Udara seolah direnggut begitu saja dari Viona saat dia mendengar Padma menyebut keluarga Tirta. Untuk beberapa saat dia tidak bisa merasa bernapas dengan benar hingga dadanya terasa sesak.Terbuat dari apa hati Padma? Apa nyawa manusia seharga kacang goreng baginya? Apa dia sudah berkolaborasi dengan malaikat maut dan sepakat untuk mengambil alih tugasnya?"Jangan bawa-bawa keluarga Tirta!" Tanpa sadar Viona memohon. "Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka orang baik, Mas Padma. Tolong jangan libatkan mereka!"Rasanya sangat sakit memohon pada Padma seperti ini setelah dia bertekad untuk menegakkan dagu dan bersikap berani di hadapan lelaki itu.Namun, begitu menyangkut orang-orang yang tidak bersalah, dia harus membuang semua ego agar Padma tidak melanjutkan rencana gilanya. Jangan sampai ada korban lagi setelah Tirta yang kini terbaring koma.Kaki Padma kembali melangkah ke hadapan Viona.Lelaki itu sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajah dengan Viona, yang terlihat berjuang mengend
Setelah mengganti gaun pengantin yang membuat sesak dengan gaun rumahan yang lebih nyaman, Viona mengambil alih Sabda dari pengasuhnya.Viona memandikan bayi tampan itu lalu menidurkannya di salah satu kamar yang ada di lantai dua, Kamar yang juga akan menjadi tempat tidumya malam ini karena dia tidak sudi satu kamar dengan Padma."Kamu sangat mirip dengan mamamu, Sayang," bisik Viona sambil mengusap pipi Sabda, yang tengah meminum susu botolnya."Dan Bunda yakin kamu juga akan mewarisi kebaikan hati mamamu." Mata Viona mulai berkaca-kaca saat sepasang mata bening Sabda menatapnya tanpa berkedip.Mata bulat dengan iris cokelat itu sangat mengingatkannya pada mata Yuanita. Dia bahkan bahkan merasa menatap Yuanita langsung dan itu membuat hatinya berkedut nyeri."Maafkan Bunda, Sayang.” Setitik bulir bening meluncur dari pipi Viona dan jatuh ke dahi Sabda, yang dengan cepat dia usap.Rasa bersalah kembali menghantamnya saat menging kecelakaan malam itu. Seharusnya Yuanita yang sedang me
Viona tidak bisa meminta Padma membayar biaya perawatan Tirta yang tak kunjung sadar. Sementara tabungannya sudah terkuras habis untuk operasi Tirta satu bulan yang lalu.Dan sampai saat ini, Viona belum punya keberanian untuk mengatakan kondisi Tirta pada orang tuanya. Bagaimana tanggapan mereka kalau tahu anaknya celaka karena orang suruhan Padma, yang kini jadi suaminya?Bahkan sinetron saja alurnya tidak serumit ini.Senyum sinis Padma tercetak di bibirnya. "Baguslah kalau kamu tahu diri. Aku izinkan kamu bekerja, dengan catatan kamu harus bekerja di The Union.”Bekerja di salah satu restoran milik perusahaan Padma sebenarnya sama saja dengan bunuh diri karena itu artinya Viona membiarkan Jan terus mengawasi dan mengintimidasinya. Tetapi lagi-lagi Viona tidak punya pilihan lain.Melamar kerja di tempat lain belum tentu akan berhasil karena dia sendin belum lulus kuliah. Sedangkan biaya perawatan Tirta terus membengkak jika Viona tidak segera membayarnya.Sepertinya sudah hukum ala
Viona bekerja di The Union sejak satu minggu yang lalu, tepatnya satu hari setelah mereka kembali dari Bali. Tanpa ragu, Padma menjadikannya pramusaji, yang tentu saja jadi bahan pembicaraan pegawai di sana.Mengapa istri CEO Lion Capital yang membawahi restoran The Union justru menjadi pelayan?"Maaf, Bu" Viona menunduk penuh sesal. "Tadi saya mengurus sidang skripsi dan butuh waktu untuk mencocokkan jadwal dengan dosen penguji.Supervisor itu mengibaskan tangan tak peduli. "Itu bukan urusan saya, balasnya ketus. "Cepat bantu yang lain! Saya tidak segan melapor pada manajer kalau kamu tidak becus dalam bekerja."Begitu supervisor-nya berlalu, Viona menarik napas dalam lalu berkata pada dirinya sendiri, "It's just a bad day, Viona. Not a bad life."Dari dalam ruangannya, Padma tersenyum puas menikmati adegan itu dari CCTV yang terpasang di sana. Dia bukannya tidak tahu Viona menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah pegawai The Union.Nyaris semua pegawal yang syok mendengar Padma me
