Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.
Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.
Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.
Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan.
Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.
Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.
“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.
Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi digunakan Tirta untuk mengupas apel, lalu mengacungkan benda itu ke depan.
Padma tersenyum sinis, pandangan menghina. “Kamu akan menusukku dengan pisau buah? Well done, Viona! Kamu akan melengkapi daftar ‘kejahatanmu’ kalau berani melakukan itu.”
Genggaman Viona pada pisau itu semakin erat, pandangannya menusuk balik ke arah Padma. “Pergilah dari sini sekarang juga! Apa tidak cukup sudah merampas kehormatanku? Apa lagi yang Mas Padma mau?” serunya dengan suara bergetar, yang lebih dipenuhi oleh kemarahan daripada ketakutan.
Padma tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih menyeramkan daripada menyenangkan. “Tentu saja tidak cukup, Viona Sayang.” Ia melangkah maju, memaksa Viona untuk mundur meskipun ia memegang pisau di tangannya. “Kamu sudah lupa apa yang aku katakan tadi pagi?”
Tubuh Viona bergetar. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan setiap kalimat yang Padma katakan pagi itu?
Meskipun Viona mati-matian ingin menghapusnya dari ingatan, kata-kata mengerikan itu terngiang-ngiang di kepalanya tanpa henti, bagaikan kaset rusak yang terus berputar.
“Yang terjadi tadi pagi hanyalah awal,” Padma mengulangi dengan nada rendah yang menakutkan, “karena ada neraka dunia yang menantimu. Dan akulah yang akan menciptakan neraka itu untukmu, Viona.”
“Mas Padma sudah gila!” Viona berteriak, ketakutan yang bergemuruh dalam dadanya tercampur dengan amarah yang bergejolak.
“Dan kamu yang membuat aku gila!” Padma membentak dengan kasar, wajahnya memerah karena kemarahan.
“Kamu masih bisa tertawa dan memeluk kekasihmu dengan bahagia, sedangkan aku? Aku hanya mendapatkan kekosongan, rasa hampa, Viona!” Ia menunjuk dadanya sendiri dengan tangan yang terkepal erat, rahangnya mengeras seperti baja.
“Sabda menangis setiap malam, mencari ibunya, merintih di dalam mimpi kecilnya yang sepi. Dan aku? Aku hanya bisa berdiri, seperti ayah tolol yang tidak bisa melakukan apa pun untuk menenangkannya!” Suara Padma berubah parau, nyaris putus asa, meski kemarahan tetap melingkupi sorot matanya. “Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, karena kamu nggak ada di posisiku!”
Rasa bersalah merayap perlahan ke dalam diri Viona, mencengkeramnya erat hingga lehernya terasa tercekik. Bayangan Yuanita, dengan senyum bahagia saat mengetahui dirinya hamil, melintas di benaknya.
Viona ingat betul bagaimana Yuanita berteriak girang, memeluknya erat setelah sekian lama menanti kehadiran Sabda. Harapan itu musnah seketika malam itu, di kecelakaan yang menelan nyawa Yuanita, dan Viona-lah yang mengemudikan mobil.
Bahu Viona melemah, tubuhnya seolah kehilangan tenaga, dan pisau yang ia genggam terjatuh, terkulai di sisi tubuhnya. Namun, di balik rasa bersalah itu, ia berusaha berdiri tegak, mencoba tidak memperlihatkan kelemahannya di hadapan Padma. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh, hancur di bawah kekejaman Padma Adikara.
“Lalu apa maunya Mas Padma sekarang?” Viona akhirnya bertanya dengan suara parau, nyaris berbisik, setelah berusaha menahan ketakutan yang menjalar di setiap pori-porinya.
Senyum puas tersungging di bibir Padma, matanya berkilat dengan rasa kemenangan yang menusuk. “Putuskan kekasihmu!” ucapnya tajam, suaranya penuh tekanan.
Viona ternganga. “Apa maksudnya?” tanyanya, meskipun naluri dalam dirinya tahu betul makna mengerikan di balik perintah itu.
“Aku bilang, putuskan kekasihmu!” ulang Padma, kali ini lebih lambat, dengan intonasi yang terdengar seolah menikmati kekejaman kata-katanya sendiri. “Kamu harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan sesuatu yang amat berharga saat kamu sedang berada di puncak kebahagiaan.”
“Tidak mau!” Viona berseru, tegas dengan dagu terangkat, meskipun tubuhnya gemetar. “Mas Padma tidak berhak mengatur kehidupanku!”
