“Salah masuk kamar dan mengambil keuntungan, huh?”
Ayrin mendengar Reygan, pria yang baru saja terpergok berada dalam satu selimut yang sama dengannya berujar tajam. Tatapan dan seringai pria itu terlihat begitu menyebalkan.
Alih-alih menjawab sindiran tersebut, Ayrin yang wajahnya tengah memerah karena malu dan marah itu memilih untuk beranjak. Ia membungkus tubuh polosnya dengan bed cover dan segera memunguti pakaiannya.
Tubuh wanita itu bergetar, sementara pikirannya masih mengingat-ingat … apa yang sebenarnya terjadi semalam?
Apa yang terjadi dengannya dan Reygan, yang merupakan calon kakak iparnya itu?
Kenapa ia bisa berakhir dengan pria itu di kamar yang sama, di bawah selimut yang sama dengan tubuh polos mereka?
Belum sempat Ayrin mendapatkan jawaban, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang pria paruh baya menatap nyalang, terutama ke arah Reygan yang ada di belakangnya.
“Jelaskan semua ini, Reygan! Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Jawablah semuanya dengan jujur!”
Belum jauh Ayrin melangkah, suara ayah Reygan terdengar menggelegar, menghadang langkahnya.
Ayrin menatap ke arah Reygan sambil meremas tangannya dengan kuat. Entah apa yang akan dikatakan pria itu di dalam situasi ini. Ayrin tidak bisa menebaknya.
“Maaf, Pa. Reygan kehilangan kontrol. Ini semua salah Reygan… Reygan melakukannya karena tidak mau kehilangan Ayrin,” balas Reygan sambil menoleh ke arah Ayrin cukup lama, membuat gadis itu mual dengan sandiwara yang dimainkan Reygan.
“Jadi, kamu memilih untuk mempermalukan nama keluarga kita dan memaksakan kehendak kepada calon adik iparmu sendiri dengan sengaja dan dengan penuh kesadaran?”
Reygan terlihat menundukkan kepalanya, seakan tak berani menatap papanya yang terlihat begitu marah dan kecewa. “Maaf, Pa. Reygan mencintai Ayrin. Maaf karena Reygan tidak berterus terang sejak awal.”
Mata Ayrin terbelalak, ia masih tidak mempercayai pendengarannya. Kata-kata itu terdengar sangat meyakinkan. ‘Cinta? Pria itu sungguh pintar berdusta,’ pikir Ayrin.
Ayrin menghela napas panjang, ingin menyangkal perkataan Reygan. Namun, belum sempat ia mengatakan apa pun, Reygan menarik tangannya dan menggenggamnya cukup kuat. “Aku akan mempertanggungjawabkan kesalahanku, Pa. Reygan siap menikahi Ayrin.”
Mendadak Ayrin merasakan kepalanya kembali pusing. Bibirnya terkatup, tersentak tanpa bersuara. Entah apa yang akan dihadapinya nanti. Mungkin kakak dan ibunya akan membunuh Ayrin setelah ini.
Suaranya seolah tercekat, ia ingin sekali membantah, tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan saat itu dan bagaimana menjelaskannya. Ayrin hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri. Ia juga merasa kesal pada Reygan karena ucapannya malah semakin memperumit keadaan.
“Kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, huh?” tanya Ayrin dengan putus asa setelah ia berhasil menghindari keluarganya dan masuk ke dalam ruang pribadi milik Reygan.
“Jadi, kamu lebih menyukai saya mengatakan kalau kamu sengaja masuk ke kamar saya untuk menggoda saya?” tuntut Reygan tanpa senyuman di wajahnya dan tanpa melihat siapa yang sedang berbicara dengannya.
“Mungkin itu jauh lebih baik,” gumam Ayrin dengan pelan sambil menundukkan kepalanya.
Reygan terdiam sesaat. “Kalau begitu kenapa kamu tidak mengatakan sendiri tentang kebenarannya? Tentang alasan sebenarnya kamu berada di tempat tidur saya semalam.”
Ayrin hanya diam, tidak tahu bagaimana harus merespon pertanyaan itu. Ia kesulitan mengatakan yang sebenarnya karena dirinya sendiri merasa dijebak.
Dan Ayrin tidak mungkin mengatakan jika orang yang menjebaknya adalah kakak sepupunya, yang juga kakak ipar Reygan, yang sangat ia kenal sejak dirinya kecil.
Ayrin ingat betul, ia menerima minuman dari kakak sepupunya sebelum pergi ke kamar dengan langkah sempoyongan. Entah kamar siapa semalam, ia tak tahu … tetapi karena sudah terlalu lelah berpikir dan ingin buru-buru merebahkan diri, ia pun bergegas masuk.
