Tirta menatapnya, raut wajahnya dipenuhi kegetiran yang tak mampu ia sembunyikan. Viona tahu ia tidak bisa berbohong di hadapan Tirta, lelaki yang sangat baik dan tulus mencintainya.
Hubungan yang mereka jalin selama empat tahun ini penuh dengan kehangatan dan ketulusan, begitu pula dengan keluarga Tirta yang menerimanya sepenuh hati.
Karena itu, Viona memilih untuk jujur, tak ingin membohongi Tirta atau menyeretnya ke dalam kebohongan yang mengerikan.
"Maksud kamu apa?” tanya Tirta, suaranya tetap lembut meski terlihat jelas ada ketegangan di sana.
Viona yang gelisah hanya menatap kosong, enggan melanjutkan, namun Tirta menatapnya dengan penuh perhatian, "Aku janji nggak akan menghakimi kamu. Tolong, cerita apa yang bikin kamu kayak gini."
Dengan napas berat dan tubuh yang bergetar, Viona mulai bercerita. Perlahan namun pasti, seluruh kejadian subuh itu keluar dari bibirnya.
Tentang bagaimana Padma, mabuk dan kasar, datang ke rumahnya dan merenggut kehormatannya tanpa belas kasihan. Air mata mengalir deras ketika Viona menceritakan semuanya, luka yang bahkan tak sanggup ia lihat pantulannya di cermin.
Seluruh ruangan terasa membeku. Viona menggigil, rasa sakit, jijik, dan marah bercampur menjadi satu, hingga ia kembali terisak.
Di sebelahnya, Tirta mendengarkan dalam diam, kepalan tangannya di atas pangkuan perlahan mengepal semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, dan Viona dapat melihat api kemarahan yang berkobar di dalam mata lelaki itu.
“Kurang ajar!” desisnya geram, suaranya rendah namun penuh dendam yang tertahan, mencerminkan api amarah yang nyaris tak dapat dikendalikan.
“Kamu harus melaporkan lelaki bejat itu ke polisi, Viona. Dia sudah memperkosa kamu. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” suara Tirta terdengar tegas, penuh keyakinan yang bulat.
Namun, Viona hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Sungguh, bagaimana mungkin ia melaporkan Padma? Di mana bukti yang bisa ia tunjukkan?
Bayangan dirinya melangkah ke kantor polisi untuk mengadukan kejadian itu seakan menjadi lelucon yang pahit. Padma berasal dari keluarga terpandang, penuh kuasa.
Ayahnya adalah anggota dewan yang terhormat sekaligus pengusaha batu bara yang memiliki pengaruh luas, dan ibunya seorang sosialita dengan lingkar pertemanan berpengaruh.
“Bagi dia, aku ini cuma debu, Tirta. Melaporkannya sama saja dengan bunuh diri. Aku pasti kalah,” ucap Viona lirih.
Ia terbayang hujatan yang akan diterimanya jika kisah ini tersebar ke media sosial—komentar-komentar kejam yang tak hanya akan menghancurkan hidupnya, tapi juga meremukkan jiwanya hingga titik nadir. Tidak! Ia tidak sanggup.
“Aku nggak bisa, Tirta. Dia pasti akan lolos dengan mudah.” Suara Viona terdengar begitu rapuh ketika ia menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya.
Tirta menghela napas panjang, menyadari kebenaran pahit yang tersirat dari kata-kata Viona. Ia tahu siapa Padma, tahu keluarganya yang begitu kuat dan berpengaruh.
Bagi Padma, menggusur hidup orang biasa seperti Viona adalah hal yang sepele, bagaikan mengusir debu.
“Aku nggak pantas buat kamu,” lanjut Viona akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan jijik sama diriku sendiri. Kamu bisa pergi sekarang kalau kamu mau,” ucapnya lirih, menatap Tirta dengan keputusasaan.
Hati Viona telah hancur berkeping-keping. Jika Tirta benar-benar meninggalkannya, ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya.
Namun, ia pun tak ingin menjadi beban bagi lelaki itu, tak ingin menahan Tirta setelah mengetahui segalanya.
Namun, Tirta mendekat, menatap Viona dengan lembut dan berkata, “Viona, dengar baik-baik. Aku sayang kamu apa adanya. Kamu tetap perempuan yang sempurna dan terhormat, meskipun Padma sudah merenggut kehormatanmu dengan cara yang biadab.”
Sepasang mata Viona yang bulat mengerjap pelan. Kata-kata Tirta merasuk dalam dirinya, menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam. “Kamu… sama sekali nggak keberatan?” bisiknya ragu.
Tirta menggeleng, kemudian kembali meraih tangan Viona, menggenggamnya dengan erat seolah hendak memberikan kekuatan.
“Rasa sayangku ke kamu nggak sedangkal itu, Viona. Apa pun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu. Justru sekarang, kamu harus bangkit. Jangan biarkan Padma puas karena sudah menjatuhkan kamu ke titik paling rendah dalam hidup kamu.”