“Oh, benar begitu?” Seringai jahat kembali menghiasi wajah Padma, yang kini mendekat lebih intim, memojokkan Viona ke sudut ruang tamu.
Dia meraih pisau di tangan Viona dengan gerakan cepat dan melemparkannya ke lantai, denting tajam memenuhi ruangan.
Viona berpaling, tak sanggup menatap langsung pada sosok tinggi dan besar itu. Dengan tinggi yang hanya mencapai bahu Padma, Viona merasa bagai kurcaci di hadapan raksasa yang hanya ingin melumatkan eksistensinya.
Padma menundukkan wajahnya, berbisik rendah di telinga Viona, suaranya mengalir bagaikan belati dingin yang menembus tiap lapisan keberanian Viona. “Faktanya, kehidupanmu sepenuhnya ada dalam cengkeramanku, Adik Ipar.”
Viona hanya bisa mengepal tangannya erat, mengatasi rasa takut yang membuat tubuhnya terasa lumpuh.
“Kalau kamu berpikir bisa melawan,” lanjut Padma dengan nada pelan namun mengintimidasi, “aku tidak akan segan-segan menghukummu. Dan percayalah, kamu tidak akan pernah suka dengan hukumanku.”
Viona menelan ludah, mencoba mengabaikan jarak antara mereka yang semakin dekat, dan desakan ketakutan yang membuat kepalanya kosong.
“Jadi—” Padma menegakkan tubuhnya dengan angkuh dan menepuk pipi Viona dengan ringan, senyumnya dingin, “—putuskan kekasihmu atau kamu akan menyesal untuk selamanya.”
Setelah memberikan ultimatum terakhirnya, Padma berbalik dan keluar, membiarkan Viona terduduk luruh ke lantai.
Sesak dan kebencian membaur dalam tangis yang akhirnya terlepas dari bibirnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang masih dingin akibat tepukan Padma tadi.
"Tak cukupkah luka dan penghinaan yang sudah Padma torehkan sampai dia harus memutuskan Tirta?" pikirnya dalam hati yang penuh luka.
Tirta adalah satu-satunya penopang yang tersisa baginya; kehilangan pria itu berarti kehilangan satu-satunya sandaran yang masih ia punya. “Kalau hubungan kami berakhir, kemana lagi aku harus bersandar?”
“Aku harus gimana sekarang, Kak?” bisiknya lirih seolah berbicara dengan Yuanita, yang dulu selalu menjadi tempatnya mencari saran saat dihadapkan pada pilihan sulit.
Yuanita selalu menuntunnya dengan penuh kasih dan bijaksana. Tapi kini, sang kakak tak lagi ada di dunia ini.
“Tidak!” Viona mengusap wajahnya yang basah dengan kasar, tekad mulai mengalir dalam dirinya. “Aku tidak akan melakukan apa yang Mas Padma minta.”
Dengan segenap keberanian, ia bangkit berdiri, tatapannya tertuju pada foto pernikahan Padma dan Yuanita yang tergantung di dinding ruang tamu.
Dengan amarah yang mendidih, ia meraih bingkai itu dan membantingnya ke lantai. Suara kaca yang pecah berderai memenuhi ruangan, pecahannya berserakan, mencerminkan hatinya yang telah remuk berkali-kali oleh Padma.
“Aku tidak takut pada Mas Padma. Aku tidak akan memutuskan hubunganku dengan Tirta. Lagipula, Tirta adalah mantan atlet Judo. Dia bisa menjaga diri kalau Mas Padma berani berbuat macam-macam padanya.”
Viona mengambil ponselnya yang masih tergeletak di meja dan hendak menghubungi Tirta untuk memperingatkan agar berhati-hati.
Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggilan, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Viona menatapnya ragu, mengernyit, lalu akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan itu.
“Halo,” sapanya pelan dengan hati-hati. Ia bersiap-siap jika orang di balik telepon adalah Padma atau suruhannya.
“Selamat sore, dengan Ibu Viona?” Suara seorang wanita dari seberang telepon membuatnya merasa sedikit lega.
“Ya, betul. Dengan siapa saya bicara?”
Namun, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu membuat tubuh Viona kembali jatuh lemas ke lantai.
Ponselnya meluncur dari genggamannya, terjatuh, dan tanpa sadar, mulutnya ternganga dalam keterkejutan yang amat sangat.
