Satu minggu berlalu tanpa ada insiden apa pun.Padma sengaja membiarkan Viona hidup tenang untuk beberapa saat sebelum kembali menghujani perempuan itu dengan berbagai ide jahat yang mengemuka dalam benaknya.Viona tidak perlu tahu apa yang sedang dia rencanakan saat ini agar perempuan itu mengira dia sudah menyerah dengan obsesinya untuk menuntut pembalasan."Orang tua Tirta hanya petani biasa yang memiliki sepetak tanah di sebuah desa di Klaten. Jika tidak menanam padi, biasanya mereka menanam jagung atau kacang tanah."Padma manggut-manggut sambil memandangi beberapa lembar foto yang menunjukkan sepasang orang tua yang tengah tertawa di sela-sela kegiatan mereka menyemprot padi yang tumbuh subur.Dia memang meminta orang suruhannya untuk menyelidiki latar belakang keluarga Tirta berikut hubungannya dengan Viona.Makin banyak yang Padma ketahui tentang Tirta dan hubungannya dengan Viona, maka makin mudah pula langkahnya untuk membalaskan dendam pada adik iparnya itu."Di kota ini Ti
"Jawaban apa?"Viona yakin betul Padma tidak bertanya apalagi memintanya untuk memikirkan sesuatu. Lalu jawaban apa yang dia maksud?Alih-alih menjawab pertanyaan Viona, Padma kembali melangkah, memperpendek jarak di antara mereka berdua.Viona yang sejak tadi menatapnya penuh antisipasi, memanfaatkan celah yang ada untuk bergerak menjauh darinya dengan kecepatan kilat.Padma berdecak kesal. Dia tidak suka bermain-main. Tetapi perempuan mungil di hadapannya seolah memancing kesabaran. Jangan salahkan kalau nanti dia bertindak kasar.“Jangan pura-pura lupa dengan kata-kataku satu minggu yang lalu, Viona. Satu minggu ini aku memberimu waktu untuk berpikir meski aku tidak menginginkan penolakan."Wajah Viona berubah pias. Dia bahkan bisa merasakan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang karena takut sekaligus cemas.Jelas dia masih ingat ucapan Padma malam itu, yang memintanya menikah dan menjadi ibu sambung bagi Sabda. Tetapi dia pikir Padma sudah lupa karena satu minggu ini lelaki itu seo
Udara seolah direnggut begitu saja dari Viona saat dia mendengar Padma menyebut keluarga Tirta. Untuk beberapa saat dia tidak bisa merasa bernapas dengan benar hingga dadanya terasa sesak.Terbuat dari apa hati Padma? Apa nyawa manusia seharga kacang goreng baginya? Apa dia sudah berkolaborasi dengan malaikat maut dan sepakat untuk mengambil alih tugasnya?"Jangan bawa-bawa keluarga Tirta!" Tanpa sadar Viona memohon. "Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka orang baik, Mas Padma. Tolong jangan libatkan mereka!"Rasanya sangat sakit memohon pada Padma seperti ini setelah dia bertekad untuk menegakkan dagu dan bersikap berani di hadapan lelaki itu.Namun, begitu menyangkut orang-orang yang tidak bersalah, dia harus membuang semua ego agar Padma tidak melanjutkan rencana gilanya. Jangan sampai ada korban lagi setelah Tirta yang kini terbaring koma.Kaki Padma kembali melangkah ke hadapan Viona.Lelaki itu sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajah dengan Viona, yang terlihat berjuang mengend
Setelah mengganti gaun pengantin yang membuat sesak dengan gaun rumahan yang lebih nyaman, Viona mengambil alih Sabda dari pengasuhnya.Viona memandikan bayi tampan itu lalu menidurkannya di salah satu kamar yang ada di lantai dua, Kamar yang juga akan menjadi tempat tidumya malam ini karena dia tidak sudi satu kamar dengan Padma."Kamu sangat mirip dengan mamamu, Sayang," bisik Viona sambil mengusap pipi Sabda, yang tengah meminum susu botolnya."Dan Bunda yakin kamu juga akan mewarisi kebaikan hati mamamu." Mata Viona mulai berkaca-kaca saat sepasang mata bening Sabda menatapnya tanpa berkedip.Mata bulat dengan iris cokelat itu sangat mengingatkannya pada mata Yuanita. Dia bahkan bahkan merasa menatap Yuanita langsung dan itu membuat hatinya berkedut nyeri."Maafkan Bunda, Sayang.” Setitik bulir bening meluncur dari pipi Viona dan jatuh ke dahi Sabda, yang dengan cepat dia usap.Rasa bersalah kembali menghantamnya saat menging kecelakaan malam itu. Seharusnya Yuanita yang sedang me