Kalimat pedas itu meluncur lagi dari mulut Padma, disertai tawa mencemooh yang mengoyak ketenangan Viona. Perempuan itu mati-matian menahan diri karena tengah memberikan susu pada Sabda yang mulai tertidur."Tidak sia-sia aku menikahimu karena kamu masih ada gunanya. Meskipun perempuan sepertimu sama sekali bukan tipeku. Dari Yuanita yang terlihat seperti dewi, rasanya aku turun kasta karena menikahi itik buruk rupa.”Tubuh Viona mulai menegang dengan gigi menggeletuk menahan amarah. Apa Padma lupa dialah yang memaksa Viona untuk menikah? Pernikahan ini tak pernah ada dalam bayangannya.Jika bukan karena Sabda yang sudah terlelap dalam pangkuannya, Viona mungkin sudah membalas ucapan Padma dengan tak kalah pedas. Untuk apa takut pada lelaki itu?Namun seperti yang sudah-sudah, dia memilih diam dan membiarkan Padma meluapkan kemarahan yang sepertinya tak pernah berakhir. Lebih baik menyimpan energinya untuk hal lain daripada meladeni ocehan Iblis yan
Dia tahu Viona akan datang padanya untuk meminta tolong. Biaya pengobatan Tirta tidaklah sedikit. Dengan Viona yang hanya hidup sendiri dan baru bekerja satu minggu yang lalu, mustahil dia bisa bertahan."Aku akan melakukan apa pun sebagai imbalannya," lanjut Viona setelah mengusap wajahnya yang basah. "Asal Mas Padma mau meminjamiku uang untuk membayar biaya pengobatan Tirta. Aku mohon!"Padma menekuk kedua lututnya hingga tubuhnya sejajar dengan Viona yang menatapnya penuh harap. "Kamu mau melakukan apa pun?" ulangnya lambat."Ya. Demi kesembuhan Tirta, aku akan melakukan apa pun sebagai imbalannya."Padma tersenyum miring. Dia sangat menikmati ekspresi yang tergambar di wajah Viona. Putus asa, rapuh dan ketakutan. Persis seperti yang dia harapkan.Sejauh ini, semuanya berjalan dengan rencana. Dia masih memiliki segudang rencana lain untuk membuat Viona menderita, sampai di titik perempuan itu mengiba agar dia menghabisi nyawanya."Baiklah
Viona tersentak begitu mendengar nada sinis yang keluar dari mulut Padma. Dia tidak sadar sedari tadi memerhatikan lelaki itu."Tidak ada,” balas Viona ketus lalu memalingkan pandangannya ke depan. Menghindari tatapan Padma yang menusuk.Deretan mobil mewah yang terparkir di halaman rumah menyambut pandangan Viona begitu mereka tiba. Tidak heran karena orang tua Padma memang masuk ke dalam jajaran Crazy Rich Jakarta, yang fotonya sering masuk media sosial.Dan itu dibuktikan dengan betapa megahnya rumah yang berdiri di hadapan Viona saat ini. Rumah tiga lantai bergaya Eropa yang didominasi cat putih dan dipercantik dengan jendela jendela besar tiap lantai.Dibanding rumah lainnya, rumah orang tua Padma terlihat mencolok. Belum apa-apa, Viona sudah bisa membayangkan seperti apa sikap mertuanya nanti."Apa kamu harus terlihat kampungan seperti itu?"Lagi-lagi Viona tersentak kaget mendengar suara tinggi Padma. Rupanya tanpa sadar dia kembali larut dalam lamunan saat memandang rumah oran
“Seharusnya kamu yang mati malam itu, Viona.”Suara serak Padma bergema dalam ruangan, menebar ketakutan yang merayap di tubuh Viona. Dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, dia menatap sosok tinggi yang berdiri di hadapannya, tangan terlipat di dada, mata penuh amarah.Padma, kakak ipar yang telah menikahi Yuanita selama enam tahun—satu-satunya saudara dan keluarga yang dimiliki Viona.“Maafkan aku, Mas,” bisik Viona, suaranya pecah. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tubuhnya bergetar. “Aku benar-benar minta maaf.”Empat puluh hari yang lalu, Yuanita yang tengah hamil tua mengalami pendarahan hebat. Viona, satu-satunya orang yang menemani saat itu, tak punya pilihan lain selain bertindak cepat.Padma sedang dalam perjanjian pulang dari luar kota, mustahil menunggunya untuk mengantar Yuanita ke rumah sakit.Dengan segenap keberanian yang tersisa, Viona membawa sang kakak ke rumah sakit terdekat, mengabaikan rasa takutnya demi memastikan nyawa Yuanita