Viona tak pernah merasa semarah ini dalam hidupnya. Dalam detik-detik mencekam seperti ini, ia biasanya mempraktikkan teknik pernapasan yang diajarkan Yuanita: menarik napas dalam selama empat hitungan, menahannya tujuh detik, lalu mengembuskannya perlahan selama delapan detik.Namun kali ini, amarah dalam dirinya begitu pekat, tak teredam bahkan oleh napas teratur yang biasa.Bergemuruhlah setiap langkahnya ketika ia membelah halaman rumah megah itu, tekad membara di balik setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak yang berhiaskan pepohonan rimbun.Ia tak memedulikan dinginnya malam atau keheningan yang merayap, hanya satu yang ada dalam pikirannya: mencari Padma dan menuntut penjelasan atas kelakuan biadab yang hampir merenggut nyawa Tirta.Baru beberapa jam lalu, pihak rumah sakit menelepon, mengabarkan bahwa Tirta menjadi korban tabrak lari—tabrakan yang hampir merenggut nyawa lelaki itu.Seorang sopir taksi telah membawanya ke rumah sakit, dan Viona langsung berlari menuju
Viona merasakan tubuhnya merinding, seolah seluruh udara di ruangan itu tertarik keluar, meninggalkannya berhadapan dengan sosok yang lebih menyerupai bayangan gelap daripada manusia. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, jiwanya terhimpit di bawah intensitas lelaki yang berdiri di hadapannya.Padma tampak seperti seseorang yang tak pernah ia kenal, jauh dari sosok kakak ipar yang selama ini ia anggap sebagai keluarga. "Siapa sebenarnya yang berdiri di hadapanku?" pikir Viona dalam hati.Apakah kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah orang menjadi begitu dingin, kejam, dan tanpa hati? Apakah Padma adalah iblis yang menyaru sebagai pria yang selama enam tahun terakhir menjadi saudara iparnya?"Tapi... Tirta tidak bersalah," suara Viona terdengar lemah dan getir, nyaris patah.Kengerian dan keputusasaan tercermin dari suaranya, matanya tak mampu menghindari tatapan pria itu yang dingin seperti malam yang tak berbulan.Padma mengangkat bahu, bibirnya terangkat dalam seringai.
Viona pikir ada yang salah ada dengan pendengarannya. Tetapi ketika Padma mengulang perkataannya, perempuan itu berubah pikiran. Ada yang salah dengan otak Padma. Itu sudah pasti.Lelaki itu bukan hanya tidak waras, tetapi juga menderita halusinasi"Apa Mas Padma pikir aku akan menikah dengan orang yang memperkosaku?" desis Viona tajam. "Aku tidak segila itu. Pikiranku masih cukup waras untuk tidak menerima orang yang sudah menghancurkan hidupku."Sebelum amarahnya membuncah, Viona menyerahkan kembali Sabda ke dalam pengasuhnya, yang segera pergi karena menyadari aura tidak bersahabat dari pembicaraan mereka berdua.Senyum miring Padma terbit.Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan kalimat tajam yang terlontar dari mulut adik iparnya. Dia tahu persis Viona tidak seberani itu. Gadis itu hanya memasang topeng untuk menutupi jiwanya yang rapuh."Keberanianmu untuk menolakku boleh juga, Adik Ipar. Sayangnya kamu lupa aku bisa melakukan apa pun untuk membuatmu menerima penawaranku. Ah, a
Satu minggu berlalu tanpa ada insiden apa pun.Padma sengaja membiarkan Viona hidup tenang untuk beberapa saat sebelum kembali menghujani perempuan itu dengan berbagai ide jahat yang mengemuka dalam benaknya.Viona tidak perlu tahu apa yang sedang dia rencanakan saat ini agar perempuan itu mengira dia sudah menyerah dengan obsesinya untuk menuntut pembalasan."Orang tua Tirta hanya petani biasa yang memiliki sepetak tanah di sebuah desa di Klaten. Jika tidak menanam padi, biasanya mereka menanam jagung atau kacang tanah."Padma manggut-manggut sambil memandangi beberapa lembar foto yang menunjukkan sepasang orang tua yang tengah tertawa di sela-sela kegiatan mereka menyemprot padi yang tumbuh subur.Dia memang meminta orang suruhannya untuk menyelidiki latar belakang keluarga Tirta berikut hubungannya dengan Viona.Makin banyak yang Padma ketahui tentang Tirta dan hubungannya dengan Viona, maka makin mudah pula langkahnya untuk membalaskan dendam pada adik iparnya itu."Di kota ini Ti
