Share

Bab 2: Sudah tak Suci Lagi

Sepeninggal Padma, tubuh Viona seolah kehilangan tenaga. Ia menyeret kakinya yang berat, setiap langkah seakan memikul seluruh beban kenangan yang membekas di sanubari.

Setibanya di kamar mandi, ia berdiri di bawah pancuran dengan air yang dingin mengalir deras di atas kepalanya, menyamarkan air matanya yang tanpa henti berderai.

Setiap tetes air yang jatuh tak mampu menyapu ingatan pahit yang masih mengambang di dalam pikirannya, seperti noda yang enggan lenyap walau Viona menyikat kulitnya dengan keras hingga memerah.

Dengan tangan gemetar, ia terus menyikat, berharap segala yang tersisa dari Padma akan luntur bersama air yang mengalir deras ke bawah, namun sia-sia.

Ketika akhirnya kelelahan, Viona terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya menggigil dalam dingin yang tak hanya datang dari pancuran, melainkan dari dalam hatinya sendiri.

Dengan lutut yang ia tarik ke dada, Viona memeluk dirinya seolah berharap dapat menutupi luka yang kini menganga lebar.

Dalam hening, isak tangis yang awalnya tertahan berubah menjadi jeritan yang meluap dengan histeris, menyesakkan ruang yang dingin itu.

"Kenapa, Padma... kenapa harus seperti ini?" bisiknya di antara tangis, suara yang pecah menghilang dalam gemuruh pancuran.

Tubuhnya bergetar, dan ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Padma, suami mendiang kakaknya, lelaki yang selama ini ia hormati—telah menghancurkan harga dirinya, seolah kenangan manis yang pernah ia kenang tentang keluarga telah dicemari oleh tangan Padma.

Tak tahu berapa lama ia tetap seperti itu, hingga suara gedoran di pintu kamar membangunkannya dari lamunan kelam.

"Viona! Kamu nggak apa-apa?" Suara itu, lembut namun penuh kepanikan, jelas adalah Tirta. Lelaki yang telah menemaninya empat tahun ini, selalu ada di sampingnya saat suka maupun duka, kini berdiri di balik pintu dengan khawatir.

Viona tersentak. Sebuah perasaan takut menjalari dirinya. Apa jadinya jika Tirta tahu? Luka ini, penghinaan yang telah Padma tanamkan dalam dirinya, adalah rahasia yang tak bisa ia bagikan pada siapa pun—termasuk pada Tirta.

"Viona! Kalau kamu nggak buka pintunya, aku dobrak sekarang!" Tirta kembali berteriak, kali ini suaranya makin tegas, mendesak.

Viona mengumpulkan sisa tenaganya. Ia mematikan pancuran, meraih jubah mandi yang tergantung, dan mengenakannya dengan terburu-buru.

Dengan suara parau, ia akhirnya menjawab, "Sebentar, Tirta." Ia tahu, ia harus segera menenangkan lelaki itu.

Ia membuka pintu kamar mandi, dan terdengar suara Tirta yang lebih lembut, penuh perhatian, "Oke, aku tunggu di ruang tamu. Aku bawain soto ayam buat sarapan."

Hati Viona mencelos. Sejenak, kehangatan dari perhatian kecil Tirta membuat air matanya kembali jatuh. Namun, ia mengusap pipinya cepat-cepat, menyembunyikan isak yang tertahan.

Tidak boleh ada yang tahu; luka ini adalah beban yang harus ia tanggung sendiri. Dengan cepat, ia berganti pakaian, mengenakan sweater turtleneck dan celana panjang, menutupi bekas luka yang telah Padma tinggalkan.

Saat ia keluar dari kamar, Tirta menunggunya dengan senyum ramah yang khas. Lelaki dengan rambut ikal dan mata bersinar itu menyambutnya dengan wajah penuh perhatian. “Kamu habis lari pagi?” tanyanya sambil tertawa ringan.

Viona terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi ia hanya bisa memaksakan senyum.

"Waktu aku datang, pintu depan nggak terkunci. Aku kira kamu habis lari pagi dan lupa ngunci pintu kayak biasanya," Tirta menjelaskan dengan nada berseloroh. "Makanya aku gedor pintu kamar kamu. Kamu ketiduran di kamar mandi atau gimana?" tanyanya, tertawa kecil.

Viona hanya bisa memaksakan tawa. Ia mengambil mangkuk soto ayam dari Tirta, berharap makanan ini akan bisa membendung pertanyaan yang lebih jauh.