Tak lama usai ia melepas sepatu dan merebahkan diri dengan kepala yang berdenyut karena pusing, seseorang tiba-tiba masuk dan menghampirinya.
Ia masih bisa mengingat aroma maskulin dari tubuh pria yang tiba-tiba berada di atas tubuhnya dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman panas di bibir dan lehernya.
Belum sempat ia mendorong tubuh pria itu, Ayrin pun merasakan kegelapan menyelimutinya dan ia tidak tahu apalagi yang terjadi.
Namun, ia akan dianggap gila jika menyampaikan kebenarannya.
Ayrin berusaha untuk menenangkan dirinya dan menghiraukan pertanyaan Reygan yang menuntut. “Tapi, kebohonganmu membuat semuanya rumit.”
Reygan tertawa mengejek, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan memutar tubuhnya menghadap ke luar jendela. “Apa begini caramu merayu seorang pria?”
Ayrin mengangkat dagunya. “Apa maksudnya?”
Mulut Reygan melengkung sinis. “Disaat wanita lain sibuk meminta pertanggungjawaban setelah mereka tidur bersama, justru kamu malah—”
“Kita tidak melakukan apa pun!” potong Ayrin dengan cepat sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang memanas.
“Oh, ya? Apa kamu yakin? Apa kamu benar-benar ingat apa yang terjadi di antara kita malam itu?” Reygan menyeringai sambil berbalik dan menatap Ayrin dengan tatapan merendahkan.
“Percayalah, tidak ada yang terjadi, selain….”
“Selain apa?” desak Reygan dengan tenang, seolah menikmati kegugupan wanita di hadapannya.
Ayrin menggelengkan kepalanya dengan kuat ketika dengan samar kejadian semalam terbayang.
“Intinya… kita tidak mungkin bersama. Kamu adalah pria yang sudah dijodohkan dengan Daisha dan kalian akan menikah.” Ayrin menatap Reygan lirih. “Kita tidak bisa membiarkan kesalahpahaman ini menghancurkan perjodohan kalian. Jadi, saya mohon, tolong katakan saja yang sebenarnya.”
“Jadi, kamu lebih suka dianggap wanita murahan yang merayu pria yang dijodohkan dengan kakakmu sendiri daripada memilih menikah dengan saya?” tanya Reygan dengan geram. Ia merasa harga dirinya direndahkan oleh gadis yang sangat-sangat tidak menarik baginya.
Seolah bisa membaca arti tatapan Reygan saat melihat tubuhnya, Ayrin mundur beberapa langkah. “Saya tidak menarik, dan saya yakin kamu tidak memiliki perasaan apa pun untuk saya. Jadi, lebih baik hentikan apa pun rencana yang ada di pikiranmu sebelum kamu menyesalinya.”
“Saya memang sangat tidak tertarik denganmu apalagi tubuhmu yang kaku itu.” Reygan mengangkat bahunya. “Tapi, apa yang mereka lihat tidak akan bisa disangkal lagi. Saya benci mengakui kalau kemungkinan besar saya akan menikahi wanita paling tidak menarik di muka bumi ini.”
Reygan menjauh dari jendela, melangkah mendekati Ayrin, dan kali ini Ayrin melangkah mundur, pandangannya bertemu dengan mata sinis Reygan. Pria itu berhenti, sementara alisnya terangkat dengan ekspresi sombong dan muak.
“Papa saya akan menganggap apa yang terjadi adalah skandal dan dia tidak akan membiarkan hal itu mempengaruhi reputasi keluarganya. Dan Mama saya yang lembut dan penuh kasih sayang akan meminta saya untuk bertanggung jawab,” lanjut Reygan dengan ketus.
“Tapi—”
Reygan memotong ucapan Ayrin dengan cepat dan menatapnya dengan tajam. “Percayalah, kamu adalah wanita terakhir yang akan saya pilih untuk menjadi istri saya.” Reygan berbisik tepat di telinga Ayrin, membuat wanita itu merinding seketika. “Jadi, jangan pernah merasa bahwa saya setuju menikahimu karena saya menginginkannya.”
