Share

Bab 4: Akhiri Hubunganmu

Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.

Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.

Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.

Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan.

 Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.

Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.

“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.

Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi digunakan Tirta untuk mengupas apel, lalu mengacungkan benda itu ke depan.

Padma tersenyum sinis, pandangan menghina. “Kamu akan menusukku dengan pisau buah? Well done, Viona! Kamu akan melengkapi daftar ‘kejahatanmu’ kalau berani melakukan itu.”

Genggaman Viona pada pisau itu semakin erat, pandangannya menusuk balik ke arah Padma. “Pergilah dari sini sekarang juga! Apa tidak cukup sudah merampas kehormatanku? Apa lagi yang Mas Padma mau?” serunya dengan suara bergetar, yang lebih dipenuhi oleh kemarahan daripada ketakutan.

Padma tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih menyeramkan daripada menyenangkan. “Tentu saja tidak cukup, Viona Sayang.” Ia melangkah maju, memaksa Viona untuk mundur meskipun ia memegang pisau di tangannya. “Kamu sudah lupa apa yang aku katakan tadi pagi?”

Tubuh Viona bergetar. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan setiap kalimat yang Padma katakan pagi itu?

Meskipun Viona mati-matian ingin menghapusnya dari ingatan, kata-kata mengerikan itu terngiang-ngiang di kepalanya tanpa henti, bagaikan kaset rusak yang terus berputar.

“Yang terjadi tadi pagi hanyalah awal,” Padma mengulangi dengan nada rendah yang menakutkan, “karena ada neraka dunia yang menantimu. Dan akulah yang akan menciptakan neraka itu untukmu, Viona.”

“Mas Padma sudah gila!” Viona berteriak, ketakutan yang bergemuruh dalam dadanya tercampur dengan amarah yang bergejolak.

“Dan kamu yang membuat aku gila!” Padma membentak dengan kasar, wajahnya memerah karena kemarahan.

“Kamu masih bisa tertawa dan memeluk kekasihmu dengan bahagia, sedangkan aku? Aku hanya mendapatkan kekosongan, rasa hampa, Viona!” Ia menunjuk dadanya sendiri dengan tangan yang terkepal erat, rahangnya mengeras seperti baja.

“Sabda menangis setiap malam, mencari ibunya, merintih di dalam mimpi kecilnya yang sepi. Dan aku? Aku hanya bisa berdiri, seperti ayah tolol yang tidak bisa melakukan apa pun untuk menenangkannya!” Suara Padma berubah parau, nyaris putus asa, meski kemarahan tetap melingkupi sorot matanya. “Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, karena kamu nggak ada di posisiku!”

Rasa bersalah merayap perlahan ke dalam diri Viona, mencengkeramnya erat hingga lehernya terasa tercekik. Bayangan Yuanita, dengan senyum bahagia saat mengetahui dirinya hamil, melintas di benaknya.

Viona ingat betul bagaimana Yuanita berteriak girang, memeluknya erat setelah sekian lama menanti kehadiran Sabda. Harapan itu musnah seketika malam itu, di kecelakaan yang menelan nyawa Yuanita, dan Viona-lah yang mengemudikan mobil.

Bahu Viona melemah, tubuhnya seolah kehilangan tenaga, dan pisau yang ia genggam terjatuh, terkulai di sisi tubuhnya. Namun, di balik rasa bersalah itu, ia berusaha berdiri tegak, mencoba tidak memperlihatkan kelemahannya di hadapan Padma. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh, hancur di bawah kekejaman Padma Adikara.

“Lalu apa maunya Mas Padma sekarang?” Viona akhirnya bertanya dengan suara parau, nyaris berbisik, setelah berusaha menahan ketakutan yang menjalar di setiap pori-porinya.

Senyum puas tersungging di bibir Padma, matanya berkilat dengan rasa kemenangan yang menusuk. “Putuskan kekasihmu!” ucapnya tajam, suaranya penuh tekanan.

Viona ternganga. “Apa maksudnya?” tanyanya, meskipun naluri dalam dirinya tahu betul makna mengerikan di balik perintah itu.

“Aku bilang, putuskan kekasihmu!” ulang Padma, kali ini lebih lambat, dengan intonasi yang terdengar seolah menikmati kekejaman kata-katanya sendiri. “Kamu harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan sesuatu yang amat berharga saat kamu sedang berada di puncak kebahagiaan.”