Mendengar kata-kata itu, seberkas harapan mulai muncul dalam diri Viona. Hatinya yang hancur perlahan sembuh, dihangatkan oleh ketulusan cinta Tirta.
Dengan lembut, Tirta menariknya ke dalam pelukan, memeluk Viona erat-erat seolah ingin melindunginya dari segala derita yang ada.
Viona memejamkan mata, merasakan rasa tenang yang telah lama hilang. Bersama Tirta, ia kembali merasa dihargai, merasa aman.
Ia tahu ia telah menemukan harapan untuk masa depan yang selama ini ia kira telah hilang. Harapan itu, yang bernama Tirta Adhyaksa.
Namun, di balik pintu ruang tamu yang sedikit terbuka, Padma berdiri memperhatikan. Tadinya, ia hendak mengambil dompetnya yang tertinggal.
Namun langkahnya terhenti begitu melihat pemandangan di depannya—Viona dan Tirta dalam pelukan erat, keduanya tampak bahagia seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka.
Amarah mendidih dalam dada Padma. Giginya menggeletuk, dan tangan yang tergenggam di samping tubuhnya bergetar.
Lihatlah, pikirnya, perempuan itu masih bisa tertawa bahagia setelah apa yang terjadi. Isak tangisnya yang pilu saat memohon maaf hanya kepalsuan belaka.
Tidak hanya seorang pembohong, Viona juga seorang penipu ulung! Padma merasa bagaikan dihantam oleh rasa kehilangan yang dalam, seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan sejak Yuanita, istrinya, meninggal.
Kalau hidup memang setidak adil ini, maka Padma-lah yang akan menciptakan keadilannya sendiri, dan Viona harus merasakan apa yang ia rasakan sekarang—kesakitan yang mengguncang setiap inci tubuhnya.
Ia mengambil ponsel dari saku jaketnya dan menghubungi seseorang yang ia percayai untuk menjalankan perintahnya.
"Lakukan sesuatu untukku," ujar Padma dingin, suaranya seperti serpihan es yang jatuh ke lantai yang dingin, penuh dendam yang tertahan.
Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan. Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi
Viona tak pernah merasa semarah ini dalam hidupnya. Dalam detik-detik mencekam seperti ini, ia biasanya mempraktikkan teknik pernapasan yang diajarkan Yuanita: menarik napas dalam selama empat hitungan, menahannya tujuh detik, lalu mengembuskannya perlahan selama delapan detik.Namun kali ini, amarah dalam dirinya begitu pekat, tak teredam bahkan oleh napas teratur yang biasa.Bergemuruhlah setiap langkahnya ketika ia membelah halaman rumah megah itu, tekad membara di balik setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak yang berhiaskan pepohonan rimbun.Ia tak memedulikan dinginnya malam atau keheningan yang merayap, hanya satu yang ada dalam pikirannya: mencari Padma dan menuntut penjelasan atas kelakuan biadab yang hampir merenggut nyawa Tirta.Baru beberapa jam lalu, pihak rumah sakit menelepon, mengabarkan bahwa Tirta menjadi korban tabrak lari—tabrakan yang hampir merenggut nyawa lelaki itu.Seorang sopir taksi telah membawanya ke rumah sakit, dan Viona langsung berlari menuju
Viona merasakan tubuhnya merinding, seolah seluruh udara di ruangan itu tertarik keluar, meninggalkannya berhadapan dengan sosok yang lebih menyerupai bayangan gelap daripada manusia. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, jiwanya terhimpit di bawah intensitas lelaki yang berdiri di hadapannya.Padma tampak seperti seseorang yang tak pernah ia kenal, jauh dari sosok kakak ipar yang selama ini ia anggap sebagai keluarga. "Siapa sebenarnya yang berdiri di hadapanku?" pikir Viona dalam hati.Apakah kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah orang menjadi begitu dingin, kejam, dan tanpa hati? Apakah Padma adalah iblis yang menyaru sebagai pria yang selama enam tahun terakhir menjadi saudara iparnya?"Tapi... Tirta tidak bersalah," suara Viona terdengar lemah dan getir, nyaris patah.Kengerian dan keputusasaan tercermin dari suaranya, matanya tak mampu menghindari tatapan pria itu yang dingin seperti malam yang tak berbulan.Padma mengangkat bahu, bibirnya terangkat dalam seringai.