Viona tidak bisa meminta Padma membayar biaya perawatan Tirta yang tak kunjung sadar. Sementara tabungannya sudah terkuras habis untuk operasi Tirta satu bulan yang lalu.Dan sampai saat ini, Viona belum punya keberanian untuk mengatakan kondisi Tirta pada orang tuanya. Bagaimana tanggapan mereka kalau tahu anaknya celaka karena orang suruhan Padma, yang kini jadi suaminya?Bahkan sinetron saja alurnya tidak serumit ini.Senyum sinis Padma tercetak di bibirnya. "Baguslah kalau kamu tahu diri. Aku izinkan kamu bekerja, dengan catatan kamu harus bekerja di The Union.”Bekerja di salah satu restoran milik perusahaan Padma sebenarnya sama saja dengan bunuh diri karena itu artinya Viona membiarkan Jan terus mengawasi dan mengintimidasinya. Tetapi lagi-lagi Viona tidak punya pilihan lain.Melamar kerja di tempat lain belum tentu akan berhasil karena dia sendin belum lulus kuliah. Sedangkan biaya perawatan Tirta terus membengkak jika Viona tidak segera membayarnya.Sepertinya sudah hukum ala
Viona bekerja di The Union sejak satu minggu yang lalu, tepatnya satu hari setelah mereka kembali dari Bali. Tanpa ragu, Padma menjadikannya pramusaji, yang tentu saja jadi bahan pembicaraan pegawai di sana.Mengapa istri CEO Lion Capital yang membawahi restoran The Union justru menjadi pelayan?"Maaf, Bu" Viona menunduk penuh sesal. "Tadi saya mengurus sidang skripsi dan butuh waktu untuk mencocokkan jadwal dengan dosen penguji.Supervisor itu mengibaskan tangan tak peduli. "Itu bukan urusan saya, balasnya ketus. "Cepat bantu yang lain! Saya tidak segan melapor pada manajer kalau kamu tidak becus dalam bekerja."Begitu supervisor-nya berlalu, Viona menarik napas dalam lalu berkata pada dirinya sendiri, "It's just a bad day, Viona. Not a bad life."Dari dalam ruangannya, Padma tersenyum puas menikmati adegan itu dari CCTV yang terpasang di sana. Dia bukannya tidak tahu Viona menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah pegawai The Union.Nyaris semua pegawal yang syok mendengar Padma me
Kalimat pedas itu meluncur lagi dari mulut Padma, disertai tawa mencemooh yang mengoyak ketenangan Viona. Perempuan itu mati-matian menahan diri karena tengah memberikan susu pada Sabda yang mulai tertidur."Tidak sia-sia aku menikahimu karena kamu masih ada gunanya. Meskipun perempuan sepertimu sama sekali bukan tipeku. Dari Yuanita yang terlihat seperti dewi, rasanya aku turun kasta karena menikahi itik buruk rupa.”Tubuh Viona mulai menegang dengan gigi menggeletuk menahan amarah. Apa Padma lupa dialah yang memaksa Viona untuk menikah? Pernikahan ini tak pernah ada dalam bayangannya.Jika bukan karena Sabda yang sudah terlelap dalam pangkuannya, Viona mungkin sudah membalas ucapan Padma dengan tak kalah pedas. Untuk apa takut pada lelaki itu?Namun seperti yang sudah-sudah, dia memilih diam dan membiarkan Padma meluapkan kemarahan yang sepertinya tak pernah berakhir. Lebih baik menyimpan energinya untuk hal lain daripada meladeni ocehan Iblis yan
Dia tahu Viona akan datang padanya untuk meminta tolong. Biaya pengobatan Tirta tidaklah sedikit. Dengan Viona yang hanya hidup sendiri dan baru bekerja satu minggu yang lalu, mustahil dia bisa bertahan."Aku akan melakukan apa pun sebagai imbalannya," lanjut Viona setelah mengusap wajahnya yang basah. "Asal Mas Padma mau meminjamiku uang untuk membayar biaya pengobatan Tirta. Aku mohon!"Padma menekuk kedua lututnya hingga tubuhnya sejajar dengan Viona yang menatapnya penuh harap. "Kamu mau melakukan apa pun?" ulangnya lambat."Ya. Demi kesembuhan Tirta, aku akan melakukan apa pun sebagai imbalannya."Padma tersenyum miring. Dia sangat menikmati ekspresi yang tergambar di wajah Viona. Putus asa, rapuh dan ketakutan. Persis seperti yang dia harapkan.Sejauh ini, semuanya berjalan dengan rencana. Dia masih memiliki segudang rencana lain untuk membuat Viona menderita, sampai di titik perempuan itu mengiba agar dia menghabisi nyawanya."Baiklah
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur