Share

Bab 5: Dia tidak Tahu Apa-apa!

Viona tak pernah merasa semarah ini dalam hidupnya. Dalam detik-detik mencekam seperti ini, ia biasanya mempraktikkan teknik pernapasan yang diajarkan Yuanita: menarik napas dalam selama empat hitungan, menahannya tujuh detik, lalu mengembuskannya perlahan selama delapan detik.

Namun kali ini, amarah dalam dirinya begitu pekat, tak teredam bahkan oleh napas teratur yang biasa.

Bergemuruhlah setiap langkahnya ketika ia membelah halaman rumah megah itu, tekad membara di balik setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak yang berhiaskan pepohonan rimbun.

Ia tak memedulikan dinginnya malam atau keheningan yang merayap, hanya satu yang ada dalam pikirannya: mencari Padma dan menuntut penjelasan atas kelakuan biadab yang hampir merenggut nyawa Tirta.

Baru beberapa jam lalu, pihak rumah sakit menelepon, mengabarkan bahwa Tirta menjadi korban tabrak lari—tabrakan yang hampir merenggut nyawa lelaki itu.

Seorang sopir taksi telah membawanya ke rumah sakit, dan Viona langsung berlari menuju rumah sakit untuk menemani Tirta.

Dengan tangan gemetar, ia menyetujui operasi mendadak karena adanya pendarahan di otak Tirta, yang bisa mengancam nyawanya jika tak segera ditangani. Dan di antara hiruk pikuk kesibukan rumah sakit, panggilan telepon dari Padma datang seperti palu godam di atas hatinya.

"Aku yang menyuruh orang suruhanku untuk menabrak kekasihmu itu. Bagaimana, kamu suka kejutanku? Tenang saja, aku masih punya banyak kejutan untukmu, Viona,” ucapnya dengan suara yang begitu dingin, begitu santai, seolah nyawa Tirta hanyalah mainan belaka.

Kini, berdiri di depan pintu besar rumah itu, Viona menekan bel berkali-kali tanpa jeda, tak peduli waktu atau kesopanan.

Pernah suatu waktu ia datang ke rumah ini dengan perasaan penuh kasih, disambut Yuanita di pintu dengan senyum hangatnya.

Namun kini, ia berdiri di tempat yang sama, namun dengan kebencian membara untuk pria yang seharusnya hanya menjadi kenangan manis dari Yuanita—pria yang kini berdiri sebagai musuhnya.

Pintu akhirnya terbuka. Seorang perempuan paruh baya, Bik Sari, menatap Viona dengan kaget.

“Mbak Viona?” sapanya penuh ragu, menatap tamunya dengan wajah heran. “Mau ketemu Mas Padma?”

Viona mengangguk kaku, ekspresi wajahnya menahan setiap kemarahan yang mengguncang dirinya. “Iya, Bik. Tolong panggilkan dia. Sekarang juga,” pintanya tanpa basa-basi.

Bik Sari menghela napas, kemudian mengangguk dan masuk ke dalam, membuka pintu lebih lebar agar Viona dapat masuk. “Masuk dulu, Mbak. Duduk di ruang tamu saja, saya akan membangunkan Mas Padma dulu.”

Namun, Viona menolak duduk di sofa yang pernah diduduki lelaki kejam itu. Ia memilih berdiri dengan tegap, mengalihkan pandangan pada foto pernikahan Yuanita dan Padma yang tergantung di dinding.

Di foto itu, Padma tampak tersenyum, citra seorang suami penuh kasih sayang, seorang yang tidak akan pernah dianggap psikopat oleh siapa pun.

Langkah berat terdengar dari arah tangga. Viona menoleh begitu mendengar suara dingin menyapa dari seberang ruangan, “Lihat siapa yang berani datang selarut ini.”

Di sana, di ujung tangga, berdirilah Padma, menatapnya dengan tatapan menusuk, seringai dingin menghiasi wajahnya yang tampan.

Viona dapat merasakan amarahnya kembali membuncah, tak teredam, tak terhenti. Rasa geramnya beriak, mendesak keluar seperti gelombang yang menghantam tanpa ampun.

Viona menghampirinya, langkahnya cepat dan tegap, tanpa sedikit pun menyurutkan keberaniannya meski ia harus mendongak untuk bertemu pandang dengan pria di hadapannya.

“Kenapa harus melibatkan Tirta, Mas Padma?” serunya dengan suara bergetar. Tubuhnya sedikit gemetar, namun sorot matanya teguh, dipenuhi oleh keberanian yang tak akan mudah goyah. “Apa salahnya? Dia tak tahu apa-apa!”

"Apa aku harus selalu mengingatkanmu bahwa aku akan membuatmu merasakan kesakitan dan kehilangan yang sama, seperti yang aku rasakan?" Suara Padma menggema, dingin, disertai tatapan tajam yang membekukan jiwa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status