seorang pembunuh!" Padma melanjutkan gerakannya, dan rasa sakit yang menyakitkan benar-benar membuat Viona kehilangan kemampuan untuk melawan.
Masa depan, kehormatan, dan martabat Viona direnggut oleh Padma, kakar iparnya sendiri.
Viona gemetar dan membela diri dengan suara serak, "Tidak... Tidak ada yang sengaja membunuh kakaknya, Mas."
"Diam!" Padma menyela Viona dengan kilatan kemarahan lain di matanya. "Jangan berani-berani menyebut nama Yuanita dengan mulut kotormu. Apa yang kau rasakan sekarang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang harus aku tanggung."
Derai air mata membanjiri wajah Viona yang pias.
Padma menyunggingkan senyum kejam melihat Viona tidak berdaya di bawahnya. "Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi dan memaafkanmu? Kamu bermimpi, Viona!
"Kau harus tinggal bersamaku sampai kau membayar semua dosamu. Jangan berkhayal tentang melarikan diri, atau aku akan membuat kamu lebih terhina daripada yang ini. "
"Mas Padma tidak berhak melakukan ini." Air mata Viona terus berderai meski matanya sudah membengkak.
Namun rasa sakit di bagian bawah tubuhnya mengingatkannya bahwa pria itu melakukan kejahatan yang tak akan pernah bisa dia maafkan. Tidak akan pernah!
"Tidak ada keadilan bagi pembunuh! Dan ini hanyalah permulaan, Viona. Aku pastikan kau akan merasakan sakit yang sama seperti aku. Bersiaplah! Neraka akan menunggumu!"
Sepeninggal Padma, tubuh Viona seolah kehilangan tenaga. Ia menyeret kakinya yang berat, setiap langkah seakan memikul seluruh beban kenangan yang membekas di sanubari.Setibanya di kamar mandi, ia berdiri di bawah pancuran dengan air yang dingin mengalir deras di atas kepalanya, menyamarkan air matanya yang tanpa henti berderai.Setiap tetes air yang jatuh tak mampu menyapu ingatan pahit yang masih mengambang di dalam pikirannya, seperti noda yang enggan lenyap walau Viona menyikat kulitnya dengan keras hingga memerah.Dengan tangan gemetar, ia terus menyikat, berharap segala yang tersisa dari Padma akan luntur bersama air yang mengalir deras ke bawah, namun sia-sia.Ketika akhirnya kelelahan, Viona terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya menggigil dalam dingin yang tak hanya datang dari pancuran, melainkan dari dalam hatinya sendiri.Dengan lutut yang ia tarik ke dada, Viona memeluk dirinya seolah berharap dapat menutupi luka yang kini menganga lebar.Dalam hening, isak tangis yang
Tirta menatapnya, raut wajahnya dipenuhi kegetiran yang tak mampu ia sembunyikan. Viona tahu ia tidak bisa berbohong di hadapan Tirta, lelaki yang sangat baik dan tulus mencintainya.Hubungan yang mereka jalin selama empat tahun ini penuh dengan kehangatan dan ketulusan, begitu pula dengan keluarga Tirta yang menerimanya sepenuh hati.Karena itu, Viona memilih untuk jujur, tak ingin membohongi Tirta atau menyeretnya ke dalam kebohongan yang mengerikan."Maksud kamu apa?” tanya Tirta, suaranya tetap lembut meski terlihat jelas ada ketegangan di sana.Viona yang gelisah hanya menatap kosong, enggan melanjutkan, namun Tirta menatapnya dengan penuh perhatian, "Aku janji nggak akan menghakimi kamu. Tolong, cerita apa yang bikin kamu kayak gini."Dengan napas berat dan tubuh yang bergetar, Viona mulai bercerita. Perlahan namun pasti, seluruh kejadian subuh itu keluar dari bibirnya.Tentang bagaimana Padma, mabuk dan kasar, datang ke rumahnya dan merenggut kehormatannya tanpa belas kasihan.
Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan. Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi
Viona tak pernah merasa semarah ini dalam hidupnya. Dalam detik-detik mencekam seperti ini, ia biasanya mempraktikkan teknik pernapasan yang diajarkan Yuanita: menarik napas dalam selama empat hitungan, menahannya tujuh detik, lalu mengembuskannya perlahan selama delapan detik.Namun kali ini, amarah dalam dirinya begitu pekat, tak teredam bahkan oleh napas teratur yang biasa.Bergemuruhlah setiap langkahnya ketika ia membelah halaman rumah megah itu, tekad membara di balik setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak yang berhiaskan pepohonan rimbun.Ia tak memedulikan dinginnya malam atau keheningan yang merayap, hanya satu yang ada dalam pikirannya: mencari Padma dan menuntut penjelasan atas kelakuan biadab yang hampir merenggut nyawa Tirta.Baru beberapa jam lalu, pihak rumah sakit menelepon, mengabarkan bahwa Tirta menjadi korban tabrak lari—tabrakan yang hampir merenggut nyawa lelaki itu.Seorang sopir taksi telah membawanya ke rumah sakit, dan Viona langsung berlari menuju
Viona merasakan tubuhnya merinding, seolah seluruh udara di ruangan itu tertarik keluar, meninggalkannya berhadapan dengan sosok yang lebih menyerupai bayangan gelap daripada manusia. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, jiwanya terhimpit di bawah intensitas lelaki yang berdiri di hadapannya.Padma tampak seperti seseorang yang tak pernah ia kenal, jauh dari sosok kakak ipar yang selama ini ia anggap sebagai keluarga. "Siapa sebenarnya yang berdiri di hadapanku?" pikir Viona dalam hati.Apakah kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah orang menjadi begitu dingin, kejam, dan tanpa hati? Apakah Padma adalah iblis yang menyaru sebagai pria yang selama enam tahun terakhir menjadi saudara iparnya?"Tapi... Tirta tidak bersalah," suara Viona terdengar lemah dan getir, nyaris patah.Kengerian dan keputusasaan tercermin dari suaranya, matanya tak mampu menghindari tatapan pria itu yang dingin seperti malam yang tak berbulan.Padma mengangkat bahu, bibirnya terangkat dalam seringai.
Viona pikir ada yang salah ada dengan pendengarannya. Tetapi ketika Padma mengulang perkataannya, perempuan itu berubah pikiran. Ada yang salah dengan otak Padma. Itu sudah pasti.Lelaki itu bukan hanya tidak waras, tetapi juga menderita halusinasi"Apa Mas Padma pikir aku akan menikah dengan orang yang memperkosaku?" desis Viona tajam. "Aku tidak segila itu. Pikiranku masih cukup waras untuk tidak menerima orang yang sudah menghancurkan hidupku."Sebelum amarahnya membuncah, Viona menyerahkan kembali Sabda ke dalam pengasuhnya, yang segera pergi karena menyadari aura tidak bersahabat dari pembicaraan mereka berdua.Senyum miring Padma terbit.Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan kalimat tajam yang terlontar dari mulut adik iparnya. Dia tahu persis Viona tidak seberani itu. Gadis itu hanya memasang topeng untuk menutupi jiwanya yang rapuh."Keberanianmu untuk menolakku boleh juga, Adik Ipar. Sayangnya kamu lupa aku bisa melakukan apa pun untuk membuatmu menerima penawaranku. Ah, a
Satu minggu berlalu tanpa ada insiden apa pun.Padma sengaja membiarkan Viona hidup tenang untuk beberapa saat sebelum kembali menghujani perempuan itu dengan berbagai ide jahat yang mengemuka dalam benaknya.Viona tidak perlu tahu apa yang sedang dia rencanakan saat ini agar perempuan itu mengira dia sudah menyerah dengan obsesinya untuk menuntut pembalasan."Orang tua Tirta hanya petani biasa yang memiliki sepetak tanah di sebuah desa di Klaten. Jika tidak menanam padi, biasanya mereka menanam jagung atau kacang tanah."Padma manggut-manggut sambil memandangi beberapa lembar foto yang menunjukkan sepasang orang tua yang tengah tertawa di sela-sela kegiatan mereka menyemprot padi yang tumbuh subur.Dia memang meminta orang suruhannya untuk menyelidiki latar belakang keluarga Tirta berikut hubungannya dengan Viona.Makin banyak yang Padma ketahui tentang Tirta dan hubungannya dengan Viona, maka makin mudah pula langkahnya untuk membalaskan dendam pada adik iparnya itu."Di kota ini Ti
"Jawaban apa?"Viona yakin betul Padma tidak bertanya apalagi memintanya untuk memikirkan sesuatu. Lalu jawaban apa yang dia maksud?Alih-alih menjawab pertanyaan Viona, Padma kembali melangkah, memperpendek jarak di antara mereka berdua.Viona yang sejak tadi menatapnya penuh antisipasi, memanfaatkan celah yang ada untuk bergerak menjauh darinya dengan kecepatan kilat.Padma berdecak kesal. Dia tidak suka bermain-main. Tetapi perempuan mungil di hadapannya seolah memancing kesabaran. Jangan salahkan kalau nanti dia bertindak kasar.“Jangan pura-pura lupa dengan kata-kataku satu minggu yang lalu, Viona. Satu minggu ini aku memberimu waktu untuk berpikir meski aku tidak menginginkan penolakan."Wajah Viona berubah pias. Dia bahkan bisa merasakan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang karena takut sekaligus cemas.Jelas dia masih ingat ucapan Padma malam itu, yang memintanya menikah dan menjadi ibu sambung bagi Sabda. Tetapi dia pikir Padma sudah lupa karena satu minggu ini lelaki itu seo