Viona pikir ada yang salah ada dengan pendengarannya. Tetapi ketika Padma mengulang perkataannya, perempuan itu berubah pikiran. Ada yang salah dengan otak Padma. Itu sudah pasti.Lelaki itu bukan hanya tidak waras, tetapi juga menderita halusinasi"Apa Mas Padma pikir aku akan menikah dengan orang yang memperkosaku?" desis Viona tajam. "Aku tidak segila itu. Pikiranku masih cukup waras untuk tidak menerima orang yang sudah menghancurkan hidupku."Sebelum amarahnya membuncah, Viona menyerahkan kembali Sabda ke dalam pengasuhnya, yang segera pergi karena menyadari aura tidak bersahabat dari pembicaraan mereka berdua.Senyum miring Padma terbit.Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan kalimat tajam yang terlontar dari mulut adik iparnya. Dia tahu persis Viona tidak seberani itu. Gadis itu hanya memasang topeng untuk menutupi jiwanya yang rapuh."Keberanianmu untuk menolakku boleh juga, Adik Ipar. Sayangnya kamu lupa aku bisa melakukan apa pun untuk membuatmu menerima penawaranku. Ah, a
Satu minggu berlalu tanpa ada insiden apa pun.Padma sengaja membiarkan Viona hidup tenang untuk beberapa saat sebelum kembali menghujani perempuan itu dengan berbagai ide jahat yang mengemuka dalam benaknya.Viona tidak perlu tahu apa yang sedang dia rencanakan saat ini agar perempuan itu mengira dia sudah menyerah dengan obsesinya untuk menuntut pembalasan."Orang tua Tirta hanya petani biasa yang memiliki sepetak tanah di sebuah desa di Klaten. Jika tidak menanam padi, biasanya mereka menanam jagung atau kacang tanah."Padma manggut-manggut sambil memandangi beberapa lembar foto yang menunjukkan sepasang orang tua yang tengah tertawa di sela-sela kegiatan mereka menyemprot padi yang tumbuh subur.Dia memang meminta orang suruhannya untuk menyelidiki latar belakang keluarga Tirta berikut hubungannya dengan Viona.Makin banyak yang Padma ketahui tentang Tirta dan hubungannya dengan Viona, maka makin mudah pula langkahnya untuk membalaskan dendam pada adik iparnya itu."Di kota ini Ti
"Jawaban apa?"Viona yakin betul Padma tidak bertanya apalagi memintanya untuk memikirkan sesuatu. Lalu jawaban apa yang dia maksud?Alih-alih menjawab pertanyaan Viona, Padma kembali melangkah, memperpendek jarak di antara mereka berdua.Viona yang sejak tadi menatapnya penuh antisipasi, memanfaatkan celah yang ada untuk bergerak menjauh darinya dengan kecepatan kilat.Padma berdecak kesal. Dia tidak suka bermain-main. Tetapi perempuan mungil di hadapannya seolah memancing kesabaran. Jangan salahkan kalau nanti dia bertindak kasar.“Jangan pura-pura lupa dengan kata-kataku satu minggu yang lalu, Viona. Satu minggu ini aku memberimu waktu untuk berpikir meski aku tidak menginginkan penolakan."Wajah Viona berubah pias. Dia bahkan bisa merasakan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang karena takut sekaligus cemas.Jelas dia masih ingat ucapan Padma malam itu, yang memintanya menikah dan menjadi ibu sambung bagi Sabda. Tetapi dia pikir Padma sudah lupa karena satu minggu ini lelaki itu seo
Udara seolah direnggut begitu saja dari Viona saat dia mendengar Padma menyebut keluarga Tirta. Untuk beberapa saat dia tidak bisa merasa bernapas dengan benar hingga dadanya terasa sesak.Terbuat dari apa hati Padma? Apa nyawa manusia seharga kacang goreng baginya? Apa dia sudah berkolaborasi dengan malaikat maut dan sepakat untuk mengambil alih tugasnya?"Jangan bawa-bawa keluarga Tirta!" Tanpa sadar Viona memohon. "Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka orang baik, Mas Padma. Tolong jangan libatkan mereka!"Rasanya sangat sakit memohon pada Padma seperti ini setelah dia bertekad untuk menegakkan dagu dan bersikap berani di hadapan lelaki itu.Namun, begitu menyangkut orang-orang yang tidak bersalah, dia harus membuang semua ego agar Padma tidak melanjutkan rencana gilanya. Jangan sampai ada korban lagi setelah Tirta yang kini terbaring koma.Kaki Padma kembali melangkah ke hadapan Viona.Lelaki itu sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajah dengan Viona, yang terlihat berjuang mengend
Setelah mengganti gaun pengantin yang membuat sesak dengan gaun rumahan yang lebih nyaman, Viona mengambil alih Sabda dari pengasuhnya.Viona memandikan bayi tampan itu lalu menidurkannya di salah satu kamar yang ada di lantai dua, Kamar yang juga akan menjadi tempat tidumya malam ini karena dia tidak sudi satu kamar dengan Padma."Kamu sangat mirip dengan mamamu, Sayang," bisik Viona sambil mengusap pipi Sabda, yang tengah meminum susu botolnya."Dan Bunda yakin kamu juga akan mewarisi kebaikan hati mamamu." Mata Viona mulai berkaca-kaca saat sepasang mata bening Sabda menatapnya tanpa berkedip.Mata bulat dengan iris cokelat itu sangat mengingatkannya pada mata Yuanita. Dia bahkan bahkan merasa menatap Yuanita langsung dan itu membuat hatinya berkedut nyeri."Maafkan Bunda, Sayang.” Setitik bulir bening meluncur dari pipi Viona dan jatuh ke dahi Sabda, yang dengan cepat dia usap.Rasa bersalah kembali menghantamnya saat menging kecelakaan malam itu. Seharusnya Yuanita yang sedang me