“Kenapa, Mbak? Kenapa Mbak menjebak saya dengan minuman itu?”Setelah berbicara dengan Reygan, Ayrin memilih untuk menemui Veranda–sepupunya di rumahnya. Usai menunggu sekitar dua jam, wanita itu datang dengan penampilan elegan dan wajah segarnya. Sangat kontras dengan keadaan Ayrin saat ini.Ia menatap kakak sepupunya dengan mata berkaca-kaca, masih tidak menyangka dengan apa yang telah diperbuat olehnya.Veranda terdiam sejenak, wajahnya terlihat begitu tenang dan tidak terganggu sedikit pun dengan ucapan adik sepupunya itu. Ia menatap Ayrin tanpa penyesalan dan perasaan bersalah sedikit pun. Tampak seringai tipis di sudut bibirnya yang tidak disadari Ayrin. “Sudahlah, Rin. Mbak hanya mencoba untuk membantu kamu kok. Jangan terlalu diambil pusing!” seru Veranda dengan santai lalu duduk di sofa sambil menyilangkan kaki mulusnya. “Membantu bagaimana maksudnya, Mbak?” tanya Ayrin dengan nada tidak percaya. “Apa dengan sengaja membuat saya tidak sadar dan masuk ke kamar pria lain….”
Ayrin pulang ke tempat kosnya dengan lelah. Ia berpikir untuk langsung mandi dan tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa kaku. Namun, baru sampai beberapa langkah setelah turun dari taksi onlinenya. Ayrin melihat mobil mewah milik ibu tirinya yang sudah berada di halaman indekosnya.Ayrin memutar tubuhnya, bersiap untuk pergi. Namun, sebuah tangan sudah lebih dulu meraih lengannya yang mencengkeramnya dengan kuat.“Mau lari kemana kamu?” tanya Diera dengan sengit lalu menghempaskan tubuh Ayrin hingga terhuyung ke belakang.“Ayrin capek, Ma. Kalau Mama mau bicara lebih baik besok saja,” ujar Ayrin setelah berdiri tegap di hadapan Diera yang menatapnya dengan begitu tajam.“Sudah berani kamu melawan saya? Sudah merasa paling hebat kamu setelah merebut pria yang akan dijodohkan dengan Daisha?” tuntut Diera dengan berapi-api. “Ayrin tidak pernah merebut siapa pun, Ma. Semuanya hanya salah paham,” balas Ayrin dengan tenang. Tatapannya meluncur ke arah Daisha yang baru saja turun
“Aku rasa aku nggak bisa melanjutkan ini, Ra. Gadis itu terlalu rapuh dan dia nggak pantas untuk kita sakiti.” Usai melihat keadaan Ayrin yang begitu menyedihkan–babak belur, tetapi masih kukuh untuk tidak bersuara perihal pelakunya, naluri Reygan perlahan tersentuh. Ia yang tadinya begitu semangat menjalankan rencana apik yang telah disusunnya bersama sang kekasih gelap, kini mulai goyah. “Jangan gila, Rey! Kita sudah sering membicarakan ini. Sudah nggak ada jalan untuk kembali.” Reygan menghela napas panjang, tetapi masih tetap memeluk kekasih yang begitu ia cintai itu dalam dekapannya. “Ceraikan saja Rayden, Ra. Menikahlah denganku. Kita bisa membangun hidup bersama.” Mata itu menatap sungguh-sungguh pada Veranda yang juga tengah menatapnya. Sesaat, raut wajah Veranda berubah kesal. Namun, tak lama ia kembali menguasai diri. “Nggak semudah itu, Rey. Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak bisa semudah itu untuk bercerai dengan Mas Rayden. Apalagi kami sudah memiliki
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu sudah gila?” Usai mengeluarkan kalimat menggemparkan, Reygan mengajak Ayrin pulang terburu-buru. Gadis itu menghempas tangan pria itu yang terus menggandengnya, bahkan nyaris menyeretnya paksa menuju mobil pria itu yang diparkir di garasi rumah. “Sudah saya bilang kita akan menikah. Kamu yang tidak mau mendengarkan saya sejak awal. Jadi, sekarang jangan salahkan saya!” Melihat Reygan yang santai, kening Ayrin mengerut dalam. Ia mencoba menerka, rencana apa yang sebenarnya tengah pria ini susun tanpa ia ketahui? “Apa salah saya, kenapa kamu harus melakukan ini?” tanya Ayrin, menuntut penjelasan dengan wajah marahnya. “Kamu tidak salah.” Reygan menatap gadis di hadapannya dengan lembut. “Saya hanya tidak mau menikah dengan kakakmu.” “Dasar bajingan!” Ayrin begitu marah, terlebih melihat pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Padahal, jika pria itu enggan menikahi Daisha, ia bisa langsung menolak perjodohan itu tanpa melibatkannya.