"Jawaban apa?"Viona yakin betul Padma tidak bertanya apalagi memintanya untuk memikirkan sesuatu. Lalu jawaban apa yang dia maksud?Alih-alih menjawab pertanyaan Viona, Padma kembali melangkah, memperpendek jarak di antara mereka berdua.Viona yang sejak tadi menatapnya penuh antisipasi, memanfaatkan celah yang ada untuk bergerak menjauh darinya dengan kecepatan kilat.Padma berdecak kesal. Dia tidak suka bermain-main. Tetapi perempuan mungil di hadapannya seolah memancing kesabaran. Jangan salahkan kalau nanti dia bertindak kasar.“Jangan pura-pura lupa dengan kata-kataku satu minggu yang lalu, Viona. Satu minggu ini aku memberimu waktu untuk berpikir meski aku tidak menginginkan penolakan."Wajah Viona berubah pias. Dia bahkan bisa merasakan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang karena takut sekaligus cemas.Jelas dia masih ingat ucapan Padma malam itu, yang memintanya menikah dan menjadi ibu sambung bagi Sabda. Tetapi dia pikir Padma sudah lupa karena satu minggu ini lelaki itu seo
Udara seolah direnggut begitu saja dari Viona saat dia mendengar Padma menyebut keluarga Tirta. Untuk beberapa saat dia tidak bisa merasa bernapas dengan benar hingga dadanya terasa sesak.Terbuat dari apa hati Padma? Apa nyawa manusia seharga kacang goreng baginya? Apa dia sudah berkolaborasi dengan malaikat maut dan sepakat untuk mengambil alih tugasnya?"Jangan bawa-bawa keluarga Tirta!" Tanpa sadar Viona memohon. "Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka orang baik, Mas Padma. Tolong jangan libatkan mereka!"Rasanya sangat sakit memohon pada Padma seperti ini setelah dia bertekad untuk menegakkan dagu dan bersikap berani di hadapan lelaki itu.Namun, begitu menyangkut orang-orang yang tidak bersalah, dia harus membuang semua ego agar Padma tidak melanjutkan rencana gilanya. Jangan sampai ada korban lagi setelah Tirta yang kini terbaring koma.Kaki Padma kembali melangkah ke hadapan Viona.Lelaki itu sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajah dengan Viona, yang terlihat berjuang mengend
Setelah mengganti gaun pengantin yang membuat sesak dengan gaun rumahan yang lebih nyaman, Viona mengambil alih Sabda dari pengasuhnya.Viona memandikan bayi tampan itu lalu menidurkannya di salah satu kamar yang ada di lantai dua, Kamar yang juga akan menjadi tempat tidumya malam ini karena dia tidak sudi satu kamar dengan Padma."Kamu sangat mirip dengan mamamu, Sayang," bisik Viona sambil mengusap pipi Sabda, yang tengah meminum susu botolnya."Dan Bunda yakin kamu juga akan mewarisi kebaikan hati mamamu." Mata Viona mulai berkaca-kaca saat sepasang mata bening Sabda menatapnya tanpa berkedip.Mata bulat dengan iris cokelat itu sangat mengingatkannya pada mata Yuanita. Dia bahkan bahkan merasa menatap Yuanita langsung dan itu membuat hatinya berkedut nyeri."Maafkan Bunda, Sayang.” Setitik bulir bening meluncur dari pipi Viona dan jatuh ke dahi Sabda, yang dengan cepat dia usap.Rasa bersalah kembali menghantamnya saat menging kecelakaan malam itu. Seharusnya Yuanita yang sedang me
Viona tidak bisa meminta Padma membayar biaya perawatan Tirta yang tak kunjung sadar. Sementara tabungannya sudah terkuras habis untuk operasi Tirta satu bulan yang lalu.Dan sampai saat ini, Viona belum punya keberanian untuk mengatakan kondisi Tirta pada orang tuanya. Bagaimana tanggapan mereka kalau tahu anaknya celaka karena orang suruhan Padma, yang kini jadi suaminya?Bahkan sinetron saja alurnya tidak serumit ini.Senyum sinis Padma tercetak di bibirnya. "Baguslah kalau kamu tahu diri. Aku izinkan kamu bekerja, dengan catatan kamu harus bekerja di The Union.”Bekerja di salah satu restoran milik perusahaan Padma sebenarnya sama saja dengan bunuh diri karena itu artinya Viona membiarkan Jan terus mengawasi dan mengintimidasinya. Tetapi lagi-lagi Viona tidak punya pilihan lain.Melamar kerja di tempat lain belum tentu akan berhasil karena dia sendin belum lulus kuliah. Sedangkan biaya perawatan Tirta terus membengkak jika Viona tidak segera membayarnya.Sepertinya sudah hukum ala