Dengan tergesa, ia melahap suapan demi suapan, menghindari tatapan Tirta yang penuh perhatian namun begitu tajam.

Tirta memperhatikan Viona dengan tatapan penuh keingintahuan, namun juga ada secercah kekhawatiran di dalamnya.

Ketika ia menyelipkan rambut Viona yang tergerai ke belakang telinga, gadis itu sontak terlonjak, dan mangkuk di tangannya nyaris jatuh.

“Kamu kenapa, sih?” Tirta bertanya dengan nada heran dan mata yang menyipit penuh tanda tanya. “Kamu sakit?”

Viona merasa tenggorokannya mendadak kering, dan matanya yang besar mengerjap panik. Tubuhnya gemetar, kenangan akan sentuhan yang asing kembali menghantam dirinya begitu Tirta menyentuh rambutnya.

Ia harus menenangkan jantung yang berdegup kencang, mengingatkan dirinya bahwa yang duduk di sampingnya adalah Tirta, bukan sosok lain yang membuatnya jijik dan takut.

Dengan hati-hati, Tirta mengambil mangkuk dari tangan Viona yang masih bergetar, lalu meletakkannya di atas meja. Perlahan ia menggenggam kedua tangan Viona yang terasa dingin.

“Viona, kamu ada masalah apa?” tanyanya lembut, kehangatan menjalar dari genggaman tangannya yang kokoh namun menenangkan.

Kata-kata lembut Tirta dan tatapan penuh kasih sayangnya menembus benteng pertahanan Viona. Tak lagi mampu menahan, ia terisak, air mata mengalir deras di pipinya.

Tangisnya yang tertahan sejak pagi berubah menjadi gelombang yang berguncang, menyapu seluruh tubuhnya hingga bahunya berguncang hebat.

Tirta tak tahu apa yang terjadi, namun ia tetap berada di samping Viona, mengusap punggungnya lembut, sementara tangan lainnya tetap menggenggam tangan gadis itu erat-erat.

Dalam beberapa saat yang sunyi, hanya isakan Viona yang menggema, pilu dan penuh keputusasaan, seperti beban yang telah lama terpendam dan tak lagi bisa disimpan sendiri.

Di balik air mata yang mengaburkan pandangannya, Viona bertanya-tanya apakah Tirta akan meninggalkannya jika tahu kebenaran yang ia simpan.

Bahwa ia tak lagi suci, bahwa harga dirinya telah direnggut oleh Padma dalam satu malam penuh hinaan dan kekerasan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik Tirta mau menerima seorang perempuan yang telah ternoda?

Di saat-saat gelap ini, Tirta adalah satu-satunya yang ada di sisinya. Setelah Yuanita pergi, hanya Tirta yang setia menguatkannya di tengah penghakiman yang ia terima dari Padma dan keluarga.

Tirta yang menemani setiap sesi pengobatan, yang menenangkan setiap malam panjangnya yang tanpa tidur. Tapi sekarang, apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia memberitahu Tirta tentang semuanya?

"Viona, kamu tahu aku akan selalu ada buat kamu," bisik Tirta lembut setelah tangis Viona mulai mereda.

Ia menatap gadis itu lekat-lekat, mencoba menangkap isi hati yang tersembunyi di balik mata Viona yang merah dan sembab.

“Ada apa, Viona? Aku nggak pernah lihat kamu nangis kayak gitu selain waktu pemakaman Kak Yuanita. Apa kamu kangen sama kakak kamu?”

Viona menggeleng pelan, tidak sanggup mengungkapkan kebenaran, namun juga tak ingin terus-terusan berbohong pada Tirta yang begitu tulus. “Kamu pasti akan membenciku setelah tahu apa yang terjadi padaku, Tirta,” bisiknya dengan suara parau yang nyaris tenggelam dalam air mata.

Tirta mengerutkan alis, kebingungan. “Bagaimana mungkin aku benci kamu? Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai selain ibuku, Viona.”

Mendengar kata-kata itu, hati Viona semakin tersayat. Nama "Viona" hanya digunakan oleh Yuanita, almarhumah kakaknya, sebagai panggilan sayang.

Saat Tirta menawarkan hubungan yang lebih dari sekadar teman, ia pun menggunakan nama kecil itu, penuh kasih dan kelembutan. Namun, di dalam hatinya, Viona merasa tak pantas lagi mendapatkan kehangatan itu.

“Tapi aku udah nggak suci lagi, Tirta.” Suaranya pecah di antara isak. “Aku nggak sama kayak dulu lagi.” Air mata kembali mengalir deras, mengungkap kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status