“Tidak mau!” Viona berseru, tegas dengan dagu terangkat, meskipun tubuhnya gemetar. “Mas Padma tidak berhak mengatur kehidupanku!”

“Oh, benar begitu?” Seringai jahat kembali menghiasi wajah Padma, yang kini mendekat lebih intim, memojokkan Viona ke sudut ruang tamu.

Dia meraih pisau di tangan Viona dengan gerakan cepat dan melemparkannya ke lantai, denting tajam memenuhi ruangan.

Viona berpaling, tak sanggup menatap langsung pada sosok tinggi dan besar itu. Dengan tinggi yang hanya mencapai bahu Padma, Viona merasa bagai kurcaci di hadapan raksasa yang hanya ingin melumatkan eksistensinya.

Padma menundukkan wajahnya, berbisik rendah di telinga Viona, suaranya mengalir bagaikan belati dingin yang menembus tiap lapisan keberanian Viona. “Faktanya, kehidupanmu sepenuhnya ada dalam cengkeramanku, Adik Ipar.”

Viona hanya bisa mengepal tangannya erat, mengatasi rasa takut yang membuat tubuhnya terasa lumpuh.

“Kalau kamu berpikir bisa melawan,” lanjut Padma dengan nada pelan namun mengintimidasi, “aku tidak akan segan-segan menghukummu. Dan percayalah, kamu tidak akan pernah suka dengan hukumanku.”

Viona menelan ludah, mencoba mengabaikan jarak antara mereka yang semakin dekat, dan desakan ketakutan yang membuat kepalanya kosong.

“Jadi—” Padma menegakkan tubuhnya dengan angkuh dan menepuk pipi Viona dengan ringan, senyumnya dingin, “—putuskan kekasihmu atau kamu akan menyesal untuk selamanya.”

Setelah memberikan ultimatum terakhirnya, Padma berbalik dan keluar, membiarkan Viona terduduk luruh ke lantai.

Sesak dan kebencian membaur dalam tangis yang akhirnya terlepas dari bibirnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang masih dingin akibat tepukan Padma tadi.

"Tak cukupkah luka dan penghinaan yang sudah Padma torehkan sampai dia harus memutuskan Tirta?" pikirnya dalam hati yang penuh luka.

Tirta adalah satu-satunya penopang yang tersisa baginya; kehilangan pria itu berarti kehilangan satu-satunya sandaran yang masih ia punya. “Kalau hubungan kami berakhir, kemana lagi aku harus bersandar?”

“Aku harus gimana sekarang, Kak?” bisiknya lirih seolah berbicara dengan Yuanita, yang dulu selalu menjadi tempatnya mencari saran saat dihadapkan pada pilihan sulit.

Yuanita selalu menuntunnya dengan penuh kasih dan bijaksana. Tapi kini, sang kakak tak lagi ada di dunia ini.

“Tidak!” Viona mengusap wajahnya yang basah dengan kasar, tekad mulai mengalir dalam dirinya. “Aku tidak akan melakukan apa yang Mas Padma minta.”

Dengan segenap keberanian, ia bangkit berdiri, tatapannya tertuju pada foto pernikahan Padma dan Yuanita yang tergantung di dinding ruang tamu.

Dengan amarah yang mendidih, ia meraih bingkai itu dan membantingnya ke lantai. Suara kaca yang pecah berderai memenuhi ruangan, pecahannya berserakan, mencerminkan hatinya yang telah remuk berkali-kali oleh Padma.

“Aku tidak takut pada Mas Padma. Aku tidak akan memutuskan hubunganku dengan Tirta. Lagipula, Tirta adalah mantan atlet Judo. Dia bisa menjaga diri kalau Mas Padma berani berbuat macam-macam padanya.”

Viona mengambil ponselnya yang masih tergeletak di meja dan hendak menghubungi Tirta untuk memperingatkan agar berhati-hati.

Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggilan, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Viona menatapnya ragu, mengernyit, lalu akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan itu.

“Halo,” sapanya pelan dengan hati-hati. Ia bersiap-siap jika orang di balik telepon adalah Padma atau suruhannya.

“Selamat sore, dengan Ibu Viona?” Suara seorang wanita dari seberang telepon membuatnya merasa sedikit lega.

“Ya, betul. Dengan siapa saya bicara?”

Namun, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu membuat tubuh Viona kembali jatuh lemas ke lantai.

Ponselnya meluncur dari genggamannya, terjatuh, dan tanpa sadar, mulutnya ternganga dalam keterkejutan yang amat sangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status