Pernikahan dadakan Ayrin dan Reygan berlangsung dengan gemerlap dan meriah. Sebagai ratu sehari, mereka berdiri di pelaminan dengan pakaian pengantin yang memukau. Ayrin terlihat anggun dalam gaunnya yang berkilauan, sementara Reygan gagah dengan setelan mewah yang membalut tubuhnya. Senyum tak pernah lepas dari bibir mereka, meskipun kelelahan mulai terasa sebab ribuan tamu tak kunjung usai menyalami mereka. Di tengah senyumannya, juga lantunan doa-doa tamu, di kejauhan, Ayrin merasakan ketegangan ketika pandangannya bertemu dengan Rayden, cinta masa lalunya yang kini menjadi kakak iparnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi yang jelas, sambil memegang minuman di tangannya. Ayrin merasa detak jantungnya meningkat, menciptakan getaran aneh di dalam dirinya.Ingatannya tiba-tiba kembali pada saat beberapa tahun lalu ketika Rayden tegak di hadapannya untuk mengakhiri hubungan mereka.“Kita tidak bisa melanjutkan semua ini, Rin. Saya akan menikah dengan Veranda. Se
"Masih belum tidur?" tanya Reygan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Hanya ada handuk yang melingkari pinggangnya, juga sebuah handuk kecil di leher. Tubuh pria atletis itu terlihat begitu segar.Ayrin menoleh, wajahnya memanas. Selama beberapa saat matanya masih tertuju pada otot-otot di tubuh suaminya."Ayrin," panggil Reygan yang membuyarkan lamunannya. "I..iya. Belum. Kamu baru mandi?" Ayrin menggigit bibir bawahnya dan langsung merutuki pertanyaan bodohnya. "Kamu nggak mandi?" Bukannya menjawab, Reygan malah balik bertanya. "Eh... iya. Aku mandi sekarang." Ayrin segera melangkah, melewati Reygan sambil menahan napasnya. Rasa canggungnya masih belum hilang. "Mau saya bantu?" Kata-kata yang Reygan ucapkan dengan tenangnya itu berhasil menghentikan Ayrin."Bantu... bantu apa?" tanya Ayrin dengan gugup."Kamu bisa buka gaun itu sendiri?" tanya Reygan dengan santai. "Bantu buka resleting belakangnya aja," sahut Ayrin setelah cukup lama diam.Reygan
“Sebaiknya berhenti membandingkan diri kamu sama Ayrin.” Veranda tidak berhenti bertanya dan membandingkan dirinyadengan Ayrin. Ciuman dari siapakah yang lebih menggairahkan untuk Reygan? Apakahpria itu menyentuh istrinya sebelum menemui Veranda di sini—di Puncak?Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Reygan seketika dikuasaiamarah. Ia telah mengorbankan waktunya dengan meninggalkan sang istri untukmenemui kekasihnya. Namun, yang ia dapatkan justru kecurigaan juga rasaketidaknyamanan dari Veranda. “Kenapa?” wanita itu bertanya dengan pandangan menuntut padaReygan.“Sudah jelas kamu yang menang. Kenapa harus terus cemburusama dia.” Reygan berusaha menenangkan perasaan Veranda di sela pikiran danemosinya juga nyaris tersulut.Veranda mendengus kesal. “Tetap saja aku nggak tenang.Meskipun Ayrin nggak mungkin masuk dalam kategori wanitamu, tapi—”Reygan bisa membaca kegundahan hati Veranda. Tanpa banyakbicara lagi, pria itu merengkuh tubuh Veranda lalu mengurung wanita itu dibawa
“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Ayrin yang mengejutkan Reygan. Pria itu terlihat tertegun saat melihat Ayrin yang sudah terjaga. “Kenapa kamu nggak bangunin aku dan selalu pergi diam-diam?” lanjut Ayrin, sementara Reygan masih diam di tempatnya. Sudah tiga minggu telah berlalu sejak Ayrin terbangun tanpa kehadiran Reygan di sisinya. Setiap pagi, rasa kosong itu semakin terasa, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab di dalam hati Ayrin. Pada malam di mana Reygan memeluknya, Ayrin merasa seperti ada ikatan yang terjalin. Namun sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Reygan seperti menghindar darinya.“Tidurmu nyenyak sekali, saya—”“Kamu sudah biasa bangun dan berangkat kerja sepagi ini?” potong Ayrin sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15. Reygan belum menjawab, ponselnya sudah bergetar. Ia menatap Ayrin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya–”Ayrin membungkam ucapan Reygan dan bersuara, “Kalau memang kamu sibuk sekali sampai harus berangkat pukul segini… lai
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men